أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
[1] Al-Mîzân (Terjemahan Persia), jil. 18, hal. 122-123.
[2] Nahj al-Balâghah, Khotbah 95.
[3] Fashlnâme-ye Bayyinât, No. 27, hal. 38-41.
Salah satu sunnah Ilahi adalah
mengutus para nabi dan rasul kepada manusia untuk memberikan petunjuk
kepada mereka. Para nabi juga—dalam berinteraksi dengan orang-orang yang
kepadanya mereka diutus—menggunakan bahasa kaum tersebut. Karena bahasa
merupakan satu-satunya media komunikasi antarmanusia dan para nabi pun
harus menggunakan media ini. Tutur kata para nabi dengan bahasa kaum
merupakan salah satu sunnah Ilahi yang pasti. Allah Swt berfirman, Kami
tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka
(QS Ibrahim [23]: 4) Sunnah ini juga berlaku bagi para nabi yang
seruannya mendunia. Meski diutus untuk memberikan petunjuk kepada
seluruh manusia, seperti para nabi ulul azmi, namun mereka berkata-kata
dengan bahasa sebuah kaum dimana apabila mereka menggunakan bahasa
selain bahasa kaum maka syariat nabi tersebut tidak akan dipahami oleh
masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Al-Qur'an
merupakan sebuah hakikat dan realitas metabahasa (di atas bahasa).
Sebelum Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, ia berada pada sebuah
tingkatan wujud (hakikat) yang pada tingkatan tersebut akal manusia
tidak dapat mencapainya. Allah Swt menurunkan Al-Qur'an dari kediaman
aslinya dan membuatnya dapat dipahami oleh manusia dan mengenakan busana
redaksi Arab padanya. Dengan demikian, manusia dapat mengenal dan
mencerap aneka hakikat yang terpendam di dalamnya.[1]
Karena
itu, inti dan pokok Al-Qur'an berada di atas format bahasa dan
terkandung dalam sebuah bahasa khusus. Namun, terkait dengan persoalan
mengapa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, maka dalam menjawab
persoalan ini harus dikatakan bahwa: terpisah dari tipologi esensial
bahasa Arab yang bahasa ini merupakan bahasa yang memiliki struktur dan
berada di puncak kefasihan dan retorika di antara bahasa-bahasa yang ada
di dunia, Nabi Saw diutus pada suatu kaum yang berbicara dengan
menggunakan bahasa Arab dan untuk menyampaikan pesan Ilahi, maka beliau
harus menunjukkan sebuah mukjizat yang dapat dipahami oleh masyarakat
Arab sehingga mereka tidak mengingkarinya, beriman kepada Allah Swt dan
berupaya untuk menyebarkan agama. Akan tetapi, dapat dipahaminya agama
bukan berarti bahwa seluruh al-Qur'an dapat dipahami; lantaran seluruh
hakikatnya tidak terbatas, melainkan bermakna memahami bahasa dan
memahami secara global dari sebagian hakikatnya.
Masyarakat
jahilah Arab prapengutusan Nabi Saw, hidup dalam kondisi yang sangat
mengenaskan dan atas dasar ini, Allah Swt mengutus Nabi Saw di kalangan
kaum Arab. Terkait dengan kondisi masyakarat jahiliah pra-Islam dan
kedatangan Rasulullah Saw, Ali As bersabda, “Allah mengutus
Nabi ketika manusia sedang tersesat dalam kebingungan dan sedang
bergerak ke sana sini dalam kejahatan. Hawa nafsu telah menyelewengkan
mereka dan tipu daya telah menyimpangkan mereka. Kejahilan yang amat
sangat telah membuat mereka menjadi tolol. Mereka dibingungkan oleh
ketidakpastian hal-hal dan kejahatan jahiliah. Kemudian Nabi Saw
berusaha sebaik-baiknya dalam memberikan kepada mereka nasehat yang
tulus. Beliau sendiri berjalan di jalan yang benar dan memanggil
(mereka) kepada kebijaksanaan dan nasehat yang baik.”[2]
Dalam
kondisi seperti ini, yang menjadi penyebab diutusnya Rasulullah Saw di
kalangan Arab, karena itu Al-Qur'an harus disampaikan dalam bahasa Arab,
bukan dengan bahasa lain. Akan tetapi, apa yang penting adalah bahwa
pemanfaatan Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada bahasa Arab saja. Allah
Swt berfirman, Dan jika Kami jadikan Al-Qur’an
itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan,
“Mengapa jelas ayat-ayatnya? Apakah (patut Al-Qur’an) dalam bahasa
asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?” Katakanlah, “Al-Qur’an itu
adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan pada
telinga orang-orang yang tidak beriman terdapat sumbatan, sedang
Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti)
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS Fushshilat [41]: 44)
Akan
tetapi, boleh jadi pertanyaan lain mengemuka di sini yaitu mengapa nabi
terakhir dari sisi Allah Swt harus seorang nabi yang berbahasa Arab
sehingga kitabnya juga harus berbahasa Arab? Mengapa bukan bahasa
Persia, Inggris dan seterusnya?
Di sini kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin sebelum menjawab pertanyaan ini:
A. Tatkala
persoalan terkait dengan Nabi Pamungkas Saw maka harus ada beberapa
orang yang menerima pesan dan menjaganya dengan baik (faktor internal
yang menjaga).
B. Dari
sisi lain sebagian orang berada pada tataran ingin melenyapkan agama
dan para penjaganya, sebagaimana hal ini kita saksikan pada sejarah
seluruh nabi (faktor eksternal untuk mengubah). Karena itu, solusi untuk
berhadapan dengan dua faktor ini harus dipikirkan sebelumnya.
C. Dari
sisi lain, tidak mesti bahwa untuk menjaga agama dan Al-Qur'an harus
senantiasa—khususnya pascawafatnya Rasulullah saw—melalui mukjizat dan
tindakan-tindakan adikodrati.
Dengan
memerhatikan beberapa pendahuluan ini, sekarang mari kita alihkan
perhatian pada manusia dan lingkungan hidup mereka sehingga kita dapat
menyaksikan pada lingkungan dan kondisi yang mana beberapa poin berikut
ini cocok diterapkan:
Pertama:
Orang-orang Arab adalah orang-orang yang memiliki fanatisme tinggi
terhadap bahasa, cara, ajaran, metode sedemikian sehingga mereka tidak
bisa dipisahkan dari bahasa dan kebudayaan mereka. Bahkan hingga pada
masa kini mereka, meski dengan adanya serangan propaganda globalisme,
tidak rela melepaskan pakaian (jubah) tradisional mereka (faktor
internal).
Kedua:
Orang-orang Arab Hijaz tidak hanya tidak melepaskan bahasa ibu mereka
melainkan sepanjang sejarah, tiada satu pun pemerintahan atau penguasa
asing yang mampu memaksa mereka untuk melupakan bahasa mereka. Artinya, mereka tidak menerima pengaruh dari luar (tiadanya faktor eksternal untuk mengubah budaya orang Arab ini).
Ketiga: Bahasa orang-orang Arab Hijaz dengan banyaknya kata ganti (dhamir, pronomina), perbedaan kata ganti orang kedua tunggal, kata ganti orang pertama tunggal, jamak, perbedaan formula maskulin (mudzakkar) dan feminin (muannats),
ragam jumlah kalimat jamak, kata kiasan, dan seterusnya merupakan
beberapa keunggulan bahasa Arab dalam mengekspresikan banyak persoalan
dalam bahasa yang sederhana tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan.
Dengan
memerhatikan beberapa poin di atas, untuk menjaga kelestarian agama
pamungkas dan kitabnya, Semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan
sebaik-baik jalan untuk membela agama secara natural dan non-adikodrati.
Al-Qur'an dengan aneka macam daya tarik internalnya, irama dan
bacaannya, membuka benak orang-orang Arab Badui yang mencintai
ucapan-ucapan yang sarat makna dan fasih dan terpelihara dari ragam
jenis penyimpangan redaksional dan literal. Karena itu, diturunkannya
Al-Qur'an dalam bahasa Arab adalah untuk menjaga dan memelihara
kelestariannya.[3]
Namun, dapat dikatakan bahwa turunnya Al-Qur'an dalam bahasa Arab,
merupakan kemurahan dan anugerah bagi orang-orang yang berbahasa Arab.
Sekiranya diturunkan bukan dalam bahasa Arab, maka orang-orang yang
berbahasa Arab yang sangat berstrata tidak akan beriman kepadanya. Allah
Swt berfirman, Dan kalau Al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir), niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya (QS Al-Syu'ara [26]: 198-199) []
[1] Al-Mîzân (Terjemahan Persia), jil. 18, hal. 122-123.
[2] Nahj al-Balâghah, Khotbah 95.
[3] Fashlnâme-ye Bayyinât, No. 27, hal. 38-41.
No comments:
Post a Comment