أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ketika semua telah lenyap, yakni fana’ di Hadhirat
Allah SWT, yang tertinggal hanya Ruh Suci (Ruh al-Quds). Ia melihat
dengan Nur Allah, ia melihat Allah, ia melihat untuk Allah. Tidak ada
bayangan dan tidak ada yang menyerupai Allah, sebagaimana firman-Nya :
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura: 11)
Satu yang tertinggal dan mutlak, yakni Nur Suci. Suatu karunia yang tinggi yang diberikan kepada orang yang utama. Tidak ada lagi yang ingin diketahuinya setelah tingkat ini. Inilah peringkat fana’ (lenyap dan musnah). Tingkat puncak yang dapat dicapai oleh manusia ketika berada di alam fana’ ini, tidak ada lagi, kecuali Allah. Hanya Allah tempat bertanya, dan hanya Allah pula yang memberikan jawaban. Maka di peringkat itu seseorang sangat dekat dengan Allah hingga tidak ada siapa dan apapun yang menjadi celah di antara dia dengan Allah.
Itulah keadaan ketika seseorang menjadi ‘kosong’, tanpa diri, kecuali Zat Allah yang wujud. Itulah pula keadaan ‘bersatu’ dan ‘berpadu’ dengan Allah, karena hati seorang Mu'min adalah rahasia Tuhan.
Hal serupa juga diberikan secara khusus sebagai karunia kepada orang-orang yang khusus pula, orang-orang yang mencari-Nya hingga bertemu dengan-Nya, orang yang telah berma’rifah kepada Tuhan Penciptanya, yang telah mengenali Tuhannya, dan kemudian Tuhan pun mengenalinya, yang telah mencintai dan merindukan Tuhan Penciptanya, kemudian Tuhan Pencipta pun mencintai dan merindukannya. Ucapan-ucapannya sangat sulit dituangkan ke dalam bentuk tulisan karena terlalu sulit dan tidak dapat diuraikan. Peristiwa atau keadaan ini bukanlah omong kosong. Karena itu, setiap orang dapat menginterpretasikannya dengan sesuka hati. Orang yang belum mengetahui hal ini, artinya mereka masih jahil. Dan orang yang jahil tidak boleh membuat interpretasi keraguan dan kekeliruan, yang akhirnya membawa keadaan tindakan saling menuduh, sesat dan menyesatkan.
Bagi orang yang belum mengenal keadaan fana’ ini, sebaiknya menjauhkan diri darinya. Dan orang yang masih berendam di tepi pantai yang dangkal, jangan mencoba-coba menduga lautan yang dalam, karena kelak yang ditemuinya bukan hidayah, melainkan kesesatan.
Ini bukan medan permainan untuk menguji nasib. Siapa suka boleh berbicara mengikuti nafsunya, atau menurut akalnya yang sempit. Ini adalah ahwal hakiki yang menghendaki ma’rifah yang hakiki pula.
Akan tetapi, bagi orang yng benar-benar sudah mengenal yang haq dan yang batil, dia tidak akan berhenti. Apa yang dicarinya selama ini telah ditemukannya. Dia telah mengenal dirinya, dan kini dia telah mengenal Tuhannya. Dirinya adalah hamba. Sebagai seorang hamba, dia tidak memiliki apa-apa, karena Zat Ketuhanan itulah Tuannya yang memiliki segala kekuasaan-Nya.
Inilah keadaan ketika manusia melepaskan dirinya dari segala perkara, dari segala sesuatu selain Allah, mengosongkan diri dari segala sesuatu, kecuali Allah. Maka, ketika itulah Allah akan memberi pakaian kepada manusia berupa sifat-sifat Ketuhanan, dan tenggelamlah ia di dalam sifat-sifat Ketuhanan itu sehingga semua gerak-geriknya tidak terlepas dari sifat-sifat Tuhan yang Maha Besar lagi Maha Agung.
Semua itu adalah kesadaran ruhani yang sangat dalam artinya, hasil dari mengenang dan memusatkan renungan hati pada maksud dan pengertian batin Asma’ Allah tersebut.
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura: 11)
Satu yang tertinggal dan mutlak, yakni Nur Suci. Suatu karunia yang tinggi yang diberikan kepada orang yang utama. Tidak ada lagi yang ingin diketahuinya setelah tingkat ini. Inilah peringkat fana’ (lenyap dan musnah). Tingkat puncak yang dapat dicapai oleh manusia ketika berada di alam fana’ ini, tidak ada lagi, kecuali Allah. Hanya Allah tempat bertanya, dan hanya Allah pula yang memberikan jawaban. Maka di peringkat itu seseorang sangat dekat dengan Allah hingga tidak ada siapa dan apapun yang menjadi celah di antara dia dengan Allah.
Itulah keadaan ketika seseorang menjadi ‘kosong’, tanpa diri, kecuali Zat Allah yang wujud. Itulah pula keadaan ‘bersatu’ dan ‘berpadu’ dengan Allah, karena hati seorang Mu'min adalah rahasia Tuhan.
Hal serupa juga diberikan secara khusus sebagai karunia kepada orang-orang yang khusus pula, orang-orang yang mencari-Nya hingga bertemu dengan-Nya, orang yang telah berma’rifah kepada Tuhan Penciptanya, yang telah mengenali Tuhannya, dan kemudian Tuhan pun mengenalinya, yang telah mencintai dan merindukan Tuhan Penciptanya, kemudian Tuhan Pencipta pun mencintai dan merindukannya. Ucapan-ucapannya sangat sulit dituangkan ke dalam bentuk tulisan karena terlalu sulit dan tidak dapat diuraikan. Peristiwa atau keadaan ini bukanlah omong kosong. Karena itu, setiap orang dapat menginterpretasikannya dengan sesuka hati. Orang yang belum mengetahui hal ini, artinya mereka masih jahil. Dan orang yang jahil tidak boleh membuat interpretasi keraguan dan kekeliruan, yang akhirnya membawa keadaan tindakan saling menuduh, sesat dan menyesatkan.
Bagi orang yang belum mengenal keadaan fana’ ini, sebaiknya menjauhkan diri darinya. Dan orang yang masih berendam di tepi pantai yang dangkal, jangan mencoba-coba menduga lautan yang dalam, karena kelak yang ditemuinya bukan hidayah, melainkan kesesatan.
Ini bukan medan permainan untuk menguji nasib. Siapa suka boleh berbicara mengikuti nafsunya, atau menurut akalnya yang sempit. Ini adalah ahwal hakiki yang menghendaki ma’rifah yang hakiki pula.
Akan tetapi, bagi orang yng benar-benar sudah mengenal yang haq dan yang batil, dia tidak akan berhenti. Apa yang dicarinya selama ini telah ditemukannya. Dia telah mengenal dirinya, dan kini dia telah mengenal Tuhannya. Dirinya adalah hamba. Sebagai seorang hamba, dia tidak memiliki apa-apa, karena Zat Ketuhanan itulah Tuannya yang memiliki segala kekuasaan-Nya.
Inilah keadaan ketika manusia melepaskan dirinya dari segala perkara, dari segala sesuatu selain Allah, mengosongkan diri dari segala sesuatu, kecuali Allah. Maka, ketika itulah Allah akan memberi pakaian kepada manusia berupa sifat-sifat Ketuhanan, dan tenggelamlah ia di dalam sifat-sifat Ketuhanan itu sehingga semua gerak-geriknya tidak terlepas dari sifat-sifat Tuhan yang Maha Besar lagi Maha Agung.
Semua itu adalah kesadaran ruhani yang sangat dalam artinya, hasil dari mengenang dan memusatkan renungan hati pada maksud dan pengertian batin Asma’ Allah tersebut.
No comments:
Post a Comment