Di dalam kitab “Al-Asror Rabbaniyyah
wal Fuyudhatur Rahmaniyyah” karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5
diterangkan yang artinya sebagai berikut: Telah berkata guru dari guru-guru
kami, Sayyid Mushtofa Al-Bakri: Telah berkata Al-’Ala’i di dalam kitab
tafsirnya bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi
Ilyas as hidup kekal sampai hari kiamat.
Nabi
Khidir as berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada
orang-orang yang tersesat di lautan. Sedangkan, Nabi Ilyas berkeliling di
sekitar gunung-gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat
di gunung-gunung. Inilah kebiasaan mereka di waktu siang hari.
Sedangkan
di waktu malam hari mereka berkumpul di bukit Ya’juj wa Ma’luj (يأجوج و مأجوج)
sambil mereka menjaganya. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Khidir
dan Nabi Ilyas berjumpa pada tiap-tiap tahun di Mina (Saudi Arabia). Mereka
saling mencukur rambutnya secara bergantian. Kemudian mereka berpisah dengan
mengucapkan kalimat:
بسم الله ما شاء الله لا
يسوق الخير الا الله بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله بسم الله ما
شاء الله ما كان من نعمة فمن الله بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله
Maka
barangsiapa mengucapkan kalimat-kalimat ini pada waktu pagi dan sore hari, maka
ia akan aman dari tenggelam, kebakaran, pencurian, syaitan, sultan, ular, dan
kalajengking.
Dan
telah dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi
Ilyas itu berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis (Palestina) dan mereka melakukan
ibadah haji pada tiap-tiap tahun. Mereka minum air zamzam dengan sekali
tegukan, yang mencukupkan mereka seperti minuman dari Kabil.
Sebagian
ulama menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Khidir itu putera Nabi Adam as yang
diciptakan dari tulang iganya. Menurut segelintir kecil ulama lagi beliau
putera Halqiya. Ada yang mengatakan putera Kabil bin Adam. Adapula yang
mengatakan beliau itu cucunya Nabi Harun as, yaitu putera bibinya Iskandar Dzul
Qarnain. Dan Perdana Menterinya benar-benar aneh mengatakan bahwa Nabi Khidir
itu dari golongan malaikat. Sedangkan, menurut pendapat ulama yang paling
shohih adalah bahwa Khidir itu adalah seorang Nabi. Menurut ulama jumhur beliau
itu masih hidup dan beliau tidak akan pernah meninggal terkecuali pada hari
kiamat apabila Al-Qur’an telah diangkat dan Dajjal telah membunuhnya. Kemudian,
Allah menghidupkannya kembali. Sesungguhnya, beliau itu masa hidupnya panjang
sekali. Karena, beliau meminum air kehidupan.
Al-Qirani”.Nggak ada siapa yang bisa mengenali siapakah itu Nabi Khidir AS, melaenkan kepada mereka yg Allah Azzawajalla izinkan. Nabi Musa AS yang berdarjat seorang Nabi lagi Rasul, lagi bergelar Kalamullah ada kitab Taurat, lagi ada Mukjizat Tongkat Sakti pembelah lautan, itu pun nggak kenal siapa itu Nabi Khidir AS. Nabi Musa AS nggak bisa sabar berguru menuruti perjalanan Nabi Khidir AS yg penuh hikmah lagi banyak mencarik adat itu. Nabi Musa AS koq banyak bertanya menggunakan akal syariatnya sebab itu terputus pengenalannya dan perguruannya dgn itu Nabi Khidir AS sebelum cukup edahnya.
Kata Sang Raja Wali pula : Begitu juga kisahnya seorang yg mengaku Nasab Ahlul Bait, pada sangkaannya dia sudah cukup syarat2nya sebagai Imam Mahdi, maka dia mengakui dirinya itulah Imam Mahdi Al-Muntazar. Lalu beliau diuji oleh Nabi Khidir AS, namun Imam Mahdi Al-Muntazar itu pun nggak kenal siapa itu Nabi Khidir AS. Wallahu’alam….
Maka keberadaannya itu Nabi Khidir AS ada kalanya pada Hadrat2 tertentu ianya bersifat Kedirian (Subjektif), gambarannya seperti kisahnya dgn Nabi Musa AS itu. Begitu juga mereka yg mengalami pelbagai2 wajah pengalaman peribadi secara berguru dgn itu Nabi Khidir AS dalam menyelami Alam Keruhanian lagi penuh mistik itu. Kerana ada kalanya ianya dikatakan ada dimana2 tempat dlm satu masa. Untuk mentafsirkan siapakah itu Nabi Khidir AS tersangat rumit. Agaknya seperti itu Ruh yg nggak tertakluk pada masa tempat dan ruang, koq…??? Wallahu’alam…
Ada kalanya juga keberadaannya itu Nabi Khidir AS pada sesuatu Hadrat ianya bersifat Khusus dalam Kesemestaan. Seperti Alam Kewalian sebagai Wali Wakil Allah mentadbir Alam Semesta Raya ini. Maka kehadiran dan wataknya bersesuaian dgn tugas2 Semesta Imam Mahdi Sejati yg paling berat sebagai Wali Qutubul Alam di Akhir Zaman ini. Dimana beban2 dunia semesta sejak dari zaman silam hingga keAkhir Zaman ini tertanggung diatas bahunya. Kata Sang Raja Wali lagi : Ada pun makna Mahdi itu yg diberi petunjuk, dibimbing dan sentiasa terpelihara. Maka Imam Mahdi “Is The Guided Man”. Maka pada Hadrat2 tertentu itu “Imam Mahdi Is Guided By Khidir….”
Persoalannya : Apakah Nabi Khidir AS itu maseh hidup ato telah wafat? Jawapannya terpulanglah pada keimanan, kefahaman dan aliran masing2. Kalo dihamparan lautan BahrulWujud itu Nabi Musa As mencari itu “Hamba Allah Yg Beriman” itu dipertemuan dua lautan. Maka diAlam Kedirian bagi kita pula dimana pula, ya…??? Koq dibuat cobaan manalah tahu koq2 bisa ketemu itu Khidir dipertemuan “Kiri” dan “Kanan”…
Nabi Khidir a.s. adalah nabi yang
amat misterius. Pelajarannya pun sangat misterius. Demikian pula cara berdakwahnya
yang berbeda dengan cara berdakwah nabi-nabi yang lain. Hal-hal misterius juga
terjadi pada orang-orang yang berupaya bertemu dengannya. Oleh karena itu,
tidak aneh bila orang yang menerima pelajarannya pun terkadang menjadi bingung.
Pelajaran Nabi Khidir a.s. berupa
ilmu hakikat. Bentuk pelajarannya adalah ijmak dan kias. Makna pelajarannya
sangat dalam. Hal yang menjadikan pelajarannya misterius adalah cara
penyampaiannya yang terkesan aneh dan seakan-akan tidak pada tempatnya. Oleh
sebab itulah, terkadang pelajarannya justru tidak disadari oleh orang yang
belajar kepadanya. Memang pelajaran Nabi Khidir a.s. ditujukan bagi khaas
dan khawas. Hanya kepada orang-orang yang mampu menerimanya Nabi Khidir
a.s. memberikan pelajarannya. Seandainya kita dapat mengikuti pelajarannya,
kita hanya dapat mengikuti sebagian kecil saja diantaranya. Itu pun setelah
kita mulai mempelajarinya dengan kepasrahan total.
Nabi Khidir a.s. menyampaikan
pelajarannya melalui perbuatan isyarat dan kias. Dalam mempelajarinya diperlukan
pemikiran yang lebih dalam dan penelaahan yang serius melalui pencermatan dan
perenungan terhadap pelajaran itu. Orang-orang yang belum mencapai kelas Nabi
Khidir a.s. pasti menolak pelajaran yang diberikan olehnya. Dan itulah yang
sempat dilakukan oleh Nabi Musa a.s. Beliau menolak pelajaran Nabi Khidir
beberapa kali karena bertentangan dengan isi hati nuraninya.
Saking tidak enaknya Nabi Musa
karena terus-menerus kecele dan salah tafsir, akhirnya ia berkata “Jika
aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
padaku.” {QS. 18:76}. Namun rupanya lagi-lagi Nabi Musa melakukan kesalahan
serupa, sehingga Nabi Khidir pun berkata: “Inilah perpisahan antara aku
dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” {QS. 18:78}. Maka diberitahulah Nabi
Musa oleh Nabi Khidir mengapa tadi sampai ia berbuat demikian {QS. 18:79-82}.
Ketika hendak berpisah, Nabi Musa
a.s. meminta agar Nabi Khidir a.s. memberikannya wasiat. Nabi Khidir memenuhi
permintaan Nabi Musa ini [Permintaan wasiat ini beberapa diantaranya dikisahkan
dalam kitab Al-Bidayah Wan Nihayah juz 1 (hlm. 329) dan Ihya’
Ulumuddin juz IV (hlm. 56)]. Berikut beberapa isi wasiatnya:
1. Jadikanlah pakaianmu itu
bersumber dari zikir yang berbuah fakir. Perbanyaklah amal kebajikan. Terimalah
ilmu yang tidak disampaikan dengan pembicaraan. Suatu hari nanti kamu tidak
bisa mengelak dari kesalahan karena akalmu melanggar larangan-Nya. Oleh karena
itu, pintalah ridha Allah swt.
2. Janganlah selalu menyalahkan
orang lain, jangan suka berdebat tentang hal-hal yang tidak perlu, sampaikan
ilmumu kepada orang lain yang berhak menerima dengan ikhlas, dan pelajari
ilmu-ilmu yang belum kamu pahami.
3. Kurangilah usaha duniawi.
Terbukalah kepada siapa saja secara lahir dan batin. Bersikaplah arif kepada
semua makhluk terutama manusia, karena sifat arif menjadi rahmat bagi alam
semesta. Apabila datang orang bodoh mencacimu, hadapilah ia dengan penuh
kedewasaan serta keteguhan hati.
4. Tahanlah hawa nafsumu dengan
mendekatkan diri kepada-Nya. Bersikaplah sabar dalam menerima semua ketentuan
dari-Nya. Berantaslah kejahilan serta perbanyaklah bersyukur kepada Allah swt.
5. Hiasi wajahmu dengan keceriaan,
hiasi kalbumu dengan keikhlasan, dan hiasi jiwamu dengan ketabahan serta
kepasrahan.
Berikut Kisahnya.
Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada dirinya dengan menjadi seorang raja. Dialah Raja Iskandar Zulkarnaen, yang namanya telah tersebut dalam Al Qur'an.
Pada tahun 322 SM, Raja Iskandar Zulkarnaen berniat mengadakan perjalanan untuk mengelilingi bumi dan Allah SWT mewakilkan salah satu malaikatnya yang bernama Rofa'il untuk menyertainya dalam perjalanan panjang itu.
Dialog Malaikat dan Raja Iskandar Zulkarnaen.
Karena ditemani oleh seorang malaikat, Raja Zulkarnaen banyak mengajukan pertanyaan seputar dunia dan akhirat serta isinya. Salah satu pertanyaan yang paling terkenal adalah tentang ibadah para malaikat di langit.
"Wahai Malaikat Rofa'il, ceritakanlah kepadaku tentang ibadahnya para malaikat yang ada di langit," tanya Raja Zulkarnaen.
"Para malaikat yang ada di langit ibadahnya ada yang berdiri tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada juga yang bersujud tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya," jawab Malaikat Rofa'il.
"Duh, alangkah senangnya hati ini seandainya aku bisa hidup bertahun-tahun lamanya untuk beribadah kepada Allah SWT," kata Raja Zulkarnaen.
"Wahai raja, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan sumber air di bumi. Namanya Ainul Hayat, artinya sumber air hidup. Maka barang siapa yang meminum airnya seteguk, maka ia tidak akan mati sampai hari kiamat atau jika ia memohon kepada Allah SWT untuk dimatikan," kata Malaikat Rofa'il.
"Apakah engkau tahu tempat Ainul Hayat itu wahai Malaikat Rofa'il?" tanya raja.
"Sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di bumi yang gelap," jawab Malaikat Rofail.
Setelah Raja Zulkarnaen mendengar penuturan malaikat Rofa'il tentang Ainul Hayat itu, maka raja segera mengumpulkan para alim ulama pada saat itu. Sebelumnya, raja bertanya kepada mereka tentang letak Ainul Hayat, tapi mereka semua menjawab tidak tahu.
"Wahai para alim ulama, tahukah kalian dimanakah letak Ainul Hayat itu?" tanya raja.
"Kami tidak mengetahuinya wahai baginda, hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui," jawab salah seorang ulama.
Di luar dugaan, dari pertanyaan Raja Zulkarnaen tersebut, ada salah seorang ulama yang mampu menjawab meski tidak sedetail letaknya.
"Sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat Nabi Adam as bahwa beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah SWT meletakkan Ainul Hayat itu di bumi yang gelap," kata ulama itu.
"Dimanakah bumi yang gelap itu?" tanya raja.
"Yaitu di tempat terbitnya matahari," jawab orang alim ulama itu.
Kemudian Raja Zulkarnaen menyuruh para pengawalnya untuk menyiapkan segala keperluan untuk mencari dan mendatangi tempat Ainul Hayat itu.
"Kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap?" tanya raja.
"Kuda betina yang masih perawan," jawab para sahabatnya.
Akhirnya raja mengumpulkan seribu kuda betina yang masih perawan dan ia memilih diantara 6 ribu tentaranya yang pandai serta ahli dalam mencambuk. Di antara para tentara itu, ada yang bernama Nabi Khidir as, bahkan beliau menjabat sebagai perdana menteri kala itu.
Perjalanan Mencari Ainul Hayat.
Setelah dirasa semua cukup dan siap, maka berangkatlah Raja Zulkarnaen dan Nabi Khidir as yang ebrjalan di depan pasukan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya mereka mengetahui tempat terbitnya matahari.
Mereka pun menuju arah terbitnya matahari tersebut.
Perjalanan ke temnpat tujuan tersebut memakan waktu 12 tahun lamanya untuk sampai di bumi yang gelap itu. Gelapnya bukanlah seperti di waktu malam hari, melainkan gelap karena ada pancaran seperti asap.
Raja Zulkarnaen sudah tak sabar lagi hendak masuk ke tempat gelap itu, namun salah seorang cendikiawan mencegahnya. Para tentara berkata kepada raja,
"Wahai Baginda, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk ke tempat gelap ini, karena tempat yang gelap ini berbahaya."
"Wahai prajurit, kita harus memasukinya, tidak boleh tidak," sanggah sang raja.
Karena raja bersikeras hendak masuk, maka tak ada seorang pun yang berani melarangnya.
"Diamlah dan tunggulah kalian di sini selama 12 tahun. Jika aku bisa datang kepada kalian dalam masa itu, maka kedatanganku terhadap kalian termasuk baik. Dan jika aku tidak datang dalam 12 tahun, maka pulanglah kalian kemabli ke negeri kalian," ujar sang raja.
Setelah itu raja mendekat dan bertanya kepada malaikat Rofa'il,
"Apabila kita melewati tempat gelap ini, apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita?"
"Tidak bisa kelihatan<" jawab Malaikat Rofa'il.
"Akan tetapi aku memberimu sebuah merjan atau mutiara. Jika mutiara itu ke atas bumi, maka mutiara itu dapat emnjerit dengan suara yang keras, dengan demikian kawan-kawan kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian," jelas Malaikat Rofa'il lebih lanjut.
Masuk ke Ainul Hayat.
Demikianlah, akhirnya Raja Iskandar Zulkarnaen masuk ke tempat yang gelap itu. Selama 18 hari lamanya tidak pernah melihat matahari dan bulan, tidak pernah melihat malam maupun siang. Tidak pernah melihat burung dan binatang liar, sedangkan raja berjalan dengan didampingi Nabi Khidir as.
Pada saat mereka berjalan, maka ALlah SWT memberi wahyu kepada Nabi Khidir as.
"Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat ini Aku khususkan untuk kamu."
Setelah Nabi Khidir as menerima wahyu itu, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya,
"Berhentilah kalian di tempat masing-masing dan jangan kalian emninggalkan tempat kalian sebelum aku datang kepada kalian."
Kemudian Nabi Khidir as menuju kanan jurang hingga beliau menemukan Ainul Hayat itu. Beliau turun dari kudanya, melepaskan pakaiannya dan turun ke Ainul Ahaya tersebut. Beliau mandi dan minum air sumber hidup tersebut dan beliau merasakan bahwa airnya lebih manis daripafda madu.
Sesudah mandi dan minum air tersebut, beliau keluar dari tempat itu kemudian menemui Raja Iskandar Zulkarnaen. Raja tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas diri Nabi Khidir as.
Wallahu A'lam
Perihal Nabi Khidir a.s.
Bukhari, Ibn al-Mandah, Abu Bakar al-Arabi, Abu Ya’la, Ibn al-Farra’, Ibrahim al-Harbi dan lain-lain berpendapat, Nabi Khidir a.s. tidak lagi hidup dengan jasadnya, ia telah wafat. Yang masih tetap hidup adalah ruhnya saja, iaitu sebagaimana firman Allah:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
“Kami tidak menjadikan seorang pun sebelum engkau (hai Nabi), hidup kekal abadi.” (al-Anbiya’: 34)
Hadith marfu’ dari Ibn Umar dan Jabir (r.a.) menyatakan:
“Setelah lewat seratus tahun, tidak seorang pun yang sekarang masih hidup di muka bumi.”
Ibn al-Šalah, al-Tsa’labi, Imam al-Nawawi, al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dan kaum Sufi pada umumnya; demikian juga jumhurul-‘ulama’ dan ahl al-šalah (orang-orang saleh), semua berpendapat, bahawa Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya, ia akan meninggal dunia sebagai manusia pada akhir zaman. Ibn Hajar al-Asqalani di dalam Fath al-Bari menyanggah pendapat orang-orang yang menganggap Nabi Khidir a.s. telah wafat, dan mengungkapkan makna hadith yang tersebut di atas, iaitu huraian yang menekankan, bahawa Nabi Khidir a.s. masih hidup sebagai manusia. Ia manusia makhsus (dikhususkan Allah), tidak termasuk dalam pengertian hadith di atas.
Mengenai itu Ulama berpendapat:
1. Kekal bererti tidak terkena kematian. Kalau Nabi Khidir a.s. dinyatakan masih hidup, pada suatu saat ia pasti akan wafat. Dalam hal itu, ia tidak termasuk dalam pengertian ayat al-Qur’an yang tersebut di atas selagi ia akan wafat pada suatu saat.
2. Kalimat ‘di muka bumi’ yang terdapat dalam hadith tersebut, bermaksud adalah menurut ukuran yang dikenal orang Arab pada masa itu (dahulu kala) mengenai hidupnya seorang manusia di dunia. Dengan demikian maka Nabi Khidir a.s. dan bumi tempat hidupnya tidak termasuk ‘bumi’ yang disebut dalam hadith di atas, kerana ‘bumi’ tempat hidupnya tidak dikenal orang-orang Arab.
3. Yang dimaksud dalam hal itu ialah generasi Rasulullah s.a.w. terpisah sangat jauh dari masa hidupnya Nabi Khidir a.s. Demikian menurut pendapat Ibn Umar, iaitu tidak akan ada seorang pun yang mendengar bahawa Nabi Khidir a.s. wafat setelah usianya lewat seratus tahun. Hal itu terbukti dari wafatnya seorang bernama Abu al-Thifl Amir, satu-satunya orang yang masih hidup setelah seratus tahun sejak adanya kisah tentang Nabi Khidir a.s.
4. Apa yang dimaksud ‘yang masih hidup’ dalam hadith tersebut ialah: tidak ada seorang pun dari kalian yang pernah melihatnya atau mengenalnya. Itu memang benar juga.
5. Ada pula yang mengatakan, bahawa yang dimaksud kalimat tersebut (yang masih hidup) ialah menurut keumuman (ghalib) yang berlaku sebagai kebiasaaan. Menurut kebiasaan amat sedikit jumlah orang yang masih hidup mencapai usia seratus tahun. Jika ada, jumlah mereka sangat sedikit dan menyimpang dari kaedah kebiasaaan; seperti yang ada di kalangan orang-orang Kurdistan, orang-orang Afghanistan, orang-orang India dan orang-orang dari penduduk Eropah Timur.
Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya atau dengan jasad yang baru.
Dari semua pendapat tersebut, dapat disimpulkan: Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasad dan ruhnya, itu tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Tegasnya, Nabi Khidir a.s masih hidup; atau, ia masih hidup hanya dengan ruhnya, mengingat kekhususan sifatnya.
Ruhnya lepas meninggalkan Alam Barzakh berkeliling di alam dunia dengan jasadnya yang baru (mutajassidah). Itupun tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Dengan demikian maka pendapat yang menganggap Nabi Khidir a.s. masih hidup atau telah wafat, berkesimpulan sama; iaitu: Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya sebagai manusia, atau, hidup dengan jasad ruhi (ruhani). Jadi, soal kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidir a.s. atau melihatnya adalah benar sebenar-benarnya. Semua riwayat mengenai Nabi Khidir a.s. yang menjadi pembicaraan ahlullah (orang-orang bertaqwa dan dekat dengan Allah S.W.T.) adalah kenyataan yang benar terjadi.
Silakan lihat kitab Ušul al-Wušul karya Imam al-Ustaz Muhammad Zaki Ibrahim, Jilid I, Bab: Kisah Khidir Bainas-Šufiyah Wa al-‘Ulama’. Dipetik dengan sedikit perubahan dari al-Hamid al-Husaini, al-Bayan al-Syafi Fi Mafahimil Khilafiyah; Liku-liku Bid‘ah dan Masalah Khilafiyah (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1998, m.s. 488).
Bediuzzaman Said Nursi di dalam Maktubat, al-Maktub al-Awwal, dari koleksi Rasail al-Nur.
Nursi menjawab satu soalan…adakah Sayyidina Khidr masih hidup?
Nursi menjawab ya…kerana ‘hayah’ itu 5 peringkat. Nabi Khidr di peringkat kedua.
5 Peringkat ‘hayah’ itu ialah:
1. Kehidupan kita sekarang yang banyak terikat pada masa dan tempat.
2. Kehidupan Sayyidina Khidr dan Sayyidina Ilyas. Mereka mempunyai sedikit kebebasan dari ikatan seperti kita. Mereka boleh berada di byak tempat dalam satu masa. boleh makan dan minum bila mereka mahu. Para Awliya’dan ahli kasyaf telah meriwayatkan secara mutawatir akan wujudnya ‘hayah’ di peringkat ini. Sehingga di dalam maqam ‘walayah’ ada dinamakan maqam Khidr.
3.Peringkat ketiga ni seperti kehidupan Nabi Idris dan Nabi Isa. Nursi kata, peringkat ini kehidupan nurani yang menghampiri hayah malaikat.
4.Peringkat ni pula…ialah kehidupan para syuhada’. Mereka tidak mati, tetapi mereka hidup seperti disebut dalam al-Qur’an. Ustaz Nursi sendiri pernah musyahadah peringkat kehidupan ini.
5.Dan yang ni Hayah atau kehidupan rohani sekalian ahli kubur yang meninggal
Wallahhua’lam. Subhanaka la ‘ilma lana innaka antal ‘alimul hakim
Berkata Imam Ja'far as Shadiq :
.Bercerita kepadaku ayahku bahawa Ali bin Abi Talib ada berkata : .
Tahukah kamu siapa ini? Ini adalah suara Nabi Khidir..
Berkata Muhammad bin Ja'far : .
Adalah ayahku, yaitu Ja'far bin Muhammad, menyebutkan tentang riwayat dari ayahnya, dari datuknya, dari Imam Ali bin Abi Talib bahawa datang ke rumahnya satu rombongan kaum Quraisy kemudian dia berkata kepada mereka: .
Maukah kamu aku ceritakan kepada kamu tentang Abul Qasim (Muhammad SAW)?.
Kaum Quraisy itu menjawab: .
Tentu saja mau..
Imam Ali bin Abi Talib berkata: .
Berkata Saif bin Amr At-Tamimi dalam kitabnya Ar-Riddah, yang diterimanya dari Said bin Abdullah, dari Ibnu Umar mengatakan: .Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah Abu Bakar ke rumah Rasulullah. Ketika beliau melihat jenazah Rasulullah SAW, beliau berkata: .
Sesungguhnya pada agama Allah ada pengganti setiap ada yang binasa dan ada kelepasan dari segala yang menakutkan. Kepada Allah-lah kamu mengharap dan dengan-Nya berpegang. Orang yang diberi musibah akan diberi ganjaran. Dengarlah itu dan hentikan kamu menangis itu."
Mereka melihat ke arah suara itu tetapi tidak melihat orangnya. Kerana sedihnya mereka
menangis lagi. Tiba-tiba terdengar lagi suara yang lain mengatakan: .
Berkata Ibnu Abu Dunia, yang didengarnya dari Kamil bin Talhah,
Kemudian lelaki itu pun menghilang daripada pandangan para sahabat. Abu Bakar berkata:
Berikut Kisahnya.
Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada dirinya dengan menjadi seorang raja. Dialah Raja Iskandar Zulkarnaen, yang namanya telah tersebut dalam Al Qur'an.
Pada tahun 322 SM, Raja Iskandar Zulkarnaen berniat mengadakan perjalanan untuk mengelilingi bumi dan Allah SWT mewakilkan salah satu malaikatnya yang bernama Rofa'il untuk menyertainya dalam perjalanan panjang itu.
Dialog Malaikat dan Raja Iskandar Zulkarnaen.
Karena ditemani oleh seorang malaikat, Raja Zulkarnaen banyak mengajukan pertanyaan seputar dunia dan akhirat serta isinya. Salah satu pertanyaan yang paling terkenal adalah tentang ibadah para malaikat di langit.
"Wahai Malaikat Rofa'il, ceritakanlah kepadaku tentang ibadahnya para malaikat yang ada di langit," tanya Raja Zulkarnaen.
"Para malaikat yang ada di langit ibadahnya ada yang berdiri tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada juga yang bersujud tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya," jawab Malaikat Rofa'il.
"Duh, alangkah senangnya hati ini seandainya aku bisa hidup bertahun-tahun lamanya untuk beribadah kepada Allah SWT," kata Raja Zulkarnaen.
"Wahai raja, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan sumber air di bumi. Namanya Ainul Hayat, artinya sumber air hidup. Maka barang siapa yang meminum airnya seteguk, maka ia tidak akan mati sampai hari kiamat atau jika ia memohon kepada Allah SWT untuk dimatikan," kata Malaikat Rofa'il.
"Apakah engkau tahu tempat Ainul Hayat itu wahai Malaikat Rofa'il?" tanya raja.
"Sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di bumi yang gelap," jawab Malaikat Rofail.
Setelah Raja Zulkarnaen mendengar penuturan malaikat Rofa'il tentang Ainul Hayat itu, maka raja segera mengumpulkan para alim ulama pada saat itu. Sebelumnya, raja bertanya kepada mereka tentang letak Ainul Hayat, tapi mereka semua menjawab tidak tahu.
"Wahai para alim ulama, tahukah kalian dimanakah letak Ainul Hayat itu?" tanya raja.
"Kami tidak mengetahuinya wahai baginda, hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui," jawab salah seorang ulama.
Di luar dugaan, dari pertanyaan Raja Zulkarnaen tersebut, ada salah seorang ulama yang mampu menjawab meski tidak sedetail letaknya.
"Sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat Nabi Adam as bahwa beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah SWT meletakkan Ainul Hayat itu di bumi yang gelap," kata ulama itu.
"Dimanakah bumi yang gelap itu?" tanya raja.
"Yaitu di tempat terbitnya matahari," jawab orang alim ulama itu.
Kemudian Raja Zulkarnaen menyuruh para pengawalnya untuk menyiapkan segala keperluan untuk mencari dan mendatangi tempat Ainul Hayat itu.
"Kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap?" tanya raja.
"Kuda betina yang masih perawan," jawab para sahabatnya.
Akhirnya raja mengumpulkan seribu kuda betina yang masih perawan dan ia memilih diantara 6 ribu tentaranya yang pandai serta ahli dalam mencambuk. Di antara para tentara itu, ada yang bernama Nabi Khidir as, bahkan beliau menjabat sebagai perdana menteri kala itu.
Perjalanan Mencari Ainul Hayat.
Setelah dirasa semua cukup dan siap, maka berangkatlah Raja Zulkarnaen dan Nabi Khidir as yang ebrjalan di depan pasukan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya mereka mengetahui tempat terbitnya matahari.
Mereka pun menuju arah terbitnya matahari tersebut.
Perjalanan ke temnpat tujuan tersebut memakan waktu 12 tahun lamanya untuk sampai di bumi yang gelap itu. Gelapnya bukanlah seperti di waktu malam hari, melainkan gelap karena ada pancaran seperti asap.
Raja Zulkarnaen sudah tak sabar lagi hendak masuk ke tempat gelap itu, namun salah seorang cendikiawan mencegahnya. Para tentara berkata kepada raja,
"Wahai Baginda, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk ke tempat gelap ini, karena tempat yang gelap ini berbahaya."
"Wahai prajurit, kita harus memasukinya, tidak boleh tidak," sanggah sang raja.
Karena raja bersikeras hendak masuk, maka tak ada seorang pun yang berani melarangnya.
"Diamlah dan tunggulah kalian di sini selama 12 tahun. Jika aku bisa datang kepada kalian dalam masa itu, maka kedatanganku terhadap kalian termasuk baik. Dan jika aku tidak datang dalam 12 tahun, maka pulanglah kalian kemabli ke negeri kalian," ujar sang raja.
Setelah itu raja mendekat dan bertanya kepada malaikat Rofa'il,
"Apabila kita melewati tempat gelap ini, apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita?"
"Tidak bisa kelihatan<" jawab Malaikat Rofa'il.
"Akan tetapi aku memberimu sebuah merjan atau mutiara. Jika mutiara itu ke atas bumi, maka mutiara itu dapat emnjerit dengan suara yang keras, dengan demikian kawan-kawan kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian," jelas Malaikat Rofa'il lebih lanjut.
Masuk ke Ainul Hayat.
Demikianlah, akhirnya Raja Iskandar Zulkarnaen masuk ke tempat yang gelap itu. Selama 18 hari lamanya tidak pernah melihat matahari dan bulan, tidak pernah melihat malam maupun siang. Tidak pernah melihat burung dan binatang liar, sedangkan raja berjalan dengan didampingi Nabi Khidir as.
Pada saat mereka berjalan, maka ALlah SWT memberi wahyu kepada Nabi Khidir as.
"Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat ini Aku khususkan untuk kamu."
Setelah Nabi Khidir as menerima wahyu itu, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya,
"Berhentilah kalian di tempat masing-masing dan jangan kalian emninggalkan tempat kalian sebelum aku datang kepada kalian."
Kemudian Nabi Khidir as menuju kanan jurang hingga beliau menemukan Ainul Hayat itu. Beliau turun dari kudanya, melepaskan pakaiannya dan turun ke Ainul Ahaya tersebut. Beliau mandi dan minum air sumber hidup tersebut dan beliau merasakan bahwa airnya lebih manis daripafda madu.
Sesudah mandi dan minum air tersebut, beliau keluar dari tempat itu kemudian menemui Raja Iskandar Zulkarnaen. Raja tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas diri Nabi Khidir as.
Wallahu A'lam
4 Nabi yang masih hidup dantetap diberi rizqi darikhazanah Allah swt.
Mereka adalah golongan yang dikhususkan oleh Allah swt. 2 Nabi Ada dibumi yaitu Nabi Khidir A.s. & Nabi Ilyas A.s. Ditempatkan di bagian bumi yang khusus yang Allah Yang Maha Tahu yang mengetahui tempat itu 2 Nabi ada di langit yaitu Nabi Isa A.s. & nabi Idris A.s. Ditempatkan di bagian langit yang khusus yang Allah Yang Maha Tahu yang mengetahui tempat itu. Untuk menjelaskan hal ini, kami jelaskan 5 peringkat hayah (kehidupan) Satu pandangan Bediuzzaman Said Nursi di dalam Maktubat, Al- Maktub Al-Awwal, dari koleksi Rasail Al-Nur. Nursi menjawab satu soalan… Apakah Sayyidina Khidir masih hidup..? Nursi menjawab ya…karena 'Hayah' itu 5 peringkat. Nabi Khidir A.s di peringkat kedua. Lima Peringkat itu ialah: 1. Kehidupan kita sekarang yang banyak terikat pada masa dan tempat. 2. Kehidupan Sayyidina Khidir A.s & Sayyidina Ilyas A.s. Mereka mempunyai sedikit kebebasan dari ikatan seperti kita. Mereka boleh berada di banyak tempat dalam satu masa. boleh makan dan minum bila mereka mau. Para Aulia' dan ahli Kasyaf telah meriwayatkan secara Mutawatir akan wujudnya 'Hayah' di peringkat ini. Sehingga di dalam maqam 'Walayah' ada dinamakan maqam Khidir. 3. Peringkat ketiga ini seperti kehidupan Nabi Idris A.s & Nabi Isa A.s . Nursi kata, peringkat ini kehidupan nurani yang menghampiri hayah malaikat. 4. Peringkat ini pula…ialah kehidupan para Syuhada'. Mereka tidak mati, tetapi mereka hidup seperti disebut dalam Al- Qur'an. Ustadz Nursi sendiri pernah Musyahadah peringkat kehidupan ini. 5. Dan yang tingkat Hayah ini atau kehidupan rohani sekalian ahli kubur yang meninggal Wallahhua'lam. Subhanaka La 'Ilma Lana Innaka Antal 'Alimul Hakim Berikut ini kami nukilkan kisahnya : 1. Nabi KHIDIR A.s Bukhari, Ibn Al-Mandah, Abu Bakar Al-Arabi, Abu Ya'la, Ibn Al- Farra', Ibrahim Al-Harbi dan lain- lain berpendapat, Nabi Khidir A.s. tidak lagi hidup dengan jasadnya, ia telah wafat. Yang masih tetap hidup adalah ruhnya saja, sebagaimana firman Allah SWT: ﻭَﻣَﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﺒَﺸَﺮٍ ﻣِّﻦ ﻗَﺒْﻠِﻚَ ﺍﻟْﺨُﻠْﺪَ ﺃَﻓَﺈِﻥ ﻣِّﺖَّ ﻓَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﺪُﻭﻥَ "Kami tidak menjadikan seorang pun sebelum engkau (hai Nabi), hidup kekal abadi." (Q.S Al- Anbiya': 34) Hadist Marfu' dari Ibn Umar dan Jabir (R.a.) menyatakan: "Setelah lewat seratus tahun, tidak seorang pun yang sekarang masih hidup di muka bumi." Ibn Al-Salah, Al-Tsa'labi, Imam Al- Nawawi, Al-Hafiz Ibn Hajar Al- Asqalani dan kaum Sufi pada umumnya; demikian juga Jumhurul-'Ulama' dan Ahl Al- Salah (orang-orang shaleh), semua berpendapat, bahwa Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasadnya, ia akan meninggal dunia sebagai manusia pada akhir zaman. Ibnu Hajar Al- Asqalani di dalam Fath Al-Bari menyanggah pendapat orang- orang yang menganggap Nabi Khidir A.s. telah wafat, dan mengungkapkan makna hadist yang tersebut di atas, yaitu uraian yang menekankan, bahwa Nabi Khidir A.s. masih hidup sebagai manusia. Ia manusia Makhsus (dikhususkan Allah), tidak termasuk dalam pengertian hadist di atas. Mengenai itu kami berpendapat: a) Kekal berarti tidak terkena kematian. Kalau Nabi Khidir A.s. dinyatakan masih hidup, pada suatu saat ia pasti akan wafat. Dalam hal itu, ia tidak termasuk dalam pengertian ayat Al-Qur'an yang tersebut di atas selagi ia akan wafat pada suatu saat. b) Kalimat di muka bumi yang terdapat dalam hadist tersebut, bermaksud adalah menurut ukuran yang dikenal orang Arab pada masa itu (dahulu kala) mengenai hidupnya seorang manusia di dunia. Dengan demikian maka Nabi Khidir A.s. dan bumi tempat hidupnya tidak termasuk bumi yang disebut dalam hadist di atas, karena bumi tempat hidupnya tidak dikenal orang-orang Arab. c) Yang dimaksud dalam hal itu ialah generasi Rasulullah s.a.w. terpisah sangat jauh dari masa hidupnya Nabi Khidir A.s. Demikian menurut pendapat Ibnu Umar, yaitu tidak akan ada seorang pun yang mendengar bahwa Nabi Khidir A.s. wafat setelah usianya lewat seratus tahun. Hal itu terbukti dari wafatnya seorang bernama Abu al-Thifl Amir, satu-satunya orang yang masih hidup setelah seratus tahun sejak adanya kisah tentang Nabi Khidir A.s. d) Apa yang dimaksud 'yang masih hidup' dalam hadist tersebut ialah: tidak ada seorang pun dari kalian yang pernah melihatnya atau mengenalnya. Itu memang benar juga. e) Ada pula yang mengatakan, bahwa yang dimaksud kalimat tersebut (yang masih hidup) ialah menurut keumuman (Ghalib) yang berlaku sebagai kebiasaaan. Menurut kebiasaan amat sedikit jumlah orang yang masih hidup mencapai usia seratus tahun. Jika ada, jumlah mereka sangat sedikit dan menyimpang dari kaidah kebiasaaan; seperti yang ada di kalangan orang-orang Kurdistan, orang-orang Afghanistan, orang- orang India dan orang-orang dari penduduk Eropa Timur. Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasadnya atau dengan jasad yang baru. Dari semua pendapat tersebut, dapat disimpulkan: Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasad dan ruhnya, itu tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Tegasnya, Nabi Khidir A.s masih hidup; atau, ia masih hidup hanya dengan ruhnya, mengingat kekhususan sifatnya. Ruhnya lepas meninggalkan Alam Barzakh berkeliling di alam dunia dengan jasadnya yang baru (Mutajassidah). Itu pun tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Dengan demikian maka pendapat yang menganggap Nabi Khidir A.s. masih hidup atau telah wafat, berkesimpulan sama; yaitu: Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasadnya sebagai manusia, atau, hidup dengan jasad ruhi (ruhani). Jadi, soal kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidir A.s. atau melihatnya adalah benar sebenar-benarnya. Semua riwayat mengenai Nabi Khidir A.s. yang menjadi pembicaraan Ahlullah (orang-orang bertaqwa dan dekat dengan Allah S.W.T.) adalah kenyataan yang benar terjadi. Banyak sekali riwayat-riwayat tentang nabi khidir A.s dalam kitab-kitab yang Mu'tabar. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi khidir A.s masih hidup dan mati ditangan Dajjal. Dajjal akan menangkap seorang pemuda beriman. Kemudian dajjal menyuruhnya untuk menyembahnya, tapi pemuda itu pun menolak dan tetap beriman pada Allah SWT. Lalu Dajjal membunuhnya dan membelah nya menjadi dua. satu bagian dilempar sejauh mata memandang dan satu bagian dilempar sejauh mata memandang kesebelah lainnya. Kemudian Dajjal menghidupkan kembali pemuda itu. Dajjal menyuruhnya agar beriman kepadanya karena ia telah mematikannya lalu menghidupkannya. Maka pemuda itu tidak mau dan tetap beriman kepada Allah SWT. Pemuda itu bahkan mengatakan "Kamu benar-benar Dajjal!!". Lalu Dajjal mewafatkannya lagi. Ada riwayat yang mengatakan pemuda beriman ini adalah Nabi Khidir A.s. (wallahua'lam). 2. Nabi ILYAS A.s. Ketika sedang beristirahat datanglah malaikat kepada Nabi Ilyas A.s. Malaikat itu datang untuk menjemput ruhnya. Mendengar berita itu, Ilyas A.s menjadi sedih dan menangis. "Mengapa engkau bersedih..?" tanya malaikat maut. "Tidak tahulah." Jawab Ilyas A.s. "Apakah engkau bersedih karena akan meninggalkan dunia dan takut menghadapi maut?" tanya malaikat. "Tidak. Tiada sesuatu yang aku sesali kecuali karena aku menyesal tidak boleh lagi berdzikir kepada Allah, sementara yang masih hidup boleh terus berdzikir memuji Allah," jawab Ilyas A.s. Saat itu Allah SWT lantas menurunkan wahyu kepada malaikat agar menunda pencabutan nyawa itu dan memberi kesempatan kepada Nabi Ilyas A.s berdzikir sesuai dengan permintaannya. Nabi Ilyas A.s ingin terus hidup semata-mata karena ingin berdzikir kepada Allah SWT. Maka berdzikirlah Nabi Ilyas A.s sepanjang hidupnya. "Biarlah dia hidup di taman untuk berbisik dan mengadu serta berdzikir kepada-Ku sampai akhir nanti." Kata Allah SWT. 3. Nabi IDRIS A.s. Diriwayatkan Nabi Idris A.s. telah naik ke langit pada hari senin. Peristiwa naiknya Nabi Idris A.s. ke langit ini, telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Firman Allah SWT bermaksud: "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah, Idris yang tersebut di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi." (Q.S Maryam: 56-57) Nama Nabi Idris A.s. yang sebenarnya adalah 'Akhnukh'. Sebab beliau dinamakan Idris, karena beliau banyak membaca, mempelajari (tadarrus) kitab Allah SWT. Setiap hari Nabi Idris A.s menjahit Qamis (baju kemeja), setiap kali beliau memasukkan jarum untuk menjahit pakaiannya, beliau mengucapkan kalimat Tasbih. Jika pekerjaannya sudah selesai, kemudian pakaian itu diserahkannya kepada orang yang memesannya tanpa meminta upah. Walau demikian, Nabi Idris A.s masih sanggup beribadah dengan amalan yang sukar untuk digambarkan. Sehingga Malaikat Maut sangat rindu berjumpa dengan beliau. Kemudian Malaikat Maut memohon kepada Allah SWT, agar diizinkan untuk pergi menemui Nabi Idris A.s. Setelah memberi salam, Malaikat pun duduk. Nabi Idris A.s. mempunyai kebiasaan berpuasa sepanjang masa. Ketika waktu berbuka puasa telah tiba, maka datanglah malaikat dari Syurga membawa makanan Nabi Idris A.s, dan beliau menikmati makanan tersebut. Kemudian baginda beribadah sepanjang malam. Pada suatu malam Malaikat Maut datang menemuinya, sambil membawa makanan dari Syurga. Nabi Idris A.s menikmati makanan itu. Kemudian Nabi Idris A.s berkata kepada Malaikat Maut: "Wahai tuan, marilah kita nikmati makanan ini bersama-sama." Tetapi Malaikat itu menolaknya. Nabi Idris A.s terus melanjutkan ibadahnya, sedangkan Malaikat Maut itu dengan setia menunggu sampai terbit matahari. Nabi Idris A.s merasa heran melihat sikap Malaikat itu. Kemudian beliau berkata: "Wahai tuan, maukah tuan berjalan-jalan bersama saya untuk melihat keindahan alam sekitar..?” Malaikat Maut menjawab: “Baiklah Wahai Nabi Allah Idris A.s." Maka berjalanlah keduanya melihat alam sekitar dengan berbagai jenis tumbuh- tumbuhan hidup di situ. Akhirnya ketika mereka sampai pada suatu kebun, maka Malaikat Maut berkata kepada Nabi Idris A.s.: "Wahai Idris a.s, adakah tuan izinkan saya untuk mengambil ini untuk saya makan..?” Nabi Idris A.s pun menjawab: “Subhanallah, mengapa malam tadi tuan tidak mau memakan makanan yang halal, sedangkan sekarang tuan mau memakan yang haram..?" Kemudian Malaikat Maut dan Nabi Idris A.s meneruskan perjalanan mereka. Tidak terasa oleh mereka bahwa mereka telah berjalan-jalan selama empat hari. Selama mereka bersahabat, Nabi Idris A.s menemui beberapa keanehan pada diri temannya itu. Segala tindak-tanduknya berbeda dengan sifat-sifat manusia biasa. Akhirnya Nabi Idris A.s tidak dapat menahan hasrat rasa ingin tahunya itu. Dan kemudian beliau bertanya: "Wahai tuan, bolehkah saya tahu, siapakah tuan yang sebenarnya...?” Saya adalah Malaikat Maut." Jawab malaikat maut "Tuankah yang bertugas mencabut semua nyawa makhluk...?" tanya Nabi Idris A.s "Benar ya Idris A.s." Jawab malaikat maut "Sedangkan tuan bersama saya selama empat hari, adakah tuan juga telah mencabut nyawa- nyawa makhluk...?" tanya Nabi Idris A.s "Wahai Idris A.s, selama empat hari ini banyak sekali nyawa yang telah saya cabut. Roh makhluk-makhluk itu bagaikan hidangan di hadapanku, aku ambil mereka bagaikan seseorang sedang menyuap- nyuap makanan." Jawab malaikat maut "Wahai Malaikat, apakah tujuan tuan datang, apakah untuk ziarah atau untuk mencabut nyawaku...?" tanya Nabi Idris A.s "Saya datang untuk menziarahimu dan Allah SWT telah mengizinkan niatku itu." Jawab malaikat maut "Wahai Malaikat Maut, kabulkanlah satu permintaanku kepadamu, yaitu agar tuan mencabut nyawaku, kemudian tuan mohonkan kepada Allah SWT agar Allah SWT menghidupkan saya kembali, supaya aku dapat menyembah Allah SWT setelah aku merasakan dahsyatnya sakaratul maut itu." Malaikat Maut pun menjawab: "Sesungguhnya saya tidaklah mencabut nyawa seseorang pun, melainkan hanya dengan izin dari Allah SWT." Lalu Allah SWT mewahyukan kepada Malaikat Maut, agar ia mencabut nyawa Idris A.s. Maka dicabutnya nyawa Idris A.s saat itu juga. Dan Nabi Idris A.s pun merasakan kematian saat itu. Ketika Malaikat Maut melihat kematian Nabi Idris A.s itu, maka menangislah ia. Dengan perasaan iba dan sedih ia memohon kepada Allah SWT supaya Allah SWT menghidupkan kembali sahabatnya itu. Allah SWT mengabulkan permohonannya, dan Nabi Idris A.s pun dihidupkan oleh Allah SWT kembali. Kemudian Malaikat Maut memeluk Nabi Idris A.s, dan ia bertanya: "Wahai saudaraku, bagaimanakah tuan merasakan kesakitan maut itu...? " "Bila seekor binatang dilepas kulitnya ketika ia masih hidup, maka sakitnya maut itu seribu kali lebih sakit daripadanya. "Padahal kelembutan yang saya lakukan ketika mencabut nyawa terhadap tuan, ketika saya mencabut nyawa tuan itu, belum pernah saya lakukan terhadap siapa pun sebelum tuan." Jawab malaikat maut "Wahai Malaikat Maut, saya mempunyai permintaan lagi kepada tuan, yaitu saya sungguh-sungguh berhasrat melihat Neraka, supaya saya dapat beribadah kepada Allah SWT lebih banyak lagi, setelah saya menyaksikan dahsyatnya api neraka itu." "Wahai Idris A.s. saya tidak dapat pergi ke Neraka jika tanpa izin dari Allah SWT." Jawab malaikat maut Akhirnya Allah SWT mewahyukan kepada Malaikat Maut agar ia membawa Nabi Idris A.s ke dalam Neraka. Maka pergilah mereka berdua ke Neraka. Di Neraka itu, Nabi Idris A.s. dapat melihat semua yang diciptakan Allah SWT untuk menyiksa musuh-musuh-Nya. Seperti rantai-rantai yang panas, ular yang berbisa, kala, api yang membara, timah yang mendidih, pokok-pokok yang penuh berduri, air panas yang mendidih dan lain-lain. Setelah merasa puas melihat keadaan Neraka itu, maka mereka pun pulang. Kemudian Nabi Idris A.s. berkata kepada Malaikat Maut: "Wahai Malaikat Maut, saya mempunyai hajat yang lain, yaitu agar tuan dapat menolong saya membawa masuk ke dalam Syurga. Sehingga saya dapat melihat apa-apa yang telah disediakan oleh Allah SWT bagi kekasih- kekasih-Nya. Setelah itu saya pun dapat meningkatkan lagi ibadah saya kepada Allah SWT. Saya tidak dapat membawa tuan masuk ke dalam Syurga, tanpa perintah dari Allah SWT." Jawab Malaikat Maut. Lalu Allah SWT pun memerintahkan kepada Malaikat Maut supaya ia membawa Nabi Idris A.s masuk ke dalam Syurga. Kemudian pergilah mereka berdua hingga mereka sampai di pintu Syurga dan mereka berhenti di pintu tersebut. Dari situ Nabi Idris A.s dapat melihat pemandangan di dalam Syurga. Nabi Idris A.s dapat melihat segala macam kenikmatan yang disediakan oleh Allah SWT untuk para wali- wali-Nya. Berupa buah-buahan, pokok-pokok yang indah dan sungai-sungai yang mengalir dan lain-lain. Kemudian Nabi Idris A.s berkata: "Wahai saudaraku Malaikat Maut, saya telah merasakan pahitnya maut dan saya telah melihat dahsyatnya api Neraka. Maka maukah tuan memohonkan kepada Allah SWT untukku, agar Allah SWT mengizinkan aku memasuki Syurga untuk dapat meminum airnya, untuk menghilangkan kesakitan mati dan dahsyatnya api Neraka...?" Maka Malaikat Maut pun memohon kepada Allah SWT. Dan kemudian Allah SWT memberikan izin kepadanya untuk memasuki Syurga tapi kemudian harus keluar lagi. Nabi Idris A.s pun masuk ke dalam Syurga, beliau meletakkan kasutnya di bawah salah satu pohon Syurga, lalu ia keluar kembali dari Syurga. Setelah beliau berada di luar, Nabi Idris A.s berkata kepada Malaikat Maut: "Wahai Malaikat Maut, aku telah meninggalkan kasutku di dalam Syurga.” Malaikat Maut pun berkata: “Masuklah ke dalam Syurga, dan ambil kasut tuan." Maka masuklah Nabi Idris A.s, namun beliau tidak keluar lagi, sehingga Malaikat Maut memanggilnya: "Ya Idris A.s, keluarlah..!”. “Tidak, wahai Malaikat Maut, karena Allah SWT telah berfirman: "Setiap yang berjiwa akan merasakan mati." (Q.S Ali- Imran: 185) Sedangkan saya telah merasakan kematian. Dan Allah berfirman yang bermaksud: "Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi Neraka itu." (Q.S Maryam: 71) Dan saya pun telah mendatangi Neraka itu. Dan firman Allah lagi yang bermaksud: "… Dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya (Syurga)." (Q.S Al-Hijr: 4) Maka Allah menurunkan wahyu kepada Malaikat Maut itu: "Biarkanlah dia, karena Aku telah menetapkannya di Azali, bahwa ia akan bertempat tinggal di Syurga." Allah menceritakan tentang kisah Nabi Idris A.s ini kepada Rasulullah SAW dengan firman- Nya: "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris yang tersebut di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi." (Q.S Maryam: 56-57) 4. Kisah Nabi ISA A.s. Seorang lagi Nabi Allah yang diceritakan dari kecil di dalam Al- Qur'an ialah Isa A.s. Baginda diutus kepada kaum Bani Israil dengan kitab Injil yang diturunkan sebelum Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an, Nabi Isa A.s disebut dengan empat panggilan yaitu Isa, Isa putera Maryam, putera Maryam, dan Al-Masih. Ibunya seorang yang sangat dimuliakan Allah. Dia memilihnya di atas semua perempuan di semua alam. Firman-Nya, "Dan ketika malaikat-malaikat berkata, 'Wahai Mariam, Allah memilih kamu, dan membersihkan kamu, dan Dia memilih kamu di atas semua perempuan di semua alam'" (3:42). Maryam, ibu Nabi Isa A.s, telah menempuh satu ujian yang amat berat daripada Allah. Dia dipilih untuk melahirkan seorang Nabi dengan tanpa disentuh oleh seseorang lelaki. Dia adalah seorang perempuan yang suci. Kelahiran Nabi Isa A.s merupakan suatu mukjizat kerana dilahirkan tanpa bapak. Kisahnya diceritakan di dalam Al-Qur'an. Di sini, ceritanya bermula dari kunjungan malaikat kepada Maryam atas perintah Allah. Ketika itu, malaikat menyerupai manusia dengan tanpa cacat. Kemunculan malaikat membuat Maryam menjadi takut lalu berkata, “Aku berlindung pada Yang Pemurah daripada kamu, jika kamu bertakwa (takut kepada Tuhan)..!” Dia (malaikat) berkata, “Aku hanyalah seorang rasul yang datang daripada Pemelihara kamu, untuk memberi kamu seorang anak lelaki yang suci." (19:18-19) Pada ayat yang lain, diceritakan bahwa malaikat yang datang itu telah memberi nama kepada putera yang bakal dilahirkan. Nama itu diberi oleh Allah, dan dia (Isa) akan menjadi terhormat di dunia dan akhirat sambil berkedudukan dekat dengan Tuhan. Ayatnya berbunyi: "Wahai Maryam, Allah menyampaikan kepada kamu berita gembira dengan satu Kata daripada-Nya, yang namanya Al- Masih, Isa putera Maryam, terhormat di dunia dan di akhirat, daripada orang-orang yang didekatkan." (3:45) Kemudian Maryam bertanya, "Bagaimanakah aku akan ada seorang anak lelaki sedang tiada seorang manusia pun menyentuhku, dan bukan juga aku seorang jalang...?" (19:20) Malaikat menjawab, "Dia (Allah) berkata, 'Begitulah; Pemelihara kamu telah berkata, 'Itu mudah bagi-Ku; dan supaya Kami membuat dia satu ayat (tanda) bagi manusia, dan satu pengasihan daripada Kami; ia adalah perkara yang telah ditentukan'" (19:21). Maka lahirlah Isa putera Maryam lebih enam ratus tahun sebelum Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Allah SWT membuat Nabi Isa A.s dan ibunya satu ayat (tanda) bagi manusia, yaitu tanda untuk menunjukkan kebesaran-Nya ( 23:50). Isa A.s adalah seorang Nabi dan juga seorang Rasul. Baginda dan beberapa orang rasul telah dilebihkan Allah SWT daripada rasul-rasul lain. Ada yang Dia berkata-kata kepadanya, ada yang Dia menaikkan derajad, dan bagi Isa A.s, Dia memberi bukti- bukti yang jelas serta mengukuhkannya dengan Roh Suci. Firman-Nya: "Dan rasul-rasul itu, sebahagian Kami melebihkan di atas sebahagian yang lain. Sebagian ada yang kepadanya Allah SWT berkata-kata, dan sebagian Dia menaikkan derajad. Dan Kami memberikan Isa putera Maryam bukti-bukti yang jelas, dan Kami mengukuhkan dia dengan Roh Qudus (Suci)." (2:253) Namun begitu, manusia dilarang oleh Allah SWT untuk membeda- bedakan antara para rasul dan Nabi. Larangan itu berbunyi, "Katakanlah, Kami percaya kepada Allah SWT, dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, dan Ismail, dan Ishak, dan Yaakub, dan puak-puak, dan apa yang diberi kepada Musa, dan Isa, dan apa yang diberi kepada Nabi-Nabi daripada Pemelihara mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun antara mereka, dan kepada-Nya kami muslim.'" (2:136) Akibat membeda-bedakan Nabi atau Rasul dapat dilihat pada hari ini, yaitu Nabi Isa A.s dipercayai oleh sebagian pihak sebagai Tuhan atau anak Tuhan, dan Nabi Muhammad SAW, dianggap macam Tuhan, yang berhak membuat hukum agama. Oleh karena Isa A.s adalah seorang Nabi maka baginda diberi sebuah Kitab, yaitu Injil, yang mengandung petunjuk dan cahaya untuk menjadi pegangan Bani Israil. Selain menyeru kepada Bani Israil untuk menyembah Allah SWT dengan mentaati Injil, baginda juga mengesahkan kitab Taurat yang diturunkan sebelumnya. Dua firman Allah SWT menjelaskannya di sini, berbunyi: "Dan Kami mengutus, menyusuli jejak-jejak mereka, Isa putera Maryam, dengan mengesahkan Taurat yang sebelumnya; dan Kami memberinya Injil, di dalamnya petunjuk dan cahaya," (5:46) dan, "Aku (Isa) hanya mengatakan kepada mereka apa yang Engkau memerintahkan aku dengannya: 'Sembahlah Allah SWT, Pemelihara aku dan Pemelihara kamu.'" (5:117) Turut disebut di dalam Injil (dan Taurat) ialah berita mengenai kedatangan seorang Nabi berbangsa Arab, atau Ummiy ( 7:157), dan janji dikaruniakan Taman atau Syurga bagi orang- orang yang berperang di jalan Allah ( 9:111). Janji itu juga didapati di dalam Taurat dan Al- Qur'an. Ketika baginda diutus, manusia sedang berselisih dalam hal agama. Maka kedatangannya adalah juga untuk memperjelas apa yang sedang diperselisihkan. Firman Allah SWT: "dia (Isa) berkata, Aku datang kepada kamu dengan kebijaksanaan, dan supaya aku memperjelaskan kepada kamu sebahagian apa yang dalamnya kamu memperselisihkan; maka kamu takutilah Allah, dan taatlah kepadaku.'" (43:63) Baginda juga memberitahu tentang kedatangan seorang rasul selepas baginda, yang namanya akan dipuji. Ayat yang mengisahkannya berbunyi: "Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku (Isa) rasul Allah kepada kamu, mengesahkan Taurat yang sebelum aku, dan memberi berita gembira dengan seorang rasul yang akan datang selepas aku, namanya Ahmad (dipuji)." (61:6) Seperti Nabi atau Rasul yang lain, baginda mempunyai pengikut- pengikut yang setia dan juga yang tidak setia atau yang menentang. Pengikut- pengikutnya yang setia percaya kepada Allah SWT dan kepadanya. Mereka adalah muslim. Firman Allah: "Dan ketika Aku mewahyukan pengikut-pengikut yang setia, Percayalah kepada-Ku, dan rasul- Ku; mereka berkata, Kami percaya, dan saksilah Engkau akan kemusliman kami.'" (5:111) Pengikut-pengikut yang setia pula menjadi penolong- penolong, bukan baginya tetapi bagi Allah SWT. Firman-Nya: "Berkatalah pengikut- pengikutnya yang setia, Kami akan menjadi penolong- penolong Allah SWT; kami percaya kepada Allah SWT, dan saksilah kamu akan kemusliman kami.'" (3:52) Begitu juga bagi pengikut- pengikut setia Nabi-Nabi lain, termasuk Muhammad SAW. Semuanya menjadi penolong- penolong Allah SWT, untuk melaksanakan dan menyampaikan pesan-Nya. Firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang percaya, jadilah kamu penolong- penolong Allah, sebagaimana Isa putera Maryam berkata kepada pengikut-pengikut yang setia, Siapakah yang akan menjadi penolong-penolong aku bagi Allah SWT? Pengikut-pengikut yang setia berkata, kami akan menjadi penolong-penolong Allah SWT." (61:14) Walau bagaimana pun, pengikut- pengikut Nabi Isa A.s yang setia memerlukan bukti selanjutnya untuk mengesahkan kebenarannya dan supaya hati mereka menjadi tenteram. Untuk itu mereka memohon sebuah meja hidangan dari langit. Kisahnya berbunyi begini: "Dan apabila pengikut-pengikut yang setia berkata, 'Wahai Isa putera Maryam, bolehkah Pemelihara kamu menurunkan kepada kami sebuah meja hidangan dari langit?' Dia (Isa) berkata, 'Kamu takutilah Allah SWT, jika kamu orang-orang mukmin.' Mereka berkata, 'Kami menghendaki untuk memakan daripadanya, dan hati kami menjadi tenteram, supaya kami mengetahui bahwa kamu berkata benar kepada kami, dan supaya kami adalah antara para saksinya.'" (5:112-113) Justru itu, baginda memohon kepada Allah SWT, "Ya Allah, Pemelihara kami, turunkanlah kepada kami sebuah meja hidangan dari langit, yang akan menjadi bagi kami satu perayaan, yang pertama dan yang akhir bagi kami, dan satu ayat (tanda) daripada Engkau. Dan berilah rezeki untuk kami; Engkau yang terbaik daripada pemberi-pemberi rezeki." (5:114) Allah SWT mengabulkan permintaannya. Lantas, meja hidangan yang turun menjadi satu lagi mukjizat bagi Nabi Isa A.s. Dan ia juga menjadi nama sebuah surat di dalam Al-Qur'an, yaitu surat kelima, Al-Maidah. Selain daripada kelahiran yang sangat luar biasa dan meja hidangan, Nabi Isa A.s telah dikaruniai dengan beberapa mukjizat lain. Ayat berikut menjelaskannya: "Ketika Allah SWT berkata, 'Wahai Isa putera Maryam, ingatlah akan rahmat-Ku ke atas kamu, dan ke atas ibu kamu, apabila Aku mengukuhkan kamu dengan Roh Qudus (Suci), untuk berkata-kata kepada manusia di dalam buaian dan setelah dewasa ….. Dan apabila kamu mencipta daripada tanah liat, dengan izin- Ku, yang seperti bentuk burung, dan kamu menghembuskan ke dalamnya, lalu jadilah ia seekor burung , dengan izin-Ku, Dan kamu menyembuhkan orang buta, dan orang sakit kusta , dengan izin-Ku, Dan kamu mengeluarkan orang yang mati , dengan izin-Ku' ….. lalu orang-orang yang tidak percaya antara mereka berkata, 'Tiadalah ini, melainkan sihir yang nyata.'" (5:110) Walaupun Nabi Muhammad SAW hanya diberi satu mukjizat, manusia dicegah dari berkata bahwa Nabi Isa A.s adalah lebih mulia daripada Nabi Muhammad SAW. Karena, seperti yang sudah diketahui bahwa amalan yang berupa membeda-bedakan para Nabi dan Rasul adalah dilarang oleh Allah SWT. "Ketika Allah SWT berkata, 'Wahai Isa, Aku akan mematikan kamu, dan menaikkan kamu kepada-Ku, dan Aku membersihkan kamu daripada orang-orang yang tidak percaya …..'" (3:55) "Dan aku (Isa) seorang saksi atas mereka selama aku di kalangan mereka; tetapi setelah Engkau mematikan aku, Engkau Sendiri adalah penjaga atas mereka; Engkau saksi atas segala sesuatu." (5:117) Akan tetapi, sebagian dari kaum Bani Israil mengatakan bahwa mereka telah membunuhnya dengan cara di salib. Namun Allah SWT mengatakan yang sebaliknya. Dengan apa yang terjadi hanyalah satu kesamaan saja. Firman-Nya: "ucapan mereka, 'Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putera Maryam, rasul Allah.' Tetapi mereka tidak membunuhnya, dan tidak juga menyalibnya, tetapi hanya satu kesamaan yang ditunjukkan kepada mereka. Orang-orang yang berselisih mengenainya benar-benar dalam keraguan terhadapnya; mereka tidak ada pengetahuan mengenainya, kecuali mengikuti sangkaan; mereka tidak membunuhnya, yakinlah." (4:157) Di akhir zaman nabi Isa A.s akan turun kembali ke bumi, bukan sebagai nabi tapi sebagai ummat nabi Muhammad SAW. (mengikut syariat nabi Muhammad SAW). akan berdakwah mengajak ummat kristiani untuk masuk islam, menghancurkan salib-salib, membunuh Dajjal.Tempat di BunuhnyaDajjal
Dari Abdullah Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda "Ketika saya sedang tidur, saya bermimpi melakukan tawaf di Kaabah, lalu ada seorang berambut lebat yang meneteskan air dari kepalanya, lalu aku tanyakan siapakah ini, mereka menjawab, "Ibnu Maryam as", kemudian aku berpaling dan melihat seorang laki-laki yang gemuk, berkulit merah, berambut keriting, matanya buta sebelah, dan matanya itu seperti buah anggur yang masak (tak bersinar). Mereka mengatakan, "Ini Dajjal". Dia adalah orang yang paling mirip dengan Ibnu Qathn, seorang laki-laki dari Khuza'ah." [HR al-Bukhari, dan Muslim]. Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda, Dajjal itu matanya terhapus (buta), tertulis di antara kedua matanya kafir, kemudian beliau mengejanya, kafir yang boleh dibaca oleh setiap orang muslim dan di antara kedua matanya terdapat tulisan "kafir" (HR Muslim) Pada hadis pertama di atas menyebutkan beberapa ciri fizikal dajjal, iaitu postur tubuhnya gemuk, kulitnya kemerah-merahan, sebelah matanya buta, matanya seperti buah anggur yang masak. Dan pada hadis kedua disebutkan ciri yang lain, iaitu tertulis huruf kafir di antara kedua matanya. Tanda itu boleh difahami oleh setiap muslim baik yang boleh membaca maupun yang buta huruf. Ummu Syuraik bertanya kepada Rasulullah tentang hari dajjal : "Ya Rasulullah ke mana orang-orang Arab ketika itu?". Rasulullah menjawab "Jumlah mereka pada waktu itu terlalu sedikit. Mereka lari ke Baitulmaqdis menjumpai Imam (Imam Mahdi) mereka. Ketika Imam mereka sudah berdiri di depan untuk mengimamkan solat subuh, tiba-tiba datang Isa Bin Maryam. Imam itu mahu mundur untuk memberi peluang kepada Isa, tetapi Isa sambil memegang bahu Imam itu berkata : "Teruskanlah, sesungguhnya Iqamat dibacakan untuk engkau". Maka sembahyanglah mereka semua dibelakang Imam tadi. Selesai solat, Isa A.S. berkata kepada semua jemaah : "Bukakan pintu itu". Mereka membuka pintu Masjid itu, tiba- tiba Dajjal sudah berdiri di situ dan di belakangnya ada 70,000 orang Yahudi lengkap bersenjata. Melihat Isa A.S. ada di dalam masjid itu, Dajjal tiba-tiba sahaja cair seperti cairnya garam disirami air. Dajjal lari kerana ketakutan Isa terus sahaja mengejarnya kemudian menjumpai di Babu Luddi dan di situlah Isa A.S. membunuhnya. Orang-orang Yahudi cuba melarikan diri dan bersembunyi tetapi semua benda tempat mereka bersembunyi akan berkata-kata dengan izin Allah. Benda-benda dimaksudkan termasuklah dinding, batu, pokok, kayu dan termasuk juga sepohon pokok berduri (disebut pokok Yahudi). Pintu masuk ke kota Lod. Tempat Dajjal akan dibunuh. Jauh tempat ini dari Jeruselem lebih kurang 45 km Kawasan berbukit yang subur di kota Lod, kota yang berumur 2000 tahun Lod (Bahasa Ibrani: לוֹד; Arab: ﺍَﻟْﻠُﺪّْ, al-Ludd; Greco-Latin Lydda), juga dieja dan disebut Ludd, ialah sebuah bandar diDaerah Tengah, Israel, sekitar 20 kilometer di tenggara Tel Aviv dan 3 kilometer utara Ramallah. Pada akhir tahun 2007, kota ini berpenduduk 67,000 orang, di mana 80% daripadanya adalah dari kaum Yahudi, manakala 20% lagi dari umat Arab Palestin berikutan projek perluasaan tapak penempatan haram Yahudi. Nama lama kota ini, selama ribuan tahun, ialah Lydda, Lydea dan Al-Lydd, dan kota ini juga terkenal dengan nama Diospolis. Dalam Injil 1 Tawarikh 8 disebutkan bahawa kota ini menjadi tempat tinggal bagi Suku Bunyamin (anak kepada Nabi Yaakub a.s. dan adik kepada Nabi Yusuf a.s.). Kononnya, di tempat inilah Santo Peter menyembuhkan seseorang yang mengalami penyakit lumpuh, seperti yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul 9: 32-38. Di kota ini ada sebuah gereja yang dikenali sebagai: Gereja Santo Georgius dan sebuah Masjid yakni: Masjid El-Chodr. Bahagian tempat peribadatan itu membentuk kompleks bangunan, gereja dan masjid itu juga memiliki pintu masuk yang unik. Kota ini dikenali kerana mempunyai sistem Bandar Antarabangsa yang mempunyai banyak persamaan dengan Bandar Tel Aviv yakni Bandar Ben Gurion. Setakat ini telah adanya jalan raya dan jalur KA yang menghubungkan kota ini dengan Tel Aviv. Lapangan terbang utama Israel, Lapangan Terbang Antarabangsa Ben Gurion (dahulunya dikenali sebagai Lapangan Terbang Lydda, RAF Lydda, dan Lapangan Terbang Lod) terletak di bandar ini. Mengikut perspektif Islam pula, di pagar/tembok Kota Lod inilah akan terjadinya pembunuhan Dajal oleh Nabi Isa a.s.. Dalam hadits Nawwas bin Sam'an yang panjang yang membicarakan kemunculan Dajjal dan turunnya Isa alaihissalam, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Ketika Allah telah mengutus al- Masih Ibnu Maryam, maka turunlah ia di menara putih di sebelah timur Damsyik dengan mengenakan dua buah pakaian yang dicelup dengan waras dan zafaran, dan kedua telapak tangannya diletakkannya di sayap dua Malaikat; bila ia menundukkan kepala maka menurunlah rambutnya, dan jika diangkatnya kelihatan landai seperti mutiara. Maka tidak ada orang kafir pun yang mencium nafasnya kecuali pasti meninggal dunia, padahal nafasnya itu sejauh mata memandang. Lalu Isa mencari Dajjal hingga menjumpainya di pintu Lud, lantas dibunuhnya Dajjal hingga menjumpainya di pintu Lud, lantas dibunuhnya Dajjal. Kemudian Isa datang kepada suatu kaum yang telah dilindungi Allah dari Dajjal, lalu Isa mengusap wajah mereka dan memberi tahu mereka tentang darjat mereka di syurga." (Shahih Muslim, Kita Al- Fitan wa Asyrathis Sa'ah, Bab Dzikr Ad-Dajjal 18:67-68) Aus bin Aus Ats-Tsaqafi meriwatkan bahwa Rasulullah shalallhu 'alaihi wasallam bersabda, "'Isa bin Maryam akan turun di Menara Putih sebelah timur Kota Damsyik." (HR Thabrani) Menurut Ibnu Katsir Nabi Isa akan turun disisi menara sebelah timur Masjid Jamik Umawi iaitu di sebelah timur Damaskus/Damsyik. Menara tersebut telah diperbaiki pada zaman Ibnu Katsir iaitu pada tahun 741 Hijrah. Pembiayaanya diambil dari harta orang-orang Nasrani yang sebelumnye telah membakar menara tersebut.Hafiz Ibnu Katsir dalam an-Nihayah berkata, "Inilah pendapat yang lebih masyhur tentang tempat turunnya Isa, iaitu di menara putih di timur Damsyik. Dan saya telah melihat di sebagian buku bahwa Isa turun di menara putih sebelah timur Jami' Damsyik. Mungkin inilah yang lebih valid dan bunyi riwayatnya, 'Maka dia turun di atas menara putih yang ada di timur Damsyik'. Jadi rawi membuat redaksi sendiri sesuai dengan apa yang dia fahami. Dan di Damsyik tidak ada menara yang dikenali dengan menara timur kecuali menara yang berada di timur Jami' Umawi dan inilah yang lebih cocok dan lebih sesuai kerana Isa turun pada saat didirikannya shalat…" (An- Nihayah fi al-Fitan wa al- Malahim I/192) Menurut Sami bin Abdullah Al- Maghluts pula dalam bukunya Athlas Tarikh al-Anbiya' wa ar- rosul (atlas sejarah nabi dan rosul) ada dua buah menara yang sangat mirip sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas. Kedua menara itu adalah menara Masjid al-Umawi (Umayyah) yang di bangun oleh al-Walid bin Abdul Malik (lihat atlas hadist karya Syauqi Abu Khalil) dan menara tembok damaskus. Kedua tempat tersebut memiliki kemiripan yang diduga disana lah Isa AS akan turun. Sifat Dan Rupa Nabi Isa Alaihissalam Adapun sifat-sifatnya maka Nabi kita saw telah menyatakan bahawa Isa adalah laki-laki berperawakan sedang tidak tinggi tidak pendek, berwajah bulat, berkulit kemerah- merahan, berdada lapang, orang yang paling mirip dengannya adalah Urwah bin Mas'ud ast-Tsaqafi. Dari Abu Hurairah bahawasanya Rasulullah saw bersabda, "Antara diriku dengan Isa tidak ada nabi, dan sesungguhnya dia pasti turun. Jika kalian melihatnya maka kenalilah dia. Sesungguhnya dia berperawakan sedang, putih kemerah-merahan, dia turun di antara dua potong baju berwarna kekuning-kuningan, kepalanya seolah-olah menetes walaupun tidak basah, dia memerangi manusia di atas Islam, lalu dia mematahkan salib, membunuh babi dan menghapus jizyah. Pada masanya Allah menghancurkan semua agama kecuali Islam, dia membunuh al-Masih ad-Dajjal kemudian tinggal di bumi selama 40 tahun kemudian wafat dan kaum muslimin menshalatkannya." (HR. Abu Dawud, al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah) Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, "Pada malam Isra'…. Dan saya bertemu dengan Isa. Lalu Nabi saw menjelaskan ciri- cirinya, 'Orangnya sedang, kulitnya kemerah-merahan, seolah-olah dia habis mandi, saya melihatnya…'." (HR. al- Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi) Dari Jabir bin Abdullah bahawa Rasulullah saw bersabda, "Saya bertemu dengan para nabi, ternyata Musa…. Saya melihat Isa bin Maryam, ternyata orang yang paling mirip dengannya adalah Urwah bin Mas'ud…." (HR. Muslim dan at- Tirmidzi) Dari Abdullah bin Abbas Rasulullah saw menceritakan malam Isra'nya, beliau bersabda, "Saya melihat Isa berperawakan sedang kemerah-merahan berambut lurus…." (HR. al-Bukhari dan Muslim) sumberNABI KHIDIR. AS
Bukhari, Ibn al-Mandah, Abu Bakar al-Arabi, Abu Ya’la, Ibn al-Farra’, Ibrahim al-Harbi dan lain-lain berpendapat, Nabi Khidir a.s. tidak lagi hidup dengan jasadnya, ia telah wafat. Yang masih tetap hidup adalah ruhnya saja, iaitu sebagaimana firman Allah:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
“Kami tidak menjadikan seorang pun sebelum engkau (hai Nabi), hidup kekal abadi.” (al-Anbiya’: 34)
Hadith marfu’ dari Ibn Umar dan Jabir (r.a.) menyatakan:
“Setelah lewat seratus tahun, tidak seorang pun yang sekarang masih hidup di muka bumi.”
Ibn al-Šalah, al-Tsa’labi, Imam al-Nawawi, al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dan kaum Sufi pada umumnya; demikian juga jumhurul-‘ulama’ dan ahl al-šalah (orang-orang saleh), semua berpendapat, bahawa Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya, ia akan meninggal dunia sebagai manusia pada akhir zaman. Ibn Hajar al-Asqalani di dalam Fath al-Bari menyanggah pendapat orang-orang yang menganggap Nabi Khidir a.s. telah wafat, dan mengungkapkan makna hadith yang tersebut di atas, iaitu huraian yang menekankan, bahawa Nabi Khidir a.s. masih hidup sebagai manusia. Ia manusia makhsus (dikhususkan Allah), tidak termasuk dalam pengertian hadith di atas.
Mengenai itu Ulama berpendapat:
1. Kekal bererti tidak terkena kematian. Kalau Nabi Khidir a.s. dinyatakan masih hidup, pada suatu saat ia pasti akan wafat. Dalam hal itu, ia tidak termasuk dalam pengertian ayat al-Qur’an yang tersebut di atas selagi ia akan wafat pada suatu saat.
2. Kalimat ‘di muka bumi’ yang terdapat dalam hadith tersebut, bermaksud adalah menurut ukuran yang dikenal orang Arab pada masa itu (dahulu kala) mengenai hidupnya seorang manusia di dunia. Dengan demikian maka Nabi Khidir a.s. dan bumi tempat hidupnya tidak termasuk ‘bumi’ yang disebut dalam hadith di atas, kerana ‘bumi’ tempat hidupnya tidak dikenal orang-orang Arab.
3. Yang dimaksud dalam hal itu ialah generasi Rasulullah s.a.w. terpisah sangat jauh dari masa hidupnya Nabi Khidir a.s. Demikian menurut pendapat Ibn Umar, iaitu tidak akan ada seorang pun yang mendengar bahawa Nabi Khidir a.s. wafat setelah usianya lewat seratus tahun. Hal itu terbukti dari wafatnya seorang bernama Abu al-Thifl Amir, satu-satunya orang yang masih hidup setelah seratus tahun sejak adanya kisah tentang Nabi Khidir a.s.
4. Apa yang dimaksud ‘yang masih hidup’ dalam hadith tersebut ialah: tidak ada seorang pun dari kalian yang pernah melihatnya atau mengenalnya. Itu memang benar juga.
5. Ada pula yang mengatakan, bahawa yang dimaksud kalimat tersebut (yang masih hidup) ialah menurut keumuman (ghalib) yang berlaku sebagai kebiasaaan. Menurut kebiasaan amat sedikit jumlah orang yang masih hidup mencapai usia seratus tahun. Jika ada, jumlah mereka sangat sedikit dan menyimpang dari kaedah kebiasaaan; seperti yang ada di kalangan orang-orang Kurdistan, orang-orang Afghanistan, orang-orang India dan orang-orang dari penduduk Eropah Timur.
Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya atau dengan jasad yang baru.
Dari semua pendapat tersebut, dapat disimpulkan: Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasad dan ruhnya, itu tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Tegasnya, Nabi Khidir a.s masih hidup; atau, ia masih hidup hanya dengan ruhnya, mengingat kekhususan sifatnya.
Ruhnya lepas meninggalkan Alam Barzakh berkeliling di alam dunia dengan jasadnya yang baru (mutajassidah). Itupun tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Dengan demikian maka pendapat yang menganggap Nabi Khidir a.s. masih hidup atau telah wafat, berkesimpulan sama; iaitu: Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya sebagai manusia, atau, hidup dengan jasad ruhi (ruhani). Jadi, soal kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidir a.s. atau melihatnya adalah benar sebenar-benarnya. Semua riwayat mengenai Nabi Khidir a.s. yang menjadi pembicaraan ahlullah (orang-orang bertaqwa dan dekat dengan Allah S.W.T.) adalah kenyataan yang benar terjadi.
Silakan lihat kitab Ušul al-Wušul karya Imam al-Ustaz Muhammad Zaki Ibrahim, Jilid I, Bab: Kisah Khidir Bainas-Šufiyah Wa al-‘Ulama’. Dipetik dengan sedikit perubahan dari al-Hamid al-Husaini, al-Bayan al-Syafi Fi Mafahimil Khilafiyah; Liku-liku Bid‘ah dan Masalah Khilafiyah (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1998, m.s. 488).
Bediuzzaman Said Nursi di dalam Maktubat, al-Maktub al-Awwal, dari koleksi Rasail al-Nur.
Nursi menjawab satu soalan…adakah Sayyidina Khidr masih hidup?
Nursi menjawab ya…kerana ‘hayah’ itu 5 peringkat. Nabi Khidr di peringkat kedua.
5 Peringkat ‘hayah’ itu ialah:
1. Kehidupan kita sekarang yang banyak terikat pada masa dan tempat.
2. Kehidupan Sayyidina Khidr dan Sayyidina Ilyas. Mereka mempunyai sedikit kebebasan dari ikatan seperti kita. Mereka boleh berada di byak tempat dalam satu masa. boleh makan dan minum bila mereka mahu. Para Awliya’dan ahli kasyaf telah meriwayatkan secara mutawatir akan wujudnya ‘hayah’ di peringkat ini. Sehingga di dalam maqam ‘walayah’ ada dinamakan maqam Khidr.
3.Peringkat ketiga ni seperti kehidupan Nabi Idris dan Nabi Isa. Nursi kata, peringkat ini kehidupan nurani yang menghampiri hayah malaikat.
4.Peringkat ni pula…ialah kehidupan para syuhada’. Mereka tidak mati, tetapi mereka hidup seperti disebut dalam al-Qur’an. Ustaz Nursi sendiri pernah musyahadah peringkat kehidupan ini.
5.Dan yang ni Hayah atau kehidupan rohani sekalian ahli kubur yang meninggal
Wallahhua’lam. Subhanaka la ‘ilma lana innaka antal ‘alimul hakim
Kisah Nabi Khidir Dalam Kitab Allamah Ibnu Hajar al Asqalani
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Tafsir: .
Bercerita
kepadaku ayahku, yang didengarnya dari Abdul Aziz Al-Ausiy, dari Ali
bin Abu Ali, dari Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain, dari ayahnya,
katanya Ali bin Abi Talib berkata: .
Ketika
wafat Rasulullah SAW, datanglah ucapan takziah. Datang kepada mereka
(keluarga Nabi SAW) orang yang memberi takziah. Mereka mendengar orang
memberi takziah tetapi tidak melihat orangnya.
Bunyi suara itu begini :
.Assalamu Alaikum Ahlal Bait Warahmatullahi Wabarakatuh. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanyasanya disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah bagi setiap musibah, bagi Allah ada pengganti setiap ada yang binasa, begitu juga menemukan bagi setiap yang hilang. Kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala..
.Assalamu Alaikum Ahlal Bait Warahmatullahi Wabarakatuh. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanyasanya disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah bagi setiap musibah, bagi Allah ada pengganti setiap ada yang binasa, begitu juga menemukan bagi setiap yang hilang. Kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala..
Berkata Imam Ja'far as Shadiq :
.Bercerita kepadaku ayahku bahawa Ali bin Abi Talib ada berkata : .
Tahukah kamu siapa ini? Ini adalah suara Nabi Khidir..
Berkata Muhammad bin Ja'far : .
Adalah ayahku, yaitu Ja'far bin Muhammad, menyebutkan tentang riwayat dari ayahnya, dari datuknya, dari Imam Ali bin Abi Talib bahawa datang ke rumahnya satu rombongan kaum Quraisy kemudian dia berkata kepada mereka: .
Maukah kamu aku ceritakan kepada kamu tentang Abul Qasim (Muhammad SAW)?.
Kaum Quraisy itu menjawab: .
Tentu saja mau..
Imam Ali bin Abi Talib berkata: .
Jibril Alaihis salam pernah berkata kepada Rasulullah SAW :
.Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Ahmad. Inilah akhir watanku (negeriku) di bumi. Sesungguhnya hanya engkaulah hajatku di dunia.. Maka tatkala Rasulullah SAW wafat, datanglah orang yang memberi takziah, mereka mendengarnya tetapi tidak melihat orangnya. Orang yang memberi takziah itu berkata: .Selamat sejahtera ke atas kamu wahai ahli bait. Sesungguhnya pada agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan bagi Allah ada yang menggantikan setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala.. Mendengar yang demikian Imam Ali bin Abi Talib berkata: .Tahukah kamu siapa yang datang itu? Itu adalah Khidir..
.Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Ahmad. Inilah akhir watanku (negeriku) di bumi. Sesungguhnya hanya engkaulah hajatku di dunia.. Maka tatkala Rasulullah SAW wafat, datanglah orang yang memberi takziah, mereka mendengarnya tetapi tidak melihat orangnya. Orang yang memberi takziah itu berkata: .Selamat sejahtera ke atas kamu wahai ahli bait. Sesungguhnya pada agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan bagi Allah ada yang menggantikan setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala.. Mendengar yang demikian Imam Ali bin Abi Talib berkata: .Tahukah kamu siapa yang datang itu? Itu adalah Khidir..
Berkata Saif bin Amr At-Tamimi dalam kitabnya Ar-Riddah, yang diterimanya dari Said bin Abdullah, dari Ibnu Umar mengatakan: .Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah Abu Bakar ke rumah Rasulullah. Ketika beliau melihat jenazah Rasulullah SAW, beliau berkata: .
Inna
Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.. Kemudian beliau bersama
sahabat-sahabat yang lain menyembahyangkan jenazah Rasulullah SAW. Pada
waktu mereka menyembahyangkan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendengar
suara ajaib. Selesai solat dan mereka pun semuanya sudah diam, mereka
mendengar suara orang di pintu mengatakan: .Selamat sejahtera ke atas
kamu wahai Ahli Bait. Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian.
Hanya saja disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat.
Sesungguhnya pada agama Allah ada pengganti setiap ada yang binasa dan ada kelepasan dari segala yang menakutkan. Kepada Allah-lah kamu mengharap dan dengan-Nya berpegang. Orang yang diberi musibah akan diberi ganjaran. Dengarlah itu dan hentikan kamu menangis itu."
Mereka melihat ke arah suara itu tetapi tidak melihat orangnya. Kerana sedihnya mereka
menangis lagi. Tiba-tiba terdengar lagi suara yang lain mengatakan: .
Wahai
Ahli Bait, ingatlah kepada Allah dan pujilah Dia dalam segala hal,
maka jadilah kamu golongan orang mukhlisin. Sesungguhnya dalam agama
Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan ada pengganti
setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan
kepada-Nya taat. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah orang
yang diberi pahala..
Mendengar yang demikian itu berkata Abu Bakar: .
Ini adalah Khidir dan Ilyas. Mereka datang atas kematian Rasulullah SAW..
Berkata Ibnu Abu Dunia, yang didengarnya dari Kamil bin Talhah,
dari Ubad bin Abdul Samad, dari Anas bin Malik, mengatakan: .
Sewaktu
Rasulullah SAW meninggal dunia, berkumpullah sahabat-sahabat beliau di
sekeliling jenazahnya menangisi kematian beliau. Tiba-tiba datang
kepada mereka seorang lelaki yang bertubuh tinggi memakai kain panjang.
Dia datang dari pintu dalam keadaan menangis. Lelaki itu menghadap
kepada sahabat-sahabat dan berkata: .Sesungguhnya dalam agama Allah ada
pemberi takziah setiap terjadi musibah, ada pengganti setiap ada yang
hilang. Bersabarlah kamu kerana sesungguhnya orang yang diberi musibah
itu akan diberi ganjaran..
Kemudian lelaki itu pun menghilang daripada pandangan para sahabat. Abu Bakar berkata:
.Datang
ke sini lelaki yang memberi takziah.. Mereka memandang ke kiri dan
kanan tetapi lelaki itu tidak nampak lagi. Abu Bakar berkata:
.Barangkali yang datang itu adalah Khidir, saudara nabi kita. Beliau
datang memberi takziah atas kematian Rasulullah SAW..
Berkata Ibnu Syahin dalam kitabnya Al-Jana.iz: .
Bercerita
kepada kami Ibnu Abu Daud, dari Ahmad bin Amr, dari Ibnu Wahab, dari
Muhammad bin Ajlan, dari Muhammad bin Mukandar, berkata: .
Pernah
pada suatu hari Umar bin Khattab menyembahyangkan jenazah, tiba-tiba
beliau mendengar suara di belakangnya: janganlah mendahului dari kami
mengerjakan solat jenazah ini. Tunggulah sudah sempurna dan cukup orang
di belakang baru memulakan takbir.. Kemudian lelaki itu berkata lagi:
.Kalau engkau siksa dia ya Allah, maka sesungguhnya dia telah durhaka
kepada-Mu. Tetapi kalau Engkau mahu mengampuni dia, maka dia
betul-betul mengharap keampunan dari-Mu..Umar bersama sahabat-sahabat
yang lain sempat juga melihat lelaki itu. Tatkala mayat itu sudah
dikuburkan, lelaki itu masih meratakan tanah itu sambil berkata:
.Beruntunglah engkau wahai orang yang dikuburkan di sini.
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma’ al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majma‘ al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.
Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Qur’an tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Qur’an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur’an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
“Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur’an telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Qur’an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.”
Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?” Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.
Musa berkata kepada pembantunya: “Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu.” Pemuda atau pembantunya berkata: “Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: “Coba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini.”
Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: “Demikianlah yang kita inginkan.” Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Qur’an: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. “
Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ” (QS. al-Kahfi: 61-65)
Bukhari mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: “Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab: “Aku adalah Musa.” Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil.” Musa berkata: “Dari mana kamu mengenal saya?” Khidir menjawab: “Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya.” Khidir berkata: “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.”
Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: “Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.” Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: “Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya.” Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.” Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.” Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman:
“Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
“Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Kedua, perkataan Musa kepadanya:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ Musa berkata: ‘lnsya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawaban yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
“Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ” (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah SWT.
Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: “Musa berkata kepada Khidir: “Berilah aku nasihat.” Khidir menjawab: “Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para n
اسمه بليا بباء موحدة مفتوحة ثم لام ساكنة ثم مثناة تحت ابن ملكان بفتح الميم وإسكان اللام ابن فالغ بن عابر بن شالخ بن ارفخشذ بن سام بن نوح
Balya Ibnu Malkan Ibnu Faligh Ibnu Abar Ibnu Syalikh Ibnu Arfakhsyadz Ibnu Sam Ibnu Nuh AS.
أيليا ابن ملكان بن فالغ بن شالخ بن أرفخشذ بن سام بن نوح
Nama Ibu Nabi Khidir
Disbutkan dalam Tafsir Qurtuby, nama ibu beliau:
ألمى بنت فارس
Alma Bintu Faris
أبو العباس
Abul Abbas
Laqab Nabi Khidir
Laqab adalah gelar atau nama aliyas. Laqab beliau adalah:
abi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.♦
Kisah Perjalanan Ladunni Nabi Musa AS bersama muridnya serta Nabi Khaidir AS merupakan kisah yang telah lama kita kenal dan sebut-sebutkan untuk menjadi contoh tauladan kepada manusia yang berilmu. Kisah ini mengandungi pengertian yang sangat dalam dalam ertikata mengenal Sang Pencipta yang Maha Besar. Di mana tempat ‘jumpanya’ ilmu itu? Itulah dia di tempat pertemuan antara dua laut. Di situlah bermulanya Ladunni yang di sebut-sebut para Ahli Sufi. Kisah perjalanan Ladunni Nabi Musa AS dan Nabi Khaidir AS dinukilkan di dalam terjemahan Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Kahfi (ayat 60 hingga 82). semoga mendapat manfaat bersama.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.
Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”.
Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidir) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”
Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidir berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”
Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Itulah kisah perjalanan Musa AS bersama Khidir AS. Itulah dia Ilmu yang diajarkan Allah kepada Khaidir AS yang di sebalik Hitam dan Putih.
…di mana ada aku, di situ ada DIA…
KISAH NABI KHIDIR AS
Salah satu kisah Al-Qur’an yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah SWT memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu:“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma’ al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majma‘ al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.
Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Qur’an tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Qur’an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur’an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
“Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur’an telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Qur’an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.”
Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?” Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.
Musa berkata kepada pembantunya: “Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu.” Pemuda atau pembantunya berkata: “Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: “Coba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini.”
Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: “Demikianlah yang kita inginkan.” Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Qur’an: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. “
Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ” (QS. al-Kahfi: 61-65)
Bukhari mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: “Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab: “Aku adalah Musa.” Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil.” Musa berkata: “Dari mana kamu mengenal saya?” Khidir menjawab: “Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya.” Khidir berkata: “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.”
Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: “Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.” Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: “Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya.” Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.” Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.” Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman:
“Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
“Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Kedua, perkataan Musa kepadanya:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ Musa berkata: ‘lnsya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawaban yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
“Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ” (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah SWT.
Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: “Musa berkata kepada Khidir: “Berilah aku nasihat.” Khidir menjawab: “Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para n
Nama, Laqab, dan Kuniyah Nabi Khidhir
Khidir adalah salah satu nabi yang termuat dalam Al-Qur`an
namun tidak dimasukkan dalam 25 Nabi dan Rasul karena dia hanya Nabi
(bukan rasul) bahkan ada pendapat lain mengatakan bahwa ia hanya seorang
wali. Khidir diceritakan sebagai Nabi misterius yang diberi anugerah
bisa mengetahui kejadian yang akan terjadi, dan sering bertindak
menyalahi aturan yang ada seperti membunuh dan merusak kapal orang,
namun semua tindakannya penuh dengan hikmah dan pelajarn yang dalam.
Untuk mengetahui ceritra lengkapnya silakan merujuk pada Al-Qur`an Surah Al-Kahfi ayat 65-82.
Ada kepercayaan
ditengah masyarakat terutama di Negara kita Indonesia bahwa barang
siapa mengetahui, nama lengkap, laqab, dan kuniyah Nabi Khidir maka akan
mendapatkan “keutamaan yang luar biasa”. Entah siapa yang melontarkan
pernyataan tersebut, yang jelas itu sudah menjadi rahasia umum terutama
dikalangan pesantren dan lebih khusus lagi dikalangan para praktisi ilmu hikmah.
Tidak sulit mencari nama, laqab, dan
kuniyah Nabi Khidir ini. Nama beliau sering dijelaskan dalam tafsir
yaitu pada surah Al-Kahfi ayat 65-82.
Nama Nabi Khidir
Tafsir Ruhul Bayanاسمه بليا بباء موحدة مفتوحة ثم لام ساكنة ثم مثناة تحت ابن ملكان بفتح الميم وإسكان اللام ابن فالغ بن عابر بن شالخ بن ارفخشذ بن سام بن نوح
Pendapat Ibnu Munabbih Yang di Kutip Qurtuby dalam Tafsirnya:
أيليا ابن ملكان بن فالغ بن شالخ بن أرفخشذ بن سام بن نوح
Ailiya Bin Malkan Bin Faligh Bin Syalikh Bin Arfakhsyadz bin Sam Bin Nuh AS.
Nama Ibu Nabi Khidir
Disbutkan dalam Tafsir Qurtuby, nama ibu beliau:
ألمى بنت فارس
Alma Bintu Faris
Kuniyah Nabi Khidir
أبو العباس
Abul Abbas
Laqab Nabi Khidir
Laqab adalah gelar atau nama aliyas. Laqab beliau adalah:
الخضر
bisa dibaca Khidir, Khadir, Khidru Artinya hijau. Banyak pendapat
tentang sebab pemberian gelar tersebut salah satunya bahwa jika beliau
duduk disatu tempat maka tempat tersebut akan berubah warnanya menjadi
hijau.abi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.♦
Kisah Nabi Khidir AS
Kisah Perjalanan Ladunni Nabi Musa AS bersama muridnya serta Nabi Khaidir AS merupakan kisah yang telah lama kita kenal dan sebut-sebutkan untuk menjadi contoh tauladan kepada manusia yang berilmu. Kisah ini mengandungi pengertian yang sangat dalam dalam ertikata mengenal Sang Pencipta yang Maha Besar. Di mana tempat ‘jumpanya’ ilmu itu? Itulah dia di tempat pertemuan antara dua laut. Di situlah bermulanya Ladunni yang di sebut-sebut para Ahli Sufi. Kisah perjalanan Ladunni Nabi Musa AS dan Nabi Khaidir AS dinukilkan di dalam terjemahan Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Kahfi (ayat 60 hingga 82). semoga mendapat manfaat bersama.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.
Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”.
Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidir) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”
Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidir berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”
Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Itulah kisah perjalanan Musa AS bersama Khidir AS. Itulah dia Ilmu yang diajarkan Allah kepada Khaidir AS yang di sebalik Hitam dan Putih.
…di mana ada aku, di situ ada DIA…
No comments:
Post a Comment