أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”
Syahdan,
ada seorang syaikh yang hidup sederhana. Dia makan sekedar kebutuhan
untuk bertahan-hidup saja. Karena profesinya nelayan, pagi-pagi dia
memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, dia membelah ikan-ikan itu
menjadi dua: batang tubuh ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya,
sementara kepalanya dia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa
makan kepala ikan itulah sehingga ia diberi julukan syaikh kepala ikan.
Dia seorang sufi yang memiliki banyak murid.
Salah
seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol.
Kebetulan syaikh kepala ikan ini mempunyai seorang guru sufi besar
disana (Syaikh Al-Akbar). “Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku,”
pesan syaikh kepada muridnya. Si muridpun pergi untuk berdagang.
Setibanya di Mursia, dia mencari-cari rumah Syaikh Al-Akbar itu. Dia
membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin.
Tapi ternyata orang menunjukkannya pada sebuah rumah besar dan luas. Dia
tidak percaya, mana ada seorang sufi besar tinggal di sebuah bangunan
yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan dan sajian-sajian
buah-buahan yang lezat. Dia terheran-heran: “Guru saya hidup dengan begitu sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bukankah dia gurunya guru saya?”
Dia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Dia menyampaikan
salam gurunya dan memintakan nasihat untuknya. Syaikh pun bertutur, “Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia.”
Si murid tambah heran dan sedikit marah, tidak mengerti. Syaikh ini
hidup sedemikian kaya, dimintai nasihat oleh orang miskin malah menyuruh
jangan memikirkan dunia. Akhirnya dengan kesal ia pulang.
Saat
gurunya mendengar nasihat yang diperoleh melalui muridnya dia hanya
tersenyum dan sedikit sedih si murid mengernyitkan kening tambah tidak
paham. Apa maksud nasihat itu? Guru itu menjawab “Syaikh Akbar itu
benar. Menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin.
Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita
miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bila jadi orang miskin harta,
tapi hatinya terus memikirkan dunia. Saya sendiri ketika makan kepala
ikan, masih sering membayangkan bagaimana makannya daging ikan yang
sebenarnya?”
Kisah
ini menunjukkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari
kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang
pada kehidupan sufistik. Syaikh Al-Akbar yang disebut diatas adalah
Muhyiddin Ibn ‘Arabi, salah satu sufi besar dan cemerlang dalam sejarah
perkembangan tasawuf.
Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan: “Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”. Beliau selalu menganjurkan murid-muridnya
agar selalu berusaha, jangan malu dalam mencari nafkah asalkan halal
dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta aturan-aturan
negara. Agar bisa berhasil harus mencoba sampai 7 jenis usaha, Beliau
mengistilahkan 7 sumber mata air. Beliau berusaha mengubah pandangan
keliru terhadap tasawuf, bertasawuf tidak identik dengan kemiskinan,
tapi justru dengan bertasawuf mengubah orang bodoh menjadi pandai, orang
miskin menjadi kaya namun hatinya tetap bisa terus berzikir memuja
Allah SWT.
Syaikh
Nasiruddin Ubaidullah Al Ahrary As Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin
QS Salah satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya pernah menutup
hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar
dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000 ton gandum.
Seorang
sufi lain mengatakan, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tanganmu
sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah SWT.
Iman
Ghazali mengatakan, jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik
haji harus merawat untanya. Tapi kalau ia sibuk dan menghabiskan
waktunya untuk merawat unta itu, memberi makan dan menghiasinya, maka
kafilah (rombongan) akan meninggalkan ia. Dan ia akan mati di gurun
pasir. Artinya, kita bukan tidak boleh merawat yang bersifat fisik, tapi
yang tidak boleh adalah kita tenggelam didalamnya. Imam Al-Ghazali
bertanya ”apakah uang itu membuat mu gelisah? Orang yang terganggu oleh
uang belumlah menjadi seorang sufi”. Jadi persoalannya bukan kita tidak
boleh mempunyai uang. Justru, bagaimana kita mempunyai uang cukup, tapi
pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita
miliki.
Menurut
Ibn ‘Arabi, dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus
menjalani ujian. Ambillah yang kurang dari pada yang lebih didalamnya.
Puaslah apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang dari
pada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi
hari akhirat. Apa yang kamu tanam didunia ini, akan kamu panen di
akhirat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena
itu baik, layak di puji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang
buruk, lanjut ‘Arabi, adalah jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu
itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsumu dan ambisi
terhadap dunia.
Nabi Muhammad SAW. Suatu kali ditanya, apa arti keduniawian itu? Rasulullah menjawab, “Segala sesuatu yang menyebabkan kamu mengabaikan dan melupakan Tuhanmu”. Kegiatan-kegiatan
duniawi tidaklah buruk pada dirinya sendiri, tapi keburukannya terletak
pada yang membuat lupa kepada Allah SWT.
Disamping Ibn ‘Arabi, konon banyak sufi yang hidup makmur. Fariduddin Al-Atthar, yang terkenal mengarang Al-Manthiq Al-Thair (Musyawarah Burung-Burung) itu, di gelari dengan al-Atthar karena perkerjaannya menjual minyak wangi. Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual barang pecah belah. Kemudian Al- Hallaj al-Khazzaz,
pemintal kapas: dia mencari nafkah dengan memintal kapas. Adalagi Sari
as-Saqati, penjual rempah-rempah. Dan banyak lagi yang lain. Ini hanya
gambaran bahwa sufi tidak harus menjauhi dunia.
Abu
Zaid mengatakan bahwa seorang sufi yang sempurna bukanlah zahid yang
tenggelam dalam perenungan tauhid. Bukan seorang wali yang menolak
muamalat dengan orang lain. Sufi sejati adalah mereka yang berkiprah di
masyarakat. Makan dan tidur bersama mereka. Membeli dan menjual di
pasar. Mereka punya peran sosial, tapi tetap ingat kepada Allah SWT.
Dalam setiap saat. Inilah hakikat zuhud yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment