أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Jika Nabi Adam As tidak melakukan kesalahan dan tidak akan datang ke bumi apakah anak keturunannya masih tetap berkediaman di surga?
[1] . Silahkan lihat, Pertanyaan 1801 (Site: 1784).
[2] . Sayaquluna tsalatsahu rabi’ahum kalbuhum.
[3] . Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Al-Mizân (terjemahan Persia), jil. 1, hal. 196-197.
Jika Nabi Adam As tidak melakukan kesalahan dan tidak akan datang ke bumi apakah anak keturunannya masih tetap berkediaman di surga?
Pertanyaan-pertanyaan seperti bahwa apakah Adam melakukan dosa atau tidak, apa yang menjadi kesalahan Nabi Adam As? Surganya terdapat di bumi atau di langit? Apa makna dikeluarkan (ikhrâj) dan diturunkannya (hubûth) Nabi Adam dari surga? Mengapa seluruh manusia semenjak awal tidak diciptakan di surga? Demikian juga seperti pertanyaan Anda bahwa apakah apabila Adam tidak
melakukan kesalahan maka dimanakah gerangan kita akan berada? Kesemua
hal ini merupakan tema yang boleh jadi menarik dan atraktif bagi kita.
Namun dengan sedikit menyimak lebih akurat, akan kita jumpai bahwa
mengetahui atau tidak mengetahui hal tersebut tidak terlalu berpengaruh
pada keputusan-keputusan dan garis mazhab kita.
Boleh
jadi jawaban pertanyaan ini dalam pandangan paling optimistik dan
positif adalah bahwa kita juga sebagaimana malaikat surga dan
makhluk-makhluk lainnya masih tetap berada di surga serta menjalani
hidup yang makmur dan sejahtera tanpa adanya penderitaan dan kesusahan!
Atau
dalam pandangan yang paling pesimistik dan negatif boleh jadi hal ini
bahwa ujian yang tidak dapat dilalui dengan baik oleh Nabi Adam As akan
berlaku bagi setiap manusia. Apabila manusia tidak lulus ujian maka
alih-alih ia akan turun ke bumi; ia malah akan langsung terjerembab di
dalam neraka. Atau dengan pandangan moderat, kita juga seperti Nabi Adam
akan turun ke bumi; artinya kita akan menjadi apa yang kita alami
sekarang ini! Silahkan Anda nilai dan jawab sendiri.
Apabila masing-masing dari jawaban ini benar adanya maka pengaruh apa yang akan ditimbulkan pada tugas-tugas kita sekarang ini?!
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini boleh jadi juga mengemuka dalam hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti di bawah ini:
Sekiranya Nuh As tidak mengutuk musuh-musuhnya maka taufan tidak akan diturunkan?!
Apa yang akan terjadi sekiranya Ibrahim tidak selamat dan meraih syahadah ketika dilemparkan ke dalam api?
Apa yang akan terjadi sekiranya Fir’aun tidak menerima ucapan istrinya dan tidak menerima Musa As sebagai putranya?
Apa yang akan terjadi sekiranya Imam Husain As menang secara lahir melawan Yazid dan menjalankan pemerintahan Islam?
Dan
selaksa pertanyaan lain yang semisal dapat diajukan yang apabila
kejadian ini terjadi atau tidak terjadi apa yang akan berlaku?
Atau
pertanyaan-pertanyaan seperti bahwa termasuk jenis ikan apakah ikan
Nabi Yunus itu? Berapa meterkah panjang bahtera Nabi Nuh As…? Dan
seterusnya.
Terkait dengan hal ini, Allah Swt dalam al-Qur’an, setelah menceriterakan kisah Ashâb al-Kahf, menyinggung sebuah persoalan yang kiranya patut mendapat perhatian kita.
Pada ayat 22 surat al-Kahf (18) dijelaskan bahwa sekelompok orang “ yang
mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah
anjing mereka”, dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah lima
orang yang keenam adalah anjing mereka”, sebagai terkaan terhadap hal
yang gaib; dan yang lain lagi mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah tujuh
orang yang kedelapan adalah anjing mereka.” Katakanlah, “Tuhanku lebih
mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan)
mereka kecuali sedikit.” Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) berdebat
tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahir saja dan jangan kamu
menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada siapa pun di antara
mereka. ”
Poin yang menjadi sorotan kami di sini adalah bahwa persoalan tentang berapa jumlah Ashab al-Kahf
sebagai sebuah persoalan yang menarik yang dibahas dan diperbincangkan
dan dijelaskan pelbagai pandangan tentangnya. Allah Swt berceritera
tentang hal-hal seperti berapa lama mereka berdiam di goa dalam bentuk
partikular dan akurat bahwa mereka berdiam di goa tersebut selama 309
tahun lamanya. Adapun tentang jumlah bilangan mereka, Allah Swt hanya menjelaskan adanya perbedaan pendapat dan tidak menjawab keburaman ini.
Boleh
jadi, dalil perbuatan seperti ini dari sisi Tuhan, dapat ditelusuri
bahwa pembahasan, perbincangan lebih dari batasannya, pada sebagian hal
yang bersifat partikular dan tidak diketahuinya hal tersebut tidak akan
menciderai keberagamaan dan pahaman pesan-pesan Ilahi. Dan hal ini pada
hakikatnya sejenis penyimpangan dan pembelokan dari masalah-masalah
penting dan utama. Dengan demikian, hal tersebut tidak dipandang perlu.
Inti pesan Ilahi dalam peristiwa Ashâb al-Kahf
adalah bahwa manusia tidak boleh tunduk dan menyerah di hadapan
kekafiran dan kejahatan. Apabila dituntut untuk mengorbankan kepentingan
dunia maka kepentingan dunia harus dikorbankan dan melakukan hijrah
dari kampung halaman. Dan Allah Swt Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia
berkuasa untuk menghidupkan dan menjaga orang-orang untuk masa ratusan
tahun lamanya tanpa makanan dan dalam kondisi tidur sebagai sebuah ayat
dan tanda akan hari Kiamat.
Adapun
mengetahui jumlah orang-orang yang terdapat dalam goa sama sekali tidak
memberikan peran dalam mengenal pesan Ilahi dan hal itu dapat kita
abaikan dan lupakan.
Atas dasar itu, dengan penjelasan lugas bahwa jawaban atas pertanyaan Anda, terkait dengan bagaimana nasib anak-anak Adam As apabila
mereka tetap tinggal di surga, boleh jadi tiada yang tahu dan kami
memandang bahwa hanya Tuhanlah yang tahu gerangan apa yang akan terjadi
sekiranya anak-anak Adam tetap tinggal dan berdiam di surga.
Tapi
kami meyakini bahwa persoalan ini bukan merupakan perkara yang kalau
tidak diketahui akan berpengaruh pada keyakinan dan tugas-tugas aktual
kita. Alangkah lebih baik bahwa sekarang ini kita tidak berdiam di surga
dan menjadi khalifah Tuhan di muka bumi, sedemikian kita hidup sehingga
surga dan yang lebih tinggi dari itu, yaitu keridhaan Tuhan kelak akan
dapat kita peroleh. Kita ketahui bahwa Allah Swt menerima taubat Nabi
Adam As. Dia tetap akan dijadikan sebagai khalifah-Nya. Karena Tuhan
sendiri, dalam salah satu ayat yang menjelaskan tentang peristiwa
turunnya Adam, berfirman kepada kita, “ Kami
berfirman, “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku,
niscaya mereka tidak akan merasa takut dan tidak (pula) bersedih hati.”
(Qs. Al-Baqarah [2]:38) Dan pada ayat lain menandaskan bahwa
orang-orang yang mencari petunjuk, tidak akan tersesat juga tidak akan
celaka . “ Allah
berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sedang
sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang
kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku,
niscaya ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (Qs. Thaha [20]:123)
Namun demikian terdapat sebuah masalah yang disebutkan dalam tafsir al-Mizan
yang dapat membantu Anda untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan Anda.
Allamah Thabathabai berkata, “Dari konteks beberapa ayat disebutkan
bahwa Adam memang pada mulanya dan semenjak awal diciptakan untuk
menjalani kehidupan di muka bumi dan juga meninggal di bumi. Apabila
Allah Swt memberikan tempat hunian bagi Adam selama
beberapa hari di surga maka hal itu dimaksudkan supaya Adam menjalani
ujian. Dan sebagai hasil (dari ujian ini) adalah pelanggaran sehingga
auratnya tersingkap kemudian setelah itu turun (hubuth) ke bumi.
Oleh
itu, tujuan utama dari penciptaan Adam adalah memang untuk berkediaman
di muka bumi. Beberapa hal yang menegaskan bahwa Adam memang dimaksudkan
untuk menjadi penghuni bumi di antaranya adalah bermukim di surga,
keunggulan atas para malaikat, ditetapkannya kelayakannya menjadi
khalifah, kemudian para malaikat bertugas untuk sujud di hadapannya,
lalu Tuhan memberikan Adan kediaman di surga, mendekatkannya dengan
pohon surgawi tersebut dan memakan buah pohon tersebut
(akibat provokasi setan) dan akibatnya aurat Adam demikian juga istrinya
(Hawa) tersingkap dan pada akhirnya keduanya harus turun ke bumi.
Karena
itu, nampaknya aib dalam kehidupan bumi, karena memakan buah pohon
tersebut, adalah salah satu ketentuan Ilahi yang harus terjadi. Terlebih
juga Allah Swt memaafkan kesalahan mereka setelah keduanya bertaubat.
Akan tetapi mereka tidak dikembalikan ke surga, melainkan menurunkan
mereka ke bumi supaya keduanya tinggal dan berkediaman di bumi.
Apabila
hukuman berupa kehidupan di muka bumi, karena memakan buah pohon
tersebut dan nampaknya aib, bukan merupakan ketentuan pasti Ilahi, dan
juga kembali ke surga bukan hal yang mustahil, maka setelah bertobat dan
tanpa dipandang kesalahannya seharusnya keduanya kembali (dikembalikan
segera) ke surga (karena taubat akan menghilangkan pengaruh kesalahan).
[1] . Silahkan lihat, Pertanyaan 1801 (Site: 1784).
[2] . Sayaquluna tsalatsahu rabi’ahum kalbuhum.
[3] . Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Al-Mizân (terjemahan Persia), jil. 1, hal. 196-197.
No comments:
Post a Comment