أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ibadah haji yang dilakukan oleh para sufi
memerlukan bekal yang cukup sebelum berangkat ke tanah suci. Hal yang
dilakukan pertama kali oleh mereka adalah mendapatkan pembimbing atau
syeikh yang dapat dikasihi, dihormati, dipatuhi dan diteladani. Guru
atau syeikh inilah yang akan memberikan bimbingan tentang segala hal
yang harus dipersiapkan dalam perjalanan haji mereka.
Di tanah suci itulah kelak si Murid atau si Salik akan mempraktekkan semua pelajaran dan bimbingan batin yang telah diterimanya dari syeikhnya. Walau secara fisik mereka menempuh perjalanan jauh, bahkan mungkin dengan berjalan kaki atau dengan menunggang kuda atau unta. Segala gerak-gerik mereka tetap tertumpu pada arahan syeikh yang telah membimbingnya. Ia akan bertindak seperti seorang murid belia yang begitu patuh kepada gurunya , yang hanya mampu bergerak atas perintah telunjuk gurunya. Dalam perjalanan ini, kesetiaannya kepada sang guru akan diuji, sehingga semua tugas-tugas hajinya berjalan dengan baik, maka ia akan dilepaskan dari genggaman tangan sang Syeikh.
Setelah dibebaskan untuk mandiri, si Salik mestilah pandai mengelolakan hatinya. Ia harus membangunkan hatinya dari tidurnya dengan membaca Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) dan mengingat Allah dengan merenungkan makna dan maksud kalimat tersebut. Dengan selalu membaca kalimat tersebut,hatinya akan selalu terjaga dari keterlenaan, hatinya akan berkobar oleh sebutan kalimat dalam dzikir itu, dan ketika itulah hatinya akan hidup. Hati itu tak akan pernah berhenti mengingat Allah sehingga seluruh ruhaninya menjadi bersih dari suci dari ghayrullah (selain Allah). Hanya Allah yang mewujud di dalam hatinya.
Setelah membersihkan ruhaninya, si Salik hendaklah membaca sifat-sifat Allah agar cahaya keindahan Allah bersinar dalam hatinya. Dalam Nur atau Cahaya itulah si Salik diharapkan dapat melihat ‘Ka’bah’ Zat Yang Rahasia itu.
Allah menitahkan Nabi-Nya Ibrahim dan Ismail supaya membuat pembersihan seperti itu.
Firman Allah :
“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan memfirmankan). Janganlah kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud“. (Q.S. Al-Hajj : 26)
Ka’bah yang secara lahiriah dapat dilihat dengan mata telanjang di Mekkah selalu dijaga agar kebersihan dan kesuciannya untuk hamba-hamba Allah mengunjunginya dalam ibadah haji. Betapa Ka’bah itu dijaga kebersihan dan kesuciannya, terlebih-lebih dengan ‘ka’bah batin’ dalam dirinya yang mesti dijaga untuk selalu memandang al-Haq.
Maukah kita melihat sesuatu yang kotor dan yang menjijikkan ? Tentu tidak ! Karena itulah kita selalu membersihkan keadaan lahir kita bila terkena kotoran. Akan tetapi, mengapa kita membersihkan batin kita, hati kita, padahal hati itu menjadi tempat bersemayannya cahaya Tuhan yang mencipta kita ? Relakah kita membiarkan kotoran itu menempel di rumah Tuhan dalam hati kita, sementara kita tidak rela membiarkan kotor pada diri kita secara lahir ? Pikirkanlah …!!!
Di tanah suci itulah kelak si Murid atau si Salik akan mempraktekkan semua pelajaran dan bimbingan batin yang telah diterimanya dari syeikhnya. Walau secara fisik mereka menempuh perjalanan jauh, bahkan mungkin dengan berjalan kaki atau dengan menunggang kuda atau unta. Segala gerak-gerik mereka tetap tertumpu pada arahan syeikh yang telah membimbingnya. Ia akan bertindak seperti seorang murid belia yang begitu patuh kepada gurunya , yang hanya mampu bergerak atas perintah telunjuk gurunya. Dalam perjalanan ini, kesetiaannya kepada sang guru akan diuji, sehingga semua tugas-tugas hajinya berjalan dengan baik, maka ia akan dilepaskan dari genggaman tangan sang Syeikh.
Setelah dibebaskan untuk mandiri, si Salik mestilah pandai mengelolakan hatinya. Ia harus membangunkan hatinya dari tidurnya dengan membaca Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) dan mengingat Allah dengan merenungkan makna dan maksud kalimat tersebut. Dengan selalu membaca kalimat tersebut,hatinya akan selalu terjaga dari keterlenaan, hatinya akan berkobar oleh sebutan kalimat dalam dzikir itu, dan ketika itulah hatinya akan hidup. Hati itu tak akan pernah berhenti mengingat Allah sehingga seluruh ruhaninya menjadi bersih dari suci dari ghayrullah (selain Allah). Hanya Allah yang mewujud di dalam hatinya.
Setelah membersihkan ruhaninya, si Salik hendaklah membaca sifat-sifat Allah agar cahaya keindahan Allah bersinar dalam hatinya. Dalam Nur atau Cahaya itulah si Salik diharapkan dapat melihat ‘Ka’bah’ Zat Yang Rahasia itu.
Allah menitahkan Nabi-Nya Ibrahim dan Ismail supaya membuat pembersihan seperti itu.
Firman Allah :
“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan memfirmankan). Janganlah kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud“. (Q.S. Al-Hajj : 26)
Ka’bah yang secara lahiriah dapat dilihat dengan mata telanjang di Mekkah selalu dijaga agar kebersihan dan kesuciannya untuk hamba-hamba Allah mengunjunginya dalam ibadah haji. Betapa Ka’bah itu dijaga kebersihan dan kesuciannya, terlebih-lebih dengan ‘ka’bah batin’ dalam dirinya yang mesti dijaga untuk selalu memandang al-Haq.
Maukah kita melihat sesuatu yang kotor dan yang menjijikkan ? Tentu tidak ! Karena itulah kita selalu membersihkan keadaan lahir kita bila terkena kotoran. Akan tetapi, mengapa kita membersihkan batin kita, hati kita, padahal hati itu menjadi tempat bersemayannya cahaya Tuhan yang mencipta kita ? Relakah kita membiarkan kotoran itu menempel di rumah Tuhan dalam hati kita, sementara kita tidak rela membiarkan kotor pada diri kita secara lahir ? Pikirkanlah …!!!
No comments:
Post a Comment