أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Oleh karena itu, para malaikat, nabi dan washi (baca: imam) bertugas untuk menyampaikan kehendak tersebut kepada manusia. Kehendak tasyri'iyya Ilahi ini dipersembahkan kepada manusia tanpa ada kekurangan dan kelebihan. Dan pada kerangka yang diberikan Tuhan kepada para nabi dan imam, mereka menafsirkan dan menerangkannya kepada manusia. Namun pada tataran operasional kehendak ini, manusia dapat memilih untuk mentaatinya atau menentangnya. Dengan demikian, manusia dapat menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Ilahi dan ridha dengan kehendak takwini dan tasyri'i Ilahi, sehingga dengan memilih mentaati kehendak Ilahiah ini, manusia dapat mengukir kebahagiaan pamungkas dan layak untuk meraup kesejahteraan dan kehidupan ukhrawi yang menyenangkan. Sehingga sedemikian kehendak mereka dipenuhi dengan cepat oleh Allah Swt. "Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar." (Qs. Syura [42]:22)[4]
Dan lantaran mereka lebih memilih keridhaan Tuhan atas keridhaanya sendiri, Allah Swt pun ridha kepada mereka sehingga sedemikian Dia memberikan segala yang dikehendaki di surga dan hari Kiamat sehingga mereka juga ridha kepada diri dan perbuatan serta Tuhan mereka. Sebagaimana dalam firman Allah Swt, "Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya." (Qs. Al-Bayyinah [98]:8)[5]
Dengan demikian manusia dengan pilihan dan kebebasannya sendiri dapat memilih untuk sejalan dengan kehendak Tuhan dan ridha kepada keridhaan takwini dan tasyri'i Ilahi. Tidak berkehendak dan menuntut selain dari yang dikehendaki dan diterima Tuhan baginya.[6]
Oleh karena itu, kehendak takwini dan tasyri'i Ilahi sejalan dengan kehendak manusia. Kehendak manusia ini dan kekuasaannya sesuai dengan kehendak takwini Ilahi yang dianugerahkan kepadanya. Keberadaan dan kehendaknya berada dalam lintasan vertikal keberadaan Allah Swt. Dan bersatunya dua kehendak ini sama sekali tidak bermasalah dan bukan merupakan suatu hal yang mustahil. Karena berkumpulnya dua kehendak ini bukan berkumpulnya dua sebab lengkap (illat tam) atas satu akibat dan juga bukan menafikan kebebasan manusia, melainkan karena Tuhan memberikan izin berkehendak dan pilihan manusia memilih jalannya sendiri yang juga sejalan dan selaras dengan kehendak Ilahi.
Apabila manusia bermaksiat dan menyelisih kehendak tasyri'i Ilahi serta melakukan perbuatan yang mengundang murka Tuhan, kembali dengan pilihan dan kebebasannya ia mengambil jalan ini sehingga akibat buruk yang akan menantinya. Namun penentangan manusia ini tetap tidak keluar dari kehendak takwini Ilahi. Karena Allah Swt dengan kehendak takwini-Nya menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dan mampu membangkang dari kehendak tasyri'i Ilahi yang diberikan kepadanya.
Berangkat dari sini, pelanggaran manusia ini tidak bermakna dominasi kehendak manusia atas kehendak Ilahi atau terkalahkannya kehendak Ilahi. Lantaran kapan saja Allah menghendaki, Dia dapat mencabut kemampuan dan kehendak ini dari manusia pendosa dan atas alasan ini Allah Swt berfirman: "Apakah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan mengalahkan (kekuatan) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu." (Qs. Al-Ankabut [29]:4)[7]
Keinginan manusia
berada pada lintasan vertikal kehendak Ilahi. Dengan demikian keinginan
manusia bergantung kepada kehendak Tuhan dan tidak dapat mandiri dan
tak-membutuhkan Tuhan. Sebagaimana terdapat banyak ayat yang menandaskan
hal ini. Misalnya, "Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam. (Qs. Al-Takwir [81]:29) "Dan kamu tidak mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah." (Qs. Al-Insan [76]:30)
Tentu saja
perkara ini, sekali-kali tidak bertentangan dengan kebebasan dan
pilihan manusia serta tanggung jawab yang diembannya di hadapan pelbagai
pikiran, niat dan seluruh perbuatannya. Karena manusialah yang berperan
sebagai pelaku langsung niat, pilihan dan perbuatannya, dengan
memanfaatkan kekuatan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Oleh
karena itu, dalam banyak ayat lainnya, disebutkan bahwa
perbuatan-perbuatan para pelaku naturalnya adalah manusia.
Perbuatan-perbuatan tersebut disandarkan kepada manusia dan memandangnya
sebagai yang bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Sebagai
hasilnya, ayat tersebut menentukan taklif baginya dan memberikan janji
dan ancaman kepadanya. Misalnya dalam salah satu ayat disebutkan, " Dan bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Qs. Al-Najm [53]:29) Atau pada ayat lainnnya, "Barang
siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya
sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhan-mu menganiaya
hamba-hamba-(Nya)." (Qs. Al-Fusshilat [41]:46)
Dan
sekiranya manusia mandiri secara mutlak, maka hal ini bertolak belakang
dengan tauhid perbuatan dan kebutuhan seluruh maujud kepada Tuhan. Dan
apabila manusia terpaksa dan segalanya disandarkan kepada Tuhan dan
manusia dalam hal ini tidak melakukan apa pun, maka hal ini
berseberangan dengan perintah, larangan, janji, ancaman, keadilan dan
hikmah Ilahi. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur'an harus dikumpulkan dan
sebagian dijadikan sebagai penafsir ayat lainnya sehingga kita tidak
terpeselet dalam kubangan determinisme atau freewill mutlak.
Untuk menjelaskan masalah ini, kiranya kita perlu memperhatikan dua poin berikut ini:
A. Klasifikasi berkumpulnya pelbagai sebab atas akibat tunggal
Berkumpulnya
pelbagai sebab atas satu akibat dapat diasumsikan dalam beberapa sisi.
Dalam ditemukannya satu fenomena boleh jadi hanya memiliki satu sebab;
seperti Allah Swt menciptakan fenomena secara langsung tanpa pengaruh
dan keikutsertaan atau kebutuhan kepada mumkin (baca makhluk), atau
ketergantungan pelbagai fantasi manusia kepada nafs-nya. Demikian juga
boleh jadi munculnya fenomena, terdapat beberapa sebab yang beragam.
Asumsi ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Sebab-sebab
dalam bentuk "keikutsertaan" termasuk di dalamnya, dimana dalam
terminologinya, satu per satu dari sebab itu disebut sebagai "sebab tak
lengkap" (illat naqidh) dan secara keseluruhan dari sebab tersebut disebut sebagai sebab lengkap (illat tam).
Misalnya pengaruh air, cahaya, panas, biji, tanah dan petani dan
sebagainya dalam tumbuhnya sebuah tanaman. Dalam asumsi ini bersatunya
sebab-sebab tersebut bukan saja tidak mungkin tapi keseluruhan
sebab-sebab itu dan keikutsertaannya merupakan syarat yang harus ada
bagi kemunculan akibatnya.
2. Dalam
bentuk alternatif dan bertukar-tempatnya memiliki peran dan pengaruh.
Misalnya berpengaruhnya mesin pesawat dalam gerakan berkesinambungannya
hingga sampai kepada tujuan, sedemikian sehingga dengan habisnya
kekuatan satu mesin dan matinya mesin tersebut, mesin lainnya
menggantikan tempatnya bekerja dan dengan transformasi energinya,
berproses gerakan tanpa henti pesawat hingga mencapai tujuan.
Dalam
asumsi ini juga kerja sama dan bergabungnya seluruh sebab, bukan saja
tidak dapat dihindari, yang diperlukan untuk bertahannya sebab, namun
dalam asumsi ini, tidak ada satu pun ketergantungan tertentu antara
sebab-sebab yang ada. (berbeda dengan asumsi ketiga).
3. Sebab-sebab,
dalam memberikan pengaruh masing-masing bergantung satu dengan yang
lain, namun dalam keberadaan dan kemunculannya tidak berurutan satu
dengan yang lain. Misalnya pengaruh kehendak, niat, gerakan tangan dan
sebagainya dalam munculnya sebuah tulisan atau kepatuhan para serdadu
kepada komandannya yang memiliki pengaruh.
Dalam
asumsi ini, keikusertaan sebab-sebab antara satu dengan yang lain dan
ketergantungan pengaruhnya atas yang lain, terjadi tanpa dapat
dihindari.
4. Pengaruh
dua himpunan sebab-sebab, yang dalam terminologinya disebut sebagai
berkumpulnya "dua sebab lengkap" atas akibat tunggal dari satu sisi dan
dimensi. Misalnya seluruh tulisan khusus atas satu bagian tertentu
kertas yang dilakukan oleh dua penulis, ditulis pada saat yang sama,
atau satu tanaman tertentu yang tumbuh pada saat yang sama dari kumpulan
sebab-sebab (tanah, petani, biji, air dan sebagainya).
Dalam asumsi ini, "tamânu''"
akan muncul dan jelas hal ini merupakan suatu yang mustahil. Karena
perbuatan masing-masing sebab itu, tidak menjadi penghalang perbuatan
lainnya. Oleh karena itu, sebab lain apakah ia sama sekali tidak
berpengaruh, maka berbeda dengan asumsi asli yaitu bersatunya dua sebab
mandiri, atau keduanya penggangu perbuatan lainnya, dan sama sekali
tidak terdapat perbuatan dan tidak akan timbul sebuah fenomena sehingga
bersatu dengan munculnya sebuah perbuatan. Dengan demikian, karena
asumsi ini, merupakan asumsi-asumsi yang mustahil secara esensial, maka
asumsi seperti sekali-kali tidak memiliki instanta luaran (mishdâq).
5. Pengaruh
beberapa kumpulan sebab secara vertikal atas satu sebab, sedemikian
sehingga dalam munculnya dan asli wujud juga masing-masing berlaku dan
bergantung atas satu dengan yang lain. Misalnya pengaruh kakek-kakek dan
nenek-nenek, ibu dan ayah bagi kelahiran seorang anak.
Dengan memperhatikan poin-poin di atas, harus ditentukan bahwa berkumpulnya sebab-sebab ('ilal) dan kepelakuan (fa'iliyyah)
dan kehendak Ilahi dengan sebab, pelaku seluruh maujud, di antaranya
sebab-akibat, kepelakuan dan kehendak manusia, termasuk dalam bagian
yang mana? Apabila berkumpulnya sebab-sebab ini diasumsikan sesuai
dengan poin pertama, kedua dan ketiga, dan dimaknai kemandirian
eksitensial manusia dan maujud-maujud lainnya dari Tuhan, tentu hal ini
berseberangan dengan tauhid perbuatan dan dengan telaah lebih jeluk hal
ini tidak dapat diterima. Asumsi keempat juga tidak dapat diterima.
Karena hal-hal yang disebutkan tidak memiliki instanta luaran (mishdaq) dan tergolong sebagai mustahil secara esensial (muhâl dzatiyyah).
Dan mereka yang memandang mustahil berkumpulnya keinginan manusia dan
kehendak Tuhan pada satu perkara, memandangnya dari bagian ini.
Sementara manusia dengan memutus kebergantungannya kepada Tuhan
sekali-kali tidak akan mewujud sehingga memiliki kepelakuan lengkap (failiyyah tam) dan menjadi sebab sempurna (illah tam)
yang mensejajarkannya dengan Tuhan sehingga dari sisi ini bersatunya
kedua kehendak (manusia dan Tuhan) atas akibat tunggal adalah suatu hal
yang mustahil!
Sebagai
kesimpulannya, satu-satunya asumsi yang tersisa yaitu kehendak manusia
berada secara vertikal kehendak Tuhan. Dan kepelakuannya berada dalam
lintasan kepelakuan Tuhan secara vertikal.[1]
Untuk menjelaskan masalah ini bahwa berkumpulnya dua kehendak ini
terjadi secara vertikal sama sekali tidak berseberangan dengan kebebasan
dan kehendak manusia, maka kita harus memperhatikan bagian-bagian
kehendak Ilahi.
B. Sisi-sisi ungkapan dan penyebutan kehendak Ilahi[2] (Pelajaran 11)
Kehendak Ilahi secara umum dapat ditinjau dengan dua ungkapan. Kehendak esensial (iradah dzati) dan kehendak perbuatan (iradah fi'iliyah). Kehendak perbuatan terbagi menjadi dua, kehendak takwini dan kehendak tasyri'i.
1. Kehendak esensial (iradah dzatiyah):
Kehendak
esensial merupakan kehendak yang tanpa memandang makhluk dan hubungan
Tuhan dengannya disandarkan kepada Tuhan dan sifat dzat-Nya. Keniscayaan
kemandirian, tidak tertaklukannya Tuhan di hadapan yang lain, dan
tiadanya kebutuhan dzat Ilahi kepada makhluk-makhluk yang lain.
Dalam
tinjauan ini, manusia dan hubungannya dengan Tuhan tidak termasuk
sehingga berkumpulnya atau bersatunya kehendak Tuhan dan manusia dapat
digambarkan.
2. Kehendak fi'liyah
a. Kehendak fi'liyah Takwiniyah:
Kehendak Ilahiah mengkristal pada masalah qadha dan qadhar aini-Nya,[3]
yang berkmakna seluruh mekanisme yang berlaku di alam semesta terkait
bagaimana kemunculan dan operasionalnya, hingga pada akhirnya
terlaksanakan secara definitif, dan mengejewantah pada penciptaan
seluruh makhluk dengan pelbagai corak pada tingkatan yang beragam.
Pada
semesta keberadaan, kehendak Ilahi berkuasa atas seluruh maujud
termasuk manusia. Dan tiada satu pun maujud yang memiliki kehendak dan
kebebasan untuk menolak kekuasaan ini. Sebagaimana Allah Swt berfirman: "Kemudian
Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi, “Datang (dan berbentuklah) kamu dengan suka
hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang (dan berbentuk)
dengan suka hati.” (Qs. Fusshilat [41]:11) Dan juga firman-Nya, "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (Qs. Maryam [19]:29)
Berdasarkan
pada kehendak fi'liyah takwini Ilahiah manusia adalah maujud yang
dicipta dengan kebebasan dan kehendak. Manusia dalam hal ini tidak dapat
menafikan kebebasan dan kehendak yang dibenamkan pada dirinya. Suka
tidak suka ia harus berkehendak dan bebas, ia harus memilih jalannya
sendiri dan dengan pilihannya itu ia merenda harinya dan melukis
nasibnya. Sebagaimana manusia tidak bebas memilih kedua orang tuanya
atau bagaimana postur tubuhnya.
B. Kehendak fi'liyah tasyri'iyyah Ilahi:
Kehendak
ini adalah penetapan hukum oleh Tuhan bagi manusia yang bebas dan
berkehendak. Sejatinya tasyri' dan penetapan hukum bagi manusia tiada
satu pun makhluk yang bersekutu dengan Tuhan. Dan tiada yang
membantu-Nya untuk mengganti dan mengubahnya hingga disampaikan kepada
manusia.Oleh karena itu, para malaikat, nabi dan washi (baca: imam) bertugas untuk menyampaikan kehendak tersebut kepada manusia. Kehendak tasyri'iyya Ilahi ini dipersembahkan kepada manusia tanpa ada kekurangan dan kelebihan. Dan pada kerangka yang diberikan Tuhan kepada para nabi dan imam, mereka menafsirkan dan menerangkannya kepada manusia. Namun pada tataran operasional kehendak ini, manusia dapat memilih untuk mentaatinya atau menentangnya. Dengan demikian, manusia dapat menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Ilahi dan ridha dengan kehendak takwini dan tasyri'i Ilahi, sehingga dengan memilih mentaati kehendak Ilahiah ini, manusia dapat mengukir kebahagiaan pamungkas dan layak untuk meraup kesejahteraan dan kehidupan ukhrawi yang menyenangkan. Sehingga sedemikian kehendak mereka dipenuhi dengan cepat oleh Allah Swt. "Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar." (Qs. Syura [42]:22)[4]
Dan lantaran mereka lebih memilih keridhaan Tuhan atas keridhaanya sendiri, Allah Swt pun ridha kepada mereka sehingga sedemikian Dia memberikan segala yang dikehendaki di surga dan hari Kiamat sehingga mereka juga ridha kepada diri dan perbuatan serta Tuhan mereka. Sebagaimana dalam firman Allah Swt, "Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya." (Qs. Al-Bayyinah [98]:8)[5]
Dengan demikian manusia dengan pilihan dan kebebasannya sendiri dapat memilih untuk sejalan dengan kehendak Tuhan dan ridha kepada keridhaan takwini dan tasyri'i Ilahi. Tidak berkehendak dan menuntut selain dari yang dikehendaki dan diterima Tuhan baginya.[6]
Oleh karena itu, kehendak takwini dan tasyri'i Ilahi sejalan dengan kehendak manusia. Kehendak manusia ini dan kekuasaannya sesuai dengan kehendak takwini Ilahi yang dianugerahkan kepadanya. Keberadaan dan kehendaknya berada dalam lintasan vertikal keberadaan Allah Swt. Dan bersatunya dua kehendak ini sama sekali tidak bermasalah dan bukan merupakan suatu hal yang mustahil. Karena berkumpulnya dua kehendak ini bukan berkumpulnya dua sebab lengkap (illat tam) atas satu akibat dan juga bukan menafikan kebebasan manusia, melainkan karena Tuhan memberikan izin berkehendak dan pilihan manusia memilih jalannya sendiri yang juga sejalan dan selaras dengan kehendak Ilahi.
Apabila manusia bermaksiat dan menyelisih kehendak tasyri'i Ilahi serta melakukan perbuatan yang mengundang murka Tuhan, kembali dengan pilihan dan kebebasannya ia mengambil jalan ini sehingga akibat buruk yang akan menantinya. Namun penentangan manusia ini tetap tidak keluar dari kehendak takwini Ilahi. Karena Allah Swt dengan kehendak takwini-Nya menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dan mampu membangkang dari kehendak tasyri'i Ilahi yang diberikan kepadanya.
Berangkat dari sini, pelanggaran manusia ini tidak bermakna dominasi kehendak manusia atas kehendak Ilahi atau terkalahkannya kehendak Ilahi. Lantaran kapan saja Allah menghendaki, Dia dapat mencabut kemampuan dan kehendak ini dari manusia pendosa dan atas alasan ini Allah Swt berfirman: "Apakah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan mengalahkan (kekuatan) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu." (Qs. Al-Ankabut [29]:4)[7]
Kesimpulan yang dapat dipetik ihwal kehendak takwini dan tasyri'i
ini adalah bahwa manusia tidak memiliki kehendak dari dirinya sendiri
sehingga masalah bersatunya dua kehendak dapat mengemuka. Dalam
pelaksanaan kehendak tasyri'i, kehendak manusia, secara takwini,
berada secara vertikal pada lintasan kehendak Ilahi. Apabila ia menuruti
kehendak Ilahi, dengan pilihannya sendiri, maka kehendaknya akan
selaras dengan kehendak Ilahi dan ridha kepada kehendak takwini Ilahi. Dan dengan pilihan baik ini, pada akhirnya manusia akan meraup kebahagiaan hakiki. Namun
apabila manusia memilih untuk bermaksiat yaitu tidak menjadikan
kehendak Ilahi menjadi kehendaknya, maka akibat yang akan ia peroleh
tidak lain kecuali kerugian dan malapetaka serta tidak akan secuil pun
menciderai Tuhan dan penciptaan. Karena Allah Swt sesuai dengan kehendak
takwini-Nya, memberikan kemampuan (kebebasan) untuk berkehendak
membangkang atau bermaksiat kepada kehendak tasyri'i
Ilahi. Akan tetapi manusia dengan pilihan buruknya, tidak mengindahkan
peringatan-peringatan dan menjadikan dirinya sebagai sasaran kemurkaan
Tuhan, kendati ia berpikir dengan congkak bahwa maksiat ini mengalahkan
kehendak Ilahi dan lebih dominan atas kekuasaan-Nya namun sejatinya
tidaklah demikian. Karena manusia sekali-kali (bahkan ketika bermaksiat)
tidak dapat keluar dari wilayah kekuasaan, pemerintahan, kehendak Tuhan
dan tidak membutuhkan Tuhan!
Di sini Allah Swt berfirman, "Di
mana saja kamu berada, kematian akan mengejarkamu, kendati pun kamu
berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka (kaum
munafikin) memperoleh kebaikan (dan kemenangan), mereka mengatakan, “Ini
adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana (dan
kekalahan), mereka mengatakan, “Hal ini berasal dari dirimu (Muhammad).”
Katakanlah, “Semuanya (berasal) dari sisi Allah.” Maka mengapa
orang-orang (munafik) itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan
sedikit pun? Setiap
nikmat yang kamu peroleh, maka hal itu berasal dari Allah, dan setiap
bencana yang menimpamu, maka semua itu berasal dari (kesalahan) dirimu
sendiri." (Qs. Al-Nisa [4]:78-79)
Tentu
saja kita akui bahwa gambaran permasalahan hubungan kebebasan manusia
dan kehendak Ilahi dan sistem semesta keberadaan yang bersifat tetap merupakan
gambaran permasalahan yang cukup pelik. Oleh karena itu, mereka yang
membelakangi wahyu dan maktab Ahlulbait As, maka mereka terjerumus dalam
kubangan tafrith (ekstrem) yang memandang bahwa segalanya diserahkan kepada manusia sebagaimana Mu'tazilah sehingga mereka disebut sebagai mufawwidha (delegasi total Tuhan kepada manusia) Atau terpuruk dalam lumpur ifrath
yang meyakini bahwa manusia tidak melakukan sesuatu apa pun dan
terpaksa tanpa kehendak dan hak untuk memilih sebagaimana Asya'irah.
Namun yang sebenarnya dan merupakan jalan lurus adalah amr bain al-amrain (perkara di antara dua perkara, in between). Tidak jabr (Asya'irah) juga tidak tafwidh (Mu'tazilah), melainkan kehendak takwini Ilahi dan kehendak fi'liyah (perbuatan) manusia yang bersatu secara vertikal. Apabila manusia mentaati kehendak tasyri'i
Ilahi maka kehendak itu disejalankan dengan kehendaknya. Dan apabila
manusia bermaksiat, kehendak dan perbuatannya itu menjadi sasaran
kemurkaan Tuhan. Namun hal ini tidak bermakna bahwa ia keluar dari
pemerintahan dan kekuasaan Ilahi atau menangnya kehendaknya atas
kehendak Ilahi, melainkan hanya bermakna keluarnya manusia dari rahmat
Ilahi yang merupakan hasil dari pilihan bururuk dan kebebasan serta
kehendaknya.
Untuk telaah lebih jauh:
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesh Aqâ'id (Iman Semesta)
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Qur'an jil. 1-3, Muassasah-ye Dar Rah-e Haq, cap-e duwwum, 1367, hal. 33-147, 195-212, 293-374
[1]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy-e Aqaid, pelajaran 19. Anda dapat merujuk terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia, Iman Semesta terbitan Al-Huda Jakarta.
[2]. Ibid, pelajaran 11
[3] . Ibid.
[4]. Atau pada surah lainnya, "Mereka
di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan di sisi Kami ada
tambahan (rezeki lain yang belum pernah terpikirkan oleh siapa pun)." (Qs. Qaf [50]:35) "(yaitu)
surga ‘Adn yang mereka masuki, di bawahnya mengalir sungai-sungai, di
dalam surga itu mereka memperoleh segala apa yang mereka kehendaki.
Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa." (Qs. Al-Nahl [16]:31) "Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik." (Qs. Al-Zumar [39]:34) "Di
dalam surga itu mereka mendapatkan apa yang mereka kehendaki, sedang
mereka kekal (di dalamnya). (Hal itu) adalah janji pasti yang telah
diberikan oleh Tuhanmu." (Qs. Al-Furqan [25]:16)
[5]. Atau pada surah lainnya, "Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap-Nya." (Qs. Al-Mujadalah [58]:22), "Allah
rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan
yang besar." (Qs. Al-Taubah [9]:100), "Bagi
mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya; Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida
terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah [5]:119)
[6].
"Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah,
Tuhan semesta alam." (Qs. Al-Takwir [81]:29), "Dan kamu tidak mampu
untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah." (Qs. Al-Insan
[76]:30)
[7]. Atau pada ayat,
"Dan orang-orang yang zalim di antara mereka akan ditimpa akibat buruk
dari usahanya dan mereka tidak dapat melepaskan diri (dari kekuasaan
Ilahi)." (Qs. Zumar [58]:51)
No comments:
Post a Comment