أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Apakah
yang Anda maksudkan dengan “kembali kepada ketiadaan”? Apakah maksudnya
adalah kembali pada keadaan sebelum dilahirkan? Seperti mereka yang
mengatakan andai saja Aku tidak dilahirkan?
Tentu
saja jelas bahwa tidak ada jalan untuk kembali kepada kondisi
sebelumnya, karena waktu senantiasa berlalu dan dia tidak akan berhenti
dari gerakannya dengan keinginan, kemauan dan kehendak kita, demikian
juga waktu tidak akan pernah kembali ke belakang. Jadi “kembali kepada
ketiadaan” dengan makna seperti ini tidak dapat diterima.
Namun
jika yang dimaksud dengan ketiadaan adalah “kematian”, maka harus
diketahui bahwa kematian bukanlah ketiadaan, kepunahan, dan kesirnaan,
melainkan sebuah perubahan dan revolusi dari satu kondisi ke kondisi
yang lain, dan perpindahan dari satu alam (alam dunia) ke alam yang lain
(alam akhirat).
Aku mati dari mineral dan menjadi tumbuhan
Aku mati dari tumbuhan kemudian menjadi hewan
Aku mati dari hewan kemudian menjadi manusia
Lalu mengapa aku takut apabila aku mati beringsut
Aku berlalu sebagai manusia
Membawa empat sayap dan bulu bak malaikat
Setelah itu, berkoar lebih menjulang dari malaikat
Mengapa engkau tidak dapat membayangkan
Aku akan menjadi seperti itu
Lalu aku tiada setelah tiada[1] bak dentang organ
Oleh karena itu, dengan menerima teori ini, kematian sejatinya merupakan sebuah kesempurnaan dan gerak menanjak naik. Sebagaimana
yang disinggung Maulawi dalam syairnya bahwa menjadi manusia
membutuhkan terlewatinya tahapan-tahapan seperti tahapan jasmani (jism), nabati (nabati), dan hewan (hewan). Pada dasarnya masing-masing tahapan ini diperoleh setelah terjadinya kematian pada tahapan sebelumnya.[3]
Jadi, kesimpulannya, saat ini ketika aku mati, sebenarnya aku tidak
mengalami kehancuran dan kefanaan, melainkan bergerak naik ke tahapan
yang lebih tinggi, dan tahapan tersebut adalah alam para malaikat.
Para
filosof pun meyakini bahwa kehidupan setelah mati bukanlah yang
dimaksud sebagai kembali kepada ketiadaan, dan mereka yakin bahwa
“kembali kepada ketiadaan” merupakan sebuah kemustahilan dan absurd.[4] Dan jika seseorang menyangka bahwa kiamat dan ma’âd
merupakan berulangnya suatu ketiadaan atau sesuatu yang pernah tiada
kemudian mengada dan kembali lagi menjadi tiada, sesungguhnya ia telah
berada dalam kesalahan fatal. Karena, pertama: sesuatu tidak akan sirna
dan musnah dengan kematian, melainkan kematian merupakan sebuah bentuk
kesempurnaan yang akan melanjutkan kehidupannya dengan terpisahnya ruh
dari badan, ruh yang membentuk hakikat realitas manusia bahkan akan
memiliki kemampuan dan kekuatan jauh lebih banyak setelah terpisah dari
badan dibandingkan ketika badan masih berada dalam kepengaturannya. Yang
kedua: ma’âd dan kiamat bukanlah bermakna sesuatu kembali
berwujud setelah ketiadaan, melainkan bermakna “kembali”, yakni kembali
ke sisi Tuhan, bukannya kembali dari ketiadaan kepada keberadaan.
Dengan
demikian, secara ringkas harus dikatakan bahwa kembali kepada ketiadaan
tidak bermakna sama sekali, demikian juga tidak ada jalan untuk yang
demikian itu.[5][]
[1]. Jelas
bahwa yang dimaksud tiada dalam bait syair ini adalah tiada yang telah
disinggung Rumi pada bait-bait sebelumnya yang bermakna posisi meninggi
(posisi rendah menanjak menuju posisi yang lebih tinggi).
[2]. Matsnawi Ma'nawi, Daftar-e Sewwum, hal. 1512.
[3]. Berdasarkan pandangan Mulla Sadra, kematian ini sejenis “penyifatan pasca penyifatan”, bukan “penyifatan pasca kehancuran”.
[5].
Apakah sesuatu yang telah ada akan menjadi sirna? Apabila sesuatu yang
telah ada itu tidak akan sirna maka apakah kaidah ini berkonsekuensi
pada keazalian dan keabadian sesuatu itu. Persoalan ini telah dibahas
secara meluas dalam filsafat. Tema ini telah ditegaskan dalam dua bentuk argumen, argumen empirik dan argumen filsafat. Untuk lebih detail silahkan lihat: Ushul-e Falsafeh wa Rawasye Realism, jil.3, Allamah Thabathabai, pengantar dan catatan kaki oleh Syahid Muthahhari, hal. 111-121, dan Nihayatul Hikmah, Allamah Thabathabai, hal. 326.
No comments:
Post a Comment