أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
1.Makna arsy.
“Arsy” secara leksikal bermakna segala sesuatu yang mempnyai atap.[1] Dengan itu maka saung, cadur (sejenis kerudung), kemah, atap gubuk (biasanya di tengah sawah), loteng, istana, dan bangunan di atas selokan dinamakan arsy.[2] Terkadang diartikan dengan singgasa berkaki tinggi. Karena itu singgasana kerajaan dan pemerintahan dinamakan pula dengan arsy.[3] Hal itu sebagai kiasan dari kekuasaan dan pemerintahan.
Arsy dalam Al-Qur’an.
Kata arsy sebanyak 26 kali disebutkan di dalam Al-Qur’an.[4] Dan biasanya yang dimaksud adalah arsy Tuhan. Di dalam beberapa tempat bermakna langit atau atap, seperti firman Allah Swt: “…yang tembok-temboknya runtuh di atas atap-atapnya”.[5] Atau bermakna tahta kerajaan, seperti firman-Nya: “kemudian dia mendudukkan ayah dan ibunya di atas arsy”.[6] Dan firman-Nya: “Siapakah diantara kalian yang mampu memindahkan arsy-nya kesini...”[7] Terkadang diartikan juga dengan ketinggian.[8] Yang menjadi topik pembahasan kita adalah arsy Tuhan.
Arsy Tuhan.
Pertanyaan mengenai “arsy dan kursi ” itu apa? Para ulama dan mufassir berbeda pandangan dalam memberikan jawabannya. Secara global jawaban para ulama terbagi menjadi dua bagian.
1-1.Sebagian ulama salaf mengangap bahwa membahas masalah-masalah hakikat agama dan melewati makna lahiriah Kitab dan Sunnah adalah sesuatu yang bid’ah dan haram. Mereka mengatakan: “Kita tidak mungkin akan dapat memahami dan menjangkau arsy dan kursi Allah Swt, yang kita pahami hanyalah namanya saja”. Ayat-ayat semacam ini -menurut mereka- termasuk ayat-ayat mutasyabihat, tidak boleh dibahas dan ditafsirkan secara serampangan. Sekarang, sebagaimana telah jelas bahwa akal dan juga Al-Qur’an dan Sunnah -yang bertentangan dengan akidah mereka- sangat menganjurkan dan menekankan agar umat Islam merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an, memahaminya secara serius dan berhujjah dengan hujjah aqli. Bagaimana mungkin dengan adanya dorongan dan anjuran dalam mukaddimah-mukaddimah semacam ini, kemudian mereka dilarang untuk menetapkan hasilnya?[9]
1-2. Para ulama yang membolehkan membahas masalah arsy ini dalam lingkup agama terbagi kepada empat kelompok:
a. Kelompok yang mengartikan secara lahiriah dengan kaku mengatakan bahwa arsy itu merupakan makhluk yang mempunyai wujud luar yang betul-betul mirip dengan tahta dan singgasana yang memilki beberapa kaki. Kaki-kaki itu bersandar pasa langit yang ketujuh. Dan Tuhan tak ubahnya seperti seorang raja yang tengah duduk di singgasana-Nya tersebut. Dari tahta kerajaann-Nya inilah dia mengatur segala urusan hamba-Nya.
b. Ulama yang berpendapat bahwa arsy itu mempunyai wujud luar sebagai sebuah makhluk Tuhan. Tetapi dalam hal mishdaq dan wujud riilnya berbeda dengan pandangan ulama pertama. Mereka mengatakan bahwa arsy adalah planet yang kesembilan yang meliputi alam materi dan sebagai pembatas arahnya. Dan karena ia kosong dari bintang-bintang, maka ia dinamakan atlas.[10] Sedang kursi Tuhan adalah planet kawakib. Pandangan ini berdasarkan riwayat yang datang dari Rasulullah Saw yang menegaskan: “Langit-langit dan tujuh lapis bumi tidak terletak di samping kursi . Tetapi ia laksana lingkaran yang terhampar di padang sahara yang luas”[11].
c. Pandangan ketiga ini berbeda dengan pandangan sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arsy dan kursi Tuhan adalah sebagai makna kinayah dan tidak mempunyai bentuk dan wujud luar yang nyata. Apa maksud makna kinayah yang mereka katakan? Terdapat berbagai maksud dan arti. Terkadang mereka memaknainya sesuai dengan sebuah hadis yang dinukil oleh Hafsh bin Ghiyas dari Imam maksum As. Kepada Imam Shadiq As dia bertanya mengenai tafisr ayat yang berbunyi “Wasi’a kursi yyuhu as-samawati wal ardh” (Kursi -Nya seluas langit-langit dan bumi). Imam Shadiq As menjawab: “Maksudnya adalah ilmu-Nya”.[12] Mereka mengatakan maksudnya adalah ilmu Allah yang tidak bertepi.
Dan terkadang pula mereka memaknainya berdasarkan ayat mulia yang berbunyi: “Tsummastawa alal arsy”[13] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy). Atau ayat yang berbunuyi: “Ar-Rahmanu ‘alal arsyistawa”[14] (Tuhan yang Mahasayang bersemayam di atas singgasana-Nya). Yaitu bermakna kekuasaan dan kerajaan Tuhan. Terkadang pula dimaknai dengan sifat kamaliyah (kesempurnaan) dan sifat jalaliyah (keagungan) Tuhan. Karena masing-masing dari sifat terebut menjelaskan keagungan maqam Allah Swt, sebagaimana pula tahta kerajaan para raja itu menunjukkan kebesaran mereka.
d. Pandangan yang keempat, dari satu sisi sama dengan pandangan pertama dan kedua. Yaitu bahwa arsy memiliki wujud hakikat (wujud luar yang riil). Dalam hal ini berbeda dengan pandangan yang ketiga. Tetapi dari sisi lainnya, pandangan ini sama dengan pandangan yang ketiga. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan arsy adalah makna kinayah. Dan dalam hal ini berbeda dengan pandangan pertama dan kedua. Dan ini adalah pendapat para ulama kontemporer seperi Allamah Thabathaba’i. Berdasarkan pandangan ini bahwa pada hakikatnya arsy adalah martabah tertinggi alam wujud yang merupakan sebab dan illat seluruh peristriwa, penciptaan dan semua asma. Dan mata rantai sebab-sebab dan illat itu mesti berakhir kepada martabah tersebut. Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa kalimat: “Tsummastawa alal ‘arsy”[15] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy) yang merupakan sebuah misal yang menggambarkan tentang luasnya pengaturan Allah Swt atas seluruh milik-Nya, juga menunjukkan suatu hakikat, yaitu sebuah maqam dan peringkat dimana kendali seluruh perkara dan urusan bertumpuk pada peringkat tersebut. Dan ayat yang berbunyi: “Dan Dialah Tuhan arsy yang agung”[16] dan ayat yang berbunyi: “…hamba-hamba yang memanggul arsy dan yang disekitarnya”[17] dan ayat-ayat lainnya, semuanya itu menunjukkan makna ini.[18]
2. Kursi .
Kursi bermakna tahta dan singgasana dan menurut pandangan masyarakat umum (urf) adalah nama sesuatu yang diduduki di atasnya.[19] Kata ini disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali yang keduanya bermakna tahta. Letak perbedaannya adalah bahwa salah satu mishdaq (wujud luar) urfi kursi adalah tahta dan singgasana Nabi Sulaiman As. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Dan sungguh telah Kami uji Sulaiman dan Kami lemparkan jasadnya ke atas kursi nya, kemudian dia pun kembali”.[20] Sedangkan sehubungan dengan tahta Tuhan bermakna kinayah yang merupakan hakikat wujud.[21]
Kursi Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan kursi dan singgasana Tuhan yang meliputi seluruh langit dan bumi itu?
Sebagaimana beberapa pandangan yang telah dijelaskan di atas tentang arsy, tentang kursi pun demikian pula dengan sedikit perbedaan. Penjelasan globalnya adalah demikian:
a. Pandangan kaum Musyabbihah adalah bahwa kursi dan arsy itu satu, yaitu tahta kerajaan Ilahi yang terletak di langit yang ke tujuh. Dari tahta inilah Dia mengatur seluruh urusan alam raya ini.
b. Pandangan sekelompok ulama yang mengikuti dasar pemikiran Bethlamiyus. Mereka mengatakan bahwa kursi adalah planet kaukab. Sedangkan kursi adalah planet yang tertinggi.
c. Pandangan mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa kursi itu tidak mempunyai wujud hakiki. Ia hanyalah sebagai kinayah belaka. Kinayah itu adalah ilmu Tuhan atau kekuasaan dan kerajaan-Nya.
d. Pandangan para ulama kontemporer, seperti Allamah Thabathaba’i. Dan inilah pandangan yang kokoh dan benar. Berdasarkan pandangan ini bahwa kursi itu, disamping merupakan sebuah kinayah, tetapi mempunyai wujud hakiki yang nyata, yaitu satu martabah wujudi, maksudnya adalah ma qam rububi dimana seluruh maujud langit dan bumi tegak bedasarkan atasnya. Dengan demikian bahwa kursi adalah satu martabah dari martabah-martabah ilmu Ilahi dimana seluruh alam semesta ini tegak atasnya dan segala sesuatu tersimpan rapih dan tertulis di sana. Karena itu, arsy dan kursi -pada hakikatnya- adalah hal yang satu yang secara ijmali (global) dan tafshili (rinci) mempunyai dua peringkat. Dan ikhtilaf yang terdapat diantara keduanya hanyalah bersifat rutbi (urutan) dan keduanya merupakan hakikat wujudi. Tetapi tidak seperti apa yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa hal itu sebagai tahta Tuhan dan singgasana-Nya.[22] Riwayat-riwayat yang datang dari para Imam maksum pun secara kuat mendukung keabsahan pandangan ini. Sebagai contoh perhatikanlah beberapa riwayat berikut ini:
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, ketika memberikan jawaban atas pertanyaan Jaslik berkata: “Para Malaikat memanggul arsy Tuhan. Dan arsy Tuhan itu tidaklah seperti tahta kerajaan yang engkau bayangkan. Arsy Tuhan itu adalah berupa makhluk(dicipta), mahdud (terbatas) dan diatur oleh Allah Swt. Allah Swt adalah pemiliknya dan bukanlah Dia bersemayam di atasnya. [23]
Riwayat lainnya yang juga dinukil dari Imam Ali As adalah bahwa yang dimaksud dengan kursi itu adalah ilmu Allah Swt yang meliputi seluruh langit dan bumi dan segala isinya.[24]
Hanan bin Sudair menukil sebuah riwayat dari Imam Shadiq As ketika ia bertanya kepadanya mengenai makna arsy dan kursi . Beliau menjawab: “Arsy mempunyai sifat yang banyak dan bermacam-macam. Di setiap tempat di dalam Al-Qur’an, setiap kali menyebutkan nama arsy, maka hal itu berkaitan erat dengan masalah yang disebutkan di situ”.[25] Arsy di dalam riwayat ini bermakna kepemilikan, kehendak, keinginan dan pengetahuan.
“Arsy” secara leksikal bermakna segala sesuatu yang mempnyai atap.[1] Dengan itu maka saung, cadur (sejenis kerudung), kemah, atap gubuk (biasanya di tengah sawah), loteng, istana, dan bangunan di atas selokan dinamakan arsy.[2] Terkadang diartikan dengan singgasa berkaki tinggi. Karena itu singgasana kerajaan dan pemerintahan dinamakan pula dengan arsy.[3] Hal itu sebagai kiasan dari kekuasaan dan pemerintahan.
Arsy dalam Al-Qur’an.
Kata arsy sebanyak 26 kali disebutkan di dalam Al-Qur’an.[4] Dan biasanya yang dimaksud adalah arsy Tuhan. Di dalam beberapa tempat bermakna langit atau atap, seperti firman Allah Swt: “…yang tembok-temboknya runtuh di atas atap-atapnya”.[5] Atau bermakna tahta kerajaan, seperti firman-Nya: “kemudian dia mendudukkan ayah dan ibunya di atas arsy”.[6] Dan firman-Nya: “Siapakah diantara kalian yang mampu memindahkan arsy-nya kesini...”[7] Terkadang diartikan juga dengan ketinggian.[8] Yang menjadi topik pembahasan kita adalah arsy Tuhan.
Arsy Tuhan.
Pertanyaan mengenai “arsy dan kursi ” itu apa? Para ulama dan mufassir berbeda pandangan dalam memberikan jawabannya. Secara global jawaban para ulama terbagi menjadi dua bagian.
1-1.Sebagian ulama salaf mengangap bahwa membahas masalah-masalah hakikat agama dan melewati makna lahiriah Kitab dan Sunnah adalah sesuatu yang bid’ah dan haram. Mereka mengatakan: “Kita tidak mungkin akan dapat memahami dan menjangkau arsy dan kursi Allah Swt, yang kita pahami hanyalah namanya saja”. Ayat-ayat semacam ini -menurut mereka- termasuk ayat-ayat mutasyabihat, tidak boleh dibahas dan ditafsirkan secara serampangan. Sekarang, sebagaimana telah jelas bahwa akal dan juga Al-Qur’an dan Sunnah -yang bertentangan dengan akidah mereka- sangat menganjurkan dan menekankan agar umat Islam merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an, memahaminya secara serius dan berhujjah dengan hujjah aqli. Bagaimana mungkin dengan adanya dorongan dan anjuran dalam mukaddimah-mukaddimah semacam ini, kemudian mereka dilarang untuk menetapkan hasilnya?[9]
1-2. Para ulama yang membolehkan membahas masalah arsy ini dalam lingkup agama terbagi kepada empat kelompok:
a. Kelompok yang mengartikan secara lahiriah dengan kaku mengatakan bahwa arsy itu merupakan makhluk yang mempunyai wujud luar yang betul-betul mirip dengan tahta dan singgasana yang memilki beberapa kaki. Kaki-kaki itu bersandar pasa langit yang ketujuh. Dan Tuhan tak ubahnya seperti seorang raja yang tengah duduk di singgasana-Nya tersebut. Dari tahta kerajaann-Nya inilah dia mengatur segala urusan hamba-Nya.
b. Ulama yang berpendapat bahwa arsy itu mempunyai wujud luar sebagai sebuah makhluk Tuhan. Tetapi dalam hal mishdaq dan wujud riilnya berbeda dengan pandangan ulama pertama. Mereka mengatakan bahwa arsy adalah planet yang kesembilan yang meliputi alam materi dan sebagai pembatas arahnya. Dan karena ia kosong dari bintang-bintang, maka ia dinamakan atlas.[10] Sedang kursi Tuhan adalah planet kawakib. Pandangan ini berdasarkan riwayat yang datang dari Rasulullah Saw yang menegaskan: “Langit-langit dan tujuh lapis bumi tidak terletak di samping kursi . Tetapi ia laksana lingkaran yang terhampar di padang sahara yang luas”[11].
c. Pandangan ketiga ini berbeda dengan pandangan sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arsy dan kursi Tuhan adalah sebagai makna kinayah dan tidak mempunyai bentuk dan wujud luar yang nyata. Apa maksud makna kinayah yang mereka katakan? Terdapat berbagai maksud dan arti. Terkadang mereka memaknainya sesuai dengan sebuah hadis yang dinukil oleh Hafsh bin Ghiyas dari Imam maksum As. Kepada Imam Shadiq As dia bertanya mengenai tafisr ayat yang berbunyi “Wasi’a kursi yyuhu as-samawati wal ardh” (Kursi -Nya seluas langit-langit dan bumi). Imam Shadiq As menjawab: “Maksudnya adalah ilmu-Nya”.[12] Mereka mengatakan maksudnya adalah ilmu Allah yang tidak bertepi.
Dan terkadang pula mereka memaknainya berdasarkan ayat mulia yang berbunyi: “Tsummastawa alal arsy”[13] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy). Atau ayat yang berbunuyi: “Ar-Rahmanu ‘alal arsyistawa”[14] (Tuhan yang Mahasayang bersemayam di atas singgasana-Nya). Yaitu bermakna kekuasaan dan kerajaan Tuhan. Terkadang pula dimaknai dengan sifat kamaliyah (kesempurnaan) dan sifat jalaliyah (keagungan) Tuhan. Karena masing-masing dari sifat terebut menjelaskan keagungan maqam Allah Swt, sebagaimana pula tahta kerajaan para raja itu menunjukkan kebesaran mereka.
d. Pandangan yang keempat, dari satu sisi sama dengan pandangan pertama dan kedua. Yaitu bahwa arsy memiliki wujud hakikat (wujud luar yang riil). Dalam hal ini berbeda dengan pandangan yang ketiga. Tetapi dari sisi lainnya, pandangan ini sama dengan pandangan yang ketiga. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan arsy adalah makna kinayah. Dan dalam hal ini berbeda dengan pandangan pertama dan kedua. Dan ini adalah pendapat para ulama kontemporer seperi Allamah Thabathaba’i. Berdasarkan pandangan ini bahwa pada hakikatnya arsy adalah martabah tertinggi alam wujud yang merupakan sebab dan illat seluruh peristriwa, penciptaan dan semua asma. Dan mata rantai sebab-sebab dan illat itu mesti berakhir kepada martabah tersebut. Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa kalimat: “Tsummastawa alal ‘arsy”[15] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy) yang merupakan sebuah misal yang menggambarkan tentang luasnya pengaturan Allah Swt atas seluruh milik-Nya, juga menunjukkan suatu hakikat, yaitu sebuah maqam dan peringkat dimana kendali seluruh perkara dan urusan bertumpuk pada peringkat tersebut. Dan ayat yang berbunyi: “Dan Dialah Tuhan arsy yang agung”[16] dan ayat yang berbunyi: “…hamba-hamba yang memanggul arsy dan yang disekitarnya”[17] dan ayat-ayat lainnya, semuanya itu menunjukkan makna ini.[18]
2. Kursi .
Kursi bermakna tahta dan singgasana dan menurut pandangan masyarakat umum (urf) adalah nama sesuatu yang diduduki di atasnya.[19] Kata ini disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali yang keduanya bermakna tahta. Letak perbedaannya adalah bahwa salah satu mishdaq (wujud luar) urfi kursi adalah tahta dan singgasana Nabi Sulaiman As. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Dan sungguh telah Kami uji Sulaiman dan Kami lemparkan jasadnya ke atas kursi nya, kemudian dia pun kembali”.[20] Sedangkan sehubungan dengan tahta Tuhan bermakna kinayah yang merupakan hakikat wujud.[21]
Kursi Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan kursi dan singgasana Tuhan yang meliputi seluruh langit dan bumi itu?
Sebagaimana beberapa pandangan yang telah dijelaskan di atas tentang arsy, tentang kursi pun demikian pula dengan sedikit perbedaan. Penjelasan globalnya adalah demikian:
1-1. Mayoritas ulama terdahulu mempunyai pandangan bahwa kursi Tuhan
adalah sesuatu yang dikenal oleh manusia, yakni mereka hanya mengenal
namanya saja. Sementara untuk dapat memahami hakikatnya tidak mungkin
dan membahasnya pun merupakan bid’ah.
2. Pandangan ulama ahli bahas:a. Pandangan kaum Musyabbihah adalah bahwa kursi dan arsy itu satu, yaitu tahta kerajaan Ilahi yang terletak di langit yang ke tujuh. Dari tahta inilah Dia mengatur seluruh urusan alam raya ini.
b. Pandangan sekelompok ulama yang mengikuti dasar pemikiran Bethlamiyus. Mereka mengatakan bahwa kursi adalah planet kaukab. Sedangkan kursi adalah planet yang tertinggi.
c. Pandangan mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa kursi itu tidak mempunyai wujud hakiki. Ia hanyalah sebagai kinayah belaka. Kinayah itu adalah ilmu Tuhan atau kekuasaan dan kerajaan-Nya.
d. Pandangan para ulama kontemporer, seperti Allamah Thabathaba’i. Dan inilah pandangan yang kokoh dan benar. Berdasarkan pandangan ini bahwa kursi itu, disamping merupakan sebuah kinayah, tetapi mempunyai wujud hakiki yang nyata, yaitu satu martabah wujudi, maksudnya adalah ma qam rububi dimana seluruh maujud langit dan bumi tegak bedasarkan atasnya. Dengan demikian bahwa kursi adalah satu martabah dari martabah-martabah ilmu Ilahi dimana seluruh alam semesta ini tegak atasnya dan segala sesuatu tersimpan rapih dan tertulis di sana. Karena itu, arsy dan kursi -pada hakikatnya- adalah hal yang satu yang secara ijmali (global) dan tafshili (rinci) mempunyai dua peringkat. Dan ikhtilaf yang terdapat diantara keduanya hanyalah bersifat rutbi (urutan) dan keduanya merupakan hakikat wujudi. Tetapi tidak seperti apa yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa hal itu sebagai tahta Tuhan dan singgasana-Nya.[22] Riwayat-riwayat yang datang dari para Imam maksum pun secara kuat mendukung keabsahan pandangan ini. Sebagai contoh perhatikanlah beberapa riwayat berikut ini:
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, ketika memberikan jawaban atas pertanyaan Jaslik berkata: “Para Malaikat memanggul arsy Tuhan. Dan arsy Tuhan itu tidaklah seperti tahta kerajaan yang engkau bayangkan. Arsy Tuhan itu adalah berupa makhluk(dicipta), mahdud (terbatas) dan diatur oleh Allah Swt. Allah Swt adalah pemiliknya dan bukanlah Dia bersemayam di atasnya. [23]
Riwayat lainnya yang juga dinukil dari Imam Ali As adalah bahwa yang dimaksud dengan kursi itu adalah ilmu Allah Swt yang meliputi seluruh langit dan bumi dan segala isinya.[24]
Hanan bin Sudair menukil sebuah riwayat dari Imam Shadiq As ketika ia bertanya kepadanya mengenai makna arsy dan kursi . Beliau menjawab: “Arsy mempunyai sifat yang banyak dan bermacam-macam. Di setiap tempat di dalam Al-Qur’an, setiap kali menyebutkan nama arsy, maka hal itu berkaitan erat dengan masalah yang disebutkan di situ”.[25] Arsy di dalam riwayat ini bermakna kepemilikan, kehendak, keinginan dan pengetahuan.
[1] . Mufradat, raghib, kata arsy.
[2] . Al-Munjid, terjemahan Bandar Riki, Muhammad, juz 2, hal. 1100.
[3] . Qamus Qur’an, Sayyid Ali Akbar Qurasyi, juz 4, hal. 316.
[4] . QS. Ghafir: 7, 15, al-Haqah: 17, an-Nahl: 23, 26, 42, 41, 38, dan lain-lain.
[5] . QS. Al-Baqarah: 159.
[6] . QS. Yusuf: 100.
[7] . QS. An-Nahl: 38.
[8] . QS. Al-A’raf: 137.
[9] . Terjemah tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, juz 14, hal. 212.
[10] . Al-mufradat, Raghib, kata arsy, al-Mizan, ibid.
[11] . Al-Mufradat, Raghib, ibid.
[12] . Bihârul Anwâr, jilid 58, hal. 28, hadis ke 46 dan 47.
[13] . QS. Al-A’raf: 54.
[14] . QS. Thaha: 5.
[15] . QS. Al-A’raf: 54.
[16] . QS. At-Taubah: 129.
[17] . QS. Ghafir; 7.
[18] . Tafsir Al-Mizan, juz 15, hal. 216.
[19] . Mufradat Raghib, kata kursi, Qamus Qur’an, juz 4, hal. 316.
[20] . QS. Shad: 34.
[21] . QS. Al-Baqarah: 25.
[22] . Al-Mizan, juz 4, hal. 230 dst, juz 15, hal. 212 dst, juz 27, hal. 187 dst, Tafsir Nemuneh, juz 2 hal. 201 dst, juz 6, hal. 204, juz 9, hal. 25, juz 20, hal. 53, juz 24, hal. 458, juz 26, hal. 193 dan 348.
[23] . At-Tauhid, Syaikh Shaduq, hal. 316.
[24] . Al-Kafi, Kulayni, juz1 hal. 130.
[25] . At-Tauhid, babul arsyi wa sifatihi, hal. 322.
[2] . Al-Munjid, terjemahan Bandar Riki, Muhammad, juz 2, hal. 1100.
[3] . Qamus Qur’an, Sayyid Ali Akbar Qurasyi, juz 4, hal. 316.
[4] . QS. Ghafir: 7, 15, al-Haqah: 17, an-Nahl: 23, 26, 42, 41, 38, dan lain-lain.
[5] . QS. Al-Baqarah: 159.
[6] . QS. Yusuf: 100.
[7] . QS. An-Nahl: 38.
[8] . QS. Al-A’raf: 137.
[9] . Terjemah tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, juz 14, hal. 212.
[10] . Al-mufradat, Raghib, kata arsy, al-Mizan, ibid.
[11] . Al-Mufradat, Raghib, ibid.
[12] . Bihârul Anwâr, jilid 58, hal. 28, hadis ke 46 dan 47.
[13] . QS. Al-A’raf: 54.
[14] . QS. Thaha: 5.
[15] . QS. Al-A’raf: 54.
[16] . QS. At-Taubah: 129.
[17] . QS. Ghafir; 7.
[18] . Tafsir Al-Mizan, juz 15, hal. 216.
[19] . Mufradat Raghib, kata kursi, Qamus Qur’an, juz 4, hal. 316.
[20] . QS. Shad: 34.
[21] . QS. Al-Baqarah: 25.
[22] . Al-Mizan, juz 4, hal. 230 dst, juz 15, hal. 212 dst, juz 27, hal. 187 dst, Tafsir Nemuneh, juz 2 hal. 201 dst, juz 6, hal. 204, juz 9, hal. 25, juz 20, hal. 53, juz 24, hal. 458, juz 26, hal. 193 dan 348.
[23] . At-Tauhid, Syaikh Shaduq, hal. 316.
[24] . Al-Kafi, Kulayni, juz1 hal. 130.
[25] . At-Tauhid, babul arsyi wa sifatihi, hal. 322.
No comments:
Post a Comment