أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Seberapa yakinkah kita dengan agama
yang kita anut. Apakah kita beragama cuma ikutan/taklid saja kepada
keluarga atau ulama? Dan ibadah yang selama ini kita kerjakan apakah itu
sekedar memenuhi kewajiban (gugur kewajiban) ataukah dilandasi
ketulusan dan kecintaan kepada Allah? Nah, pada umumnya seseorang yang
beragama didasarkan atas salah satu dari 3 keyakinan berikut ini :
1. ‘Ilmul Yaqin
2. ‘Ainul Yaqin
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
1. ‘Ilmul Yaqin
Ini
adalah tingkatan terendah dari suatu keyakinan beragama. Misal
seseorang mendapat pengetahuan dari si A yang mengatakan bahwa di negeri
Cina terdapat tembok raksasa, padahal si A tidak pernah ke negeri Cina.
Jadi pengetahuan yang didapat dari si A hanyalah pada tataran teori
belaka.
Seseorang yang beragama
pada tingkat ini hanyalah yakin karena “kata orang”. Maka ia pun
akhirnya menerima saja apa yang dikatakan oleh orang orang tanpa
melakukan penyelidikan atau mendalami secara sungguh-sungguh agamanya
sendiri.
Jika agamanya sendiri
tidak pernah dikaji lalu bagaimana mau mempelajari agama orang lain?
Yang terjadi kemudian adalah sikap memusuhi agama diluar dirinya. Merasa
diri paling benar sehingga mengkafirkan yang lain.
Menyalah-nyalahkan ajaran agama orang lain seakan-akan dirinya adalah orang yang paling benar.
Orang
pada tataran ilmu yaqin ini biasanya mudah diprovokasi dan dihasut
contohnya ya teroris seperti Noordin M Top, Dr.Azhari dan para pelaku
bom bunuh diri yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Teroris
seperti mereka selalu memahami jihad dengan berperang. Kalo tidak
berperang serasa kurang afdhol. Lebih suka mati medan berperang
ketimbang mati di meja belajar. Padahal ketika meledakkan diri, mereka
tidak sedang diserang malah justru menyerang orang yang tidak bersalah.
Orang yang seperti inilah yang menghancurkan nama baik Islam sebagai
agama yang mengajarkan kedamaian. Mereka jelas bukan orang Islam
melainkan orang kafir karena melakukan kerusakan di muka bumi.
Nah,
bagi mereka yang masih pada tahap ilmul yaqin, sholat lima waktu yang
dikerjakan masih sulit untuk khusyu’ karena hanya gerak fisik belaka
(sholat raga). Ibarat orang yang sedang menghormat dan berbicara kepada
raja tapi rajanya tidak ada di depannya. Ini yang disebut menyembah adam
sarpin (kekosongan). Ibarat menyumpit burung tapi burungnya tidak ada,
yang disumpit adalah kekosongan. Sholat seperti ini sia-sia karena tidak
mampu menghadirkan zikir didalamnya. Padahal sholat itu haruslah dapat
menghadirkan zikir sebagaimana yang diperintahkan Allah :
Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah Aku
dan dirikanlah sholat untuk berzikir kepadaKu. (Q.S Thaahaa (20) : 14)
Mengapa
sholatnya seseorang harus mampu menghadirkan zikir? Sebab dengan zikir
akan hadir ketenangan, kedamaian dalam batin dan pikiran kita. Kalau
batin dan pikiran sudah tenang maka hawa nafsu bisa dikendalikan.
Dirinya akan mampu melihat mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk.
Sholat yang mampu menghadirikan zikir inilah yang akan mampu
mencegah manusia dari berbuat keji dan mungkar :
Dan sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabuut (29) : 45)
Bagi
mereka yang tidak mampu menghadirkan zikir ketika sholatnya maka
sholatnya tidak akan mampu mencegah diri mereka dari berbuat keji dan
mungkar. Sholatnya tidak salah! Tapi orang yang mengerjakannya yang
lalai.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (Q.S Al Maa'un (107) : 4-5)
Tidaklah
heran jika kita sering melihat orang rajin sholat, punya pengetahuan
agama yang luas tapi malah jadi tersangka kasus korupsi. Kerjanya sih di
Departemen Agama tapi malah tempat kerjanya dijadikan lahan korupsi.
Inilah tandanya orang yang melalaikan sholat. Rajin ibadah ritual tapi
masih suka KKN, dengki, suka bergunjing, memfitnah, dan melakukan
perbuatan yang merugikan orang lain. Inilah ibadah yang sia-sia karena
cuma berolahraga saja dan tidak menghujam ke dalam batin.
2. ‘Ainul Yaqin
Tahapan
ini lebih tinggi dari yang ‘ainul yaqin. Misal seseorang diberitahu
oleh si A bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa. Dan ternyata si A
pernah ke Cina melihat tembok raksasa. Jadi pada tahapan ini seseorang
mendapat pengajaran dari si A yang pernah mengalami atau praktek. Si A
bukan hanya tahu secara teori tapi ia telah membuktikannya dengan pergi
ke negeri Cina.
Dalam kaitannya
dengan agama, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang
sedang “mencari Tuhan”. Pencariannya meliputi penelitian melalui
buku-buku, bertanya kepada orang-orang mengenai masalah
Ketuhanan/spiritual dan orang yang ditanya pun tidak hanya pandai
berteori namun sudah mempraktekannya juga.
Sholatnya
orang yang telah mencapai tahap ini tentu akan lebih baik lagi karena
akan mampu menghadirkan zikir dalam sholatnya sehingga dapat mencegahnya
dari berbuat keji dan mungkar.
Namun
demikian bagi kita yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin jangan puas
dulu. Perjalanan belum selesai bung! kita harus terus meningkatkan
keyakinan kita sampai kita tahapan yang nyata dan terbukti. Kita harus
pergi ke negeri Cina untuk menyaksikan tembok raksasa tersebut agar
haqqul yaqin.
Mereka yang telah
mencapai tahap ‘ainul yaqin seringkali terjebak berpuas diri dengan
keyakinan atau pengetahuan yang dimilikinya. Mereka merasa cukup puas
mengerjakan rukun iman dan rukun Islam tanpa berusaha mencapai makrifat
kepada Allah. Sebagian dari mereka sering berceramah tentang keutamaan
mendapat lailatul qadr tapi mereka sendiri tidak pernah mendapat atau
mengalami pengalaman lailatul qadr. Sering juga berceramah Isra Mikraj
tapi tidak pernah mengalami Isra Mikraj. Kita ternyata cuma bisa
kebanyakan berceramah (teori) tanpa bisa membuktikan ceramahnya. Padahal
di Al Quran kita telah di ingatkan agar jangan cepat berpuas diri :
Katakanlah
: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang amat
rugi perbuatannya?” Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya ketika hidup
di dunia sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan yang
baik (Q.S Al Kahfi (18) : 103-104)
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
Inilah
tahapan keyakinan yang tertinggi. Dalam hal ini kita bukan hanya
mendengar cerita saja bahwa di negeri Cina ada tembok raksasa, namun
kita mengalaminya sendiri dengan pergi ke negeri Cina. Kalau sudah ke
negeri Cina dan melihat sendiri tembok tersebut tentu keyakinannya
sangat kuat sekali. Inilah kebenaran yang haq (nyata) dan terbukti
(isbat).
Dalam kaitannya dengan
keyakinan beragama, orang yang telah mendapat haqqul yaqin adalah orang
yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Orang yang telah bermakrifat
berarti ia mengenal Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Ia akan
mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya (ladunni).
Perihal ilmu laduni ini telah disampaikan juga melalui Al Quran :
Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S Al Kahfi (18) : 65)
Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarimu. (Q.S Al Baqarah (2) : 282)
Manusia
yang telah mendapat ilmu laduni berarti telah mendapatkan kebenaran
yang Haq. Tidak ada keraguan sama sekali. Mereka pun telah mencapai
Mikraj, bertemu dengan Allah. Bagi mereka, Isra Mikraj adalah peristiwa
spiritual yang langsung dialaminya sendiri bukan teori belaka.
Lho…
bukankah Isra Mikraj itu hanya untuk Nabi Muhammad saja? Nah doktrin
seperti inilah yang telah banyak memasung pemikiran umat Islam. Pendapat
ulama dijadikan taklid, harga mati yang tidak bisa dirubah. Padahal
pendapat ulama itu hanya untuk dijadikan referensi saja. Ibarat makanan,
jangan ditelan mentah-mentah. Kunyahlah dulu. Untuk itu, carilah guru
atau
ulama sebanyak-banyaknya.
Jangan hanya cari ulama yang levelnya “SD” tapi cari juga ulama yang
levelnya “SMP” , “SMA”, “S1” dan seterusnya. Jangan hanya belajar dari
ulama yang sering muncul di televisi saja tapi belajarlah juga ulama
lain yang lebih tinggi ilmunya. Ulama ini tidak muncul kepermukaan
karena tidak mau menjadi selebritis. Mereka harus dicari!. Kalau
kita
hanya belajar dari ulama level SD ya pengetahuan kita tidak akan pernah
berkembang. Bagai katak dalam tempurung. Merasa cukup dengan ilmu yang
dimiliki dan yang ditingkatkan pun hanya ibadah ritual saja. Padahal
ilmu Allah itu teramat sangat luas dan ini justru menjadi tantangan umat
Islam abad modern untuk terus mengkaji Al Quran sesuai perkembangan
jaman.
Kalau kita taklid kepada
pendapat seorang ulama, memangnya ketika kita mati, ulama tersebut mau
bertanggung jawab kepada kita? Nah karena tiap manusia itu sendirian
ketika meninggal maka manusia itu sendiri yang harus menentukan jalan
hidupnya. Segala pendapat atau tafsiran hendaknya hanya dijadikan
referensi saja. Termasuk postingan yang anda baca inipun hanya bersifat
referensi untuk mendekati kebenaran.
Kitalah
nantinya yang akan menemukan kebenaran itu sendiri setelah diberi
petunjuk Tuhan –tentu kita juga harus meminta petunjuk-Nya terlebih
dahulu. Saya tidak mengatakan pendapat saya di postingan ini adalah yang
paling benar. Sekali lagi tidak! Karena kebenaran hanyalah milik Allah
semata. Dan saya tidak mau ikut-ikutan sebagian orang Islam yang
mengatasnamakan kebenaran dari Tuhan lalu dengan seenaknya mengatakan
orang lain sesat, kafir bahkan melakukan tindak kekerasaan kepada orang
lain yang tidak sependapat/sealiran dengan mereka. Sesat adalah
menyimpang dari kebenaran dan yang empunya kebenaran adalah Allah. Jadi
Allah-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan sesat atau
tidaknya seseorang. Simak ayat berikut ini :
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (Q.S An Najm (53) : 32)
Sesungguhnya
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat
petunjuk (Q.S Al An'aam (6) : 117)
Isra Mikraj.
Peristiwa ini seringkali hanya dipahami sebagai turunnya perintah sholat
lima waktu. Banyak orang yang hanya mengambil hikmahnya saja dari
peristiwa Isra Mikraj tapi sedikit sekali yang mau meneladaninya atau
mengalaminya langsung bertemu dengan-Nya. Hal ini disebabkan terpengaruh
oleh pendapat ulama yang mengatakan bahwa Isra Mikraj cuma bisa
dilakukan oleh Nabi Muhammad. Seharusnya ulama tersebut jujur kepada
diri sendiri kalau memang belum mampu melakukan atau mengalami Isra
Mikraj. Nah, kalau belum mengalami seharusnya introspeksi diri jangan
lantas kemudian mengatakan sesat jika ada orang lain yang mampu
melakukan Isra Mikraj. Peristiwa Isra Mikraj sama sekali bukan untuk
dikagumi belaka! bukan pula untuk dimitoskan! tapi untuk diteladani.
Sekali lagi, diteladani!. Peristiwa Isra Mikraj dapat kita baca dalam Al
Quran, sebagaimana dibawah ini:
Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (Q.S Al Israa (17) : 1)
Para
ulama berbeda pendapat tentang perjalanan Nabi dalam Isra Mikraj
ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa perjalanan Isra Mikraj Nabi
Muhammad adalah secara fisik dan ruh, dan sebagian lagi mengatakan hanya
ruh saja yang melakukan perjalanan. Perbedaan pendapat ini bukanlah hal
yang harus dipersoalkan karena yang terpenting adalah memahami hakekat
Isra Mikraj itu sendiri. Saya tetap menghargai pendapat ulama lain meski
saya sendiri berpendapat bahwa Nabi melakukan perjalanan secara ruhani
–bukan fisik. Tuhan adalah Maha Roh dan untuk menemui-Nya adalah melalui
ruh juga.
Fisik hendaknya “ditanggalkan” atau dimatikan dahulu. Istilah jawanya adalah mati sakjroning urip (mati selagi hidup). Nabi juga bersabda muutuu qobla an tamuutu (matikan dirimu sebelum mati yang sesungguhnya).
Bagi
sebagian ulama, perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsha sering ditafsirkan secara harfiah yakni Nabi
benar-benar melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.
Padahal ketika ayat diatas turun, Masjidil Aqsha belum ada sama sekali.
Tempat sebelum Masjidil Aqsha didirikan adalah reruntuhan candi
Sulaiman. Masjidil Aqsha baru didirikan pada kekhalifahan Umar bin
Khattab dan baru selesai pembangunannya pada kekhalifahaan Abdul Malik
bin Marwan pada 68 H yakni lima puluh tahun setelah Nabi Muhammad wafat.
Jadi masjid tersebut adalah “simbol” yang harus dikaji maknanya lebih
mendalam. Oleh karena sulit menjelaskan hal gaib maka simbol diperlukan
untuk memudahkan pemahaman. Nah, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha
adalah simbol dari bayt Allah (rumah Allah). Tentu makna rumah Allah disini tidak diartikan secara harfiah
sebagaimana rumah manusia karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan
rumah. Peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa dimana Rasulullah
berkunjung ke bayt Allah. Dimana letaknya bayt Allah? Ya di dalam diri tiap manusia.
Beliau
melakukan perjalanan ruhani ke dalam diri. Dalam sebuah Hadistnya Nabi
mengatakan : “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan
mengenal Tuhannya”. Dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa
tempat nabi melakukan Mikraj masih hangat. Ini artinya nabi tidak
melakukan perjalanan spiritual secara fisik melainkan perjalanan secara
ruhani yakni melalui zikir dan tafakur. Manusia tidak perlu melakukan
perjalanan secara fisik untuk menemui Allah karena sesungguhnya Allah
tidak berada disuatu tempat yang terikat oleh ruang dan waktu layaknya
manusia. Allah itu meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu. (Q.S Fushshilat (41) : 54)
Dan Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Q.S Qaaf (50) : 16)
Dan Allah bersama kamu dimana saja kamu berada. (Q.S Al Hadiid (57) : 4)
Dari
ayat diatas, kita akan menyadari bahwa Allah itu tidaklah
berjauhan dengan hamba-Nya dan untuk mengenal Allah cukup dengan
mengkaji ke dalam diri pribadi. Usaha untuk mengkaji ke dalam diri
dimulai dengan Isra. Isra adalah usaha atau pencarian yang dilakukan
manusia untuk mencari lalu menemui Tuhannya.
Hal
ini disimbolkan melalui perjalanan malam hari dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsha. Disebut perjalanan malam karena kebanyakan manusia
ini hidup dalam kegelapan karena tidak tahu akan kemana tujuan hidupnya.
Orang yang tidak tahu tujuan hidup disebut orang yang buta mata batinnya.
Dan
barang siapa yang buta (mata batinnya) di dunia ini, niscaya di
akherat nanti akan lebih buta lagi dan lebih tersesat dari jalan yang
benar. (Q.S Al Israa (17) : 72)
Nah,
kalau di dunia saja buta kita tidak tahu arah yang dituju apalagi
di kehidupan yang akan datang? Ibarat mau ke Surabaya tapi tidak
punya petunjuk jalan untuk mencapai daerah tersebut. Di perjalanan ya
tentu akan nyasar. Tersesat ke arah yang makin kita tidak tahu dan tentu
akan membuat kita makin menderita karena berada ditempat yang asing.
Lalu apa tujuan hidup kita sebenarnya? Ini telah saya jelaskan di post terdahulu yaitu kembali kepada Allah (Ilayhi Roji’un).
Nah agar manusia tidak tersesat (buta mata batinnya) dan selamat sampai
kepada-Nya maka manusia harus mampu melakukan Isra Mikraj. Dan Isra
Mikrajnya tidak perlu pergi ke Mekkah atau Yerusalem. Tidak perlu
menjual tanah. Orang miskin harta pun bisa melakukan Isra Mikraj asalkan
ia bersungguh-sungguh ingin menemui-Nya.
Hai
Manusia, bersungguh-sungguhlah kamu dengan setekun-tekunnya sehingga
sampai kepada Tuhanmu lalu kamu menemui-Nya. (Q.S Al Insyiqaaq (84) : 6)
Dalam Isra atau pencarian ini manusia harus melakukan jihad ke dalam diri yakni melakukan takhalli dan tahalli agar kemudian bisa melakukan Mikraj yakni berkunjung ke bayt Allah untuk menemui-Nya. Apa itu takhalli dan tahalli ?
TAKHALLI
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S As Syams (91) : 9-10)
Takhalli adalah
mensucikan diri. Dalam hal ini disimbolkan dengan kisah pembedahan hati
Nabi oleh Malaikat Jibril dengan air zam-zam. Harap dipahami bahwa
pembedahan hati tersebut hanya simbol!. Maksud dari simbol itu adalah
untuk menemui Allah harus bersih/suci dari penyakit hati. Artinya adalah
manusia harus berusaha mensucikan dirinya. Kenapa? Karena Allah
itu Maha Suci. Dia hanya akan menerima hamba-Nya yang suci. Mereka
yang belum suci ya belum bisa kembali kepada-Nya. Ini berarti mereka
masih
berada
di alam surga dan neraka-Nya. Sebagian dari mereka masih
melakukan kejahatan. Sebagian dari mereka beribadah karena takut neraka
(mental budak) dan sebagian mereka lagi beribadah karena berharap surga
(mental pedagang). Jadi masih harus dilatih! Masih harus disempurnakan!
Bertakhalli adalah
jihad yang paling besar karena harus mengalahkan diri sendiri. Harus
mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Sifat-sifat iri, dengki, munafik,
tamak, dan perbuatan lain yang merugikan orang haruslah
dibuang jauh-jauh. Jelas bahwa musuh terbesar manusia bukanlah
siapa-siapamelainkan dirinya sendiri. Ada sebuah ungkapan bijak dari Walt kelly yang mengatakan :
“Kita telah menemukan sang musuh, dan ternyata dia adalah diri kita sendiri”.
Dalam suatu Hadistnya, Nabi juga mengatakan bahwa orang mukmin yang
kuat bukanlah yang kuat fisiknya melainkan yang mampu mengalahkan hawa
nafsunya.
TAHALLI
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (Q.S An Nahl(16) : 90)
Tahallli adalah
mengisi hidup kita dengan kebajikan atau perbuatan yang baik seperti
jujur, kasih sayang, sabar, ikhlas, mudah memberi maaf,
menegakan perdamaian dan menebar salam kepada sesama manusia. Nah,
sekarang ini sebagian umat Islam memposisikan dirinya ekslusif. Paling
benar. Merasa paling masuk surga sendirian sehingga mengharamkan
menjawab salam dari umat non muslim.
Padahal
fatwa tersebut jelas menyalahi perintah Allah. Bahkan di Al Quran surah
An Nisaa (4):94, pada saat berperang orang mukmin itu
dilarang mengatakan “kamu bukan mukmin” terhadap orang yang mengucapkan
salam. Dalam situasi perang saja kita diperintahkan demikian apalagi
dalam situasi damai!. Ayat lain di Al Quran juga memerintahkan hal yang
sama :
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah ialah mereka yang berjalan dimuka
bumi ini dengan rendah hati. Apabila orang jahil menyapa mereka, maka
mereka berkata “Salam” (kata-kata yang baik). (Q.S Al Furqan (25) : 63)
Coba
kita baca kembali ayat diatas. Sangat jelas bahwa orang mukmin
yang rendah hati pun akan membalas salam bahkan dari orang jahil atau
iseng sekalipun. Inilah mukmin yang mampu mengajak orang lain ke sorga
dengan menebar salam. Ayat diatas adalah ayat Quran, jadi tidak perlu
ditanya lagi keshahihannya. Sayangnya oleh para ulama, ayat diatas
dibatalkan oleh Hadist yang melarang menjawab salamnya orang non muslim.
Tidaklah mengherankan jika kemudian Islam dipandang sebagian orang non
muslim sebagai agama yang tidak bersahabat. Sungguh aneh jika Al Quran
dihapus oleh Hadist. Seharusnya kita hanya mengambil Hadist yang tidak
bertentangan dengan Quran. Kalau ada Hadist yang bertentangan dengan
Quran sebaiknya tidak masuk hitungan meski diriwayatkan oleh perawi yang
terkenal sekalipun. Perbuatan dan perkataan Rasul tentu disesuaikan
dengan kondisinya pada saat itu. Kita harus melihat kemungkinannya bahwa Hadist itu sifatnya kasus per kasus () dan tidak
bisa digeneralisasi untuk semua keadaan. Dalam hal perintah Nabi
untuk membunuh cecak misalnya, Hadist ini tidak bisa digeneralisasi
bahwa semua cecak harus dibunuh sebab Nabi mengatakan perintah demikian
karena pada saat itu Nabi terkena kotoran cecak. Malah dalam Hadist
lainnya, Nabi justru
memerintahkan kita untuk tidak membunuh binatang yang tidak mengganggu.
Begitu
juga dengan Hadist yang melarang menjawab salam dari kalangan
non muslim harusnya jangan kita telan bulat-bulat. Jadi dalam hal ini
kita harus berhati-hati dengan Hadist. Bukan berarti kita ingkar Hadist.
Bukan!! Tapi berhati-hati dalam berfatwa menggunakan Hadist. Jangan
kita terjebak mengagung-agungkan (taklid) kepada perawinya. Tidak ada
jaminan dari Allah atau Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa perawi A
atau B adalah perawi yang harus ditaati, dipercaya karena bebas dari
kesalahan.
Sejarah
Hadist sendiri dimulai pada tahun 100 H dimana Khalifah Umar bin Abdul
Aziz mendorong penulisan Hadist. Jika Al Qurannya pada masa itu sudah
baku dan hanya ada satu yakni versi Ustman bin Affan -versi
lainnya dibakar agar tidak terjadi perbedaan-, tidaklah demikian dengan
Hadist. Di masa Umar bin. Abdul Aziz -yang wafat 101 H- riwayat,
dongeng, sabda Yesus, dan doktrin di luar Al Quran menjamur dan tak
terkontrol sehingga pemalsuan Hadist sulit untuk bisa di edit kembali.
Lebih dari 125 tahun kemudian, Bukhari baru muncul di permukaan bumi.
Tak alang kepalang jumlah Hadist, lebih dari sejuta Hadist. Bukhari
sendiri menyeleksi sekitar
600.000 Hadis. Dan dari yang terseleksi pun banyak yang miring kepada daulat Abbasiyah.
Berlanjut ke 3 TINGKAT KEYAKINAN BAGIAN 2 >>> klik DISINI
No comments:
Post a Comment