أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Seluruh madzhab Islam sepakat bahwa shalat yang diwajibkan dalam sehari 
adalah lima waktu. Mereka juga sepakat dalam masalah bilangan raka’at. 
Shalat Subuh dua raka’at. Shalat Dhuhur, ‘Ashar, dan ‘Isya berjumlah 
empat raka’at. Sedangkan shalat Maghrib tiga raka’at. Madzhab-madzhab 
Islam, baik klasik maupun modern, tidak berselisih pendapat dalam bentuk
 pokok tata cara shalat. Perbedaan mereka hanya terjadi dalam masalah 
cabangan (far’iyyah) yang tidak terkait dengan watak umum shalat. Cara 
ruku’ dan sujud adalah sama menurut semua madzhab. Jumlah raka’at juga 
tidak diperdebatkan oleh madzhab-madzhab. Kewajiban menghadap kiblat 
juga disepakati oleh semua kaum muslimin.
Adapun masalah-masalah lainnya seperti mengeraskan atau melirihkan suara
 saat membaca bacaan shalat, meletakkan tangan di atas atau di bawah 
pusar, doa qunut, mengangkat jari telunjuk dalam tasyahud atau tidak, 
memalingkan kepala ke arah kanan dan kiri ketika salam atau tidak, 
batasan minimal ayat yang wajib dibaca dalam shalat, dan lain-lain, 
adalah masalah-masalah yang tidak berpengaruh pada bentuk umum shalat. 
Persoalan-persoalan partikular semacam ini hampir tidak bisa dibedakan 
oleh non muslim.
Shalat adalah simbol hubungan manusia dengan penciptanya. Shalat harus 
dikerjakan sebagai kewajiban agama, baik sendirian maupun berjamaah. 
Shalat merupakan media mendekatkan diri kepada Allah dan sarana memohon 
apa yang dibutuhkan oleh manusia dengan mensyukuri semua kasih sayang 
Allah. Dengan demikian, di dalam shalat terdapat dua unsur: pertama, 
syukur kepada Allah serta memuja-Nya dan mengagungkan-Nya atas kebesaran
 dan keindahan ciptaan-Nya; kedua, memohon kepada Allah yang Maha Kuasa,
 Sang Pengabul doa hamba. Shalat adalah ibadah yang tak lepas dari semua
 syariat terdahulu, meskipun syariat tersebut berbeda-beda bentuknya. 
Shalat secara etimologis berarti do’a, rahmat, dan istighfar. Islam 
telah mempersempit makna shalat sebagai kewajiban ibadah yang di 
dalamnya terdapat ruku’, sujud, gerakan-gerakan tertentu, dan 
kaidah-kaidah baku yang tak bisa dirubah semaunya. Ketentuan waktu 
pelaksanaan shalat juga sudah baku dan tidak bisa dirubah sesuka hati 
jika shalat tersebut adalah shalat wajib. Pelaksana shalat (mushali) 
diperintahkan membaca ayat dan hadits sebagaimana yang telah dibakukan 
oleh syariat dan kemudian dijaga oleh ulama periode belakangan (khalaf) 
dari sumber ulama pendahulu (salaf).
Nomenklatur “shalat” berasal dari bahasa Aramaic yang derivasinya dari 
suku kata shad lam alif “shala” yang artinya adalah ruku’ atau merunduk 
(inhina`). Kata shalat difungsikan untuk merepresentasikan praktek 
ritual keagamaan. Kata “shalat” kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi,
 sehingga, sejak saat itu, ia menjadi bahasa Aramaic-Ibrani 
(aramiyah-‘ibriyah). Kata “shalat” masuk dalam bahasa Arab melalui jalur
 Ahli Kitab sebelum datangnya Islam. Umat Yahudi menggunakan kata 
“shalutah” pada masa-masa akhir periode Taurat hingga ia menjadi kata 
pasaran yang memiliki makna bernuansa religi.
Di dalam kamus, “shalat-shalat Yahudi (washalawat Yahudi): sinagog-sinagog Yahudi”. Sementara dalam al-Quran, Allah berfirman,
ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد
Artinya, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
 dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara 
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- 
masjid”. Ibn Abbas berkata, “’shalawat’ artinya adalah tempat ibadah 
Yahudi yang berasal dari bahasa Ibrani shaluta”. 
Sebagian kalangan orientalis (mustasyriq) menilai kata “shalat” (shad 
lam ta’) dan “zakat” (za’ kaf ta’) tidak ditulis dengan bentuk seperti 
yang dikodifikasikan pada saat ini. Mula-mula, pada periode awal Islam, 
dua kata tersebut ditulis dengan dengan huruf wawu; shalât (shad lam 
wawu ta’) dan zakât (za’ kaf wawu ta’). Mereka berpendapat bahwa kata 
shalat berasal dari bahasa Aramaic “slouto” (shalutah/shaluta) dan zakat
 ditulis zakawât (zaka/daka) yang bermakna “menyucikan” (tadhhir). 
Sebagian kalangan orientalis lainnya berasumsi bahwa kata shalat tidak 
dikenal sebelum Islam datang. Kata shalat masuk ke dalam bahasa Arab 
dari sumber al-Quran sebagai petanda bagi kewajiban-kewajiban yang 
dikenal oleh umat Islam. Ini adalah pendapat yang membutuhkan 
argumentasi, karena tidak ada satu pun orang yang mungkin mengklaim 
bahwa “Kita mengetahui secara mendalam bahasa, istilah-istilah, dan 
keyakinan Jahiliyah”. Namun andaikan saja kita mampu menguasainya, maka 
kita berhak menyatakan pendapat yang senada dengan asumsi orientalis 
tersebut. Tapi pengandaian itu tampaknya mustahil terjadi. 
Semoga saja masa yang akan datang membukakan kepada kita data-data teks 
Jahiliyyah yang dikodifikasikan oleh tangan-tangan mereka yang mengulas 
persoalan-persoalan seperti ini.
Namun, jika kalangan orientalis bermaksud bahwa shalat—dalam konteks 
maknanya yang Islami yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui tradisi 
Judeo-Kristiani—sebagai kata yang tidak dikenali oleh komunitas pagan 
Jahiliyah, maka pendapat seperti itu benar dan tidak ada yang bisa 
membantah. Shalat, sebagai ritual Islam, adalah ibadah yang perintahnya 
turun dalam ruang lingkup Islam. 
Shalat bukanlah ibadah Jahiliyah. Dengan demikian, shalat ala Islam tidak dikenal oleh komunitas Jahiliyah.
Lebih jauh lagi, shalat-shalat kaum Yahudi dan Nashrani tidaklah dikenal
 oleh kalangan penyembah berhala Jahiliyah, karena mereka tidak menganut
 agama Yahudi dan Nashrani. Namun, bagi sebagian kalangan Jahiliyah yang
 pernah berinteraksi dengan orang Yahudi atau Nashrani, mereka 
mengetahui perihal ritual shalat mereka. Hal ini berdasarkan keterangan 
dalam syair Jahiliyah yang mengisyaratkan adanya informasi tentang 
ibadahnya kaum Yahudi dan Nashrani yang mencakup gerakan ruku’, sujud, 
dan membaca tasbih. 
Pemeluk Yahudi dan Nashrani dari Arab mengerjakan shalat di 
tempat-tempat ibadah mereka. Mereka tahu perihal ibadah shalat dengan 
tata caranya yang khas. Sementara komunitas pagan tidak tahu tentang 
ritual shalat, sebab tidak ada data yang terkodifikasi yang menjelaskan 
hal itu. Tetapi, hal ini tidak lantas dapat dijadikan dalil untuk 
menafikan kemungkinan adanya bentuk-bentuk ritual dalam tradisi 
Jahiliyah. 
Sebagai kaum yang melaksanakan haji pada musim-musim tertentu, memiliki 
syiar-syiar keagamaan yang baku, dan memiliki tata cara mendekatkan diri
 pada berhala-berhala, kaum pagan tak mungkin mengabaikan perkara 
ibadah, karena sesungguhnya ritual adalah sebuah aktivitas penyembahan 
yang dikenal meskipun oleh komunitas primitif sekalipun.
Dengan demikian, shalat adalah hal yang bersifat integral dengan semua 
doktrin agama. Tetapi saya tidak berpikir bahwa praktek ibadah mereka 
mempunyai bentuk yang sama, karena konsep shalat relatif berbeda-beda 
menurut masing-masing agama dan suku. Tata caranya pun sangat variatif. 
Namun, meskipun berbeda-beda, ritual-ritual tersebut tak lain adalah 
shalat, sebab—bagaimana pun juga—konsep tentang shalat adalah satu, 
namun mengambil bentuk yang beragam. Andaikan saja shalat tidak 
mengambil bentuk yang beragam, maka semua agama niscaya tunggal.
Di dalam al-Quran al-Karim terdapat indikasi yang menunjukkan adanya 
praktek shalat bagi kalangan pagan Makkah. Di dalam al-Quran disebutkan,
 “Doa-doa mereka di sekitar Baitullah itu, tak lain hanyalah siulan dan 
tepukan tangan” (QS. al-Anfal: 35). Para penafsir telah menjelaskan 
bahwa kaum Quraisy melakukan Thawaf dalam keadaan telanjang, bersiul, 
dan bertepuk tangan. Frasa “shalatuhum” dalam ayat di atas artinya 
adalah “doa-doa mereka”; mereka bersiul dan tepuk tangan sebagai doa dan
 bacaan tasbih.
Menurut pendapat minoritas penafsir, ayat tersebut artinya adalah “Tidak
 ada shalat dan ibadah bagi mereka, kecuali hanya sekedar sebuah 
permainan”. Versi lain mengatakan, “Shalat kaum Jahiliyah—yang diyakini 
oleh mereka dapat menolak pengaruh-pengaruh buruk—tak lain hanyalah 
shalat dengan cara bersiual dan bertepuk tangan. Shalat itu tidak 
disukai Allah, tidak diwajibkan, dan diperintahkan oleh Allah kepada 
mereka”. 
Di dalam Tafsir al-Thabari disebutkan, “Apakah Allah tidak akan menyiksa
 kaum Jahiliyah? sementara mereka menolak melaksanakan shalat di Masjid 
al-Haram. Mereka bukanlah kekasih-kekasih Allah. Para kekasih-Nya adalah
 orang-orang yang menolak ritual kaum Jahiliyah. Sesungguhnya shalat 
kaum Jahiliyah di Baitullah tak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan”. 
Menurut sebagian perawi, sebab turunnya ayat tersebut adalah kejadian di
 mana kaum Quraisy melawan Rasulullah saw. saat melaksanakan Thawaf atau
 shalat di dalam Baitullah. Mereka menertawakan Rasul sembari 
bersiul-siul dan bertepuk tangan. Kemudian turunlah ayat tersebut untuk 
mengritik mereka. Sebagian versi lain berpendapat, ketika Rasulullah 
saw. melaksanakan shalat di Masjid al-Haram, ada dua lelaki dari Bani 
Abd al-Dar yang berdiri di sebelah kanan Rasul kemudian bertepuk tangan.
 Dua lelaki lainnya berdiri dan bertepuk tangan di sebelah kiri Rasul. 
Orang-orang tersebut mengganggu Rasul yang sedang mengerjakan shalat. 
Maka Allah membunuh mereka semua di medan Perang Badar.
No comments:
Post a Comment