HUBUNGAN
KEJAYAAN NUSANTARA
DENGAN
PARA LELUHUR BANGSA
Prakata
Kematian bukanlah the ending atau
“riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir kembali ke
dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi. Bila
perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru”
yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi
dalam kehidupan yang sejati. Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus
esensi cahaya yang menyelimuti sukma. Bagi orang Jawa yang belum kajawan
khususnya, hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah menurunkannya
selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun. Bahkan masih bisa
terjadi interaksi antara leluhur dengan anak turunnya. Interaksi tidak dapat
dirasakan kecuali oleh orang-orang yang terbiasa mengolah rahsa sejati. Dalam
tradisi Jawa dipahami bahwa di satu sisi leluhur dapat njangkung dan njampangi
(membimbing dan mengarahkan) anak turunnya agar memperoleh kemuliaan hidup. Di
sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan rasa berbakti
sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang yang telah menyebabkan
kelahirannya di muka bumi. Sadar atau tidak warisan para leluhur kita &
leluhur nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman,
kebahagiaan bahkan harta benda masih bisa kita rasakan hingga kini.
Ada Apa
di Balik NUSANTARA
Bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan
bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Perbedaan paling mencolok adalah
jerih payahnya saat membangun dan merintis berdirinya bangsa sebesar nusantara
ini. Kita semua paham bila berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat
perjuangan heroik para leluhur kita. Dengan mengorbankan harta-benda, waktu,
tenaga, pikiran, darah, bahkan pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi
kepentingan diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan
anak turunnya, para generasi penerus bangsa termasuk kita semua yang sedang
membaca tulisan ini. Penderitaan para leluhur bangsa
bukanlah sembarang keprihatinan hidup. Jika dihitung sejak masa
kolonialisme bangsa Baratdi bumi nusantara, para leluhur perintis bangsa
melakukan perjuangan kemerdekaan selama kurang-lebih dari 350 tahun lamanya.
Belum lagi jika dihitung dari era jatuhannya Kerajaan Majapahit yang begitu
menyakitkan hati. Perjuangan bukan saja menguras tenaga dan harta benda, bahkan
telah menggilas kesempatan hidup, menyirnakan kebahagiaan, memberangus
ketentraman lahir dan batin, hati yang tersakiti, ketertindasan, harga diri
yang diinjak dan terhina. Segala perjuangan, penderitaan dan keprihatinan
menjadi hal yang tak terpisahkan karena, perjuangan dilakukan dalam suasana
yang penuh kekurangan. Kurang sandang pangan, kurang materi, dan kekurangan
dana. Itulah puncak penderitaan hidup yang lengkap mencakup multi dimensi.
Penderitaan berada pada titik nadzir dalam kondisi sedih, nelangsa, perut
lapar, kekurangan senjata, tak cukup beaya namun kaki harus tetap tegap berdiri
melakukan perlawanan mengusir imperialism dan kolonialism tanpa kenal lelah dan
pantang mengeluh. Jika kita resapi, para leluhur perintis bangsa zaman dahulu
telah melakukan beberapa laku prihatin yang teramat berat dan
sulit dicari tandingannya sbb ;
1. Tapa Ngrame; ramai dalam berjuang sepi dalam
pamrih mengejar kepentingan pribadi.
2. Tapa Brata; menjalani perjuangan dengan penuh
kekurangan materiil. Perjuangan melawan kolonialism tidak hanya dilakukan
dengan berperang melawan musuh, namun lebih berat melawan nafsu pribadi dan
nafsu jasad (biologis dan psikis).
3. Lara Wirang; harga diri dipermalukan, dihina,
ditindas, diinjak, tak dihormati, dan nenek moyang bangsa kita pernah
diperlakukan sebagai budak di rumahnya sendiri.
4. Lara Lapa; segala macam penderitaan berat pernah dialami para
leluhur perintis bangsa.
5. Tapa Mendhem; para leluhur banyak yang telah gugur
sebelum merdeka, tidak menikmati buah yang manis atas segala jerih
payahnya. Berjuang secara tulus, dan segala kebaikannya dikubur sendiri
dalam-dalam tak pernah diungkit dan dibangkit-bangkit lagi.
6. Tapa Ngeli; para leluhur bangsa dalam melakukan
perjuangan kepahlawanannya dilakukan siang malam tak kenal menyerah. Penyerahan
diri hanya dilakukan kepada Hyang Mahawisesa (Tuhan Yang Mahakuasa).
Itulah kelebihan leluhur perintis bumi
nusantara, suatu jasa baik yang mustahil kita balas. Kita
sebagai generasi penerus bangsa telah berhutang jasa (kepotangan budhi)
tak terhingga besarnya kepada para perintis nusantara. Tak ada yang
dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :
- Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.
- Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.
- Mencermati dan menghayati semua peringatan (wewaler) yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.
- Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.
- Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.
- Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.
Generasi
Durhaka
Kesadaran kita bahwa bangsa ini dulunya
adalah bangsa yang besar dalam arti kejayaannya, kemakmurannya, kesuburan
alamnya, kekayaan dan keberagaman akan seni dan budayanya, ketinggian akan
filsafat kehidupannya, menumbuhkan sikap bangga kita hidup di negeri ini. Namun
bila mencermati dengan seksama apa yang di lakukan para generasi penerus bangsa
saat ini terutama yang sedang memegang tampuk kekuasaan kadang membuat perasaan
kita terpuruk bahkan sampai merasa tidak lagi mencintai negara Indonesia
berikut produk-produknya. Di sisi lain beberapa kelompok masyarakat seolah-olah
menginginkan perubahan mendasar (asas) kenegaraan dengan memandaang pesimis
dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang telah ada dan diretas
melalui proses yang teramat berat dan berabad-abad lamanya. Golongan mayoritas
terkesan kurang menghargai golongan minoritas. Keadilan dilihat dari kacamata
subyektif, menurut penafsiran pribadi, sesuai kepentingan kelompok dan
golongannya sendiri. Kepentingan yang kuat meniadakan kepentingan yang lemah.
Kepentingan pribadi atau kelompok diklaim atas nama kepentingan rakyat. Untuk
mencari menangnya sendiri orang sudah berani lancang mengklaim tindakannya atas
dasar dalil agama (kehendak Tuhan). Ayat dan simbol-simbol agama dimanipulasi
untuk mendongkrak dukungan politik. Watak inilah yang mendominasi potret
generasi yang durhaka pada para leluhur
perintis bangsa di samping pula menghianati amanat penderitaan rakyat.
Celakanya banyak pecundang negeri justru mendapat dukungan mayoritas. Nah,
siapa yang sudah keblinger, apakah pemimpinnya, ataukah rakyatnya, atau
mungkin pemikiran saya pribadi ini yang tak paham realitas obyektif. Kenyataan
betapa sulit menilai suatu ralitas obyektif, apalagi di negeri ini banyak
sekali terjadi manipulasi data-data sejarah dan gemar mempoles kosmetik sebagai
pemanis kulit sebagai penutup kebusukan.
“Dosa”
Anak Kepada Ibu (Pertiwi)
Leluhur bumi nusantara bagaikan seorang
ibu yang telah berjasa terlampau besar kepada anak-anaknya. Sekalipun
dikalkulasi secara materi tetap terasa kita tak akan mampu melunasi “hutang”
budi-baik orang tua kita dengan cara apapun. Orang tua kita telah mengandung,
melahirkan, merawat, membesarkan kita hari demi hari hingga dewasa. Sedangkan
kita tak pernah bisa melakukan hal yang sama kepada orang tua kita. Demikian
halnya dengan para leluhur perintis bangsa. Bahkan kita tak pernah bisa
melakukan sebagaimana para leluhur lakukan untuk kita. Apalagi beliau-beliau
telah lebih dulu pergi meninggalkan kita menghadap Hyang Widhi (Tuhan YME).
Diakui atau tidak, banyak sekali kita berhutang jasa kepada beliau-beliau para
leluhur perintis bangsa. Sebagai konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan
penghianatan kepada leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu
(pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu
dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap nguri-uri atau memelihara dan
melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang telah menurunkan kita
khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada umumnya. Penghianatan generasi
penerus terhadap leluhur bangsa, sama halnya kita menabur perbuatan durhaka
yang akan berakibat menuai malapetaka untuk diri kita sendiri.
Sudah menjadi kodrat alam (baca; kodrat ilahi) sikap generasi penerus bangsa yang
telah mendurhakai para leluhur perintis
bumi pertiwi dapat mendatangkan azab, malapetaka besar yang menimpa seantero
negeri. Sikap yang “melacurkan” bangsa, menjual aset negara secara ilegal, merusak
lingkungan alam, lingkungan hidup, hutan, sungai, pantai. Tidak sedikit para
penanggungjawab negeri melakukan penyalahgunaan wewenangnya dengan cara “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani”. Tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung,
sebagai kelas menengah selalu menyulitkan orang, jika menjadi rakyat gemar
mencelakai. Seharusnya ing ngarsa asung tulada, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani. Walaupun tidak semua orang melakukan perbuatan
durhaka namun implikasinya dirasakan oleh semua orang. Sekilas tampak tidak
adil, namun ada satu peringatan penting yang perlu diketahui bahwa, hanya
orang-orang yang selalu eling dan waspada yang akan selamat
dari malapetaka negeri ini.
Rumus
Yang Tergelar
Saya tergerak untuk membuat tulisan ini
setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan sbb; apakah
kembalinya kejayaan nusantara tergantung dengan peran leluhur ?
jawabnya, TIDAK !
melainkan tergantung pada diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangsa.
Meskipun demikian bukan berarti menganulir peran leluhur terhadap nasib
bangsa saat ini. Peran leluhur tetap besar hanya saja tidak secara langsung. Keprihatinan luar biasa leluhur nusantara di masa
lampau dalam membangun bumi nusantara, telah
menghasilkan sebuah “rumus” besar yang boleh dikatakan sebagai hukum atau
kodrat alam. Setelah keprihatinan dan perjuangan usai secara tuntas,
“rumus” baru segera tergelar sedemikian rupa. Rumus berlaku bagi seluruh
generasi penerus bangsa yang hidup sebagai warga negara Indonesia dan siapapun
yang mengais rejeki di tanah perdikan nusantara. Kendatipun demikian generasi
penerus memiliki dua pilihan yakni, apakah akan
menjalani roda kehidupan yang sesuai dalam koridor “rumus” besar atau
sebaliknya, berada di luar “rumus” tersebut. Kedua pilihan itu
masing-masing memiliki konsekuensi logis. Filsafat hidup Kejawen selalu wanti-wanti
; aja duwe watak kere, “jangan gemar
menengadahkan tangan”. Sebisanya jangan sampai berwatak ingin selalu berharap
jasa (budi) baik atau pertolongan dan bantuan dari orang lain, sebab yang
seperti itu abot sanggane, berat konsekuensi dan tanggungjawab
kita di kemudian hari. Bila kita sampai lupa diri apalagi menyia-nyiakan orang
yang pernah memberi jasa (budi) baik kepada kita, akan menjadikan sukerta
dan sengkala. Artinya membuat kita sendiri celaka akibat ulah
kita sendiri. Leluhur melanjutkan wanti-wantinya pada generasi penerus,
agar supaya ; tansah eling sangkan paraning
dumadi. Mengingat jasa baik
orang-orang yang telah menghantarkan kita hingga meraih kesuksesan pada saat
ini. Mengingat dari siapa kita dilahirkan, bagaimana jalan kisah, siapa saja
yang terlibat mendukung, menjadi perantara, yang memberi nasehat dan saran,
hingga kita merasakan kemerdekaan dan ketenangan lahir batin di saat sekarang.
Sementara itu, generasi durhaka adalah generasi yang
sudah tidak eling sangkan paraning dumadi.
Tugas
dan Tanggungjawab Generasi Bangsa
Sebagai generasi penerus bangsa yang
telah menanggung banyak sekali hutang jasa dan budi baik para leluhur masa
lalu, tak ada pilihan yang lebih tepat selain harus mengikuti rumus-rumus yang
telah tergelar. Sebagaimana ditegaskan dalam serat Jangka Jaya Baya
serta berbagai pralampita, kelak negeri ini akan mengalami masa
kejayaan kembali yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, bilamana
semua suku bangsa kembali nguri-uri kebudayaan, menghayati nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam kearifan lokal (local wisdom), masing-masing
suku kembali melestarikan tradisi peninggalan para leluhur nusantara. Khususnya
bagi orang Jawa yang sudah hilang kejawaannya (kajawan) dan berlagak sok
asing, bersedia kembali menghayati nilai luhur kearifan lokal.
Demikian pula suku Melayu, Dayak, Papua, Minang, Makasar, Sunda, Betawi,
Madura, Tana Toraja, Dayak dst, kembali menghayati tradisi dan budaya lokal
yang kaya akan nilai-nilai luhur. Bagaimanapun kearifan lokal memiliki
kunggulan yakni lebih menyatu dan menjiwai (manjing ajur ajer) serta
lebih mengenal secara cermat karakter alam dan masyarakat setempat. Desa
mawa cara, negara mawa tata. Masing-masing wilayah atau daerah memiliki
aturan hidup dengan menyesuaikan situasi dan kondisi alamnya. Tradisi dan
budaya setempat adalah “bahasa” tak tertulis sebagai buah karya karsa,
cipta, dan karsa manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta. Orang yang
hidup di wilayah subur makmur akan memiliki karakter yang lembut, santun,
toleran, cinta damai namun agak pemalas. Sebaliknya orang terbiasa hidup di
daerah gersang, sangat panas, sulit pangan, akan memiliki karakter watak yang
keras, temperamental, terbiasa konflik dan tidak mudah toleran. Indonesia
secara keseluruhan dinilai oleh manca sebagai masyarakat yang berkarakter
toleran, penyabar, ramah, bersikap terbuka. Namun apa jadinya jika serbuan
budaya asing bertubi-tubi menyerbu nusantara dengan penuh keangkuhan (tinggi
hati) merasa paling baik dan benar sedunia. Apalagi budaya yang
dikemas dalam moralitas agama, atau sebaliknya moralitas agama yang mengkristal
menjadi kebiasaan dan tradisi. Akibat terjadinya imperialisme budaya asing,
generasi bangsa ini sering keliru dalam mengenali siapa jati dirinya. Menjadi
bangsa yang kehilangan arah, dengan “falsafah hidup” yang tumpang-tindih dan
simpang-siur menjadikan doktrin agama berbenturan dengan nilai-nilai kearifan
lokal yang lebih membumi. Ditambah berbagai pelecehan konstitusi oleh
pemegang tampuk kekuasaan semakin membuat keadaan carut-marut dan
membingungkan. Tidak sekedar mengalami kehancuran ekonomi, lebih dari itu
bangsa sedang menuju di ambang kehancuran moral, identitas budaya, dan
spiritual. Kini, saatnya generasi penerus bangsa
kembali mencari identitas jati dirinya, sebelum malapetaka datang semakin besar. Mulai sekarang juga, mari
kita semua berhenti menjadi generasi durhaka kepada “orang tua” (leluhur
perintis bangsa). Kembali ke pangkuan ibu pertiwi, niscaya anugrah kemuliaan
dan kejayaan bumi nusantara akan segera datang kembali.
TRAH MAJAPAHIT
Dalam pola hubungan kekerabatan atau
silsilah di dalam Kraton di Jawa di kenal istilah trah. Menurut
arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas
darah dalem atau kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih
memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam
hubungan tali darah (tedhaking andana warih). Banyak sekali orang merasa
bangga menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat
menceritakan runtutan silsilah atau trah leluhur yang mana yang
menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa menyebut dari mana asal-usul mata
rantai leluhur yang menurunkan agar supaya dapat memberikan pengabdian kepada
leluhur secara tepat. Dengan demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya
tidak dilakukan dengan asal-asalan tanpa mengetahui siapa persisnya
nenek-moyang yang telah menurunkan kita, dan kepada leluhur yang mana harus
menghaturkan sembah bakti. Jika kita terputus mengetahui mata rantai tersebut
sama halnya dengan mengakui atau meyakini saja sebagai keturunan Adam, namun
alur mata rantainya tidak mungkin diuraikan lagi. Mengetahui tedhaking
andana warih membuat kita lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau
menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri. Jangan
sampai seperti generasi durhaka yakni orang-orang kajawan rib-iriban
yang tidak memahami hakekat, kekenyangan “makan kulit”, menjunjung setinggi
langit leluhur bangsa asing sekalipun harus mengeluarkan beaya puluhan bahkan
ratusan juta rupiah tapi tidak mengerti makna sesungguhnya. Sungguh ironis,
sementara leluhurnya sendiri terlupakan dan makamnya dibiarkan merana hanya
karena takut dituduh musrik atau khurafat. Cerita ironis dan menyedihkan itu
seketika raib tatkala sadar telah mendapatkan label sebagai “orang suci” dan
saleh hanya karena sudah meluhurkan leluhur bangsa asing. Ya, itulah kebiasaan
sebagian masyarakat yang suka menilai simbol-simbolnya saja, bukan memahami
esensinya. Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada leluhur yang
menurunkan kita sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa? Rupanya mata hati
telah tertutup rapat, tiada lagi menyadari bahwa teramat besar jasa para
leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau pendahulu kita semua yang telah
menumpahkan segala perjuangannya demi kehidupan dan kemuliaan anak turun yang
mengisi generasi penerus bangsa rasanya kita tak kan pernah hidup saat ini.
Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu
adalah kejayaan kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit, terutama yang
terakhir. Trah atau garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih
eksis hingga sekarang, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede
Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi
Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya adalah
generasi penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya V. Berikut
ini silsilah yang saya ambil secara garis besarnya saja ;
Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer
Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan
Buntoro Demak I (Lajer Putra; tetapi ibu kandung dari bangsa asing
yakni; Putri Cempo dari Kamboja ; beragama Islam)
http://sabdalangit.wordpress.com
Trah Ratu
Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng
Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng
Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
Ki Ageng Kebo Kenongo menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
1. Mas Karebet
/ Joko Tingkir / Sultan
Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden
Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I, menurunkan 2 Putera yakni
:
(1) Pangeran
Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran
Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
Keduanya penerus Demak – tetapi
akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.
Kerajaan Demak hanya berlangsung selama
3 periode. Entah ada kaitannya atau tidak namun kejadiannya sebagaimana dahulu
pernah diisaratkan oleh Prabu Brawijaya V saat menjelang puput yuswa.
Prabu Brawijaya V merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani melawan
orang tua sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun alasannya. Maka
Prabu Brawijaya V bersumpah bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan
berlangsung selama 3 dinasti saja (Raden Patah, Adipati Unus, Sultan
Trenggono). Setelah itu kekuasaa Kerajaan Demak Bintoro akan redup dengan
sendirinya. Hal senada disampaikan pula oleh Nyai Ampel Gading kepada cucunda
Raden Patah, setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya pasti akan
mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa. Dikatakan oleh Nyai Ampel Gading,
bahwa Baginda Brawijaya V telah memberikan 3 macam anugrah kepada Raden Patah
yakni; 1) daerah kekuasaan yang luas, 2) diberikan Tahta Kerajaan, 3) dan
dipersilahkan menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri Cempa)
dengan leluasa. Namun Raden Patah tetap menginginkan tahta Majapahit, sehingga
berani melawan orang tuanya sendiri. Sementara ayahandanya merasa serba salah,
bila dilawan ia juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak dilawan akan
menghancurkan Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti
kehendak Raden Patah. Akhirnya Brawijaya V memilih mengirimkan sekitar 3000
pasukan saja agar tidak mencelakai putranda Raden Patah. Sementara
pemberontakan Raden Patah ke Kerajaan Majapahit membawa bala tentara sekitar 30
ribu orang, dihadang pasukan Brawijaya V yang hanya mengirimkan 3000 orang.
Akibat jumlah prajurit tidak seimbang maka terjadi banjir darah dan korban
berjatuhan di pihak Majapahit. Sejak itulah pustaka-pustaka Jawa
dibumihanguskan, sementara itu orang-orang yang membangkang dibunuh dan
rumahnya dibakar. Sebaliknya yang memilih mengikuti kehendak Raden Patah
dibebaskan dari upeti atau pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan
mendukung pemberontakan Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga
yang sempat memberikan nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan
pemberontakan karena dengan memohon saja kepada ayahandanya untuk menyerahkan
tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya. Hingga akhirnya nasehat
tak dihiraukan Raden patah, dan terjadilah perang besar yang membawa banyak
korban. Hal ini sangat disesali oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya
memutuskan untuk berpakaian serba berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda
kesedihan dan penyesalan atas perististiwa tersebut.
Penerus Majapahit
Penerus Majapahit
Lain halnya nasib Raden Bondan Kejawan yang dahulu sebelum Sri Narpati Prabu Brawijaya V meninggal ia masih kecil dititipkan kepada putranda Betara Katong, dikatakan jika Betara katong harus menjaga keselamatan Raden Bondan Kejawan karena ialah yang akan menjadi penerus kerajaan Majapahit di kelak kemudian hari. Berikut ini alur silsilah Raden Bondan Kejawan hingga regenerasinya di masa Kerajaan Mataram.
Raden Bondhan
Kejawan/Lembu Peteng Tarub-Dewi Nawang Sih (Dewi Nawang Sih adalah seorang
putri dari Dewi Nawang Wulan-Jaka Tarub) (Lajer Putra)
menurunkan Putera :
1. Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo (Lajer Putra)
2. Dewi Nawang Sari (Kelak adl calon
ibu Ratu Adil/SP/Herucakra)
Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo
mempunyai 1 Putera:
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo (Lajer Putra)
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo mempunyai
1 Putera bernama:
Ki Ageng Anis (Ngenis) (Lajer Putra)
Ki Ageng Anis (Ngenis) mempunyai 2
Putera :
1. Ki Ageng
Pemanahan / Ki Ageng Mataram
2. Ki Ageng
Karotangan / Pagergunung I
tp://sabdalangit.wordpress.com
Ki Ageng Pemanahan / Mataram mempunyai
1 Putera:
Raden Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati/ Sultan Mataram I
Panembahan Senopati akhirnya menjadi
generasi Mataram Islam (kasultanan) pertama yang meneruskan kekuasaan Majapahit
hingga kini. Pada masa itu spiritualitas diwarnai nilai sinkretisme antara
filsafat hidup Kejawen, Hindu, Budha dan nilai-nilai Islam hakekat sebagaimana
terkandung dalam ajaran Syeh Siti Jenar, terutama mazabnya Ibnu Al Hallaj. Pada
saat itu, hubungan kedua jalur spiritual masih terasa begitu romantis saling
melengkapi dan belum diwarnai intrik-intrik politik yang membuyarkan
sebagaimana terjadi sekarang ini.
Begitulah silsilah lajer putra dari
Brawijaya V. Menurut tradisi Jawa wahyu keprabon akan turun kepada anak laki-laki
atau lajer putra. Sedangkan Raden patah walaupun lajer putra tetapi dari Putri
bangsa asing. Dan Raden Patah dianggap anak durhaka oleh ayahandanya Prabu
Brawijaya Kertabhumi dan neneknya Nyai Ampel Gading. Namun demikian, bagi
penasehat spiritualnya yakni Ki Sabdapalon dan Nayagenggong yang begitu
legendaris kisahnya, pun Prabu Brawijaya walaupun secara terpaksa atau tidak
sengaja telah menghianati para pendahulunya pula.
Dari pemaparan kisah di atas ada suatu
pelajaran berharga untuk generasi penerus agar tidak mengulang kesalahan yang
sama. Artinya jangan sampai kita berani melawan orang tua, apalgi sampai
terjadi pertumpahan darah. Karena dapat tergelincir pada perberbuatan durhaka
kepada orang tua kita terutama pada seorang ibu, yakni ibu pertiwi. Dengan kata
lain durhaka kepada para leluhur yang telah merintis bangsa dengan susah payah.
Karena Tuhan pasti akan memberikan hukuman yang setimpal, dan siapapun tak ada
yang bisa luput dari bebendu Tuhan.
Pralampita
Leluhur Bangsa
Saya ingin mengambil beberapa bait dari
serat Darmagandul yang unik dan menarik untuk dianalisa, sekalipun
kontroversial namun paling tidak ada beberapa nasehat dan warning yang mungkin dapat menjadi pepeling
bagi kita semua, khususnya bagi yang percaya. Bagi yang tidak mempercayai, hal
itu tidak menjadi masalah karena masing-masing memiliki hak untuk menentukan
sikap dan mencari jalan hidup secara cermat, tepat dan sesuai dengan pribadi
masing-masing.
Paduka
yêktos, manawi sampun santun gami selam,
nilar
gamabudi, turun paduka tamtu apês,
Jawi
kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes.
Benjing
tamtu dipun prentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.
Paduka
pahami, bila sudah memeluk gama selam, meninggalkan gamabudi,
Keturunan
Paduka pasti mendapatkan sial, Jawa tinggal seolah-olah jawa,
nilai
ke-Jawa-annya telah hilang, gemar nebeng bangsa lain
Besok
tentu diperintah oleh orang Jawa yang memahami (Kejawa-an)
Cobi
paduka-yêktosi, benjing: sasi murub botên tanggal,
wiji
bungkêr botên thukul, dipun tampik dening Dewa,
tinanêma
thukul mriyi, namung kangge têdha pêksi,
mriyi
punika pantun kados kêtos,
amargi
Paduka ingkang lêpat, rêmên nêmbah sela
Cobalah
Paduka pahami, besok; sasi murub boten tanggal
Biji-bijian
tidak tumbuh, ditolak oleh Tuhan
Walaupun
ditanam yang tumbuh berupa padi jelek
Hanya
jadi makanan burung
Karena
Paduka lah yang bersalah, suka menyembah batu
Paduka-yêktosi,
benjing tanah Jawa ewah hawanipun,
wêwah
bênter awis jawah, suda asilipun siti,
kathah
tiyang rêmên dora,
kêndêl
tindak nistha tuwin rêmên supata,
jawah
salah mangsa, damêl bingungipun kanca tani.
Paduka
pahami, kelak tanah Jawa berubah hawanya,
Berubah
menjadi panas dan jarang hujan, berkurang hasil bumi
Banyak
orang suka berbuat angkara
Berani
berbuat nista dan gemar bertengkar,
Hujan
salah musim, membuat bingung para petani
Wiwit
dintên punika jawahipun sampun suda,
amargi
kukuminipun manusa anggenipun sami gantos agami.
Benjing
yen sampun mrêtobat, sami engêt dhatêng gamabudi malih,
lan
sami purun nêdha woh kawruh, Dewa lajêng paring pangapura,
sagêd
wangsul kados jaman Budhi jawahipun”.
Mulai
hari ini hujan sudah mulai berkurang,
Sebagai
hukumannya manusia karena telah berganti agama
Besok
bila sudah bertobat, orang-orang baru ingat kepada gamabudi lagi
Dan
bersedia makan buahnya ilmu, maka Tuhan akan memberi ampunan
Kesuburan
tanah dapat kembali seperti zaman gamabudi
Memahami Leluhur dan Kemusyrikan
Memahami Leluhur dan Kemusyrikan
Belajar dari pengalaman pribadi dan
sebagaimana terdapat dalam tradisi Jawa, saya pribadi percaya bahwa leluhur
masih dapat memberikan bimbingan dan arahan (njangkung dan njampangi)
memberikan doa dan restu kepada anak turunnya. Komunikasi dapat berlangsung
melalui berbagai media, ambil contoh misalnya melalui mimpi (puspa tajem),
melalui keketeg ing angga, suara hati nurani, bisikan gaib, atau dapat
berkomunikasi langsung dengan para leluhur. Barangkali di antara pembaca ada
yang menganggap hal ini sebagai bualan kosong saja, bahkan menganggap bisikan
gaib dipastikan dari suara setan yang akan menggoda iman. Boleh dan sah-sah
saja ada pendapat seperti itu. Hanya saja tidak perlu ngotot
mempertahankan tingkat pemahaman sendiri. Sebab jika belum pernah menyaksikan
sendiri noumena atau eksistensi di alam gaib sebagai being yang
ada, kesadaran kita masih dikuasai oleh kesadaran akal-budi, kesadarannya
hanyalah dalam batas kesadaran jasad/lahiriah semata. Sebaliknya kesadaran
batinnya justru menjadi mampet tak bisa berkembang. Padahal untuk memahami
tentang kesejatian hidup diperlukan sarana kesadaran batiniah atau rohani.
Bagi pemahaman saya pribadi, adalah
sangat tidak relevan suatu anggapan bahwa interaksi dengan leluhur itu dianggap
musyrik. Apalagi dianggap non-sense, bagi saya anggapan itu merupakan
kemunduran dalam kesadaran batin sekalipun jika di banding zaman animisme dan
dinamisme. Menurut pemahaman saya musyrik adalah persoalan dalam hati dan cara
berfikir, bukan dalam manifestasi tindakan. Saya tetap percaya bahwa tanpa
adanya kuasa dan kehendak Tuhan apalah artinya leluhur. Leluhur sekedar sebagai
perantara. Seperti halnya anda mendapatkan rejeki melalui perantara perusahaan
tempat anda bekerja. Jika Anda menuhankan perusahaan tempat anda bekerja sama
halnya berfikir musrik. Dan orang dungu sekalipun tak akan pernah menuhankan
leluhur karena leluhur itu roh (manusia) yang jasadnya telah lebur kembali
menjadi tanah. Hubungan dengan leluhur seperti halnya hubungan dengan orang
tua, saudara, tetangga, atau kakek-nenek yang masih hidup yang sering kita mintai
tolong. Perbedaannya hanyalah sekedar yang satu masih memiliki jasad kotor,
sedangkan leluhur sudah meninggalkan jasad kotornya. Bila kita mohon doa restu
pada orang hidup yang masih dibungkus jasad kotor mengapa tak dituduh musrik,
sedangkan kepada leluhur dianggap musrik. Padahal untuk menjadi musrik itu pun
sangat mudah, anda tinggal berfikir saja jika seorang dokter dengan resep obat
yang anda minum adalah mutlak menjadi penyembuh penyakit di luar kuasa Tuhan.
Atau anda meminta tolong kepada tetangga untuk mbetulin genting bocor,
dan orang itu dapat bekerja sendiri tanpa kuasa Tuhan. Saya fikir konsep
musyrik adalah cara berfikir orang-orang yang hidup di zaman jahiliah saja.
Atau mungkin manusia purba jutaan tahun lalu. Namun apapun alasannya tuduhan
musrik menurut saya, merupakan tindakan penjahiliahan manusia.
Kendatipun demikian, jika tidak ada
jalinan komunikasi dengan leluhur, para leluhur tak akan mencampuri urusan
duniawi anak turunnya. Oleh sebab itu dalam tradisi Jawa begitu kental
upaya-upaya menjalin hubungan dengan para leluhurnya sendiri. Misalnya
dilakukan ziarah, nyekar, mendoakan, merawat makam, selamatan, kenduri,
melestarikan warisan, dan menghayati segenap ajaran-ajarannya yang mengandung
nilai luhur filsafat kehidupan.
==========
Saya tegaskan tulisan ini sekedar
pemaparan bertujuan senantiasa membangun sikap eling dan waspada.
Bila kita memanfaatkannya untuk kebaikan saya optimis akan berguna menjadikan
kehidupan lebih baik dan bijaksana. Bila tak dimanfaatkan paling-paling hanya tidak
lengkap ilmunya.
Apabila mau jujur dan para sejarawan bersama arkeolog mau meluruskan sejarah tentu akan ditemukan banyak kepalsuan dalam “dongeng-dongeng” yang dikemas seolah bagaikan suatu kejujuran sejarah nasional. Terutama cerita-cerita tentang masuknya para saudagar Belanda, India, maupun saudagar Mesir, dan Turki yang sangat tergiur oleh gemah ripahnya Nusantara. Kisah-kisah masuknya saudagar ke Bumi Nusantara selanjutnya dirombak berupa “dongeng-dongeng” yang mengimajinasikan tokoh sakti mandraguna yang perjalanan hidupnya penuh perjuangan mengatasnamakan tuhan. Sebagai salah satu trik kolonialisme, di dalamnya terdapat intrik-intrik politik dagang dan perebutan kekuasaan yang didukung melalui penciptaan cerita adu kesaktian antara para saudagar yang dicitrakan selalu benar versus penduduk asli pribumi yang dicitrakan sebagai yang selalu salah bahkan musuh tuhan. Ya..semua itu masih dalam kerangka proyek pemenangan politik dagang. Mayoritas anak bangsa mungkin termasuk kita-kita ini para pembaca, mungkin merupakan anak turun dari para pendahulu bangsa yang menjadi korban atas pencitraan tendensius dan subyektif dari para saudagar bersama pendukungnya. Meluruskan sejarah bangsa besar ini menjadi tugas generasi penrus bangsa, agar supaya yang benar tampak benar, yang salah terbongkar kedoknya. Sehingga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi generasi berikutnya yang ingin mengerti kesejatian hidup ini apa adanya dan apa sesungguhnya.
Dalam cara pandang sosio-ekonomis, jika Anda ingin memenangkan persaingan marketing, ada dua kiat jitu yang bisa ditempuh, pertama, susupkan barang dagangan ke dalam unsur budaya lokal calon konsumen. Kedua, kuasai, dominasi, dan setir pola pikir calon konsumen agar supaya mengikuti kemauan si marketing. Tentu Anda akan menjadi marketing yang sukses menangguk keuntungan besar. Apalagi “kolonialisasi” dan dominasi terhadap pola pikir konsumen melalui berbagai doktrin. Selanjutnya, Anda tinggal menyingkirkan pesaing-pesaing bisnis, dengan cara politik adu domba, aktif menciptakan wacana friksi dan gap, serta sibuk menumbuhkan konflik-konflik antara elemen-elemen kekuatan para pesaing. Dalam hal ini kearifan lokal (local wisdom) dan kerajaan-kerajaan yang masih eksis memegang teguh budaya dan tradisi bumipertiwi dapat diperankan sebagai pesaing paling diperhitungkan. Ternyata, politik devide et impera-nya Belanda hanya sekedar meniru politik a la saudagar asing. Tengok saja periode sejarah sebelum masa kedatangan para saudagar, sejarah kerajaan Nusantara abad Sebelum Masehi (kerajaan pertama Kutai Lama) hingga akhir abad 12 masa Majapahit awal, perang atau konflik antara kerajaan sangat jarang terjadi. Namun semenjak abad 14 terjadi peningkatan intensitas konflik. Selain dengan cara tersebut, penjajahan paling efektif bisa ditempuh melalui cara “perkawinan silang” antara penjajah dengan pribumi, di mana peran suami lebih banyak diisi oleh laki-laki penjajah, sedangkan peran istri diisi oleh mayoritas perempuan pribumi. Hal ini bertujuan tentu saja untuk mengamankan kepentingan,aset dan meluaskan otoritas kaum penjajah yang menganut sistem patrilineal. Yang terpenting bukanlah menggugat siapa yang melahirkan diri kita. Tetapi apa yang telah kita perbuat terhadap kepalsuan sejarah? Berani jujurkah generasi penerus bangsa ini? Ataukah kronologi sejarah dan jejak-jejak kaki sejarah bangsa ini akan tetap ditopang oleh pondasi sejarah palsu? Kain pel yang kotor, tak akan bisa membersihkan lantai kotor tuan !
Kata Bung Karno,”Jasmerah ! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (yang jujur obyektif). Di zaman modern dan serba terbuka ini, walau masih ada sebagian orang yang bernafsu untuk memelintir sejarah sesuai kepentingannya, sudah pasti..sejarah akan meluruskan dirinya sendiri. Sesuatu yang dianggap kebenaran mutlak di masa lalu, bisa saja terkoreksi oleh temuan-temuan baru. Sejarah palsu hanya bisa berbohong dalam kurun waktu yang tidak tak terbatas. Tidak selamanya bau bangkai dapat disimpan rapat-rapat. Kini, generasi muda musti menyingkap bau bangkai itu, atau menyiapkan “kain pel” yang benar-benar bersih. Generasi bangsa musti melakukan koreksi signifikan untuk misi utama menyelamatkan Nusantara dari ambang kehancuran total. Kurang apa lagi? Nusantara adalah singgasana, adalah rumah pribadi, surga yang nyata dan bukan imajiner bagi anak-anak negeri, bagi rakyat Indonesia. Dan kita semua, generasi penerus bangsa sebagai tuan rumahnya, tentu saja di rumah pribadi kita Nusantara. Namun saat ini lain kenyataannya, kita menjadi jongos di rumah sendiri, kita dipaksa mengabdi, membabukan diri kepada para “tamu” di rumah kita sendiri. Tamu mbagekake sing duwe omah. Kita tertindas di negeri sendiri, oleh penjajah yang berdaging berdarah sebagai WNI, tetapi berisi jiwa-jiwa yang tak ubahnya onggokan sampah kepentingan, tumpukan kebekuan pola pikir, dan jiwa yang berisi komitmen jahil yang loyal dan berporos kepada para penjajah dari negeri antah-berantah. Banyak orang lebih suka napak tilas dan berziarah kepada leluhur luar negri nun jauh di sana yang sama sekali tak ada hubungan ras, bangsa, suku, apalagi kerabat sodara. Sekalipun menghabiskan beaya puluhan juta tetap dilakoninya dengan harapan surga, sebaliknya terhadap leluhurnya sendiri tidak berbakti, kuburannya terbengkalai penuh ilalang, kotor tidak pernah diopeni. Lantas di mana sang hatinurani?? Sementara harta warisannya sampai kini masih mereka nikmati, bahkan sebagian telah dijual untuk ngabekti kepada leluhur-leluhur asing nun jauh di luar negeri. Mau diakui ataupun dipungkiri, pasti kualat akan datang menghampiri, kualat yang datang dari sikap perilakunya sendiri. Jadilah wajah Nusantara yang seperti ini. Rupa-rupa musibah dan bencana datang silih berganti, menerpa anak negeri yang lupa diri, lebih suka memuaskan nafsu dan imajinasi. Potret negeri di mana generasi penerusnya durhaka kepada sang ibu pertiwi.
Saat ini, tanggal 17 Juli, sebentar lagi Nusantara akan “bersih-bersih” diri. Goro-goro gung tan kena den pungkiri. Murih tinarbukaning gapura gamabudi. Jaya nusawantara den enteni. Kang kadapuk dadi pambuka, iya satria kang jumedul ing pulo Semar Badranaya, sisih wetan sangkan ira. Mula den eling den êmut, menawa ana Candra-ning Negoro. Iya iku satria kang piningit, datan aran ratu adil, nanging kang jumeneng dadi satria nagari Pambukaning Gapura.
Imperialisme Baru
Bentuk imperialisme yang melebihi model penjajahan terhadap daerah koloni, bilamana yang dijajah adalah kemerdekaan fikir dan pembunuhan atas kesadaran spiritual generasi penerus bangsa. Pola fikir dan kesadaran spiritual, adalah dua pilar yang membentuk karakter bangsa. Dan terbukti saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan karakternya. Merupakan kenyataan tak dapat ditutup-tutupi lagi, kini telah lahir generasi di mana kesadaran spiritualnya tergembok rapat di dalam tempurung kebodohan. Malah dengar-dengar akan ada generasi akhir yang akan diberi julukan si makhluk bermata satu yang suka gentayangan untuk memutar balik fakta dengan cara berdagang kata-kata manis berbalut angin syurga. Makhluk bermaga satu bafangkali kiasan yang menggambarkan suatu pemahaman dangkal bahwa kebenaran dan ketuhanan hanya boleh didefinisikan melalui satu cara saja. Yakni satu persepsi, atau satu cara pandang. Konsekuensinya, apapun persepsi tentang kebenaran, keyakinan, dan tentang tuhan di luar persepsi itu mendapat label sebagai bentuk kesesatan. POLA PIKIR semacam ini akan menjadi generasi anti-toleran, yakni generasi anti perbedaan pendapat. Tidak mau berbaik sangka dengan berfikiran positif-konstruktif terhadap segala perbedaan. Tentu saja realitas sosial semacam itu bertentangan dengan hukum alam. Dan siapapun, apapun, jika bertentangan dengan hukum alam, alamlah yang akan meleburNYA.
MAKHLUK mata satu, bagaikan hantu gentayangan sana-sini memutarbalikan fakta antara kebenaran dengan ilusi. Antara kebohongan dengan kejujuran. Apabila segala kepalsuan dan kebohongan itu terbongkar oleh temuan-temuan baru, dan oleh evolusi kesadaran manusia-manusia generasi baru, selanjutnya pola pikir masyarakat dunia akan segera berganti dengan paradigma pikir baru yang lebih realistis, membumi dan penuh nilai-nilai humanis. Saat itulah terjadi “kiamat” bukan maksud kehancuran planet bumi bersama jagad semesta, melainkan kebangkrutan total segala macam “spiritual” lama yang penuh ilusi. Lants kelak hanyalah kejujuran yang akan tersisa. Seyogyanya kita lihat dan kita buktikan bersama-sama saja perkembangannya.
Alam bersifat dinamis dalam perubahannya. Bagi yang mampu beradaptasi dengan kehendak alam, pada gilirannya kekuatan alam akan mendaur ulang menjadi generasi baru yang memiliki kesadaran kosmologis yang selaras, sinergis dan harmonis dengan hukum alam. Mereka akan lahir sebagai manusia sejati yang mengerti diri sejati, dan memahami apa sejatinya hidup ini. Sebaliknya yang menolak koreksi alam dan hukum dinamika zaman, akan semakin sulit menyadari bahwa dirinya telah dirundung sakit jiwa yang berkepanjangan.
NAPAK TILAS dan PERISTIWA PENUH ARTI
Motivasi kehadiran rombongan kami dalam rangka ikut serta berkumpul bersama seluruh sedulur dari berbagai kalangan yang hadir di acara sakral Sarasehan Bulan Purnama dengan tema Memperingai Turunnya Wahyu Makutharama, yang dipandegani oleh Mas Panji Trisula (Bustanus Salatin).Terimakasih tak terhingga atas segala sambutan dan kehangatan paseduluran dari sedulur-sedulur yang hadir dalam acara tsb. Sungguh bagai oasis menyejukkan dahaga spiritual di tengah panasnya terpaan the desert storm “badai gurun” yang melanda Nusantara saat ini. Kami berharap apa yang telah dilakukannya menjadi amal kebaikan yang berkausalitas atas berlimpahnya berkah dari para leluhur besar Kerajaan Majapahit. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan akan menjadi pagar gaib yang melindungi diri sendiri, menjadikan diri tak bisa dicelakai orang dan selalu menemukan keberuntungan dalam setiap langkahnya.
Hujan Sebagai Pertanda Baik
Pukul 16.30 wib kendaraan terus melaju meninggalkan kota Jombang. Arah kendaraan menuju Kec.Trowulan Kab Mojokerto. Walau musim kemarau sedang berada dalam puncaknya, namun tiba-tiba turun hujan dengan derasnya. Seperti biasa, fenomena hujan deras seringkali mewarnai dalam tiap acara-acara sakral yang berhubungan dengan leluhur besar. Tidak hanya terjadi di Jawa, Sunda, Bali, Sumatera bahkan hingga di Kalimantan. Dalam tradisi Jawa, hujan yang tidak lazim terjadi itu sebagai pertanda diterimanya acara atau ritual yang akan kita laksanakan. Hujan pertanda baik biasanya terjadi beberapa saat sebelum acara dimulai, namun menjelang acara dimulai hujan akan reda kembali. Pukul 17.00 Wib (Jawa: pitulas, alias simbol bermakna “pitulungan lan kawelasan“) karena kami merasakan misteri daya tarik energi yang sangat kuat, akhirnya rombongan kami berempat memutuskan untuk berhenti tepatnya di Depot Arema di Jl Raya Jombang-Mojokerto, yang ternyata berjarak 2,100 meter dari Sitihinggil Trowulan. Sarasehan Bulan Purnama merupakan acara sakral dilaksanakan setiap siklus 210 hari. Sejenak rombongan kami menyeruput secangkir kopi, sementara itu terasa semakin kuat daya tarik energi. Pelacakan sumber energi menemukan datangnya energi itu berasal dari kolam raksasa Tambak Segaran. Kolam raksasa buatan manusia, sebagai situs peninggalan Majapahit yang telah berumur kurang lebih 800-900 tahun.
Pukul 17.30 wib hujan kembali reda. Dengan beberapa pertimbangan, kami memutuskan untuk kulonuwun terlebih dahulu kepada para leluhur yang berada di gerbang Siti Hinggil Trowulan dan kepada Panpel. Pada jam 19.00 wib atau jam 7 malam, dari Sasono Hinggil kami merapat ke Kolam Tambak Segaran yang berjarak hanya sekitar 1,7 km. Di lokasi kolam Tambak Segaran sudah menunggu dulur-dulur wetan ; Ki Camat Kec. Taman (Ki Amig alias Ki Juru Taman), Ki Wongalus (KWA), Mas Kumitir (Alang-alang kumitir). Ditambah rombongan kami berempat, saya bersama istri, Mas Harimurti dari Jogja dan Mas Andreas dari Jakarta, sehingga jumlah rombongan kami ada 7 (pitulungan) orang. Ditambah satu lagi Mas Setyo yang sudah jumeneng caraka mandireng pribadi yang sudah beberapa hari di lokasi. Kami mulai “neng” (meneng/jumeneng; berdiam raga dan konsentrasi untuk membangunkan kesadaran rasa sejati), dengan tujuan untuk meraih “ning” (wening/kebeningan atau ketajaman batin), sambil maneges kepada Jagadnata dan Para Leluhur Majapahit dengan harapan siapa tahu mendapat “nung” (kesinungan) berkah agung.
Gerbang Metafisika
Beberapa menit hanya menyisakan kesunyian memagut yang membawa perasaan keheningan dan kedamaian begitu dalam. Membawa suasana hati yang tenteram. Kita bersihkan hati dari segala macam penghalang, bersihkan dari perasaan iri dan dengki. Kita netralkan dan beningkan pikiran dari segala prasangka buruk dan berbagai ilusi-halusinasi. Beberapa saat setelah kami menghaturkan sesaji menabur bunga sebagai pertanda “kulanuwun” dan salah satu upaya sembah bekti, attunment/penyelarasan, mensinergikan dengan getaran jagad semesta. Tak berapa lama kemudian gayung mulai bersambut. Segera tampak tanda kehadiran para abdidalem (pegawai kerajaan) Majapahit di masa lalu sebagai pertanda adanya sambutan “tuan rumah”. Saat itu belum juga tampak kehadiran leluhur Ratu Gung Binatara. Namun pada saat jarum jam menunjukkan pukul 20.10 wib (2010) kabut putih dan sangat tebal mendadak turun, kami melihat antara dimensi fisik dan metafisik sedang terjadi proses persisihan, seolah saling mendekatkan “jarak” di antaranya. Beberapa detik kemudian, terbukalah gerbang dimensi metafisik. Secara kasat mata, yang tampak sedikit berbeda dengan pemandangan sesungguhnya. Tujuh orang, semua melihat kabut putih begitu tebal, disertai hawa dingin, dan sedikit rintikan gerimis bagai percikan embun yang sangat menyejukkan. Di tengah kabut putih tebal itu, tepat di atas permukaan air tampak jelas muncul lingkaran bundar simetris berdiameter kurang lebih 20 meter. Bentuk dan warnanya sangat jelas karena saat itu bulan purnama sedang kuat memancarkan sinarnya. Di dalam lingkaran itu keadaannya sama sekali bersih dari kabut sehingga tampak lah warna bening kehitaman, tetapi jika dilihat dengan mata batin, segera tampak warna bening transparan membentuk lobang besar. Dalam waktu sekitar 20 menit, lingkaran tersebut berubah konfigurasi dari bentuk lingkaran, kemudian kedua sisi kiri-kanan perlahan berubah memanjang (mulur) membentuk alur panjang melengkung menjadi garis setengah lingkaran yang berdiameter lebih besar. Kedua ujung setengah lingkaran masing-masing menyentuh dinding kolam. Hingga tampak ada garis lengkungan (setengah lingkaran) besar seolah mengurung 7 orang rombongan kami. Bening, kehitaman, perlahan semakin mendekati posisi kami duduk bermeditasi, hingga berjarak sekitar 5 meter tepat di depan kami. Pada saat itu tampaklah titik cahaya putih terang berkilau di dasar air, yang dapat disaksikan sebagian besar anggota rombongan kami. Titik cahaya itu hanya sebesar lampu sein mobil, walaupun berada di dalam air ia memancarkan warna putih berkilau yang cukup terang. Benda misteri itu ternyata wujud Kalpika (cincin pusaka) milik Sri Narpati Brawijaya. Tepat pada pukul 20.40 wib, hanya dalam waktu kurang dari 2 menit, semua fenomena tersebut menjadi pudar dan lenyap dengan cepatnya. Lingkaran besar itu dengan cepatnya sirna kembali bagaikan tirai yang dibentangkan untuk menutup jendela. Pemandangan berganti dengan kabut putih tebal bagai layar terkembang menutupi permukaan air, sakral dan mistis seolah-olah “pagelaran wayang” akan segera dimulai. Saat itu di kejauhan terdengar sayup-sayup suara gending. Semoga suara gending itu merupakan isyarat pembuka mengiringi layar Nusantara yang mulai terkembang.
Misteri kolam mulai tersibak. Secara fisik berupa kolam raksasa dengan ukuran lebar sekitar 80 meter x 300 meter, namun secara metafisik merupakan Keraton Majapahit yang masih “eksis” hingga saat ini. Hanya bedanya, para penghuninya sudah melakukan proses ”metamorfosis”, menjalani kehidupan sejati dengan tidak menggunakan jasad lagi. Mereka sekedar pindah dimensi saja. Mereka adalah generasi pendahulu kita yang sudah lahir ke dalam kehidupan sejati setelah sekian lama “sang janin” berada di dalam kandungan ibu pertiwi, di dalam rahim mercapada.
Rombongan kami segera beranjak kembali ke Sasono Hinggil Trowulan, di mana Mas Panji Trisula dan seluruh hadirin telah siap memulai mata acara. Tepat pada pukul 21.00 Wib (210) kami tiba di Pendopo Siti Hinggil. Saya semakin memahami apa yang disampaikan Mas Panji tentang siklus 210 hari. Sejak awal saya dihubungi Mas Panji saya meminta beliau memberi jadwal bicara pada pukul 21.00 wib dengan suatu alasan…entah! Saya hanya mengikuti getaran nurani saja dan kini semuanya sudah tejawab. Kata Mas Panji Trisula, acara sarasehan ini ternyata dilakukan dalam Siklus 210 hari sekali.mirip metamorfosa sel yang akan berkembang biak menjadi banyak kemudian menyebar benih di seluruh penjuru. Kajian Mikrobiologi siklus 210 harian dari Gede Junidwaja. Menurut beliau yang dulu punya bos bule dari USA seorang master biokimia lama tinggal di Bali dan sangat rajin melakukan riset mandiri. Menurut hipotesisnya ini terkait dengan telomere sel. Umur sel rata-rata 210 hari. “Sel di organ kita hari ini, akan berganti 210 hari lagi, jadi sel-sel buruk diubah paling cepat 210 hari. Kuningan adalah nama wuku ke duabelas dalam tradisi Majapahitan. Jatuh setiap 210 hari sekali, tepat pada hari Raditya (Minggu) Wage. Dalam tradisi masyarakat Hindu Bali pada wuku ini disebut hari suci Kuningan sebagai penutup serangkaian acara semenjak masuknya wuku Galungan (wuku ke sebelas) yang jatuh pada hari Raditya (Minggu) Pahing yang lalu”.
Namanya saja memperingati, mengenang, atau napak tilas. Angka 21 termasuk angka yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, selain angka 7, 11, 17, 27. Kami pun akhirnya menemukan jawaban soal angka 21 pada saat menghadiri acara di Situs Kuno Trowulan. Termasuk sejak awal ingin sekali mengenakan kemeja warna merah dalam acara tersebut. Ternyata warna merah merupakan simbol sebagai warna identitas Majapahit, sebagaimana warna hijau sebagai identitas Mataram, dan warna kuning sebagai warna kebesaran Kerajaan Kutai.
Pukul 00.00 wib kami kembali ke kolam Tambak Segaran. Kali ini bersama para peserta acara Sarasehan Bulan Purnama, untuk tujuan atur sesaji tabur bunga, dan rombongan kami masih berharap dapat bertemu dengan para leluhur Majapahit atau pun yang lainnya. Pukul 00.00 wib para peserta mulai patrap semedi, untuk tujuan membawa kesadaran diri kita masing-masing berada dalam getaran theta, paling tidak mendekati getaran nol. Di mana bilangan nol sebagai keadaan tiada batas, bilangan tak terhingga, mau dibagi berapapun hasilnya tetap nol. Dalam kamus Jawa kita istilahkan sebagai keadaan batin Duwe Rasa, Ora Duwe Rasa Duwe (punya rasa, tidak punya rasa punya). Kita matikan kesadaran raga, untuk selanjutnya merubah kesadaran menjadi kesadaran sukma supaya kesadaran kita tidak lagi dicemari oleh ilusi dan halusinasi, termasuk imajinasi yang terlanjur tertanam kuat di dalam otak bawah sadar akibat doktrin sejak masa kanak-kanak. Kita berusaha membebaskan dan memerdekakan kesadaran spiritual kita, dengan cara membiarkan kesadaran ruh yang gantian berkuasa atas kesadaran raga.
Fenomena kembali muncul, suasana yang bening tak berkabut, tiba-tiba muncul kabut tebal dan putih, jelas-jelas bergerak cepat ke arah di mana kami duduk bersemedi di pinggir kolam sebelah timur. Terasa bagai butiran es saat kabut menerpa tubuh dan wajah kami. Serta merta kami mencoba maneges sembari menyerap energinya. Dahsyat sekali! Ada yang aneh, dan dapat disaksikan oleh sebagian rombongan kami, saat kabut itu tampak jelas sekali seperti teriris persis di tengah kolam. Sebelah kiri berkabut tebal sementara sebelah kanan bening tak ada kabut. Tidak ada degradasi kabut, tetapi berupa demarkasi membentuk garis lurus. Di balik itulah, tampak kehadiran Sri Narpati Brawijaya V berucap sesuatu. Tidak berlangsung lama kemudian memudar lagi. Selanjutnya kami pamit undur diri ke kembali ke Jogja.
PERTEMUAN KETIGA
Senin Pahing surya kaping 18 tabuh 10.21 wib warsa 2011. Dada dan nafas tiba-tiba terasa sesak, terjadi desakan energi yang teramat sangat kuat. Hampir saja membuat tubuh terpental. Apa yang terjadi, sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar. Kadya karoban segara madu. Denya sakdremo kawula titah alit, karawuhan tuwin pinaringan dawuh mring Srinarpati Gung Sang Prabu Brawijaya V. Tanpa diduga dikira sebelumnya, hadirlah leluhur agung Srinarpati Prabu Brawijaya V, beliau memanggil nama, menyebut nama, memberi kabar, memberi perintah. Bahwasannya maksud dan tujuan ritual Bulan Purnama diterima oleh para leluhur agung khususnya Majapahit, dan harapan kami terhadap perubahan di Nusantara mendapat pangestu. Mendapat sabda dari pandita ratu yang berarti idu geni, ucapannya akan terjadi. Ya..”kunci” Nusantara akan diberikan kepada seseorang yang mampu jumeneng Candraning-negara. Ing samangke sawuse siniram kanthi tirtapraja. Sri Narpati berkata dalam bahasa Jawa Kuno, ini bukan pertemuan terakhir kali, melainkan awal, tunggu dawuh dan rawuhingsun untuk selanjutnya.
Mulai saat ini “segitiga ” kekuatan supra telah terbangun utuh. Kutai-Majapahit-Mataram. Yang berarti pula momentum perubahan Nusantara akan segera terjadi. Meskipun saat ini tengah berlangsung skenario besar oleh para leluhur agung Nusantara, akan tetapi tanpa adanya para generasi bangsa yang peduli untuk menjemputnya, skenario itu masih akan menunggu bangkitnya kesadaran prakawula muda bangsa untuk hamemayu hayuning bawana. Kini kesadaran spiritual dan genderang perdamaian semakin gencar ditabuh para kawula muda generasi penerus bangsa. Wolak-waliking jaman perlahan akan kembali ke arasnya semula, “becik ketitik, olo ketara“. Yang sering dituduh sesat, kapir kopar akan tampak sejatinya, yang merasa paling bener akan terbongkar kedoknya.
Emas akan kembali tampak sebagai emas,
yang tembaga akan kembali tampak aslinya sebagai tembaga,
besi-besi logam karatan
lebur oleh kekuatan bantala.
Wus katon suryo mencorong soko bang-bang wetan.
Semua itu berada dalam skenario besar kekutan supra
terangkum dalam pola “triangle super power”.
Kekuatan supra telah membimbing dan menyadarkan generasi penerus bangsa.
Kepada yang terpilih dan pinilih untuk menemukan apa sejatinya hidup.
Seiring dengan ledakan medan magnet galaktika,
yang memaksa manusia macam mana,
untuk bermeditasi, mesu budi, dan mesu raga.
Supaya memahami kehidupan yang sejati.
Yang melawan kodrat, akan menderita sakit jiwa,
yang selaras akan merdeka lahir batinnya.
Lahirlah generasi baru Nusantara
Yang mengerti diri sejatinya.
Mampu mengembalikan Nusantara pada sejati-ning nuswantara. Membangun kembali karakter bangsa. Nusantara ya nusantara, bukanlah negara manca. Negeri ini akan kembali menjadi dirinya sendiri, bukan bangsa yang suka mengebiri kesadaran sejati. Bukan lagi menjadi bangsa pengekor, berwatak dan berfikiran kotor, bukan bangsa budak, bukan bangsa imitasi, yang selalu menganggap kerusakan moral sebagai bentuk cobaan, yang dikiranya bukti dirinya disayang ilahi.
Segitiga kekuatan supra itu, jika dibuka akan berubah bagaikan senjata trisula. Kini senjata trisula tengah dipersiapkan tangkainya, yakni generasi penerus putra raja Kutai Lama YM Sri Raja Kudungga yang bernama Sri Baduga Purnawarman, yang telah membabar bibit kerajaan-kerajaan di tlatah Pasundan. Pelan namun pasti, kini dulur-dulur sadayana ti tatar Parahyangan mulai menggeliat bangun dari tidur panjangnya, mundi dawuh melaksanakan tugasnya sebagai barudak angon, mengumpulkan ranting-ranting kering yang berserakan seolah tiada harganya. Kelak sang SP-RA akan berhasil membangun “senjata trisula” yang utuh berikut tangkainya. Sebagai lambang persatuan kembali keluarga besar Kutai Lama, dengan ke tiga puteranya yakni Mulawarman (trah raja-raja di Sumatera), Purnawarman (trah raja-raja di tatar Sunda), Aswawarman (trah Majapahit hingga Mataram sebagai generasi penerus Kutai Lama). Setelah Nusantara kembali pada diri sejatinya, bukan mustahil akan menjadi mercusuar dunia dalam bidang spiritual, kebudayaan, kesejahteraan dan kemakmurannya. Negeri yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, kalis ing rubeda nir ing sambekala. Sebagai anugrah besar atas bangsa ini, atas jerih payah Anda semua generasi penerus bangsa yang tiada hentinya membangun karakter dan menggali jati diri Nusantara, setelah ratusan tahun lenyap dan membawanya terperosok ke dalam lumpur kesengsaraan dan penderitaan.
Sudah Keterlaluan-kah ?
Keterlaluan bila kita tak bangga, Nusantara bukan lah bangsa primitif yang miskin situs budaya, atau sekedar mewarisi alat-alat peperangan dan kekerasan saja. Nusantara merupakan bangsa yang kaya ragam seni-budaya sebagai tolok ukur tingginya peradaban dan kesadaran spiritualnya. Walau kini Nusantara masih terus menukik, terjun bebas ke dasar jurang. Kita tunggu detik-detik suara dentuman setelah ia menyentuh dasar jurang. Barulah daya pantulnya akan membawa Nusantara untuk bangkit secara perlahan namun pasti. Kita semua generasi muda penerus bangsa, adalah sumber daya pantul itu. Tentu saja bagi generasi yang telah merdeka kesadaran spiritulanya. Generasi yang sudah keluar dari tempurung kebodohan. Makasih mas Panji Trisula (Bustanus Salatin), panjenengan memiliki andil sangat besar dalam terlaksananya acara sakral dan penuh makna di Trowulan Mojokerto Jatim. Panjenengan menjadi salah satu jalma pinilih yang dilibatkan oleh para leluhur besar Nusantara dalam rangka save our country project. Juga seluruh hadirin yang terhormat, Anda semua telah lolos seleksi, berhasil melewati rintangan dan gangguan sehingga tidak gagal mengikuti acara di Trowulan. Termasuk seluruh sedulur dari elemen dan komunitas manapun juga yang mendukung berlangsungnya acara tersebut. Dari IPPNU, SI, SGPC, GPS, Beceka, Majapahit Wilwatikta, Mahavihara Majapahit, Swara Majapahit, Mojokertokab.co, Pemerintah Kab Mojokerto, Dinas Kebudayaan DIY, Jatim, dan terutama utk Indonesia Adil dan Makmur berbasis sosial demokrat kerakyatan, beserta semua elemen yang lupa kami disebutkan di sini. Semua tak ada yang sia-sia. Kebaikan yang Anda lakukan akan kembali kepada diri sendiri, bahkan menjadi kebaikan lebih besar lagi, bagaikan hukum gema suara. Yang dapat menyelamatkan Nusantara bukanlah generasi jahil, bukan bangsa-bangsa lain dan bukan pula jiwa-jiwa berisi nafsu imperialism, tetapi generasi muda bangsa yang berjiwa Nusantara dan mengerti diri sejati.
Pesan Dari GERBANG TINATAR TROWULAN
Tujuan utama ke Trowulan terutama untuk mundi dawuh
perintah langsung dari Sri Narpati Brawijaya V yang di luar dugaan kami
terima beberapa hari sebelum mengambil keputusan bulat untuk menghadiri
undangan Mas Panji Trisula (Bustanus Salatin) salah seorang Ketua IPPNU
Jatim periode th 2000, dalam acara “Sarasehan Bulan Purnama ; Memperingati Turunnya Wahyu Makutharama”
yang diadakan di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto Prop Jawa
Timur. Selain itu kami berserta rombongan ingin sekali mewujudkan rasa
berbakti kepada para leluhur besar bumiputra perintis dan penopang
kejayaan Nusantara di masa lalu, tidak dengan cara enaknya sendiri mulut
sekedar komat-kamit saja dari rumah. Sikap berbakti akan lebih berharga
jika diwujudkan dalam tindakan nyata dengan cara marak sowan mengunjungi petilasan pepunden untuk tujuan napak tilas serta atur pisungsung sembah bekti
kepada para leluhur besar Nusantara. Tidak cukup berhenti di situ,
lebih penting adalah mengambil pelajaran berharga yang selanjutnya
diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Jika peduli dan mau, kita sebagai generasi penerus bangsa sudah
semestinya melakukan koreksi atas perjalanan sejarah bangsa besar ini di
masa lalu pernah lepas kendali hingga kini berkembang kian salah
kaprah. Tidak semata sebagai sebuah kesalahan kebijakan masa lalu,
tetapi tingginya sikap toleransi para pendahulu bangsa terutama
terhadap anasir sistem kepercayaan (religi) yang berasal dari budaya
asing. Toleransi tinggi para pendahulu bangsa berhubungan dengan
tingginya pemahaman tentang apa sejatinya religi dan sistem kepercayaan.
Toleransi menumbuhkan prasangka baik dan kelonggaran sikap terhadap
unsur asing walau banyak perbedaan secara esensial. Namun hal itu justru
dimanfaatkan oleh para jahil pembawa anasir asing
sebagai suatu kesempatan untuk menjalankan kepentingannya sendiri. Namun
dalam perkembangannya, sistem sosial dan politik berkembang secara liar
tidak seperti yang diharapkan oleh para leluhur besar perintis
Nusantara. Bahkan hingga kini dampak buruknya kian dirasakan oleh
generasi sekarang.Apabila mau jujur dan para sejarawan bersama arkeolog mau meluruskan sejarah tentu akan ditemukan banyak kepalsuan dalam “dongeng-dongeng” yang dikemas seolah bagaikan suatu kejujuran sejarah nasional. Terutama cerita-cerita tentang masuknya para saudagar Belanda, India, maupun saudagar Mesir, dan Turki yang sangat tergiur oleh gemah ripahnya Nusantara. Kisah-kisah masuknya saudagar ke Bumi Nusantara selanjutnya dirombak berupa “dongeng-dongeng” yang mengimajinasikan tokoh sakti mandraguna yang perjalanan hidupnya penuh perjuangan mengatasnamakan tuhan. Sebagai salah satu trik kolonialisme, di dalamnya terdapat intrik-intrik politik dagang dan perebutan kekuasaan yang didukung melalui penciptaan cerita adu kesaktian antara para saudagar yang dicitrakan selalu benar versus penduduk asli pribumi yang dicitrakan sebagai yang selalu salah bahkan musuh tuhan. Ya..semua itu masih dalam kerangka proyek pemenangan politik dagang. Mayoritas anak bangsa mungkin termasuk kita-kita ini para pembaca, mungkin merupakan anak turun dari para pendahulu bangsa yang menjadi korban atas pencitraan tendensius dan subyektif dari para saudagar bersama pendukungnya. Meluruskan sejarah bangsa besar ini menjadi tugas generasi penrus bangsa, agar supaya yang benar tampak benar, yang salah terbongkar kedoknya. Sehingga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi generasi berikutnya yang ingin mengerti kesejatian hidup ini apa adanya dan apa sesungguhnya.
Dalam cara pandang sosio-ekonomis, jika Anda ingin memenangkan persaingan marketing, ada dua kiat jitu yang bisa ditempuh, pertama, susupkan barang dagangan ke dalam unsur budaya lokal calon konsumen. Kedua, kuasai, dominasi, dan setir pola pikir calon konsumen agar supaya mengikuti kemauan si marketing. Tentu Anda akan menjadi marketing yang sukses menangguk keuntungan besar. Apalagi “kolonialisasi” dan dominasi terhadap pola pikir konsumen melalui berbagai doktrin. Selanjutnya, Anda tinggal menyingkirkan pesaing-pesaing bisnis, dengan cara politik adu domba, aktif menciptakan wacana friksi dan gap, serta sibuk menumbuhkan konflik-konflik antara elemen-elemen kekuatan para pesaing. Dalam hal ini kearifan lokal (local wisdom) dan kerajaan-kerajaan yang masih eksis memegang teguh budaya dan tradisi bumipertiwi dapat diperankan sebagai pesaing paling diperhitungkan. Ternyata, politik devide et impera-nya Belanda hanya sekedar meniru politik a la saudagar asing. Tengok saja periode sejarah sebelum masa kedatangan para saudagar, sejarah kerajaan Nusantara abad Sebelum Masehi (kerajaan pertama Kutai Lama) hingga akhir abad 12 masa Majapahit awal, perang atau konflik antara kerajaan sangat jarang terjadi. Namun semenjak abad 14 terjadi peningkatan intensitas konflik. Selain dengan cara tersebut, penjajahan paling efektif bisa ditempuh melalui cara “perkawinan silang” antara penjajah dengan pribumi, di mana peran suami lebih banyak diisi oleh laki-laki penjajah, sedangkan peran istri diisi oleh mayoritas perempuan pribumi. Hal ini bertujuan tentu saja untuk mengamankan kepentingan,aset dan meluaskan otoritas kaum penjajah yang menganut sistem patrilineal. Yang terpenting bukanlah menggugat siapa yang melahirkan diri kita. Tetapi apa yang telah kita perbuat terhadap kepalsuan sejarah? Berani jujurkah generasi penerus bangsa ini? Ataukah kronologi sejarah dan jejak-jejak kaki sejarah bangsa ini akan tetap ditopang oleh pondasi sejarah palsu? Kain pel yang kotor, tak akan bisa membersihkan lantai kotor tuan !
Kata Bung Karno,”Jasmerah ! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (yang jujur obyektif). Di zaman modern dan serba terbuka ini, walau masih ada sebagian orang yang bernafsu untuk memelintir sejarah sesuai kepentingannya, sudah pasti..sejarah akan meluruskan dirinya sendiri. Sesuatu yang dianggap kebenaran mutlak di masa lalu, bisa saja terkoreksi oleh temuan-temuan baru. Sejarah palsu hanya bisa berbohong dalam kurun waktu yang tidak tak terbatas. Tidak selamanya bau bangkai dapat disimpan rapat-rapat. Kini, generasi muda musti menyingkap bau bangkai itu, atau menyiapkan “kain pel” yang benar-benar bersih. Generasi bangsa musti melakukan koreksi signifikan untuk misi utama menyelamatkan Nusantara dari ambang kehancuran total. Kurang apa lagi? Nusantara adalah singgasana, adalah rumah pribadi, surga yang nyata dan bukan imajiner bagi anak-anak negeri, bagi rakyat Indonesia. Dan kita semua, generasi penerus bangsa sebagai tuan rumahnya, tentu saja di rumah pribadi kita Nusantara. Namun saat ini lain kenyataannya, kita menjadi jongos di rumah sendiri, kita dipaksa mengabdi, membabukan diri kepada para “tamu” di rumah kita sendiri. Tamu mbagekake sing duwe omah. Kita tertindas di negeri sendiri, oleh penjajah yang berdaging berdarah sebagai WNI, tetapi berisi jiwa-jiwa yang tak ubahnya onggokan sampah kepentingan, tumpukan kebekuan pola pikir, dan jiwa yang berisi komitmen jahil yang loyal dan berporos kepada para penjajah dari negeri antah-berantah. Banyak orang lebih suka napak tilas dan berziarah kepada leluhur luar negri nun jauh di sana yang sama sekali tak ada hubungan ras, bangsa, suku, apalagi kerabat sodara. Sekalipun menghabiskan beaya puluhan juta tetap dilakoninya dengan harapan surga, sebaliknya terhadap leluhurnya sendiri tidak berbakti, kuburannya terbengkalai penuh ilalang, kotor tidak pernah diopeni. Lantas di mana sang hatinurani?? Sementara harta warisannya sampai kini masih mereka nikmati, bahkan sebagian telah dijual untuk ngabekti kepada leluhur-leluhur asing nun jauh di luar negeri. Mau diakui ataupun dipungkiri, pasti kualat akan datang menghampiri, kualat yang datang dari sikap perilakunya sendiri. Jadilah wajah Nusantara yang seperti ini. Rupa-rupa musibah dan bencana datang silih berganti, menerpa anak negeri yang lupa diri, lebih suka memuaskan nafsu dan imajinasi. Potret negeri di mana generasi penerusnya durhaka kepada sang ibu pertiwi.
Saat ini, tanggal 17 Juli, sebentar lagi Nusantara akan “bersih-bersih” diri. Goro-goro gung tan kena den pungkiri. Murih tinarbukaning gapura gamabudi. Jaya nusawantara den enteni. Kang kadapuk dadi pambuka, iya satria kang jumedul ing pulo Semar Badranaya, sisih wetan sangkan ira. Mula den eling den êmut, menawa ana Candra-ning Negoro. Iya iku satria kang piningit, datan aran ratu adil, nanging kang jumeneng dadi satria nagari Pambukaning Gapura.
Imperialisme Baru
Bentuk imperialisme yang melebihi model penjajahan terhadap daerah koloni, bilamana yang dijajah adalah kemerdekaan fikir dan pembunuhan atas kesadaran spiritual generasi penerus bangsa. Pola fikir dan kesadaran spiritual, adalah dua pilar yang membentuk karakter bangsa. Dan terbukti saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan karakternya. Merupakan kenyataan tak dapat ditutup-tutupi lagi, kini telah lahir generasi di mana kesadaran spiritualnya tergembok rapat di dalam tempurung kebodohan. Malah dengar-dengar akan ada generasi akhir yang akan diberi julukan si makhluk bermata satu yang suka gentayangan untuk memutar balik fakta dengan cara berdagang kata-kata manis berbalut angin syurga. Makhluk bermaga satu bafangkali kiasan yang menggambarkan suatu pemahaman dangkal bahwa kebenaran dan ketuhanan hanya boleh didefinisikan melalui satu cara saja. Yakni satu persepsi, atau satu cara pandang. Konsekuensinya, apapun persepsi tentang kebenaran, keyakinan, dan tentang tuhan di luar persepsi itu mendapat label sebagai bentuk kesesatan. POLA PIKIR semacam ini akan menjadi generasi anti-toleran, yakni generasi anti perbedaan pendapat. Tidak mau berbaik sangka dengan berfikiran positif-konstruktif terhadap segala perbedaan. Tentu saja realitas sosial semacam itu bertentangan dengan hukum alam. Dan siapapun, apapun, jika bertentangan dengan hukum alam, alamlah yang akan meleburNYA.
MAKHLUK mata satu, bagaikan hantu gentayangan sana-sini memutarbalikan fakta antara kebenaran dengan ilusi. Antara kebohongan dengan kejujuran. Apabila segala kepalsuan dan kebohongan itu terbongkar oleh temuan-temuan baru, dan oleh evolusi kesadaran manusia-manusia generasi baru, selanjutnya pola pikir masyarakat dunia akan segera berganti dengan paradigma pikir baru yang lebih realistis, membumi dan penuh nilai-nilai humanis. Saat itulah terjadi “kiamat” bukan maksud kehancuran planet bumi bersama jagad semesta, melainkan kebangkrutan total segala macam “spiritual” lama yang penuh ilusi. Lants kelak hanyalah kejujuran yang akan tersisa. Seyogyanya kita lihat dan kita buktikan bersama-sama saja perkembangannya.
Alam bersifat dinamis dalam perubahannya. Bagi yang mampu beradaptasi dengan kehendak alam, pada gilirannya kekuatan alam akan mendaur ulang menjadi generasi baru yang memiliki kesadaran kosmologis yang selaras, sinergis dan harmonis dengan hukum alam. Mereka akan lahir sebagai manusia sejati yang mengerti diri sejati, dan memahami apa sejatinya hidup ini. Sebaliknya yang menolak koreksi alam dan hukum dinamika zaman, akan semakin sulit menyadari bahwa dirinya telah dirundung sakit jiwa yang berkepanjangan.
7 Legenda Tombak Ibu Ratu Kidul
Menyelusuri sejarah secara detail
memang sangatlah sulit untuk kita kaji, disamping perbedaan zaman yang
kita alami saat ini jauh tertinggal dengan zaman mereka, namun secara
maknawi, tidak semua sejarah musnah begitu saja dan tanpa bisa
dibuktikan, karena fakta disini akan mengupasnya. Bercerita tentang
tokoh yang satu ini sampai kapanpun terus menjadi prokontra kalayak
rame, suatu mithos dan kenyataan sejarah, akan terus mewarnai pemahaman
orang-orang yang belum paham sejatinya siapa Ibu Ratu Pantai Selatan,
sesungguhnya. Mereka saling membenarkan pendapatnya masing-masing dengan
mengatas namakan keluarga atau silsilah garis keturunannya. Wal hasil,
dalam pemahaman sesungguhnya mereka masih dalam tarap katanya, inilah
kisah selengkapnya yang disarikan dalam kitan kuno. Terboekanja Puelo
Djawa / terbukanya pulau Jawa, karangan Habib Syeikh Muhammad Idrus,
ditulis pada tahun 1845, yang dinukil dari Nabiyullah Hidir AS. Kisah
perempuan yang semasa hidupnya ngahyang / raib, bermula dari Istri
Nabiyullah Sulaiman AS, yang bernama Ratu Bilqis, setelah suaminya wafat
kehadirat Allah SWT. Beliau ngahyang karena cintanya yang begitu besar
terhadap suaminya, namun Allah berkehendak lain, beliau akhirnya
ditempatkan menjadi ratu laut selatan dibawah perintah Nabiyullah Hidir
AS, yang mengepalai seluruh Abdul Jumud, Ahmar, Abyad, Qorin dan Junu,
di wilayah Timur Tengah. Juga Nyimas Ayu Nilam, atau Kencana wungu, atau
Dewi Sekar Wangi atau Dewi Nawang Wulan, istri Jaka Tarub, yang kini
menjadi ratu pantai selatan, bagian Cilacap. Siti Aisah atau Dewi
Pembanyun atau Nyimas Rara Ayu, Pokeshi, keturunan Demak, yang ibunya
dinikahi oleh Prabu Siliwangi, beliau pada akhirnya ngahyang dan menjadi
Ratu Pantai Selatan, bagian Demak Yogyakarta dan Solo. Dewi Nawang dan
Nawang Sari, putri dari Prabu Siliwangi yang menikah dengan Ratu Palaga
Inggris, beliau juga ngahyang dan menjadi penguasa pantai selatan,
setelah kerajaan ayahandanya raib akibat ditanam Lidi Lanang. Dewi Sekar
Sari atau Dewi Andini, salah satu putri Dewi Nawang Wulan, beliau sejak
lahir telah menempati salah satu wilayah pantai selatan, yang menguasai
Abdul Jumud dan Ahmar, bagian Sukabumi, Garut dan sekitarnya. Dalam hal
ini Misteri tidak membedarkan secara detail tentang sejati diri mereka,
namun hanya menceritakan perjalanan 7 tombak yang pernah menjadi bagian
dari hidup Dewi Nawang Wulan, putri dari Prabu Siliwangi, yang kini
telah diwariskan pada manusia bumi. Secara rinci 7 tombak yang dimaksud
dalam kisah kali ini punya nama dan gelar sebagai berikut :
- Tombak Cakra Langit, bergelar, Tombak Kesyahidan. Motif, lurus dengan kinatah emas murni berbentuk jangkar melingkar, ditengah badan menjulang empat tombak kecil melingkari kepala, dengan kinatah berlian red diamond memutar. Tombak ini diberikan kepada Kanjeng Suanan KaliJaga, untuk melawan kesaktian Prabu Siliwangi, atas perintah Prabu Panatagama Tajuddin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran agama Islam, dan tombak ini sebagai cindra mata perkawinannya Dewi Nawang Wulan, dengan Sunan KaliJaga. Silsilah tombak Cakra Langit, akhirnya turun temurun diwariskan kepada ahlul Khosois, diantaranya, Quthbul Abdal, Syeikh Malaka Tajuddin, Makassar, Quthbul Muqoiyyad, Syeikh Hasyim bin Asy’ari, Aceh, yang diturunkan kepada muridnya Ahmad Suyuti bin Jamal, Kalimantan, Quthbul Autad Min Zumhur Ulama, Ki Tholkha Kalisapu, Mbah Hamid, KiPanjul dan kini berada ditangan Min ahlillah Qurbatul Wilayah Syareatul Khotam, namun sayang tidak boleh dipublikasikan.
- Tombal Punjul Wilayah, bergelar, tombak Antakusuma. Tombak ini diberikan kepada putrinya Andini, sebagai lambang dari tahta istananya yang dikemudian hari diberikan kepada suaminya Dampu Awuk, gunung Sembung. Lalu diturunkan kepada putrandannya yang bernama, Raden Sa’id atau pangeran LungBenda Jaya Negara. Dari Raden Sa’id, akhirnya berpindah tangan karena dicuri oleh segerombolan aliran hitam yang mengatas namakan perguruan “Kijang Kencana” yang dikepalai oleh murid sakti Pangeran Ambusana, Weleri Jawa Tengah. Baru setelah 20 tahun ditangannya, tombal Punjul akhirnya dimiliki seorang pertapa sakti Buyut Ajigung Ajiguna, setelah adu kesaktian. Kisah tombak ini turun temurun dijaga oleh sebagian bangsa Hindu dan pada akhirnya raib dihutan Banyuwangi Jawa Timur, dan baru setelah seorang Waliyullah kamil, Mbah Hafidz, yang berasal dari Timur Tengah, menduduki wilayah tersebut, akhirnya tombak Punjuk Wilayah, tetap terjaga. Kini tombak Punjul, masih dijaga oleh muridnya yang bernama Ki Panjalu Pati Jawa Tengah. Bentuk tombak Punjul Wilayah. Motif lurus, urat air hujan (Majapahit) warna hitam kebiruan, dengan lima ujung mata tombak mengarah kedepan. Tombak ini sudah dirombak dari bentuk aslinya oleh Mbah Hafidz, sebagai suatu pengelabuan dimasa yang akan datang agar tidak disalah gunakan.
- Tombak Panatagama, bergelar, Raja Maemun. Pemberian dari Sulthonul Jin Maemun Indramayu. Motif tiga cabang tombak kedepan, urat besi aji meteor legam, hitam bersisik tanpa pamor, dihiasi 7 batu merah delima, 3 zamrud Colombia dan 4 shapire Srilangka serta 11 batu biduri air. Silsilah tombak ini Misteri hanya kedapatan 4 orang dan lainnya tidak diketahui, yaitu, Syeikh Abdullah Al-Fanani Min Rijalullah, Syeikh Qosim Al-Jawi, Syeikh Mudaim, dan Ki Toha Tegal Gubug.
- Tombak Cemeti Rosul, bergelar Tombak Alam Jagat Raya. Tombak ini bermula dari pemberian Rosulullah, berupa cemetipanjang (Besi panjang) yang diberikan kepada Nabiyullah Hidir AS, sewaktu dibaiat Maqomul A’dzom, di alamus Sama tingkat enam, yang kemudian diberikan kepada Dewi Nawang Wulan, sewaktu dibaiat Syahadatiyyah oleh Ahli Rijal bangsa Rububiyyah ahlul Barri. Lewat mandat Dewi Nawang Wulan, bahan tadi dibentuk oleh abdi dalem, Empu Jalaga Widesa, berupa tombak mata satu dengan urat bumi yang sangat indah. Baru disaat kota Cirebon diserang oleh pasukan tamtama Lewmunding, Tombak ini diserahkan kepada Syeikh Magelung Sakti, sebagai benteng pertahanan paling kuat kota Pesisir. Lalu tujuh tahun setelah itu, tombak tadi diserahkan kepada Andika Syeikh Muhyi Pamijahan, atas ilafat Syeikh Sanusi goa gunung Mujarrob, yang menyatakan sudah waktunya berpindah tempat. Dari Syeikh Sanusi, Tombak Cemeti Rosul, akhirnya dirubah bentuk menjadi sebatang keris Budho madya kuno dengan urat alami jagat raya yang selalu menitikkan air disela uratnya, cara perubahan keris ini menurut pandangan Syeikh sanusi, sebagai lambang penyatuan antara Islam dan Kejawen yang diajarkan bangsa Waliyullah, pada masa itu. Sarung kerisnya dibuat dari kayu Kaukah, dengan dihiasi 21 batu merah delima, 41 zamrud Colombia, 17 shapire Birna, 70 berlian putih, dan 4 pink shapire srilangka. Pada tahun 1961, keris ini diberikan kepada Habib Muhammad bin Khudhori, Magelang, atas hawatif yang diterimanya untuk mengambil secara langsung didalam goa gunung Mujarrob, Tasikmalaya Jawa Barat. Dan pada tahun 1998, sebelum beliau wafat, keris ini diberikan kepada Habib Syeikh Arba’atul ‘Amadu, atas mandat langsung dari Syeikh Sanusi. Kelebihan dari wujud keris ini tidak bisa di foto dengan kamera digital maupun otomatis lainnya. Kini Keris Cemeti Rosul, sedang dipinjam oleh Ahlullah Quthbul Muthlak Habib Ali bin Ja’far Alawi, Arab Saudi.
- Tombak Karara Reksa, bergelar, Tombak Derajat. Motif bergerigi dengan cabang berantai lebih dari sepuluh. Warna putih gading dengan bentuk tumpul, memancarkan cahaya putih kehitaman. Tombak ini hasil riyadho Dewi Nawang Wulan Sendiri, sewaktu masih menjadi murid Ki Ageng Surya Pangeran Kuncung Anggah Buana (Ki Buyut Trusmi) Bahan yang dimilik tombak ini berasal dari kembang pinang yang sudah membatu. Kisah tombak Karara Reksa, selalu muncul sewaktu-waktu disaat menjelang pemilihan president, dan kini tombak tersebut masih terpelihara dialam istana ghoib laut selatan.
- Tombak Karara Mulya, bergelar, Tombak Mangku Mulyo. Tombak ini tidak diketahui pembuatnya, hanya saja setelah dipegang Dewi Nawang Wulan, tombak ini dihadiahkan atas perkawinan putrinya yang bernama, Nyimas Anting Retno Wulan, untuk suaminya Pangeran Jaladara, putra Kyai Ageng Bintaro Kejuden. Dari Pangeran Jaladara, diturunkan kepada putranya, Pangeran Seto Bulakamba, dan kemudian diwariskan pada gurunya Ki Alam Jagat Bumi, Banten, lalu turun temurun diberikan kepada Syeikh Asnawi Banten, Syeikh Masduki Lasem, Syeikh Samber Nyawa Purwodadi, Mbah Hafidz Banyuwangi dan yang terakhir kepada Habib Husein bin Umar bin Yahya Pekalongan. Asli dari bentuk tombak Karara Mulya, disetiap ujung sampai pangkal bawah berjeruji sangat tajam seperti mata kail pancing, namun demi menjaga kelestarian dari keberadaan tombak fenomenal ini akhirnyaHabib Husein, merombaknya seperti yang anda lihat saat ini.
- Tombak Tulungagung, bergelar Tombak Sapta Jati. Tombak ini diwariskan secara langsung dari tangan Dewi Nawang Wulan, sebagai tanda terima kasihnya, atas keluhuran derajat Habib Husein, yang mau menyelamatkan bumi Pekalongan, dari amukan tsunami hingga tidak sampai terjadi. Kisah ini terjadi pada tahun 1998, bulan Pebruari, tepatnya selasa kliwon. Kini tombak tersebut dirubah sedikit dari bentuk semula yang aslinya seperti segi tiga menjadi tombak lurus dengan pahatan panel bunga. Dan sebagai pengantar terakhir dari Misteri. Kisah ini sudah dapat restu dari beberapa orang terkait kecuali Habib Husein bin Umar, karena beliau kini sudah (Alm).
Semoga dengan pembedaran kisah 7 tombak
fenomenal yang barusan Misteri bedarkan, menjadikan kita sadar diri
dengan apa yang selama ini banyak kita dengar. Karena apapun benda
bertuah kelas wahid, tidak bakal jatuh pada manusia yang masih memegang,
katanya, dan aku-aku sebagai pedoman hidup.
Sebab pemahaman tentaang keluasan bangsa gaib bersumber dari pembelajaran Ilmu Islam, Iman, Solah, Ihsan, Syahadatul Kubro, Siddikiyyah dan Qurbah, secara dhaukiyyah (Merasakan langsung)
Sebab pemahaman tentaang keluasan bangsa gaib bersumber dari pembelajaran Ilmu Islam, Iman, Solah, Ihsan, Syahadatul Kubro, Siddikiyyah dan Qurbah, secara dhaukiyyah (Merasakan langsung)
Motivasi kehadiran rombongan kami dalam rangka ikut serta berkumpul bersama seluruh sedulur dari berbagai kalangan yang hadir di acara sakral Sarasehan Bulan Purnama dengan tema Memperingai Turunnya Wahyu Makutharama, yang dipandegani oleh Mas Panji Trisula (Bustanus Salatin).Terimakasih tak terhingga atas segala sambutan dan kehangatan paseduluran dari sedulur-sedulur yang hadir dalam acara tsb. Sungguh bagai oasis menyejukkan dahaga spiritual di tengah panasnya terpaan the desert storm “badai gurun” yang melanda Nusantara saat ini. Kami berharap apa yang telah dilakukannya menjadi amal kebaikan yang berkausalitas atas berlimpahnya berkah dari para leluhur besar Kerajaan Majapahit. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan akan menjadi pagar gaib yang melindungi diri sendiri, menjadikan diri tak bisa dicelakai orang dan selalu menemukan keberuntungan dalam setiap langkahnya.
Hujan Sebagai Pertanda Baik
Pukul 16.30 wib kendaraan terus melaju meninggalkan kota Jombang. Arah kendaraan menuju Kec.Trowulan Kab Mojokerto. Walau musim kemarau sedang berada dalam puncaknya, namun tiba-tiba turun hujan dengan derasnya. Seperti biasa, fenomena hujan deras seringkali mewarnai dalam tiap acara-acara sakral yang berhubungan dengan leluhur besar. Tidak hanya terjadi di Jawa, Sunda, Bali, Sumatera bahkan hingga di Kalimantan. Dalam tradisi Jawa, hujan yang tidak lazim terjadi itu sebagai pertanda diterimanya acara atau ritual yang akan kita laksanakan. Hujan pertanda baik biasanya terjadi beberapa saat sebelum acara dimulai, namun menjelang acara dimulai hujan akan reda kembali. Pukul 17.00 Wib (Jawa: pitulas, alias simbol bermakna “pitulungan lan kawelasan“) karena kami merasakan misteri daya tarik energi yang sangat kuat, akhirnya rombongan kami berempat memutuskan untuk berhenti tepatnya di Depot Arema di Jl Raya Jombang-Mojokerto, yang ternyata berjarak 2,100 meter dari Sitihinggil Trowulan. Sarasehan Bulan Purnama merupakan acara sakral dilaksanakan setiap siklus 210 hari. Sejenak rombongan kami menyeruput secangkir kopi, sementara itu terasa semakin kuat daya tarik energi. Pelacakan sumber energi menemukan datangnya energi itu berasal dari kolam raksasa Tambak Segaran. Kolam raksasa buatan manusia, sebagai situs peninggalan Majapahit yang telah berumur kurang lebih 800-900 tahun.
Pukul 17.30 wib hujan kembali reda. Dengan beberapa pertimbangan, kami memutuskan untuk kulonuwun terlebih dahulu kepada para leluhur yang berada di gerbang Siti Hinggil Trowulan dan kepada Panpel. Pada jam 19.00 wib atau jam 7 malam, dari Sasono Hinggil kami merapat ke Kolam Tambak Segaran yang berjarak hanya sekitar 1,7 km. Di lokasi kolam Tambak Segaran sudah menunggu dulur-dulur wetan ; Ki Camat Kec. Taman (Ki Amig alias Ki Juru Taman), Ki Wongalus (KWA), Mas Kumitir (Alang-alang kumitir). Ditambah rombongan kami berempat, saya bersama istri, Mas Harimurti dari Jogja dan Mas Andreas dari Jakarta, sehingga jumlah rombongan kami ada 7 (pitulungan) orang. Ditambah satu lagi Mas Setyo yang sudah jumeneng caraka mandireng pribadi yang sudah beberapa hari di lokasi. Kami mulai “neng” (meneng/jumeneng; berdiam raga dan konsentrasi untuk membangunkan kesadaran rasa sejati), dengan tujuan untuk meraih “ning” (wening/kebeningan atau ketajaman batin), sambil maneges kepada Jagadnata dan Para Leluhur Majapahit dengan harapan siapa tahu mendapat “nung” (kesinungan) berkah agung.
Gerbang Metafisika
Beberapa menit hanya menyisakan kesunyian memagut yang membawa perasaan keheningan dan kedamaian begitu dalam. Membawa suasana hati yang tenteram. Kita bersihkan hati dari segala macam penghalang, bersihkan dari perasaan iri dan dengki. Kita netralkan dan beningkan pikiran dari segala prasangka buruk dan berbagai ilusi-halusinasi. Beberapa saat setelah kami menghaturkan sesaji menabur bunga sebagai pertanda “kulanuwun” dan salah satu upaya sembah bekti, attunment/penyelarasan, mensinergikan dengan getaran jagad semesta. Tak berapa lama kemudian gayung mulai bersambut. Segera tampak tanda kehadiran para abdidalem (pegawai kerajaan) Majapahit di masa lalu sebagai pertanda adanya sambutan “tuan rumah”. Saat itu belum juga tampak kehadiran leluhur Ratu Gung Binatara. Namun pada saat jarum jam menunjukkan pukul 20.10 wib (2010) kabut putih dan sangat tebal mendadak turun, kami melihat antara dimensi fisik dan metafisik sedang terjadi proses persisihan, seolah saling mendekatkan “jarak” di antaranya. Beberapa detik kemudian, terbukalah gerbang dimensi metafisik. Secara kasat mata, yang tampak sedikit berbeda dengan pemandangan sesungguhnya. Tujuh orang, semua melihat kabut putih begitu tebal, disertai hawa dingin, dan sedikit rintikan gerimis bagai percikan embun yang sangat menyejukkan. Di tengah kabut putih tebal itu, tepat di atas permukaan air tampak jelas muncul lingkaran bundar simetris berdiameter kurang lebih 20 meter. Bentuk dan warnanya sangat jelas karena saat itu bulan purnama sedang kuat memancarkan sinarnya. Di dalam lingkaran itu keadaannya sama sekali bersih dari kabut sehingga tampak lah warna bening kehitaman, tetapi jika dilihat dengan mata batin, segera tampak warna bening transparan membentuk lobang besar. Dalam waktu sekitar 20 menit, lingkaran tersebut berubah konfigurasi dari bentuk lingkaran, kemudian kedua sisi kiri-kanan perlahan berubah memanjang (mulur) membentuk alur panjang melengkung menjadi garis setengah lingkaran yang berdiameter lebih besar. Kedua ujung setengah lingkaran masing-masing menyentuh dinding kolam. Hingga tampak ada garis lengkungan (setengah lingkaran) besar seolah mengurung 7 orang rombongan kami. Bening, kehitaman, perlahan semakin mendekati posisi kami duduk bermeditasi, hingga berjarak sekitar 5 meter tepat di depan kami. Pada saat itu tampaklah titik cahaya putih terang berkilau di dasar air, yang dapat disaksikan sebagian besar anggota rombongan kami. Titik cahaya itu hanya sebesar lampu sein mobil, walaupun berada di dalam air ia memancarkan warna putih berkilau yang cukup terang. Benda misteri itu ternyata wujud Kalpika (cincin pusaka) milik Sri Narpati Brawijaya. Tepat pada pukul 20.40 wib, hanya dalam waktu kurang dari 2 menit, semua fenomena tersebut menjadi pudar dan lenyap dengan cepatnya. Lingkaran besar itu dengan cepatnya sirna kembali bagaikan tirai yang dibentangkan untuk menutup jendela. Pemandangan berganti dengan kabut putih tebal bagai layar terkembang menutupi permukaan air, sakral dan mistis seolah-olah “pagelaran wayang” akan segera dimulai. Saat itu di kejauhan terdengar sayup-sayup suara gending. Semoga suara gending itu merupakan isyarat pembuka mengiringi layar Nusantara yang mulai terkembang.
Misteri kolam mulai tersibak. Secara fisik berupa kolam raksasa dengan ukuran lebar sekitar 80 meter x 300 meter, namun secara metafisik merupakan Keraton Majapahit yang masih “eksis” hingga saat ini. Hanya bedanya, para penghuninya sudah melakukan proses ”metamorfosis”, menjalani kehidupan sejati dengan tidak menggunakan jasad lagi. Mereka sekedar pindah dimensi saja. Mereka adalah generasi pendahulu kita yang sudah lahir ke dalam kehidupan sejati setelah sekian lama “sang janin” berada di dalam kandungan ibu pertiwi, di dalam rahim mercapada.
Rombongan kami segera beranjak kembali ke Sasono Hinggil Trowulan, di mana Mas Panji Trisula dan seluruh hadirin telah siap memulai mata acara. Tepat pada pukul 21.00 Wib (210) kami tiba di Pendopo Siti Hinggil. Saya semakin memahami apa yang disampaikan Mas Panji tentang siklus 210 hari. Sejak awal saya dihubungi Mas Panji saya meminta beliau memberi jadwal bicara pada pukul 21.00 wib dengan suatu alasan…entah! Saya hanya mengikuti getaran nurani saja dan kini semuanya sudah tejawab. Kata Mas Panji Trisula, acara sarasehan ini ternyata dilakukan dalam Siklus 210 hari sekali.mirip metamorfosa sel yang akan berkembang biak menjadi banyak kemudian menyebar benih di seluruh penjuru. Kajian Mikrobiologi siklus 210 harian dari Gede Junidwaja. Menurut beliau yang dulu punya bos bule dari USA seorang master biokimia lama tinggal di Bali dan sangat rajin melakukan riset mandiri. Menurut hipotesisnya ini terkait dengan telomere sel. Umur sel rata-rata 210 hari. “Sel di organ kita hari ini, akan berganti 210 hari lagi, jadi sel-sel buruk diubah paling cepat 210 hari. Kuningan adalah nama wuku ke duabelas dalam tradisi Majapahitan. Jatuh setiap 210 hari sekali, tepat pada hari Raditya (Minggu) Wage. Dalam tradisi masyarakat Hindu Bali pada wuku ini disebut hari suci Kuningan sebagai penutup serangkaian acara semenjak masuknya wuku Galungan (wuku ke sebelas) yang jatuh pada hari Raditya (Minggu) Pahing yang lalu”.
Namanya saja memperingati, mengenang, atau napak tilas. Angka 21 termasuk angka yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, selain angka 7, 11, 17, 27. Kami pun akhirnya menemukan jawaban soal angka 21 pada saat menghadiri acara di Situs Kuno Trowulan. Termasuk sejak awal ingin sekali mengenakan kemeja warna merah dalam acara tersebut. Ternyata warna merah merupakan simbol sebagai warna identitas Majapahit, sebagaimana warna hijau sebagai identitas Mataram, dan warna kuning sebagai warna kebesaran Kerajaan Kutai.
Pukul 00.00 wib kami kembali ke kolam Tambak Segaran. Kali ini bersama para peserta acara Sarasehan Bulan Purnama, untuk tujuan atur sesaji tabur bunga, dan rombongan kami masih berharap dapat bertemu dengan para leluhur Majapahit atau pun yang lainnya. Pukul 00.00 wib para peserta mulai patrap semedi, untuk tujuan membawa kesadaran diri kita masing-masing berada dalam getaran theta, paling tidak mendekati getaran nol. Di mana bilangan nol sebagai keadaan tiada batas, bilangan tak terhingga, mau dibagi berapapun hasilnya tetap nol. Dalam kamus Jawa kita istilahkan sebagai keadaan batin Duwe Rasa, Ora Duwe Rasa Duwe (punya rasa, tidak punya rasa punya). Kita matikan kesadaran raga, untuk selanjutnya merubah kesadaran menjadi kesadaran sukma supaya kesadaran kita tidak lagi dicemari oleh ilusi dan halusinasi, termasuk imajinasi yang terlanjur tertanam kuat di dalam otak bawah sadar akibat doktrin sejak masa kanak-kanak. Kita berusaha membebaskan dan memerdekakan kesadaran spiritual kita, dengan cara membiarkan kesadaran ruh yang gantian berkuasa atas kesadaran raga.
Fenomena kembali muncul, suasana yang bening tak berkabut, tiba-tiba muncul kabut tebal dan putih, jelas-jelas bergerak cepat ke arah di mana kami duduk bersemedi di pinggir kolam sebelah timur. Terasa bagai butiran es saat kabut menerpa tubuh dan wajah kami. Serta merta kami mencoba maneges sembari menyerap energinya. Dahsyat sekali! Ada yang aneh, dan dapat disaksikan oleh sebagian rombongan kami, saat kabut itu tampak jelas sekali seperti teriris persis di tengah kolam. Sebelah kiri berkabut tebal sementara sebelah kanan bening tak ada kabut. Tidak ada degradasi kabut, tetapi berupa demarkasi membentuk garis lurus. Di balik itulah, tampak kehadiran Sri Narpati Brawijaya V berucap sesuatu. Tidak berlangsung lama kemudian memudar lagi. Selanjutnya kami pamit undur diri ke kembali ke Jogja.
PERTEMUAN KETIGA
Senin Pahing surya kaping 18 tabuh 10.21 wib warsa 2011. Dada dan nafas tiba-tiba terasa sesak, terjadi desakan energi yang teramat sangat kuat. Hampir saja membuat tubuh terpental. Apa yang terjadi, sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar. Kadya karoban segara madu. Denya sakdremo kawula titah alit, karawuhan tuwin pinaringan dawuh mring Srinarpati Gung Sang Prabu Brawijaya V. Tanpa diduga dikira sebelumnya, hadirlah leluhur agung Srinarpati Prabu Brawijaya V, beliau memanggil nama, menyebut nama, memberi kabar, memberi perintah. Bahwasannya maksud dan tujuan ritual Bulan Purnama diterima oleh para leluhur agung khususnya Majapahit, dan harapan kami terhadap perubahan di Nusantara mendapat pangestu. Mendapat sabda dari pandita ratu yang berarti idu geni, ucapannya akan terjadi. Ya..”kunci” Nusantara akan diberikan kepada seseorang yang mampu jumeneng Candraning-negara. Ing samangke sawuse siniram kanthi tirtapraja. Sri Narpati berkata dalam bahasa Jawa Kuno, ini bukan pertemuan terakhir kali, melainkan awal, tunggu dawuh dan rawuhingsun untuk selanjutnya.
Mulai saat ini “segitiga ” kekuatan supra telah terbangun utuh. Kutai-Majapahit-Mataram. Yang berarti pula momentum perubahan Nusantara akan segera terjadi. Meskipun saat ini tengah berlangsung skenario besar oleh para leluhur agung Nusantara, akan tetapi tanpa adanya para generasi bangsa yang peduli untuk menjemputnya, skenario itu masih akan menunggu bangkitnya kesadaran prakawula muda bangsa untuk hamemayu hayuning bawana. Kini kesadaran spiritual dan genderang perdamaian semakin gencar ditabuh para kawula muda generasi penerus bangsa. Wolak-waliking jaman perlahan akan kembali ke arasnya semula, “becik ketitik, olo ketara“. Yang sering dituduh sesat, kapir kopar akan tampak sejatinya, yang merasa paling bener akan terbongkar kedoknya.
Kian tampak cemerlang kilauan intan permata
yang selama ini terendam oleh lumpur,Emas akan kembali tampak sebagai emas,
yang tembaga akan kembali tampak aslinya sebagai tembaga,
besi-besi logam karatan
lebur oleh kekuatan bantala.
Wus katon suryo mencorong soko bang-bang wetan.
Semua itu berada dalam skenario besar kekutan supra
terangkum dalam pola “triangle super power”.
Kekuatan supra telah membimbing dan menyadarkan generasi penerus bangsa.
Kepada yang terpilih dan pinilih untuk menemukan apa sejatinya hidup.
Seiring dengan ledakan medan magnet galaktika,
yang memaksa manusia macam mana,
untuk bermeditasi, mesu budi, dan mesu raga.
Supaya memahami kehidupan yang sejati.
Yang melawan kodrat, akan menderita sakit jiwa,
yang selaras akan merdeka lahir batinnya.
Lahirlah generasi baru Nusantara
Yang mengerti diri sejatinya.
Mampu mengembalikan Nusantara pada sejati-ning nuswantara. Membangun kembali karakter bangsa. Nusantara ya nusantara, bukanlah negara manca. Negeri ini akan kembali menjadi dirinya sendiri, bukan bangsa yang suka mengebiri kesadaran sejati. Bukan lagi menjadi bangsa pengekor, berwatak dan berfikiran kotor, bukan bangsa budak, bukan bangsa imitasi, yang selalu menganggap kerusakan moral sebagai bentuk cobaan, yang dikiranya bukti dirinya disayang ilahi.
Segitiga kekuatan supra itu, jika dibuka akan berubah bagaikan senjata trisula. Kini senjata trisula tengah dipersiapkan tangkainya, yakni generasi penerus putra raja Kutai Lama YM Sri Raja Kudungga yang bernama Sri Baduga Purnawarman, yang telah membabar bibit kerajaan-kerajaan di tlatah Pasundan. Pelan namun pasti, kini dulur-dulur sadayana ti tatar Parahyangan mulai menggeliat bangun dari tidur panjangnya, mundi dawuh melaksanakan tugasnya sebagai barudak angon, mengumpulkan ranting-ranting kering yang berserakan seolah tiada harganya. Kelak sang SP-RA akan berhasil membangun “senjata trisula” yang utuh berikut tangkainya. Sebagai lambang persatuan kembali keluarga besar Kutai Lama, dengan ke tiga puteranya yakni Mulawarman (trah raja-raja di Sumatera), Purnawarman (trah raja-raja di tatar Sunda), Aswawarman (trah Majapahit hingga Mataram sebagai generasi penerus Kutai Lama). Setelah Nusantara kembali pada diri sejatinya, bukan mustahil akan menjadi mercusuar dunia dalam bidang spiritual, kebudayaan, kesejahteraan dan kemakmurannya. Negeri yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, kalis ing rubeda nir ing sambekala. Sebagai anugrah besar atas bangsa ini, atas jerih payah Anda semua generasi penerus bangsa yang tiada hentinya membangun karakter dan menggali jati diri Nusantara, setelah ratusan tahun lenyap dan membawanya terperosok ke dalam lumpur kesengsaraan dan penderitaan.
Sudah Keterlaluan-kah ?
Keterlaluan bila kita tak bangga, Nusantara bukan lah bangsa primitif yang miskin situs budaya, atau sekedar mewarisi alat-alat peperangan dan kekerasan saja. Nusantara merupakan bangsa yang kaya ragam seni-budaya sebagai tolok ukur tingginya peradaban dan kesadaran spiritualnya. Walau kini Nusantara masih terus menukik, terjun bebas ke dasar jurang. Kita tunggu detik-detik suara dentuman setelah ia menyentuh dasar jurang. Barulah daya pantulnya akan membawa Nusantara untuk bangkit secara perlahan namun pasti. Kita semua generasi muda penerus bangsa, adalah sumber daya pantul itu. Tentu saja bagi generasi yang telah merdeka kesadaran spiritulanya. Generasi yang sudah keluar dari tempurung kebodohan. Makasih mas Panji Trisula (Bustanus Salatin), panjenengan memiliki andil sangat besar dalam terlaksananya acara sakral dan penuh makna di Trowulan Mojokerto Jatim. Panjenengan menjadi salah satu jalma pinilih yang dilibatkan oleh para leluhur besar Nusantara dalam rangka save our country project. Juga seluruh hadirin yang terhormat, Anda semua telah lolos seleksi, berhasil melewati rintangan dan gangguan sehingga tidak gagal mengikuti acara di Trowulan. Termasuk seluruh sedulur dari elemen dan komunitas manapun juga yang mendukung berlangsungnya acara tersebut. Dari IPPNU, SI, SGPC, GPS, Beceka, Majapahit Wilwatikta, Mahavihara Majapahit, Swara Majapahit, Mojokertokab.co, Pemerintah Kab Mojokerto, Dinas Kebudayaan DIY, Jatim, dan terutama utk Indonesia Adil dan Makmur berbasis sosial demokrat kerakyatan, beserta semua elemen yang lupa kami disebutkan di sini. Semua tak ada yang sia-sia. Kebaikan yang Anda lakukan akan kembali kepada diri sendiri, bahkan menjadi kebaikan lebih besar lagi, bagaikan hukum gema suara. Yang dapat menyelamatkan Nusantara bukanlah generasi jahil, bukan bangsa-bangsa lain dan bukan pula jiwa-jiwa berisi nafsu imperialism, tetapi generasi muda bangsa yang berjiwa Nusantara dan mengerti diri sejati.
No comments:
Post a Comment