أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Salah satu tradisi baik dan
berkembang manusia semenjak dahulu kala adalah pernikahan. Boleh jadi
tiada satu pun fenomena melebihi tradisi pernikahan yang memberikan
kehidupan ini; karena di samping kandungannya sejalan dengan fitrah
manusia dan juga menyebabkan perkembangan serta pembinaan benar fakultas
natural manusia, penyaluran libido dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
pokoknya.
Al-Qur’an dalam
banyak hal menyinggung tentang pernikahan dan mengabarkan tentang tujuan
dan hasil pernikahan. Adanya pemikiran ekstrem yang menyatakan bahwa
pernikahan adalah penghalang kemajuan spiritual dan moral manusia
tertolak dan bertentangan dengan tradisi para nabi. Al-Qur’an dalam hal
ini menyatakan, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:38)[1]
Akan tetapi harus diperhatikan masalah ini bahwa hukum-hukum yang
disyariatkan Tuhan kepada para hamba terdiri dari dua jenis. Pertama,
hukum-hukum yang tidak mengalami perubahan, seluruh manusia memiliki
taklif untuk menjalankan hukum-hukum tersebut tanpa kecuali; seperti
menjalankan ibadah-ibadah wajib dan jauh dari keharaman-keharaman dan
menjauhi perbuatan-perbuatan haram. Kedua, bagian lain dari
amalan-amalan yang dianjurkan Tuhan adalah seperti sebagian
amalan-amalan mustahab,[2] yang bergantung pada situasi personal dan sosial masing-masing setiap orang karena itu amalan-amalan ini dapat berubah.
Dalam bagian hukum-hukum ini, setiap orang dapat berhadapan dengan
hukum-hukum tersebut berdasarkan kemaslahatan personal atau sosialnya.
Sebagai contoh, meski pernikahan merupakan perbuatan terpuji dan telah
mendapatkan penegasan dalam beberapa riwayat, namun masalah ini juga
berbeda pada setiap orang. Apabila seseorang dengan tidak menikah ia
akan jatuh pada perbuatan haram atau terjangkiti penyakit was-was yang
berbahaya dan bertempramen panas, sedemikian sehingga apabila ia tidak
menikah maka ia tidak akan dapat menjalankan aktivitas kesehariannya,
tentu saja masalah pernikahan tidak hanya pantas bahkan menjadi wajib
baginya. Dan kemungkinan ini tidak jauh, riwayat-riwayat yang menegaskan
pernikahan, menyangkut orang-orang seperti ini.
Namun bagi orang yang apabila menikah maka tugas-tugas penting lainnya
seperti menuntut ilmu, menyampaikan agama dan lain sebagainya akan
terbengkalai, maka ia dapat melupakan pernikahan.
Nah sekarang mari kita mengkaji beberapa alasan mengapa Nabi Isa As tidak menikah:
- Menjauh dari sifat cinta dunia yang mendominasi pikiran masyarakat
Terdapat beberapa dalil dalam literatur-literatur riwayat yang menjelaskan alasan mengapa Nabi Isa tidak menikah, di antaranya:
- Imam Shadiq As bersabda, “Nabi Isa As ditanya ihwal mengapa Anda tidak menikah?” Nabi Isa As menjawab, “Menikah untuk apa?” Orang-orang berkata, “Supaya Anda kelak memiliki keturunan.” Nabi Isa bertanya lagi, “Keturunan buat apa? Kalau hidup akan menyebabkan kesengsaraan dan kalau meninggal akan menimbulkan kesedihan dan kegundahan.”[3]
- Nabi Isa berkata kepada para sahabatnya, “Makananku tumbuh-tumbuhan dan minumanku dari air sungai dan mata air yang aku minum dengan tanganku. Lampu penerangku adalah cahaya bulan, karpetku adalah bumi dan bebatuan menjadi bantalku. Pakaianku dari rambut-rambut hewan. Saya tidak memiliki anak yang kemudian mati. Aku tidak memiliki istri yang harus bersedih. Aku tidak memiliki rumah yang kemudian rusak. Aku tidak memiliki harta yang harus dihabisi. Karena itu aku adalah manusia yang paling tidak membutuhkan.”[4]
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, riwayat-riwayat ini tentu
tidak menyoroti tentang inti pernikahan; karena berdasarkan apa yang
dinyatakan dalam surah al-Ra’ad ayat 38, “Dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” Karena
itu, tuturan dan sabda Nabi Isa harus dijelaskan berdasarkan
orang-orang yang mendengarkannya dan situasi-kondisi yang berkembang
pada masa itu.
Para obyek
bicara Nabi Isa As adalah orang-orang yang sangat ekstrem mencintai
dunia dan sangat susah bagi mereka meninggalkan dunia. Sabda-sabda Nabi
Isa As juga tengah menyoroti adanya kemampuan seperti ini pada diri
manusia, bukan bahwa Nabi Isa ingin mengatakan bahwa inti pernikahan dan
memiliki keturunan merupakan perbuatan tidak terpuji.
Menariknya bahwa al-Qur’an juga dengan segala penegasan atas
pernikahan, menyatakan bahwa istri, anak-anak dan harta, dari beberapa
sisi, adalah fitnah. Al-Qur’an menyatakan, “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Jika kamu
memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya
harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Hanya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” (Qs. Al-Taghabun [64]:14-15) Ayat-ayat ini
tentu saja tidak bermakna adanya penentangan terhadap pernikahan dan
memiliki anak-anak dan juga memperoleh harta dan kekayaaan, melainkan
yang dicela adalah ketergantungan dan keterikatan hati terhadapnya.
- Usia pendek dan Kesibukan Safari Tabligh
Di antara sebab mengapa Nabi Isa disebut sebagai Masih adalah karena beliau senang bepergian (sayyâh). Akar kata sayyâh berasal dari siyâhat yang bermakna berkeliling dan bersafari di bumi untuk beribadah dan memutuskan diri dari khalayak.[5]
Karena itu disebutkan bahwa Nabi Isa melakukan perjalanan dan safari di
muka bumi kemudian bangun ketika tiba waktu malam dan mengerjakan salat
hingga pagi.[6]
Dalam sebuah riwayat yang dinukil oleh Thabarsi dari Imam Ali As dalam
menjawab pertanyaan seorang Yahudi, beliau membenarkan bahwa Nabi Isa As
adalah seorang sayyâh.[7]
Dengan demikian, hal ini dapat menjadi dalil lainnya terkait dengan
alasan mengapa Nabi Isa As tidak menikah bahwa beliau karena usianya
yang pendek dan sibuk melakukan perjalanan dan safari tabligh ke
pelbagai tempat, sehingga tidak tersedia kesempatan baginya untuk
menikah. Dan meski pernikahan merupakan sebuah perbuatan terpuji namun
ia bukanlah sebuah amalan wajib dan tidak ada halangan bagi seseorang
untuk tidak menikah tatkala menikah dapat menghalangi pekerjaan yang
lebih penting dari menikah. Tanggung jawab dan pekerjaan Nabi Isa lebih
penting daripada menikah dan identifikasi persoalan ini sepenuhnya
berada di tangan beliau yang nota-bene adalah seorang nabi Allah.
- Keyakinan Orang-orang Kristen terhadap Pernikahan
Sehubungan dengan hal ini, Ustad Muthahhari Ra berkata, “Salah satu
keyakinan menyimpang orang-orang Kristen dan mazhab-mazhab lainnya yang
terdapat di dunia, karena Nabi Isa As tidak memiliki istri dan wanita
adalah unsur dosa dan setan kecil. Mereka berpandangan bahwa pernikahan
dan masalah seksual adalah penghalang bagi kemajuan dan kesempurnaan
manusia. Mereka yakin bahwa kaum pria dengan sendirinya tidak akan
melakukan dosa dan wanita yang merupakan setan kecil mewas-wasi kaum
pria dan menggiringnya untuk melakukan perbuatan dosa.
Dalam pandangan orang-orang Kristen, sejatinya kisah Adam, Iblis dan
Hawa bermula lantaran Iblis tidak mampu mempengaruhi Adam, karena itu
dengan menipu Hawa, maka ruang untuk menipu Adam tersedia. Sepanjang
sejarah demikian adanya bahwa setan besar (Iblis) mewas-wasi wanita dan
wanita mewas-wasi pria. Demikianlah kisah Adam, Hawa dan Iblis yang
berkembang di kalangan orang-orang Kristen.
Namun al-Qur’an berkebalikan dengan apa yang mereka yakini; al-Qur’an
tatkala menyebutkan kisah Adam, Hawa dan Iblis, al-Qur’an tidak
berpandangan bahwa Adam yang utama dan Hawa hanyalah mengikut Adam saja.
Al-Qur’an meredam dusta yang disandarkan kepada mazhab-mazhab ini dan
menjelaskan bahwa kisah maksiat manusia tidak demikian bahwa Iblis
pertama-tama menggoda wanita dan kemudian wanita menggoda pria. Iblis
menjadikan keduanya sebagai obyek bicaranya dan bersumpah palsu. Karena
itu, kadar ketergelinciran Adam dan Hawa adalah sama dan tiada yang
mengungguli satu atas yang lain. Boleh jadi atas alasan inilah al-Qur’an
menyebutkan di samping pria mukmin (suci) terdapat wanita-wanita suci
dan memandang kedudukan tinggi wanita.[8]
Kiranya kita harus mengingat bahwa masalah ini adalah masalah ikhtilaf
di kalangan Kristen. Sebagian dari mereka (meski sebatas klaim)
berseberangan dengan perkataan Ustad Muthahhari sedemikian sehingga
mereka memandang haram untuk menalak wanita. Adapun masalah tidak
menikahnya Nabi Isa As dan para paus dan uskup kemudian mengikutinya
bersumber dari sebab-sebab lain.
- Berbedanya Perhitungan terhadap Wali Allah
Masalah lain yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa boleh jadi
karena situasi dan kondisi khusus para wali Allah di tengah masyarakat,
hal-hal yang bersumber dari Allah Swt atau dari para wali itu sendiri,
yang tidak dituntut dari orang lain; seperti kewajiban salat malam bagi
Rasulullah Saw,[9]
kezuhudan Imam Ali As dalam kehidupan personalnya, sementara Imam Ali
As sendiri bersabda, “Model kehidupan seperti ini tidak mampu engkau
ikuti dan tidak dituntut dari kalian.”[10] Karena itu, boleh jadi, apa yang dilakukan oleh Nabi Isa As juga sama seperti kondisi Rasulullah Saw dan Imam Ali As.
[1].
[2].
Hukum primer pernikahan adalah mustahab (dianjurkan) kemudian menjadi
wajib apabila manusia takut terjerembab dalam perbuatan haram.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 14, hal. 238, Hadis 15, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[4]. Ibid, jil. 67, hal. 314, kelanjutan hadis 19.
[5]. Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jil. 2, hal. 492, Dar al-Fikr, Beirut, 1414 H.
[6]. Sayid Murtadha Wasithi Zubaidi, Tâj al-‘Arus min Jawâhir al-Qâmus, jil. 4, hal. 98, Dar al-Fikr, Beirut, 1414 H.
[7]. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj, jil. 1, hal. 225, Nasyr Murtadha, Masyhad Muqaddas, 1403 H.
[8]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsâr, jil. 17, hal. 402, Intisyarat Shadra, Qum, 1383 S.
[9]. Muhammad bin Hasan Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil. 2, hal. 242, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[10]. Silahkan lihat, Imam Ali As Nahj al-Balâghah, hal. 52, Intisyarat Dar al-Hijrah, Qum.
No comments:
Post a Comment