أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Semua
yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan
kebesaran-Nya). Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Zahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia-lah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi
dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang
naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (Qs. Al-Hadid [57]:1-6)
Setelah
menerjemahkan ayat di atas, dalam menjawab pertanyaan di atas,
pertama-tama kami akan menjelaskan sebuah riwayat kemudian memberikan
analisa ringkas atas riwayat tersebut.
Hisyam
bin Hakam yang merupakan salah seorang murid Imam Shadiq As, menukil
bahwa seseorang bernama Abu Syakir Daishani, seorang penyembah dualism,
berkata kepadaku bahwa dalam al-Qur’an Anda terdapat sebuah ayat yang
menegaskan pemikiran kami yang berdasarkan penyembahan dualisme! Saya berkata, “Ayat yang mana?” Ia berkata, “Wa huwalladzi fi al-samâ ilahun wa fi al-ardh ilahun.”[1]
Artinya Dia adalah Tuhan (yang disembah) di langit dan Dialah Tuhan
(yang disembah) di bumi. (karena itu tampak ada dua tuhan). Saat itu aku
tidak menemukan jawaban untuk aku sampaikan hingga aku mengabarkan hal
ini kepada Imam Shadiq As pada hari-hari haji. Imam Shadiq As bersabda,
“Tatkala Anda pulang, tanyalah kepadanya bahwa siapa nama Anda di kota
Kufah? Maka ia akan menyampaikannya kepada Anda (namanya di kota Kufah)!
Kemudian tanya lagi siapa nama Anda di kota Basrah ? Tentu ia akan
mengulang nama yang sebelumnya telah disampaikan. Kemudian sampaikan
kepadanya Tuhan kami juga demikian adanya! Dia adalah Tuhan (yang
disembah) di langit dan Dia adalah Tuhan. Dia adalah Tuhan di laut dan
Tuhan di di sahara. Dia adalah Tuhan (yang disembah) di mana pun!”[2]
Dengan memperhatikan riwayat yang telah dijelaskan harap Anda perhatikan dua poin berikut ini:
Poin
pertama, riwayat lain yang menyoroti sebagian pertanyaan Anda yang
menjelaskan nukilan dari Allah Swt, “Bumi dan langit tidak dapat
memuatku. Namun aku termuat dalam hati hamba-Ku yang beriman.”[3]
Dengan asumsi bahwa hadis ini sahih,[4]
pertanyaan Anda adalah bahwa apabila Anda berkata kepada sahabat Anda
bahwa ia berada di hati Anda atau hatinya berdenyut untuk Anda makna
dari ucapan sarat cinta ini bahwa Anda menempatkan jasmani fisiknya
dalam hati Anda atau hati Anda menempati badannya dan mengalirkan darah
ke seluruh anggota badannya? Tentu saja tidak demikian adanya. Kalimat
seperti ini menunjukkan cinta yang melimpah Anda kepada sahabat Anda.
Dengan demikian, apabila Tuhan menjelaskan bahwa Aku termuat dalam hati
hamba-Ku yang beriman. Makna dari penjelasan Tuhan ini adalah bahwa
hamba tersebut memiliki hubungan akrab dan lekat dengan Tuhannya, bukan
bahwa Tuhan itu adalah jasmani yang menempati hati yang terangkum dalam
ruang dan waktu, melainkan harus diketahui bahwa Dia adalah Pencipta
ruang dan waktu yang memiliki tipologi material. Karena itu, tidak benar
mencirikan dan mendeskripsikan Tuhan dengan tipologi seperti ini.
Poin
kedua, pada konteks ini, arasy Tuhan tidak dapat ditafsirkan sebagai
sebuah tempat khusus yang diduduki Tuhan. Tuhan menjelaskan banyak
redaksi kalimat terkait dengan arasy.[5] Sekali waktu, menyebut diri-Nya sebagai Tuhan pemilik arasy”[6] Pada ayat lainnya dengan menyebut dirinya “pemilik arasy.”[7] dan terkadang duduk di atas arasy.”[8]
Jelas
bahwa kita tidak dapat menafsirkan “arasy” pada seluruh ayat di atas
dengan satu penafsiran tunggal. Mengikut Allama Majlisi, redaksi
“arasy”, harus diperhatikan konteks penggunaan kalimatnya. Dengan
memperhatikan konteks penggunaan kalimatnya maka makna khusus (kalimat)
itu dapat dipahami. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki pengetahuan tingkat tinggi tentang ketuhanan.”[9]
Atas
dasar itu, dengan memperhatikan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab yang tidak seperti bahasa-bahasa lainnya, di samping ia memiliki
makna primer dan hakiki ia juga memiliki makna sekunder dan kiasan, maka
harus dicermati penggunaan redaksi “istawa ‘ala al-arsy” yang terdapat dalam al-Qur’an dan menjadi sumber ketidakjelasan Anda.
Beberapa makna dapat digambarkan atas kalimat “istawa ‘ala al-arsy” ini:
Dalam kamus-kamus Arab, terdapat beberapa makna penggunaan “istawa.” Di antaranya, duduk, naik ke atas, muncul, menguasai dan seterusnya…[10] Jelas bahwa seluruh makna ini tidak dapat menjadi dalil bahwa tempat dan kedudukan Tuhan disebut sebagai arasy!
Coba Anda cermati sedikit syair berikut ini yang digunakan dalam menafsirkan salah satu makna “istawa,”
Qad istawa Basyar ‘ala al-Irâq
Min ghairi shaif wa dam Mahrâq
Seseorang bernama Basyar telah menguasai Irak
Tanpa menggunakan pedang dan menumpahkan darah
Apakah penggunaan redaksi “istawa” pada syair ini menunjukkan bahwa panglima perang itu, menempati seluruh negeri Irak?
Tafsir
seperti ini tidak dapat diterima sekali-kali oleh mereka yang belajar
sastra Arab. Karena itu, dengan memperhatikan kaidah-kaidah sastra dan
tafsir maka tafsir istawa ‘ala al-arasy yang disebutkan pada ayat-ayat di atas bermakna sebuah tempat yang diduduki Tuhan di dalamnya sekali-kali tidak dapat diterima.
Boleh
jadi pertanyaan yang kemudian hadir dalam benak Anda, bahwa karena kita
memandang Tuhan sebagaimana entitas-entitas dan makhluk-makhluk
material lainnya, maka semestinya Dia harus mendiami ruang dan waktu
lain selain hati dan arasy lalu bertanya dimanakah Dia gerangan berada?
Jawaban
sederhana dan globalnya bahwa Tuhan bukan dari jenis materi sehingga
Dia memerlukan tempat. Mengingat sepanjang sejarah, banyak orang
berhadapan dengan keburaman ini dan bahkan orang-orang beriman juga
banyak menyalahkan diri sendiri untuk dapat memahami secara akurat
persoalan ini maka kami memandang perlu menyampaikan beberapa persoalan
penting sebagai berikut:
Apabila
kita melakaukan pelancongan terhadap al-Qur’an dan riwayat maka kita
akan mendapatkan poin ini bahwa orang lebih banyak memperkenalkan Tuhan
melalui jalan berpikir dan berkontemplasi serta bagaimana Tuhan
mengelola alam semesta ketimbang menetapkan bagaimana Tuhan berikut
tipologi-Nya itu kepada masyarakat.[11]
Suatu
waktu Rasulullah Saw berhadapan dengan sebuah kelompok yang sedang
berpikir. Rasulullah Saw bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian
pikirkan?” Mereka menjawab kami sedang memikirkan tentang
ciptaan-ciptaan Tuhan! Sembari menyokong perbuatan mereka, Rasulullah
Saw menganjurkan kepada mereka untuk melanjutkan cara seperti ini dan
menghindar untuk memikirkan Tuhan itu sendiri.”[12]
Imam
Askari As juga dalam menjawab pertanyaan salah satu sahabatnya tentang
bagaimana Tuhan itu, pertama-tama menjelaskan bahwa Tuhan tidak
menghendaki kalian untuk bertanya seperti itu. Kemudian Imam Askari
memberikan penjelasan dalam kaitannya dengan Tuhan.[13]
Bagaimanapun tema ini tidak terkhusus pada masalah ini saja, melainkan juga termasuk pengetahuan manusia demikian adanya:
Meski
kita meyakini adanya miliaran galaksi yang masing-masing mengandung
jutaan bintang dan kita tidak memiliki secuil pun keraguan tentangnya
namun apabila tanpa melalui pendahuluan-pendahuluan ilmu perbintangan
dan bahkan dengan melaluinya sekali pun, apabila kita ingin konsentrasi
memikirkan bagaimana penciptaan satu-satu galaksi-galaksi dan
bintang-bintang tersebut maka kita berhadapan dengan sebuah dunia yang
penuh ketakjuban dan keheranan sedemikian sehingga tidak ada pekerjaan
yang kita lakukan, meski seluruhnya adalah ciptaan Tuhan yang tidak
seorang pun punya hubungan dengannya, maka kita tidak akan memperoleh
ilmu yang sempurna.[14]
Namun
demikian, harap diperhatikan bahwa seluruh apa yang disampaikan di atas
tidak bermakna bahwa hal ini merupakan larangan adanya riset dan
berpikir tentang Tuhan secara keseluruhan, melainkan orang-orang yang
memiliki kemampuan tinggi, baik dari sisi keilmuan dan spiritualitas,
dapat melakukan hal ini dengan memperhatikan syarat-syarat dalam hal
ini.
Harap Anda perhatikan riwayat di bawah ini:
“Imam
Sajjad As ditanya tentang makrifatullah. Beliau menjawab bahwa di akhir
zaman akan datang orang-orang yang jeli dan berpikir sublim mengetahui
dengan baik tafsiran surah Tauhid dan juga ayat-ayat surah al-Hadid yang
menyinggung tipologi Tuhan (ayat-ayat yang dijelaskan pada pendahuluan
di atas).” [15]
Dengan
kata lain, apabila bukan karena mereka, ayat-ayat ini tidak akan
diturunkan. Kaum Muslimin yang semasa dengan Rasulullah Saw dan para
Imam Maksum tidak mampu memahami makna hakiki ayat-ayat ini!
Atas
dasar itu, meski kami tidak melarang secara mutlak pemikiran akurat,
subtil dan sublim tentang Tuhan berikut tipologi wujud-Nya namun harus
dikatakan orang-orang beriman secara umum tidak diminta untuk bersikap
jeli dan teliti dalam hal ini. Mereka juga rata-rata tidak mampu untuk
melakukan hal itu. Hanya bagi orang-orang yang telah menyiapkan pelbagai
pendahuluan yang lumayan pelik memiliki hubungan maknawi yang kuat
dengan Tuhan. Selain itu, masuknya orang lain dalam hal ini tidak akan
memberikan kegunaan dan faidah bagi mereka kecuali kebingungan dan
ketercengangan.
[1]. (Qs. Al-Zukhruf [43]:84)
[2]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 128, hadis 10, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 55, hal. 39, Muasssah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[4]. Karena riwayat ini tidak memiliki sanad-sanad muktabar yang dapat dijadikan sebagai sandaran.
[5]. Terkait dengan makna arasy dan kursi, kami persilahkan Anda melihat Pertanyaan No. 245 (Site: 2004) dan No. 60 (Site: 296).
[6].
(Qs. Al-Taubah [9]:129); (Qs. Al-Anbiya [21]:22); (Qs. Al-Mukminun
[23]:86 & 116); (Qs. Al-Naml [27]:26); (Qs. Al-Zukhruf [43]:82), Rabb al-Arsy ‘amma yashifun.
[7]. (Qs. Al-Ghafir [40]:15); (Qs. Al-Buruj [85]:15); (Qs. Al-Isra [17]:42); (Qs. Al-Ankabut [29]:20).
[8].
(Qs. Al-A’raf [7]:54); (Qs.Yunus [10]:3); (Qs. Al-Ra’ad [13]:3) (Qs.
Thaha [20]:5); (Qs. Furqan [24]:59); (Qs. Al-Sajdah [32]:4); (Qs.
Al-Hadid [57]:4)
[9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 55, hal. 31.
[10]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 14, hal. 414.
[11].
(Qs. Ali Imran [3]:191); (Qs. Yunus [10]:24); (Qs. Al-Ra’ad [13]:3);
(Qs. Al-Nahl [16]:11 dan 69); (Qs. Al-Rum [30]:21); (Qs. Al-Zumar
[35]:42); (Qs. Al-Mulk [67]:3-4) dan puluhan ayat lainnya.
[12]. Warram bin Abi Firas, Majmû’e Warrâm, jil. 10, hal. 250, Intisayarat-e Maktabat al-Faqih, Qum, tanpa tahun.
[13]. Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 260, hadis 10.
[14]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 103, hal. 12.
[15]. Ibid.
No comments:
Post a Comment