أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Hal ini relevan dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsi:
Mengenal Lathifah-lathifah Batin dalam Thariqat Sufi
Acuan
dalam pengamalan tarekat bertumpu kepada tradisi dan akhlak nubuwah
(kenabian), dan mencakup secara esensial tentang jalan sufi dalam
melewati maqomat dan ahwal tertentu. Setelah ia tersucikan jasmaniahnya,
kemudian melangkah kepada aktivitasaktivitas, yang meliputi:
Pertama,
tazkiyah an nafs atau pensucian jiwa, artinya mensucikan diri dari
berbagai kecenderungan buruk, tercela, dan hewani serta menghiasinya
dengan sifat sifat terpuji dan malakuti.
Kedua,
tashfiyah al qalb, pensucian kalbu. Ini berarti menghapus dari hati
kecintaan akan kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara dan
kekhawatirannya atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya
kecintaan kepada Allah semata.
Ketiga,
takhalliyah as Sirr atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang
bakal mengalihkan perhatian dari dzikir atau ingat kepada Allah.
Keempat, tajalliyah ar Ruh atau pencerahan ruh, berarti mengisi ruh dengan cahaya Allah dan gelora cintanya.
Qasrun = Merupakan unsur jasmaniah, berarti istana yang menunjukan betapa keunikan struktur tubuh manusia.
Sadrun = (Latifah al-nafs) sebagai unsur jiwa
Qalbun = (Latifah al-qalb) sebagai unsur rohaniah
Fuadun = (Latifah al-ruh) Unsur rohaniah
Syagafun = (Latifah al-sirr) unsur rohaniah
Lubbun = (Latifah al-khafi) unsur rohaniah
Sirrun = (Latifah al-akhfa) unsur rohaniah
Diagram Lathaif (Lathifah-lathifah dlm diri manusia) |
"Aku
jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada
sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan),
di dalamnya ada lagi fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada
syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terialu rindu),
dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada
"Aku".
Ahmad
al-Shirhindi dalam Kharisudin memaknai hadist qudsi di atas melalui
sistem interiorisasi dalam diri manusia yang strukturnya yang dapat
diperhatikan dalam gambar di atas.
Pada
dasarnya lathifah-lathifah tersebut berasal dari alam amri (perintah)
Allah : "Kun fayakun", yang artinya, "jadi maka jadilah" (QS : 36: 82)
merupakan al-ruh yang bersifat immaterial. Semua yang berasal dari alam
al-khalqi (alam ciptaan) bersifat material. Karena qudrat dan iradat
Allah ketika Allah telah menjadikan badan jasmaniah manusia, selanjutnya
Allah menitipkan kelima lathifah tersebut ke dalam badan jasmani
manusia dengan keterikatan yang sangat kuat.
Lathifah-lathifah
itulah yang mengendalikan kehidupan batiniah seseorang, maka tempatnya
ada di dalam badan manusia. Lathifah ini pada tahapan selanjutnya
merupakan istilah praktis yang berkonotasi tempat.
Umpamanya
lathifah al-nafsi sebagai tempatnya al-nafsu al-amarah. Lathifah
al-qalbi sebagai tempatnya nafsu al-lawamah. Lathifah al-Ruhi sebagai
tempatnya al-nafsu al-mulhimmah, dan seterusnya. Dengan kata lain
bertempatnya lathifah yang bersifat immaterial ke dalam badan jasmani
manusia adalah sepenuhnya karena kuasa Allah.
Lathifah
sebagai kendaraan media bagi ruh bereksistensi dalam diri manusia yang
bersifat barzakhiyah (keadaan antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah).
Pada
hakekatnya penciptaan ruh manusia (lima lathifah), tidak melalui sistem
evolusi. Ruh ditiupkan oleh Allah ke dalam jasad manusia melalui proses.
Ketika jasad Nabi Adam a.s telah tercipta dengan sempurna, maka Allah
memerintahkan ruh Nya untuk memasuki jasad Nabi Adam a.s. Maka dengan
enggan ia menerima perintah tersebut. Ruh memasuki jasad dengan berat
hati karena harus masuk ke tempat yang gelap. Akhirnya ruh mendapat
sabda Allah: "Jika seandainya kamu mau masuk dengan senang, maka kamu
nanti juga akan keluar dengan mudah dan senang, tetapi bila kamu masuk
dengan paksa, maka kamupun akan keluar dengan terpaksa". Ruh memasuki
melalui ubun-ubun, kemudian turun sampai ke batas mata, selanjutnya
sampai ke hidung, mulut, dan seterusnya sampai ke ujung jari kaki.
Setiap anggota tubuh Adam yang dilalui ruh menjadi hidup, bergerak,
berucap, bersin dan memuji Allah. Dari proses inilah muncul sejarah
mistis tentang karakter manusia, sejarah salat (takbir, ruku dan sujud),
dan tentang struktur ruhaniah manusia (ruh, jiwa dan raga).
Bahkan
dalam al Qur'an tergambarkan ketika ruh sampai ke lutut, maka Adam
sudah tergesa gesa ingin berdiri. Sebagaimana firman Allah : "Manusia
tercipta dalam ketergesa-gesaan" (Q.S.21:37).
Pada
proses penciptaan anak Adam pun juga demikian, proses bersatunya ruh ke
dalam badan melalui tahapan. Ketika sperma berhasil bersatu dengan ovum
dalam rahim seorang ibu, maka terjadilah zygot (sel calon janin yang
diploid ). Ketika itulah Allah meniupkan sebagian ruhnya (QS : 23 : 9),
yaitu ruh al-hayat. Pada tahapan selanjutnya Allah menambahkan ruhnya,
yaitu ruh al-hayawan, maka jadilah ia potensi untuk bergerak dan
berkembang, serta tumbuh yang memang sudah ada bersama dengan masuknya
ruh al-hayat.
Sedangkan
tahapan selanjutnya adalah peniupan ruh yang terakhir, yaitu ketika
proses penciptaan fisik manusia telah sempurna (bahkan mungkin setelah
lahir). Allah meniupkan ruh al-insan (haqiqat Muhammadiyah). Maka dengan
ini, manusia dapat merasa dan berpikir. Sehingga layak menerima taklif
syari' (kewajiban syari'at) dari Allah dan menjadi khalifah Nya.
Itulah
tiga jenis ruh dan nafs yang ada dalam diri manusia, sebagai potensi
yang menjadi sudut pandang dari fokus pembahasan lathifah (kesadaran).
Lima lathifah yang ada di dalam diri manusia itu adalah tingkatan
kelembutan kesadaran manusia. Sehingga yang dibahas bukan hakikatnya,
karena hakikat adalah urusan Tuhan (QS : 17 : 85), tetapi aktivitas dan
karakteristiknya.
Lathifah
al-qalb, bukan qalb (jantung) jasmaniah itu sendiri, tetapi suatu
lathifah (kelembutan), atau kesadaran yang bersifat rubbaniyah
(ketuhanan) dan ruhaniah. Walaupun demikian, ia berada dalam qalb
(jantung) manusia sebagai media bereksistensi. Menurut Al Ghazall, di
dalam jantung itulah memancarnya ruh manusia itu. Lathifah inilah
hakikatnya manusia. Ialah yang mengetahui, dia yang bertanggung jawab,
dia yang akan disiksa dan diberi pahala. Lathifah ini pula yang
dimaksudkan sabda Nabi "Sesungguhnya Allah tidak akan memandang rupa dan
hartamu, tetapi ia memandang hatimu".
Latifiah
al-qalb bereksistensi di dalam jantung jasmani manusia, maka jantung
fisik manusia ibaratnya sebagai pusat gelombang, sedangkan letak di
bawah susu kiri jarak dua jari (yang dinyatakan sebagai letaknya
lathifah al-qalb) adalah ibarat "channelnya". Jika seseorang ingin
berhubungan dengan lathifah ini, maka ia harus berkonsentrasi pada
tempat ini. Lathifah ini memiliki nur berwarna kuning yang tak
terhinggakan (di luar kemampuan indera fisik).
Demikian
juga dengan lathifah al-ruh, dia bukan ruh atau hakikat ruh itu
sendiri. Tetapi lathifah al-ruh adalah suatu identitas yang lebih dalam
dari lathifah al-qalb. Dia tidak dapat diketahui hakikatnya, tetapi
dapat dirasakan adanya, dan diketahui gejala dan karakteristiknya.
Lathifah ini terletak di bawah susu kanan jarak dua jari dan condong ke
arah kanan. Warna cahayanya merah yang tak terhinggakan. Selain
tempatnya sifat-sifat yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat
bahimiyah atau sifat binatang jinak. Dengan lathifah ini pula seorang
salik akan merasakan fana al-sifat (hanya sifat Allah saja yang kekal),
dan tampak pada pandangan batiniah.
Lathifah
al-sirri merupakan lathifah yang paling dalam, terutama bagi para sufi
besar terdahulu yang kebanyakan hanya menginformasikan tentang tiga
lathifah manusia, yaitu qalb, ruh dan sirr. Sufi yang pertama kali
mengungkap sistem interiorisasi lathifah manusia adalah Amir Ibn Usman
Al Makki (w. 904 M), yang menurutnya manusia terdiri dari empat lapisan
kesadaran, yaitu raga, qalbu, ruh dan sirr. Dalam temuan Imam al Robbani
al Mujaddid, lathifah ini belum merupakan latifiah yang terdalam. Ia
masih berada di tengah tengah lathifah al ruhaniyat manusia. Tampaknya
inilah sebabnya sehingga al Mujaddid dapat merasakan pengalaman
spiritual yang lebih tinggi dari para sufi sebelumnya, seperti Abu Yazid
al Bustami, al-Hallaj (309 H), dan Ibnu Arabi (637 H). Setelah ia
mengalami "ittihad" dengan Tuhan, ia masih mengalami berbagai pengalaman
ruhaniah, sehingga pada tataran tertinggi manusia ia merasakan
sepenuhnya, bahwa abid dan ma'bud adalah berbeda, manusia adalah hamba,
sedangkan Allah adalah Tuhan.
Hal
yang diketahui dari lathifah ini adalah, ia memiliki nur yang berwarna
putih berkilauan. Terletak di atas susu kiri jarak sekitar dua jari,
berhubungan dengan hati jasmaniah (hepar). Selain lathifah ini merupakan
manifestasi sifat-sifat yang baik, ia juga merupakan sarangnya sifat
sabbu’iyyah atau sifat binatang buas. Dengan lathifah ini seseorang
salik akan dapat merasakan fana' fi al-dzat, dzat Allah saja yang tampak
dalam pandangan batinnya.
Lathifah
al-khafi adalah lathifah al-robbaniah al-ruhaniah yang terletak lebih
dalam dari lathifah al-sirri. Penggunaan istilah ini mengacu kepada
hadis Nabi : "Sebaik-baik dzikir adalah khafi dan sebaik baik rizki
adalah yang mencukupi". Hakikatnya merupakan rahasia Ilahiyah. Tetapi
bagi para sufi, keberadaanya merupakan kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri. Cahayanya berwarna hitam, letaknya berada di atas susu
sebelah kanan jarak dua jari condong ke kanan, berhubungan dengan limpa
jasmani. Selain sebagai realitas dari nafsu yang baik, dalam lathifah
ini bersemayam sifat syaithoniyyah seperti hasad, kibir (takabbur,
sombong), khianat dan serakah.
Lathifah
yang paling lembut dan paling dalam adalah lathifah al-akhfa. Tempatnya
berada di tengah-tengah dada dan berhubungan dengan empedu jasmaniah
manusia. Lathifah ini memiliki nur cahaya berwarna hijau yang tak
terhinggakan. Dalam lathifah ini seseorang salik akan dapat
merasakan'isyq (kerinduan) yang mendalam kepada Nabi Muhammad s.a.w.
sehingga sering sering ruhaniah Nabi datang mengunjungi.
Relevan dengan pendapat al-Qusyairi yang menegaskan tentang tiga alat dalam tubuh manusia dalam upaya kontemplasi, yaitu:
Pertama qalb yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
Kedua, ruh berfungsi untuk mencintai Allah, dan
Ketiga, sirr berfungsi untuk melihat Allah.
Dengan demikian proses ma'rifat kepada Allah menurut al Qusyairi dapat digambarkan sebagai berikut dibawah ini.
Aktivitas
spiritual itu mengalir di dalam kerangka makna dan fungsi rahmatan lil
'alamin; Tradisi kenabian pada hakekatnya tidak lepas dari mission
sacred, misi yang suci tentang kemanusiaan dan kealam semestaan untuk
merefleksikan asma Allah.
No comments:
Post a Comment