أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
suluk wujil
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan
4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada
5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora
Artinya, lebih kurang:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta
8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
… 11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama
Artinya lebih kurang:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar- benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ‘tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam.
dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita.
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil
wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari
zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi
kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat
kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara
lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang
arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan
kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia
Suluk Sunan Bonang
Suluk-suluk Sunan Bonang 1
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk- suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk- suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu
jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan
ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti
sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain .
Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman
atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang
mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi,
Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu
ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap
tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu,
sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan
batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa
syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam
tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis),
dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya
kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam
Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan
ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah
pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian
sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian
menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali
keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak
memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas
dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi,
tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan
di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf
merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan
kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala
sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan
kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang
Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum,
jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat
lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti
dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui
ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat).
Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf,
dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau
perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut
tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal.
Kecenderungan tersebut berlaku dalam
sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan
merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi
(Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka
sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu
dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq)
dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat
sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai
karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di
Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas
tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih
misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk
tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang
gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan
dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula
berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas
lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah
sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan
ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau
sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi
untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan
berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke
mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf
atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian
tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati
gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan
Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat
dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung).
Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas
tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan
atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga
mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi,
yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk
lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau
makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal
dan Yang Tunggal’.
Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian)
sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari
Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172,
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum?
Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang
menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan- Nya”. Yang ketiga adalah syahadat
yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga
syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti
kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas
yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas,
isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan
tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang
mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan
kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas
lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya
dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa
dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai
menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada
perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan
Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita
Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa
hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang
menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus.
Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin
bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Suluk-suluk Sunan Bonang 2
suluk wujil
Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan
dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah
Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai
gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti
dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia
mencerminkan kebenaran.
Persatuan manusia dengan Tuhan
diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma
(ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang
tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan
asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan
kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang
yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah
satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS
Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam
tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke
dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein
Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya
“Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah
teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The
Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam
bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog
atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan
gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam,
biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun
mempelajari tasawuf (al- Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk
Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh
Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar,
Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).
Secara umum ajaran tasawuf yang
dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia,
Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M).
Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi
(mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin
(mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan
sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang
digunakan dalam kitab ini, yaitu “wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti
ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa
tasawuf merupakan jiwa ilmu- ilmu agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang
paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari
segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan
perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman
peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam
sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche
Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di
Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer van
Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938).
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi
Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini
kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi
Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke
Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti
berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya,
intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang
beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik
peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu
terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama.
Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi
atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang
telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan
kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah
kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun
berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat
dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair
terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda
pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula
mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa
suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman
Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan
munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman
peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang
agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum
Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya
Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang
di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis
Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda
dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak
awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu,
sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih
menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas
huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam
penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil
yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil
wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara
Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan
bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada
puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak
dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan
dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena
renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia
terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada
umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran
keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan
menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba
2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan
4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada
5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora
Artinya, lebih kurang:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada
gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik
hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu- ilmu
lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan,
berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah.
Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika,
kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata
tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita.
Sadar dan tidak sadar, bingung dan
gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan
metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang
berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat
hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar
menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati
itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada
persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya
tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu
oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat
menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka
Sunan Bonang pun menjawab:
6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat
7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta
8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
… 11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama
Artinya lebih kurang:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”
11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat
kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa
Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran
Tuhan, maka ‘pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal
Tuhannya. ‘Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan
siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi?
Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi
setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah
‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi
kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana
dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh
Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai
‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga,
persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan
“Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).
Suluk-suluk Sunan Bonang 3
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf
merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat
wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan
penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan
kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat
ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf)
dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan
tasawuf dimulai dengan’penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin
(1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya
al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan
pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri
ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi
dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari
mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya
keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada
Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran
rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu
tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam
kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan
memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah
melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur
untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang
dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam
Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu
ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari
Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan- keinginan yang suci. Sedangkan
pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan
pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama
ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12
M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan
dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain
(Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa
murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah
‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama
dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan
tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling
esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani.
Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan
menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan
aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu
(a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi
segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar
al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad).
Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari
Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan
tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga
Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat
dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat
tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati
lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk
Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap
pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada,
mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain.
Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan
soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan
hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan
cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan
bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4)
Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia;
(5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik
pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan
Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik
yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos)
tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang
terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu
dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat
berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang
sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan
sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait
ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar- benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ‘tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol
dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau
bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa
menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari
Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang
Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat
sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau
perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan- Nya yang banyak dan
aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan
gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia
dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan
Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan
menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di
muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian
Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin,
sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang
bertanya: “Bagaimana bayang- bayang datang/Dan kemana dia menghilang?”
(bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin,
Wujil kini tahu bahwa “Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada
terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan
Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang
terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah).
Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai
satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan
perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah,
yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang
dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual
yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil
bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad
ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz,
dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan
dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud- Nya
(Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman
al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam
pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh
alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan
tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka
tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang
memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan
tempat sucinya atau rumah Tuhan.
Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan
tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci
itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan
perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya
diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan
pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan
kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam.
Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini
diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam
kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta,
tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan
tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang
egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan
mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat
atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah,
tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan
tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan
kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan
Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di
dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di
tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak
terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam
tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan
dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal
yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik
Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan
budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang
sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair- penyair sufi
Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan
tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang
ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia
pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M.
1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan,
berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan
tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan
kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan
kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan
di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga
mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya
dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha
(Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam
pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili
golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili
golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang
Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar.
Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari
kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil:
“Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan
makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk
memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai
lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam
kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi.
Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok
pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong
atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan
keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung.
Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu
akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan
berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di
dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia
menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan
antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha
karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah
wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia
mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa
bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan
pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma
seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai
menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan
(moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita.
Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan
indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri
peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual
dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa
perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak
dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai
kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti
berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi.
Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata,
“Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini
sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu
melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.”
Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan
diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur
dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
No comments:
Post a Comment