أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Al-Qur’an
 adalah sumber hukum yang bersifat universal. Ia juga memuat pokok 
ajaran agama, Serta didalamnya terkandung berbagai macam 
hikmah-hikmah.”al-Syathibi
“Tidak ada yang menyangkal bahwa syari’at yang di bawa oleh para Nabi bertujuan untuk kemaslahatan manusia” Imam al-Qurthubi
“ Asumsi yang mengatakan bahwa hukum-hukum syariat tidak mencakup nilai 
kemaslahatan adalah sebuah asumsi keliru ” Syeikh Waliyullah al-Dahlawi
Prolog
Al-Qur’an adalah miracle (mukjizat) yang diturunkan oleh Allah kepada 
nabi pamungkas Muhammad saw. Disamping itu al-qur’an juga merupakan 
verbum dei (kalamuLlah) yang telah menyedot perhatian sarjana-sarjana 
klasik maupun kontemporer untuk mengkajinya.[1] kajian-kajian tentang 
al-Qur’an tidak hanya diminati oleh para sarjana-sarjana muslim. Para 
orientalis-orientalis Barat juga banyak yang terpikat untuk mengkaji 
kitab umat muslim itu.
Nabi Muhammad adalah mubayyin sekaligus mufassir otoritatif atas 
teks-teks suci al-qur’an. Namun, tidak semua ayat-ayat al-qur’an telah 
ditafsirkan dan dijelaskan oleh beliau. Salah satu hikmah dari 
sedikitnya nabi Muhammad menafsirkan al-qur’an adalah ruang gerak para 
mufasir menjadi begitu luas. Sehingga amatlah wajar bila dalam 
perkembangan selanjutnya penafsiran-penafsiran al-qur’an sangat 
variatif.
Seiring dengan melesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini,
 serta bertubi-tubinya problematika yang harus dihadapi oleh umat 
manusia membawa dampak yang cukup massif atas perkembangan 
pendekatan-pendekatan penafsiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, 
pertama, globalnya bahasa yang terdapat dalam al-quran, serta 
berakhirnya wahyu pasca wafatnya nabi Muhammad, membutuhkan 
penafsiran-penafsiran yang beragam sesuai perkembangan zaman. Kedua, 
Alquran sebagai kitab suci yang bersifat selalu relevan di setiap ruang 
dan zaman (up to date /Shalih Li Kulli Zaman Wa al- Makan) harus selalu 
memberi solusi terhadap problematika umat. Sehingga perkembangan tafsir 
adalah suatu keniscayaan.
Kajian-kajian seputar al-Qur’an selalu diminati oleh umat manusia. Tak 
terkecuali kajian tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari metode 
penafsiran klasik seperti tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi 
hingga tafsir ala hermeneutika yang digulirkan oleh beberapa kalangan 
kiri islam, selalu ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan 
diperdebatkan.
Tulisan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar tafsir maqashid, 
sembari sedikit menengok sejarah maqashid syari’ah sebagai cikal bakal 
terinspirasinya gagasan tafsir maqashidi.
Sekilas tentang sejarah kemunculan Maqashid Syari’ah 
Maqhasid adalah bentuk plural dari kata maqshad yang dalam hal ini 
berarti makna atau tujuan syariat. Sedangkan syari’at adalah sesuatu 
ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya agar 
dengan tuntunan syari’at hamba-Nya mendapatkan petunjuk, atau dengan 
ungkapan lain syari’at adalah suatu ketentuan hukum yang terangkum dalam
 al-Qur’an dan al-Hadis.[2] 
Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqhasid syari’ah bukanlah 
temuan baru. Maqhasid syari’ah bukanlah hasil capaian para sarjana 
kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, term maqashid telah
 ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana ushul fikih klasik,
 namun hal itu masih terangkum dan tercecer dalam pembahasan tentang 
qiyas.
Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, 
Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. 
Abu `Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan 
al-Hakim al-Tirmidzi (W.akhir abad ke-3 H) [3] adalah orang pertama yang
 mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa 
Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari 
tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan 
seterusnya.[4] 
Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah 
shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (w.365), beliau telah 
menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya 
milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut DR. 
Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat 
apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
 dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama 
Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal 
yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.[5] 
Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama 
maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab 
terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang 
bertitel (‘Ilal al-Syara’I’), kitab berhaluan syiah ini mejelaskan 
tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah.Pada era ini juga ada ulama 
maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah 
filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas 
maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’ , 
salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘dharuriyat al-
 khams’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.
Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik 
bin Abdullah al-Juwayni (w.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad 
Bin Muhammad al-Ghazali (w.505H) – untuk memetakan maqashid syariah 
menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial. Setiap satu dari kedua
 prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, 
Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl dan Hifdz ‘Ird.
Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal 
dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul 
al-Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali. Di tangan al-Ghazali 
kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas , al-Ghazali memetakan 
maqhasid syariah menjadi tiga:
1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer), 
2. Hajiyah (Kebutuhan sekunder)
3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)
Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membagi lagi menjadi lima kategori:
1.Hifdz al-Din, melindungi agama, yang terimplementasikan dalam 
kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati agama lain.
2.Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa, dengan diterapkannya hukum perdata sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.
3.Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi 
menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
4.Hifdz al-Aql, melindungi akal, yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.
5.Hifdz al-Mal, melindungi harta, hak mendapatkan pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.[6] 
Sejatinya, sarjana-sarjana maqashidi (ulama yang intens mengkaji 
maqashid syariah) pasca al-Juwayni dan pra Syathibi, bukan hanya 
al-Ghazali , karena sarjana-sarjana klasik seperti Fakhruddin al-Razi, 
Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Izzudin Ibnu Abdissalam, Syihabuddin al-Qarafi, 
Saefuddin al-Amidi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi sampai ulama 
kontroversial Najmuddin al-Thufi juga intens dalam mengkaji maqashid 
syari’ah.[7]
Kemudian pada pertengahan abad ke-7 H, muncullah sarjana brilian, Abu 
Ishaq al-Syathibi, (W.790H) seorang pakar ushul fiqh bermadzhab maliki 
yang mencoba mensistematiskan maqhasid syariah dengan menambah porsi 
kajian maqhasid dalam kitab ushul fiqhnya yang berjudul al-Muwafaqat, 
dalam kitab yang konon manuskripnya ‘dipungut’ oleh Muhammad Abduh di 
dataran Tunisia itu menguak ilmu maqhasid dalam satu jilid.
Jika al-Syafi’i dipuji dan dianggap sebagai peletak dasar ilmu ushul 
fiqh, karena telah membuat satu disiplin ilmu ushul yang pertama 
kalinya. Maka al-Syathibi dianggap sebagai bapak maqashid syari’ah, 
karena beliau telah membuat ilmu maqashid syari’ah.
Hemat penulis, pujian terhadap al-syathibi tidaklah berlebihan, karena, 
pertama kendatipun pakar ushul fiqh sebelumnya telah membuat kajian 
tentang maqashid syariah. Namun pembahasannya masih ‘tercecer’ dalam bab
 qiyas. Kedua, Syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur -seorang ulama 
kontemporer yang mencoba mengindependensikan ilmu maqashid syariah 
sebagai ilmu yang terlepas dari ushul fiqh-, menyatakan “kajian maqashid
 syari’ah yang ia tempuh mengikuti metodologi al-Syathibi. Ketiga, 
al-Syathibi telah mengukuhkan kajian maqashid syari’ah yang sebelumnya 
mengalami kemandegan.
Setelah melakukan penelusuran secara genealogis tentang munculnya kajian
 maqashid dengan mengupas tokoh-tokoh klasik yang intens mengkaji 
maqashid syari’ah. Penulis mencoba mengupas seorang pakar ushul fiqh 
kontemporer yang sangat berkompeten dalam kajian maqashid syari’ah. 
Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal 
dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana 
yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam 
mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai 
disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi 
gelar sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru 
pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang 
sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi 
lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid kedalam 
‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang didalamnya mengupas 
berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid 
penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan 
lain-lain.[8]
Definisi Tafsir Maqashidi
Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa dibilang belum akrab 
ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang di Indonesia 
belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para 
‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan 
Islam Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul 
fikih. Disamping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak 
ada- pakar maqashid syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid 
syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya.
Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata maqhashid yang 
dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang 
menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir 
maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an 
dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit 
yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional 
lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori 
filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang 
mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks 
suci.
Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran, 
seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu 
tafsir maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum 
seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. [9] 
Awal Kemunculan Tafsir Maqashidi
Diskusi tentang kajian al-Qur’an dilakukan pada pertengahan April 2007 
yang lalu. Simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode 
alternatif penafsiran al Qur’an” diadakan di kota Oujda, Maroko. 
Kegiatan ilmiah yang memakan waktu selama tiga hari ini (18, 19, 20) 
sengaja dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqasidi (tafsir al 
Qur’an melalui pendekatan maqashid syari’ah).[10] 
Sebenarnya topik seputar tafsir maqashidi pernah diangkat secara tuntas 
oleh Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di universitas 
Muhammad V) yang mengangkat tema tentang ‘tafsir maqasidi menurut 
perspektif ulama Maghrib Arabi’, begitu juga oleh profesor Jelal al 
Merini dari universitas al Qurawiyien dalam bukunya Dhowabit al- Tafsir 
al Maqasidi li al- Qur’an al- Karim (ketentuan tafsir maqashidi terhadap
 al Qur’an), dan Hasan Yasyfu, dosen senior di universitas Oujda, 
Maroko, dalam bukunya al Murtakazaat al maqasidiyah fi tafsir an Nash ad
 Dini (penekanan sisi maqasid dalam menafsiri teks keagamaan), namun 
sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka
 ini, komunitas ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu membahu 
mensosilaisasikannya melalui simposium ilmiyah internasional pada bulan 
April 2007 tersebut.[11] 
Kajian tafsir maqashidi yang diangkat sebagai topik utama dalam 
simposium saat itu, mengacu pada tiga tujuan, yaitu; meningkatkan budaya
 membaca al Qur’an, budaya menghayati makna kandungan, dan budaya 
mengaplikasi ajarannya. Diskusi tafsir maqashidi tetap mengacu pada 
eksistensi keistimewaan al Qur’an sebagai wahyu illahi (kitab suci), 
yang menjadi petunjuk bagi umat Islam.[12]
Urgensi Maqashid Syari’ah dalam Penafsiran
Memahami tentang maqashid syari’ah bagi seorang mufassir dinilai sangat 
urgen. Karena maqashid syariah merupakan salah satu piranti penafsiran 
yang tidak boleh diabaikan bagi mufassir dalam menafsirkan ayat 
al-Qur’an.Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh al-Fasi dalam 
bukunya yang berjudul Maqashid Syari’ah Wa Makarimuha , sebagaimana 
disitir oleh DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, “ Ketika seorang 
mufassir hendak menafsirkan ayat al-Qur’an yang tidak ditemukan 
penjelasannya baik dari ayat al-Qur’an sendiri, hadis nabi atau pendapat
 sahabat, maka mufassir tersebut harus berijtihad sesuai dengan kadar 
kemampuannya dalam memahami bahasa Arab.” Lebih lanjut ia mengatakan, “ 
Namun penafsiran mufassir dalam keadaan di atas (tidak adanya penjelasan
 dari al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat) harus mempertimbangkan 
maqashid syari’ah, bahkan ia harus berpijak darinya”.[13]
Pada tataran teorisnya, tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid 
syari’ah, tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk
 pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab 
metode tafsir ini juga mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, 
antropologi dan histori dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib 
Arabi yang membidani tafsir maqisidi ini sepakat mengusungnya dengan 
terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al Qur’an sebagai wahyu Illahi 
(kitab suci) yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya dan tidak 
bisa disejajarkan dengan kalam manusia. Poin inilah yang membedakan 
antara ide hermeneutika yang dipopulerkan oleh peradaban barat (non 
muslim) dengan ide tafsir maqasidi yang diusung oleh para pemikir 
Islam.[14] 
Pada saat yang sama, tafsir maqashidi tidak mengadopsi sepenuhnya model 
tafsir yang selama ini ditawarkan oleh ulama-ulama klasik, terutama yang
 membatasi tafsir al Qur’an hanya bi al-Ma’tsur (dengan riwayat hadits 
dan pendapat ulama klasik). Dengan demikian, tafsir ini lebih ditekankan
 sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al 
Qur’an sesuai dengan peradaban manusia modern.[15]
Aplikasi Maqashid Syari’ah dalam penafsiran
Dua kitab tafsir dan satu pandangan tafsir yang pernah ditulis oleh 
ulama kita, memberi "sinyal" atas model tafsir al Qur’an dengan 
pendekatan maqashid syari’ah. Pertama, buku tafsir “Ahkam al Qur’an” 
yang disusun oleh imam Ibn al Arabi (w: 543 H), kedua, buku tafsir at 
Tahrir wa at Tanwir karya imam besar masjid Ezzitouna, Tunisia, Tahir 
Ibn Asyur, dan ketiga, pandangan tafsir yang digagas oleh imam Khomaini 
(w: 1989) ulama besar yang juga merupakan seorang pimpinan revolusi 
Islam di Iran.[16]
Muhammad Kajoui – pakar tafsir dari universitas Muhammad V Maroko – 
dalam sebuah kuliyahnya memaparkan bahwa; “Ahkam al Qur’an” buku tafsir 
yang ditulis pada abad ke 6 Hijriyah ini, memiliki banyak indikasi yang 
mengarah pada metode Ibn al Arabi (penyusun) menggunakan pendekatan 
maqashid syari’ah. Di antaranya, proses tarjih (mengunggulkan pendapat) 
yang dituangkan dalam bukunya selalu disandarkan pada sisi maqashid. 
misalnya pada pembahasan Qs. An Nur: 4. Bahwa ulama sepakat apabila 
tuduhan berzina diungkapkan secara tasrih (eksplisit), maka hukumnya 
al-qadzf (pencemaran nama baik) yang harus di hukum cambuk. Akan tetapi 
apabila secara ta’rid (implisit) ulama berbeda pendapat, madzhab Maliki 
menetapkan sama seperti halnya eksplisit, artinya tetap terkena hukum 
cambuk, namun menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I bukan termasuk al-qadzf
 (pencemaran nama baik). Dalam menyikapi kasus ini, Ibn al Arabi 
menegaskan bahwa pendapat Maliki lebih tepat karena mendekati maqashid 
syari’ah (tujuan) atas disyariatkannya hukum al qadzf. 
Begitu juga dengan buku tafsir at- Tahrir wa at Tanwir, karya Ibn Asyur,
 dalam hal ini, penulis kontemporer al-Maisawi melalui resensinya 
menguatkan; bahwa pemikiran Ibn Asyur secara umum banyak terpengaruh 
oleh sudut pandang Imam as Syatibi (w: 790 H). Untuk itulah, tidak heran
 jika dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an, Ibn Asyur banyak melandaskan 
pada at- tahlil al- maqashidi (penguraian ayat ditinjau dari sisi 
Maqasid syari’ah).
Sebagai pelengkap, kita juga bisa menengok pandangan-pandangan tafsir 
Imam Khomaini melalui beberapa karya tulisnya, di mana sinyal adanya 
pendekatan maqasid pada pandangan tafsir Imam Khomaini ini pernah 
dikupas oleh Abd. Salam Zainal Abidin saat membedah pemikiran tafsirnya 
melalui buku Manhaj imam Khomaini fi at- Tafsir (metode tafsir Imam 
Khomaini). Dia mengatakan, bahwa tafsir maqasidi yang diterapkan oleh 
Imam Khomaini ini mengacu pada tiga unsur penting, yaitu; al- Riwa’I 
(riwayat), al-Irfani (hikmah), dan at- Tadabbur al-Aqli (nalar akal) 
tiga unsur penting inilah yang kemudian mendominasi pandangan-pandangan 
tafsir pimpinan besar revolusi Iran.[17] 
Epilog
Dari secuil pemaparan tentang tafsir maqashidi di atas, setidaknya bisa 
ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, beragamnya problem kekinian 
menuntut kita untuk memberikan jawaban atas isu-isu yang berkembang. 
Kedua, Kita sebagai kaum terdidik dan terpelajar tidak boleh untuk 
bersikap apriori dalam masalah ini. Karena itu inovasi-inovasi metode 
penafsiran yang berkembang dalam ranah tafsir harus kita 
apresiasi.Ketiga, tafsir maqashidi juga memiliki pijakan referensial 
yang kokoh. Karena secara genealogis maqashid syari’ah merupakan salah 
satu kajian ushul fikih klasik. Berbeda dengan hermeneutika yang 
asal-usulnya merupakan bagian dari kajian penafsiran bibel yang pada 
satu titik terdapat kerancuan-kerancuan. Sehingga hermeneutika, menurut 
sebagian kalangan, tidak boleh diterapkan sebagai metodologi penafsiran 
al-Qur’an. Premis-premis di atas merupakan sebuah alasan yang tak 
terelakkan untuk diterimanya tafsir maqashidi oleh semua kalangan. 
Alhasil, tafsir maqashidi diharapkan mampu memberikan sebuah tawaran 
untuk menjadi sebuah tafsir alternative dalam memberi solusi-solusi atas
 problematika kontemporer yang kian tak terbendung. 
Wallahu A`lam bi al-Shawab
No comments:
Post a Comment