Banyak cerita wayang² yang menarik mulai dari munculnya para dinasti
pewayangan sampai pada perang akhir jaman Bharatayudha…, tokoh-tokoh di
dalamnya menggambarkan sequel besar dari sisi kehidupan (kahayangan).
Penuh satir sekaligus juga tidak sepi kritik terutama karena kisahnya
hanya konflik seputar lingkaran istana – jarang berisi cerita kaum
jelata -, maklum kisah wayang di ilhami tema-tema Hinduisme yang
kastaistik.
Dalam wajah “spiritualitas”, penafsiran cerita-cerita
wayang melahirkan banyak ajaran yang juga kaya makna religius, terlebih
setelah warna wayang Hindu bercampur dengan budaya Jawa Islam, maka
lahirlah wayang (beraroma) sufistik. Berikut ini saya kutipkan makalah
(lama) Ust. Jalal yang sedikit menggambarkan sisi sufistik dunia
pawayangan…. Hehehehe (Amasufi – Ama Salman, Mei 2010)
Naon ngalantur jadi suka wayang kieu..?
. . . . .
Dewa Ruci: Perjalanan Sufi
Oleh : Jalaluddin Rakhmat
MENJELANG
Bharatayudha, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa buat
melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat
dari Pendawa kecuali karena satu hal saja; Pendawa memiliki Bhima yang
sangat sakti. Di samping sangat perkasa, Bhima juga ksatria yang jujur,
lugu, dan kuat kemauan. Ia tidak bisa dibeli. Ia berpegang teguh pada
keyakinannya. Bhima berkata, “Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala
dhen alani, nadhyan bahu kanan-kering jen ala binuwang.” Supaya Kurawa
menang, sidang memutuskan: Binasakan Bhima. Tapi, masalahnya, Bhima
terlalu kuat untuk dikalahkan.
Dibuatlah sebuah skenario. Bhima
harus dibuang. Caranya bagaimana? Bhima sangat hormat dan patuh kepada
gurunya, Resi Dhurna. Resi Dhurna memerintahkan Bhima untuk mencari air
kehidupan: Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip,
tirta kamandalu. Amrtanjiwangi, amrta, atau tirta amrta. Menurut Sang
Begawan, siapa saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan
mencapai tingkat hidup yang sempurna. Ia akan memiliki pranawa—“ilmu
kebebasan jiwa”. Ia akan memahami rahasia kejadian alam semesta dengan
segala isinya. Ia akan “saestu sumerep purwa-wekasaning jagadh royo”
atau ilmu tentang sangkan paraning dhumadhi. Bhima tidak boleh
ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena “jen rering rangu bade
mboten sumerep sarto dhumugi telenging kawruh kasunyataan”.
Tirta
amrta ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung Candramuka, di
Rimba Palasara. Tanpa ragu, Bhima berangkat, walaupun
saudara-saudaranya menghalanginya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus
berkhidmat kepada gurunya. Ia memasuki gua di Gunung Candramuka itu. Di
situ ia bertemu dengan dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Melalui
pertempuran yang dahsyat, Bhima berhasil mengalahkan keduanya; yang
ternyata kemudian -setelah mati- berubah menjadi Bhatara Indra dan
Bhatara Bayu. Dan melalui suara batin, Bhima mendengar dari kedua dewa
itu bahwa Dhurna sebenarnya berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada
di Candramuka.
Bhima bergegas ke Ngastina. Dhurna berkata
kepadanya, “O, anakku, hal ini tidak mengherankan. Memang kami sengaja,
telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya kami hanya ingin
mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu pada umumnya. Tempat air hidup
ini sebenarnya terletak di tengah-tengah rimba Palasari tadi, di dalam
sebuah gua yang berbentuk ’sumur gumuling’ Silakanlah kembali
mengambilnya dari dalam gua tersebut. ” Bhima kembali lagi.
Tetapi
sebelum kembali, ia sekali lagi menghadap saudara-saudaranya, mohon
doa restunya. Mereka meminta Werkudara untuk tidak berangkat. Tapi
Bhima tidak menghiraukannya. Ia masuk ke dalam Gua Sigrangga, di tengah
rimba Palasara. Di sini juga, alih-alih air kehidupan, Bhima bersua
dengan seekor ular besar. Ular itu membelit tubuh Bhima dengan belitan
yang sangat ketat. Ketika dengan “kuku Pancanaka” Bhima berhasil
mengalahkannya, ular itu menghilang dan menjelma menjadi bidadari, Dewi
Maheswari. Kali ini, Sang Dewi memberitahu putra kedua Pendawa itu
bahwa air kehidupan sebenarnya tidak terletak di Gua Sigrangga.
Ia
kembali lagi kepada gurunya. Seperti biasa, Pendeta Dhurna mengatakan
bahwa ia hanya ingin menguji muridnya. Pada kali pertama, ia ingin
menguji keikhlasannya; kedua, kesetiaannya; dan ketiga, ketetapan akan
kesempurnaan hidupnya. Air kehidupan itu sebenarnya ada di dalam lautan
selatan, yang penuh gelombang besar. Dalam perjalanannya menuju Laut
Selatan, ia sampai di sebuah rimba belantara, yang penuh bahaya, Wana
Sunyapringga. Di sini, ia tiba-tiba dicegat oleh empat saudara. Mereka
menghalang-halangi maksud Bhima untuk menceburkan dirinya ke dalam
samudra.
Keempat saudara itu adalah Anoman, kera yang berwarna
putih; Jajagwreko, raksasa yang berwarna merah; Setubandha, gajah
berwarna hijau; dan Begawan Maenaka, pendeta berwarna kuning. Bhima
sendiri berwarna hitam.
Bhima menolak nasihat keempat bersaudara
itu dengan mengatakan tekadnya untuk “nggebyur ing telenging
samudro,….sanadhyan tumekeng antaka anetepi ugo janji kautaman.” Bhima
mengusir mereka dalam pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya. Bhima
mengembalikan mereka ke tempatnya masing-masing. Lepas dari halangan
saudara-saudaranya sekekuatan (tunggil bayu), Bhima melocat ke dalam
lautan. Ia disambut dengan semprotan racun dari ular besar Nabatnawa.
Bhima dapat menghindarkan bahaya bisa ular itu dengan aji Jalasengsara
yang dimilikinya. Ia juga bisa berjalan di dalam dan di atas air laut.
Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bhima dan
Nabatnawa. Kemenangan -sudah dapat diduga- berada pada Bhima, tetapi
ular yang terluka dengan Kuku Pancanakanya itu mengeluarkan banjir
darah yang mencelup air samudra menjadi merah. Ketika Bhima mengambil
air laut yang merah itu dan mempersembahkannya kepada gurunya sebagai
air amrta, Resi Dhurna menolaknya. Ia mengatakan bahwa yang diberikan
Bhima itu bukan amrta sejati, tetapi air yang sudah tercemari. Ia
diperintahkan untuk terjun kembali.
Sekarang Bhima yang perkasa
sudah hampir kehabisan tenaga. Ia diombang-ambingkan oleh gelombang
samudra yang besar. Ia berulangkali dibenturkan ke batu karang yang
keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya. Pada
saat itulah Dewa Ruci muncul. Ia menaruh kasihan kepada Bhima yang
sengsara. Ia mula-mula muncul sebagai cahaya yang terang benderang
(mencorong manter sak sodho lanang). Setelah itu ia muncul sebagai anak
kecil yang rupanya persis seperti Bhima. Dalam pertemuan itu
terjadilah dialog yang sangat mistikal antara mereka.
Saya tidak
bermaksud mengutip semua dialog ini, tetapi ingin menutup kisah singkat
ini dengan mengutip sebagian kecil dialog seperti terdapat pada
Tjeritera Dewa Rutji:
“Adaku pada tempat ini,” kata Dewa Rutji
selandjutnja, ialah hanja untuk “mengejobungah” (rindu akan kegirangan,
kesukaan, suka tjita).
“Mungkinkah keinginan tuan itu tertjapai pada tempat jang sunji senjap seperti ini?” Tanja Bima heran.
Djawab
Dewa Rutji: “Kaki, ijo sedjatine bungah iku kang wus anggedekhake
panarimo lan santoso. Margo ono ing paramean aku ora seneng, kekurangan
aku ora nggrantes, tjatjad wus ndhak anggep pantes. Dhene kang ndhak
pangan jen ono godong kumlejang kang tibeng ngarsaku, lamun sepen
sepi.” (Ketahuilah, wahai anakku pada hakikatnja, sukatjita itu dapat
memperbesar rasa “menerima” atau terima kasih (aanvaarden en berusten.)
dan keteguhanku. Pada suatu pesta aku tidak merasa lebih senang lagi.
Kekurangan dan kemiskinan, kemelaratan bagiku tidak berarti penderitaan
atau kesedihan. Ilat (tjatjad) saya anggap tidak merugikan diriku.
Makananku ialah amat sederhana, artinja sederhana sadja!).
Cerita
Dewa Ruci diduga—menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
Stutterheim—ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal
tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap
Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah
kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana
Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang,
Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam
bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.
Ng. Ronggowarsito.
Siapa pun penulisnya, naskah Dewa Ruci yang
kita ketahui sekarang, tampaknya telah diislamkan atau dipergunakan
untuk menyebarkan ajaran Islam, khususnya tasawuf. Orang hanya dapat
memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan
merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi.
Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa
Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak
begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama “angkatan tua”, ia
dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk
“ilmu kasampurnan” .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf
disampaikan dengan menggunakan “bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik,
jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis
(preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof.
Dr. Ng. Purbotjaroko. Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi
pada literatur sufi, kita akan melihatnya sangat sufistik. Sudah lazim
dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritera. Cerita itu
diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari
khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
R. Ng. Ronggowarsito,
yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk
kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.
Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri
yang bernama Suksma Lelana. Ia melakukan perjalanan panjang untuk
mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama
Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai. Ia mengalami berbagai cobaan. Ia
berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua
orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti. Menurut Dr Simuh,
ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu: Sufiyah, Amarah, dan
Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka
dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang
menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil
bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu—Lawwamah,
Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Dewa Ruci, Gilgamesh, Aleksander, dan Khidhir
Sangat
tidak mungkin membahas penafsiran Dewa Ruci sebagai buku tasawuf di
sini. Kita memerlukan bukan saja buku tersendiri untuk itu tetapi
sebuah penelitian yang mendalam -boleh jadi dengan menggunakan
pendekatan hermeneutik mutakhir (yang dikritik sangat nihilistik
belakangan ini)- kepada teks Dewa Ruci. Apa yang saya sampaikan di sini
hanyalah simplifikasi dari pemahaman saya yang juga sebenarnya sangat
sederhana kepada Cerita Dewa Ruci.
Kisah pencarian air kehidupan
bukan hanya ada di Jawa. Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua
kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria. Di kota kuno Uruk bertahta
raja yang sangat perkasa, Gilgamesh. Ia tidak pernah mengalami
kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu,
meninggal dunia. “Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak
bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya,
meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung
kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12
bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
“Aduhai,
biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki
tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan
mundur,” kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman
yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada
keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat
dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat
ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat
mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan
manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan
pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap
terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia
berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya
meneruskan perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man
Tetapi
Gilgamesh tidak ingin berkutat pada “the portion of man”. Ia ingin
mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi. Putri itu mengantarkannya
kepada tukang perahu kematian, yang pada gilirannya mengantarkannya ke
lautan kosmis. Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup
abadi bersama isterinya. Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu
terletak di dasar samudra kosmis. Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri
yang sangat tajam. Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu,
kembali ke pantai dalam keadaan selamat. Jika durinya mengenai tangan,
tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil
mencabutnya, ia akan hidup abadi. Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil
memetiknya, membawanya ke pantai, dan -ketika ia beristirahat mandi
sejenak- ular mencuri tanaman itu. Gilgamesh tidak bisa berusia
panjang, tetapi ular bisa.
Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan
Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari
Masedonia. Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga
ingin mencari air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.
Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang
bernama Andreas. Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya
memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.
Pada suatu tempat, di
tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan. Ia membuka bakul makanan,
yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak. Tiba-tiba
sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai. Andreas
mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.
Kisah
Aleksander ini disebutkan dalam Al-Quran sebagai kisah Zulqarnain.
Kitab-kitab tafsir menjelaskan maksud perjalanan Zulqarnain ini sebagai
upaya mencari air kehidupan. Kisah Zulqarnain ini dikisahkan segera
setelah Tuhan bercerita tentang perjalanan Musa as untuk belajar kepada
seorang manusia yang juga hidup abadi. Al-Quran tidak menyebutkan nama
guru ruhani ini. Hadits menyebutkannya sebagai Khidhir:
Diriwayatkan
oleh Sa’id bin Jubayr: Aku berkata kepada Ibnu Abbas -Nauf al-Bikali
menyatakan bahwa Musa, sahabat Al-Khidhr, bukanlah Musa dari Bani
Israil. Ibn Abbas berkata: Musuh Allah itu berdusta. Diriwayatkan oleh
Ubayy bin Ka’ab bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Musa
berdiri menyampaikan khotbah di hadapan Bani Israil. Ia ditanya
siapakah manusia yang paling berilmu. Musa menjawab, “Aku.” Allah
memperingatkan dia karena ia tidak menisbahkan pengetahuan pada Tuhan
semata. Allah mewahyukan kepadanya, “Di pertemuan di antara dua lautan
ada hamba Kami yang lebih berilmu dari kamu.” Musa bertanya, “Ya Allah,
di mana bisa kujumpai dia?” Allah berkata, “Bawalah ikan dan masukkan
ke dalam wadah dan berjalanlah (sampai kamu kehilangan ikan itu)”.
Berangkatlah
Musa beserta pembantunya -Yusya bin Nun, sampai mereka mencapai sebuah
batu. Keduanya beristirahat dan tidur di atasnya. Ikan tergoncang
dalam wadah dan terlempar ke dalam laut dan mengambil jalan ke laut
seperti dalam terowongan (QS. Al-Kahfi; 61). Allah menghentikan arus
air di kedua arah yang dibuat ikan itu, sehingga jalan itu mirip
terowongan. Ketika Musa bangun, sahabatnya lupa menyebutkan ikan itu.
Mereka melanjutkan perjalanan selama sisa hari itu dan sepanjang malam.
Pada pagi harinya, Musa menyuruh pembantunya, “Bawalah makanan pagi
kita. Sebenarnya kita sudah menemui kelelahan dalam perjalanan ini.”
(QS. Al-Kahfi; 62).
Musa tidak kelelahan sampai ia mencapai
tempat yang diperintahkan Allah untuk dicari Musa. Pelayannya berkata,
“Ingatkah Anda ketika kita beristirahat di atas batu? Aku lupa pada
ikan itu. Hanya Setanlah yang membuat aku lupa. Ikan itu sudah
mengambil jalan ke laut dengan sangat mengherankan.” (QS. Al-Kahfi;
63). Adanya terowongan untuk ikan itu, bagi Musa dan pembantunya adalah
hal yang sangat mencengangkan. Musa berkata: Itulah tempat yang kita
cari. Jadi mereka kembali lagi, menapak tilas yang pernah dilewatinya
(QS. Al-Kahfi: 64). Mereka kembali sampai mereka berjumpa dengan
seorang berjubah.
MENGENAL DIRI DI HADAPAN TUHAN NYA : Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar, Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro, Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo. . .
Labels
KITAB
(58)
KITAB ISTIQAL
(30)
RAHASIA MAKRIFATULLAH
(26)
SYEH SITI JENAR
(22)
HAKEKAT
(17)
Al muntahi
(15)
Kitab Ta'limul Muta'alim
(15)
MISYAKAATUL ANWAR IMAM AL GHAZALI
(14)
GURU MURSYID
(12)
ULAMA BESAR INDONESIA
(12)
WALI SONGO
(11)
KITAB FUTUHAT AN-NAJHAH
(10)
MENGENAL BID'AH
(10)
PRO DAN KONTRA Yesus Bukan Tuhan
(10)
Di Manakah Allah??
(9)
Futuhat Al Makiyyah
(9)
Ibnu Araby Dalam Kitab Khatamul Auliya'
(9)
MAQAM MUSYAHADAH
(9)
Membongkar Kedok Sufi
(9)
kitab akhir zaman
(9)
Asas Tareqat
(7)
PERANG SALIB
(7)
Kitab Durun Nafis
(6)
DOWNLOAD
(5)
KITAB NASHOIHUL IBAD
(5)
KITAB RAHASIA APPONA KALI BARRU
(5)
Mukjizat Al-Qur'an
(5)
TAUHID MUFADDHAL
(5)
ADAB AS SULUK
(4)
RAHASIA
(4)
Mafahim Yajibu An Tushohhah
(3)
Asia
(1)
Government
(1)
Indonesia
(1)
Islam
(1)
Kali
(1)
Kata
(1)
Tasikmalaya
(1)
Wali
(1)
No comments:
Post a Comment