أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Keyakinan kita tentang
keberadaan Tuhan (apakah itu berupa keyakinan atau pengingkaran atau
keraguan) bukanlah berkaitan dengan keberadaan Tuhan dalam realitas.
Dengan kata lain, keyakinan-keyakinan kita tidak akan merubah realitas
yang ada.
Sumber keyakinan
kepada Tuhan merupakan perkara yang lebih tinggi dari sekedar mengikut
pendapat-pendapat manusia tentang Tuhan dan bahkan sesuai dengan
ungkapan al-Quran kebanyakan manusia tidak mengikuti akalnya dalam
masalah ini.[1]
Dalam pembahasan keyakinan kepada keberadaan Tuhan hal itu bergantung
kepada jenis keyakinan manusia (rasional atau empirik) yang
berubah-ubah. Pembahasan perubahan keyakinan yang paling umum adalah
pembahasan kriteria benar (true) dan salah (false) dan ungkapan kita terhadap keduanya.
Jelas bahwa dari sudut pandang logika, perbedaan pendapat terkait dengan benar (true, shidq) atau salah (false, kidzb)
setiap proposisi berita – dalam hal ini meyakini atau mengingkari
keberadaan Tuhan – dengan sendirinya tidak dapat digunakan untuk
menetapkan sesuatu. Hal ini berlaku sebagaimana kuantitas banyaknya
manusia tidak akan berujung pada benar atau tidaknya sebuah proposisi
sebuah berita sehingga kita menghukumi benar atau tidaknya proposisi
tersebut pada tataran realitas.
Sebagai contoh, hingga beberapa lama sebelum Galileo, seluruh ulama,
ilmuan dan filosof dunia, beranggapan bumi sebagai pusat tata surya.
Namun dengan penemuan pertama teleskop oleh Galileo dan pengamatan
ilmiah terhadap alam semesta, teori Ptolemaeus di samping logika
Aristoteles dan sabda-sabda Nabi Isa termasuk keyakinan utama Gereja,
dalam waktu sekejap, seluruh nilai-nilainya runtuh begitu saja. Karena
itu, mayoritas dan adanya perbedaan pendapat masing-masing tidak dapat
dijadikan sebagai benar atau tidaknya sebuah proposisi.
Patut untuk disebutkan bahwa bahkan di antara filosof Barat yang
kebanyakan menganut metode skeptis dalam menghadapi
pembahasan-pembahasan seperti ini sebagian mereka seperti Heidegger
memandang bahwa pembahasan dan dialektika di antara sesama filosof
terkait dengan pembahasan penetapan dan pengingkaran Tuhan tidak hanya
menjadi dalil atas pengingkaran Tuhan bahkan sebaliknya menjadi dalil
nyata atas keberadaan wujud Tuhan karena apabila tidak ada Tuhan seluruh
usaha ilmiah dan pemikiran umat manusia selama beberapa abad dalam
rangka menetapkan atau mengingkari-Nya akan menjadi sia-sia.
Sejatinya tatkala kita kita mengingkari keberadaan sesuatu pertama-tama
kita mengasumsikan keberadaannya sehingga kita dapat berbicara tentang
pengingkarannya. Karena itu, pra-asumsi masing-masing setiap kelompok
baik bagi kelompok yang mengingkari Tuhan dan kelompok yang meyakini
keberadaan Tuhan adalah keberadaan Tuhan.
Pada dasarnya pokok pertanyaan mungkin terkait dengan apakah yang
menjadi kriteria benar dan tidaknya sebuah proposisi? Dengan kata lain
apa yang dimaksud dengan benar itu?
Dalam masalah benar (true)
terdapat banyak pendapat yang telah dilontarkan. Yang paling terkenal
adalah yang disebut dengan “sesuai dengan kenyataan.” Terdapat sebagian
pendapat juga menyatakann bahwa karena pengenalan sesuatu pada dasarnya
bersifat mustahil maka benar dan tidaknya sesuatu merupakan sebuah
perkara nisbi dan relatif. Bahkan mereka yang memandang bahwa manusia
mampu mengenal sesuatu pada dasarnya, tidak memahami apa yang disebut
sebagai “sesuai dengan kenyataan” dalam satu makna.
Sebagian orang memandang bahwa “sesuai dengan kenyataan” itu hanya
dapat dipahami dengan hadirnya sesuatu itu sendiri pada orang yang
memahami dan kesatuan keduanya serta setiap pengenalan selain hal ini
mereka pandang sebagai pikiran semata. Padahal sebagian orang menjadikan
hal ini yaitu cukup sesuai dengan pikiran sebagai kriteria (bukan
sesuai dengan kenyataan). Memilih salah satu dari paradigma pemikiran di
atas akan menjadi landasan pemahaman kita terhadap pelbagai hal.
[iQuest]
[1]. “Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman.” (Qs. Al-Baqarah [2]:100); “Dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Qs. Al-Maidah [5]:103); “Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. Al-An’am [6]:111)
No comments:
Post a Comment