أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Kiranya kita harus mencermati
bahwa memiliki makrifat dan pengetahuan terhadap sifat-sifat Tuhan
tidak dapat dibandingkan dengan pencerapan-pencerapan indrawi manusia.
Namun demikian mengenal sifat-sifat Tuhan bukanlah sesuatu yang mustahil
dan tidak dapat dijangkau.
Atas dasar itu ulama, baik filosof atau pun teolog menyodorkan beberapa
cara dan metode untuk menetapkan sifat-sifat Tuhan. Tentu saja
memanfaatkan cara dan metode ini akan mengantarkan kita kepada hasil
yang ideal. Karena itu, di sela-sela pembahasan ini, kami akan
menyebutkan beberapa metode dan cara tersebut.
Hanya saja sebelum mengulas pokok persoalan yaitu menetapkan hikmah dan
kebijaksanan Tuhan ada baiknya kami mengemukakan beberapa poin yang
dapat membantu untuk dapat memahami masalah ini dengan baik.
Poin pertama terkait dengan sifat tidak membutuhkan Tuhan. Sebagaimana
yang Anda ketahui bahwa membutuhkan adalah salah satu tipologi eksisten
atau entitas kontingen (mumkinat); mengingat bahwa seluruh kontingen
membutuhkan sebab (sebab pengada [illat muhditsah] dan sebab pelestari [illat mubqiyah]). Namun setelah menetapkan kemestian wujud bagi Tuhan dan menafikan kontingen (mumkin) dari-Nya maka masalah membutuhkan terkait dengan Tuhan juga akan mentah dengan sendirinya.
Poin kedua bahwa Tuhan tidak akan melakukan perbuatan tercela. Untuk
menetapkan hal ini kita dapat menyebutkan beberapa dalil sebagai
berikut:
Dalil pertama:
Allah Swt tidak memiliki stimulus atas perbuatan tercela dan setiap
pelaku yang tidak memiliki stimulus atas perbuatan tercela maka
terjadinya perbuatan tercela baginya adalah absurd. Karena itu
terjadinya perbuatan tercela atau menyandarkan perbuatan tercela kepada
Tuhan juga bersifat absurd bagi Tuhan.
Adapun dalil untuk menetapkan premis minor: Seseorang yang mengerjakan
perbuatan tercela memiliki salah satu motivasi-motivasi dan
stimulasi-stimulasi berikut ini:
- Seseorang yang acuh-tak-acuh dan tidak mengenal takut; artinya ia tidak mengenal takut dari celaan orang lain, tidak takut terhadap azab neraka dan ia tidak mewajibkan dirinya menjadi seorang yang bertakwa. Motivasi seperti ini tidak terdapat pada Zat Tuhan; karena Tuhan bukanlah sosok yang melakukan perbuatan sia-sia yang siap melakukan perbuatan apa saja.
- Manusia bodoh dan dungu; artinya ia tidak mengetahui keburukan dan tercelanya perbuatan sehingga ia melakukannya. Motivasi seperti ini juga tidak memiliki makna bagi Tuhan; karena Allah Swt adalah Zat Mahamengetahui secara mutlak dan tiada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.
- Mengetahui keburukan sebuah perbuatan namun karena adanya sifat membutuhkan yang membuatnya melalukan perbuatan buruk; seperti seseorang yang menenggak minuman keras. Motivasi seperti ini juga tidak terdapat pada Zat Tuhan; karena Tuhan adalah Zat yang Mahakaya secara mutlak dan Dia sama sekali tidak membutuhkan.
- Manusia mengenal keburukan sebuah perbuatan namun ia terpaksa melakukannya; misalnya seorang penjahat yang terpaksa melaukan kejahatan. Motivasi seperti ini tentu saja tidak berlaku bagi Tuhan; karena tidak terdapat kekuasaan dan kekuatan yang lebih kuat dan lebih unggul melebihi kekuasaan dan kekuatan Tuhan sehingga dapat memaksannya melakukan suatu perbuatan, bahkan Dia adalah fa’âl mâ yasyah (Melakukan apa saja yang Dia ingini) dan fa’âl mâ yurid (Melakukan apa saja yang Dia kehendaki). Karena itu Allah Swt tidak memiliki movitasi untuk melakukan perbuatan buruk.
Adapun penetapan premis mayor: Allah Swt adalah pelaku mandiri dan
sepanjang pelaku mandiri tidak berkuasa atas segala sesuatu dan tidak
memiliki motivasi atas perbuatan tersebut maka tidak akan pernah
menjadi illat tammah (sebab tuntas) dan sepanjang tidak mencapai illat tammah
(sebab tuntas) maka mustahil akan lahir sebuah perbuatan. Nah terkait
dengan perbuatan buruk meski terdapat kekuatan yang merupakan salah satu
rukun atas lahirnya sebuah perbuatan, namun tidak terdapat motivasi
yang merupakan rukun lainnya maka mustahil lahir perbuatan buruk dari
Tuhan.
Masalah ini terkait
dengan hal-hal buruk namun terkait dengan hal-hal baik dan mengandung
kemaslahatan Tuhan di samping memiliki kekuatan juga memiliki motivasi.[1]
Beberapa Makna Hikmah
Hikmah secara leksikal bermakna ‘adl (adil), itqân (kukuh) dan lain sebagianya. Mengikut kamus, gelar hakîm dilekatkan bagi orang yang menunaikan seluruh urusannya dan kegiatannya hingga tuntas dengan kukuh.[2]
Hikmah secara teknikal terminologis juga disebutkan memiliki dua makna:
- Mengenal hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya.
- Mengerjakan sebuah perbuatan dengan baik, sempurna, dan sesuai dengan kemaslahatan seluruh entitas dan ciptaan.
Allah Swt adalah Hakim (Mahabijak) dalam dua pengertian dan makna di
atas; karena makrifat-Nya terhadap segala sesuatu merupakan makrifat
yang paling sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya juga dikerjakan dengan
paling kukuh dan kuat.[3]
Adapun dalil-dalil untuk menetapkan sifat hikmah bagi Allah Swt ini
dapat dilakukan dengan beberapa jalan di antaranya adalah sebagai
berikut:
- Dalil Rasional:
Di antara makna hikmah adalah bahwa perbuatan-perbuatan Allah Swt
berada pada puncak rasionalitas dan amat sangat logis. Setiap perbuatan
yang dilakukan bukan untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu merupakan
hal yang sia-sia di hadapan seluruh orang-orang yang berakal budi.
Perbuatan sia-sia adalah buruk dan tercela di sisi orang-orang berakal
sehat. Hal ini telah ditetapkan sebelumnya bahwa perbuatan buruk
mustahil dapat dilakukan oleh Tuhan Yang Mahabijaksana. Karena itu
perbuatan sia-sia mustahil dan tentu tidak dapat dilakukan oleh Allah
Swt.[4]
Adapun disebutkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan memiliki tujuan hal
itu tidak bermakna bahwa tujuan tersebut secara esensial (dzati)
kembali kepada Tuhan; karena sebagaimana yang telah disebutkan bahwa
zat Tuhan adalah sempurna dan tidak memerlukan perbuatan-perbuatan
seperti ini serta sejatinya tujuan-tujuan ini kembali dan berpulang
kepada makhluk-makhluk.
Hal ini dapat dijelaskan lebih jauh bahwa terkadang seorang pelaku
perbuatan melakukan sebuah perbuatan maka tujuannya kembali kepada
dirinya sendiri dan terkadang melakukan sesuatu untuk berbagi dan
menyampaikan manfaat kepada seseorang. Apabila tujuan termasuk pada
jenis pertama maka hal tersebut merupakan tujuan untuk meraih
kesempurnaan (istikmâli) dan tentu saja tidak tepat dan benar
dilekatkan pada Allah Swt; karena hal itu merupakan pertanda adanya
kekurangan dan cela sang pelaku perbuatan. Tentu saja Allah Swt suci
dari segala bentuk kekurangan dan cela. Namun apabila tujuan yang
disasar termasuk pada jenis kedua maka ia adalah kesempurnaan itu
sendiri dan bersumber dari kesempurnaan pelaku.
Allah Swt memiliki selaksa sifat-sifat yang kita kenal sebagai sifat-sifat keindahan (jamâl) dan kesempurnaan (kamâl);
seperti berilmu, berkuasa, menghendaki kebaikan dan lain sebagainya.
Oleh itu, Entitas yang menyandang sifat-sifat seperti ini harus
mengeluarkan dan mengkreasi sistem terbaik dan paling bijak karena
selain dari itu maka harus dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki
sifat-sifat seperti ini, padahal tidak demikian adanya. Karena itu Allah
Swt senantiasa menyandang sifat-sifat keindahan dan kesempurnaan ini.
- Menelaah pada Âfâk dan Anfus
Allah Swt senatiasa menyeru manusia untuk merenung dan berpikir tentang
alam semesta dan tentang dirinya. Allah Swt memandang bahwa salah satu
jalan untuk memahami dan meraih makrifat adalah dengan cara seperti ini.[5]
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa perbuatan sebagaimana ia menunjukkan pada pelaku (fâ’il)
perbuatan, ia juga menunjukkan pada tipologi yang dimilikinya; artinya
setelah mencermati pelbagai tipologi perbuatan maka kita akan memahami
sifat yang disandang oleh pelaku perbuatan itu. Sejatinya dengan cara
seperti ini kita akan dapat memahami sesuatu dari akibat (atsar) kepada muattsir (sebab).
Melakukan kontemplasi dan renungan tentang semesta dan pelbagai
fenomena alam ini maka kita dapat melihat dengan jelas dan terang adanya
kekukuhan, mekanisme, dan pelbagai keteraturan yang akurat di antara
seluruh bagian-bagian yang terdapat di semesta raya. Menyaksikan
pelbagai fenomena dan lintasan kesempurnaannya yang memiliki tujuan
dengan memperhatikan pelbagai perbedaan yang ada di antara seluruh
entitas dari sudut pandang yang berbeda-beda,[6] akan memandu kita pada sosok Sang Pencipta yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabijaksana.
Adanya keanekaragaman dalam hidup merupakan dalil lainnya atas hikmah,
ilmu dan kekuasaan Tuhan. Dengan adanya satu tujuan universal yang
merupakan sasaran dan tujuan-tujuan seluruh kehidupan, segala sesuatu
juga memiliki tujuan untuk dirinya sendiri-sendiri yang masing-masing
diciptakan untuk sampai pada tujuan tersebut. Hal tersebut disertai
dengan hal-hal lainya dalam melintasi jalan kesempurnaan; misalnya bumi
yang melepaskan dahaganya dengan curahan air hujan. Air adalah air dan
bumi adalah bumi itu sendiri namun tumbuh-tumbuhan tumbuh berkembang
dari bumi dengan air ini dan pada warna, rasa dan manfaatnya juga yang
masing-masing memiliki tujuan penciptaan sendiri-sendiri berbeda dengan
tumbuh-tumbuhan lainnya. Setiap tumbuhan diciptakan dengan tujuan
tertentu dan seiring sejalan dengan tumbuhan lainnya untuk melintasi
kesempurnaan.[7]
Karena itu, dengan memperhatikan apa yang telah disinggung di atas baik
dari sudut pandang dalil-dalil rasional dan pendukung-pendukung lainnya
harus dikatakan bahwa hikmah Allah Swt adalah menyampaikan seluruh
enititas dan makhluk kepada kesempurnaannya masing-masing yang layak
diraihnya. Demikian juga, Allah Swt itu Mahabijak bermakna bahwa
perbuatan-Nya memiliki tujuan namun bukan untuk diri-Nya.
Akhir kata, hikmah setiap makhluk dan entitas memiliki tujuan yang
terpendam dalam esensi setiap makhluk dan ketika kita berkata Allah Swt
itu Mahabijaksana artinya adalah bahwa Dia yang memotivasi seluruh
makhluk dan entitas kepada tujuan-tujuan natural dan penciptaannya.[8]
[1]. Muhammad Ali, Syarh Kasyf al-Murâd, hal. 213, Dar al-Fikr, Qum, Cetakan Keempat, 1378 S.
[2]. Jamaluddin Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 12, hal. 140, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Pertama, 1410 H.
[3]. Syarh Kasyf al-Murâd, hal. 196.
[4]. Ibid, hal. 216.
[5]. “Dan
Dia-lah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan
dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Setelah itu Kami keluarkan
dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari
tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma
mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur. Dan
(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak
serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan
pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs. Al-An’am [6]:99); “Sesungguhnya dia langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]:3)
(Qs. Al-An’am [6]:99); “Sesungguhnya dia langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]:3)
[6]. “Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi
serta bahasa dan warna kulitmu yang beraneka ragam. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.” (Qs. Al-Rum [30]:22)
[7]. Tafsir Hidâyat, jil. 3, hal. 130, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[8]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsâr, jil. 1, hal. 194, Intisyarat Shadra, Teheran.
No comments:
Post a Comment