أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari�at yang tanpa spiritualitas di bawah. Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu�nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur�an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya� dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma�un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu�. Dan shalat yang khusyu� itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu� tersebut. Khusyu� itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana� atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu� bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah �omong kosong belaka�, atau �wes palson kabeh�(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari�at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari�at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah �iku wes palson kabeh�, yg artinya �itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.� Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata �iku palsu kabeh� atau �itu palsu semua.�
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari�at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari�at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan syari�at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari�at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari�at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari�at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari�at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si �Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma�bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam �menyaksikan langsung� ada-NYA Allah. �Persaksian langsung� itulah terjadi dalam proses manunggal.
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi�Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa �Sesungguhnya mereka tidak mengerti�).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari�at Islam.
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, �Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.�
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir�ah al-haya� (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana� cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), �aku ini kau, tapi kau aku�. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik, �Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.� Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af�al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af�al, sebab af�al digerakkan oleh dzat. Sehingga af�al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af�al itu dipancarkan.
Bis...................kedudukannya.......ubun-ubun.
Millah................kedudukannya.......rasa.
Al-Rahman-al-Rahim....kedudukannya.......penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu..............kedudukannya.......hidupmu (manusia).
Lillahi...............kedudukannya.......cahaya.
Rabbil-�alamin........kedudukannya.......nyawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim....kedudukannya.......leher dan jakun.
Maliki................kedudukannya.......dada.
Yaumiddin.............kedudukannya.......jantung (hati).
Iyyaka................kedudukannya.......hidung.
Na�budu...............kedudukannya.......perut.
Waiyyaka nasta�in.....kedudukannya.......dua bahu.
Ihdinash..............kedudukannya.......sentil (pita suara).
Shiratal..............kedudukannya.......idah.
Mustaqim..............kedudukannya.......tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina.......kedudukannya.......dua ketiak.
An�amta...............kedudukannya.......budi manusia.
�alaihim..............kedudukannya.......tiangnya (pancering) hati.
Ghairil...............kedudukannya.......bungkusnya nurani.
Maghdlubi.............kedudukannya.......rempela/empedu.
�alaihim..............kedudukannya.......dua betis.
Waladhdhallin.........kedudukannya.......mulut dan perut (panedha).
Amin..................kedudukannya.......penerima.
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur�an merupakan �kalam� yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
TIGA PULUH TUJUH
�Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu
adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau
salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang
dimiliki.� (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
�Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada
waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada
seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan
Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat
Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat
dibayangkan.� (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari�at yang tanpa spiritualitas di bawah. Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu�nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur�an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya� dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma�un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu�. Dan shalat yang khusyu� itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu� tersebut. Khusyu� itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana� atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu� bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
TIGA PULUH SEMBILAN
�Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang
tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah,
itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi,
penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia,
karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya
keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.
Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid
mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal,
kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini
semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita
sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena
itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat
Maulana.� .
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah �omong kosong belaka�, atau �wes palson kabeh�(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari�at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari�at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah �iku wes palson kabeh�, yg artinya �itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.� Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata �iku palsu kabeh� atau �itu palsu semua.�
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari�at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari�at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan syari�at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari�at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari�at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari�at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari�at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
�Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi.
Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya
dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia
berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya,
kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya
tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan
menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati,
sifat Muhammad yg kudus.�
EMPAT PULUH SATU
�Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat
sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa
atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha
mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat
seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat
sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta,
Ngidraloka�.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si �Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma�bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam �menyaksikan langsung� ada-NYA Allah. �Persaksian langsung� itulah terjadi dalam proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
�Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak.
Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau
diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang
saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya.
Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain?
Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa
Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun
demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama
bangkai.� .
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi�Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa �Sesungguhnya mereka tidak mengerti�).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari�at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
�Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip
dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan
raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa
cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan
tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg
meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.�
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
�Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.� .
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, �Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.�
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir�ah al-haya� (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana� cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), �aku ini kau, tapi kau aku�. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
�Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging,
urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda
memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya
akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi
debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta
ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak
akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya
tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah
dia membuat dunia.� .
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik, �Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.� Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af�al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af�al, sebab af�al digerakkan oleh dzat. Sehingga af�al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af�al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
�Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini
pada hakikatnya adalah af�al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang
dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi
keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah
dan yang buruk selain Allah.� ��Af�al Allah harus dipahami dari dalam
dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah
terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah
kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah
berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta�malun (QS. Ash-Shaffat:96),
yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau
perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir
dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang
terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak
tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna
Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar,
melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada
hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni
af�al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi
al-�aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa
bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan
atas izin Allah.� .
EMPAT PULUH DELAPAN
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah
termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal
(ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat
al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut
lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik
al-Fatihah Syekh Siti Jenar. .
Bis...................kedudukannya.......ubun-ubun.
Millah................kedudukannya.......rasa.
Al-Rahman-al-Rahim....kedudukannya.......penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu..............kedudukannya.......hidupmu (manusia).
Lillahi...............kedudukannya.......cahaya.
Rabbil-�alamin........kedudukannya.......nyawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim....kedudukannya.......leher dan jakun.
Maliki................kedudukannya.......dada.
Yaumiddin.............kedudukannya.......jantung (hati).
Iyyaka................kedudukannya.......hidung.
Na�budu...............kedudukannya.......perut.
Waiyyaka nasta�in.....kedudukannya.......dua bahu.
Ihdinash..............kedudukannya.......sentil (pita suara).
Shiratal..............kedudukannya.......idah.
Mustaqim..............kedudukannya.......tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina.......kedudukannya.......dua ketiak.
An�amta...............kedudukannya.......budi manusia.
�alaihim..............kedudukannya.......tiangnya (pancering) hati.
Ghairil...............kedudukannya.......bungkusnya nurani.
Maghdlubi.............kedudukannya.......rempela/empedu.
�alaihim..............kedudukannya.......dua betis.
Waladhdhallin.........kedudukannya.......mulut dan perut (panedha).
Amin..................kedudukannya.......penerima.
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur�an merupakan �kalam� yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
No comments:
Post a Comment