أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ajaran Syekh Siti Jenar
Mengenal Nama Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M),
memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya,
bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul
Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam
di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan
daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg
muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg
diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau
Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas
dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni
kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar,
sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti
Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran,
bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah
dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan
Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di
Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran
Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z.
Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung
(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam
sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh
Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh
Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal
muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah
saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di
dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali
ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan
menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk
“manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka
keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan
populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti
Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan.
Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu
dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh
badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh
Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She
Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah
Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972;
P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972;
H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto,
Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang
Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten;
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2
vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang
waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah
tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan
sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur.
Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan
Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan
oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa
merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran
resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar
belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah
kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau
berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup
sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah
Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal
sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh
Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin
Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana
‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan.
Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di
Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah
distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga
utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari
al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia,
menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam
yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas,
silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin
Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula
bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di
Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh
Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke
Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah
kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang
putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti
Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg
kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka
yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa
transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar
Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar
dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di
Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan
ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk
Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di
seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi,
putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun
awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela
serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg
sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh
lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur
Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan
sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh
seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu
menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu
‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai
bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak
bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar
tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh
Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama
Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai
musu(h) alit [musuh halus]
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai
pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir,
musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi
kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke
Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di
Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan
Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan
Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk
mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk
mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli
hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab
Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur
Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi
sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak
lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan.
Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur
(fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan,
Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn
“Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya,
suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika
(fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala
bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang,
menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan,
santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim
di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun
1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan
tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep
“nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai
kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak
bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan
baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi
saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb
dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu
manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta.
Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg
oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini
pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya
ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama
ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa
Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi
penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran).
Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani
manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal
(sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’
(bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub
(kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun
(penghalang akal dan nurani).
Perjalanan ke Baghdad
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama
ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang
perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru,
bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran
bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini,
baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al
Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung
bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari
Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal
bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan
pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang
akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg
bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia
juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki
nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang
Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad
al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab
di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para
sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud,
Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar
bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab
ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari
al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab
al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995),
Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush
al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab
tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan
periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun.
Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih
sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan
al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota
Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat.
Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg
kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar
tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya
menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam
catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;
Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg
dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling
berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq,
al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa
al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg
pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak
dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya
ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran
sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh
dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh
paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena
proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn
secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili
dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili
sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg
terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah
dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti,
sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata,
dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg
banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan
konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana
adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan
membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai
bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada
masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi
sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada
tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg
menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda
dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani
akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid
(terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya
tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan
hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan
kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu
‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya
dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg
berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar,
fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku,
maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang
di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha
illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk
hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu
faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin
memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu”
(Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul
Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf
al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg
baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam
kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan
sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
Ingsun, Allah dan Manunggaling kawulo Gusti
1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah:
“Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg
disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg
maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam
(pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh
batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg
memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta
mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya
dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka
tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya
beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya
sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan
apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan
pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah
diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur
bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai
pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran,
berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup.
Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak
jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak
kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat,
menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan,
sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian
jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal
tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu
bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan
gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi.
Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya
harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera
harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau
Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam
jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu
bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan
sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah.
Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat,
tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya?
Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga.
Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika
penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa
Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan
tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat
sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat
dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam
makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut
merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami
kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti
mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam
jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam
semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab
manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari
pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada
hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik
maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan
sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari
selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar
diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada
makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku
dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg
maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat.
Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu
disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari
tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya.
Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama
(Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan
Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya
antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi
al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni
Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas
idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas
peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al
Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh
dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat,
kemana af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga
akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan
kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg
lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam
tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini
nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya
sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku
sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum
menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa
kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak
hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa
nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu
hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar
lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak
merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya
yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia
memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran
bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan
hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga
ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti
Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini
sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami
kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia
dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna.
(bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana
roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg
menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun
Sejati.
SURGA dan NERAKA menurut Syekh Siti Jenar
“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh
Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg
benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana”
(Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak
sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah
kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam.
Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk
memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah
perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum
dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki
ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui
pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya
ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak
cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan
neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang
sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk,
kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an
sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak
lain adalah proses Manunggaling kawulo Gusti.
PUASA dan HAJI
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi
tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong
(palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap
sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi
harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang
yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid
mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal,
kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini
semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita
sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena
itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat
Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali
adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada
yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang
selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at
Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti
Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya
dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at
Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna
dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas
belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan
menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal
syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan,
namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan
syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah
telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi
orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia.
Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan
(seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi
memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan
mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga
syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani
manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan
makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi
kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk
profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena
Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg
sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta
itulah shalat yg sesungguhnya.
Manunggaling kawulo Gusti
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik
dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah
lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk
berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri
dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah
kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap
dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad
yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa
maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA.
Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah,
maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA.
Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala
yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh
Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana
ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6),
beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan
(melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan
mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak
mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk
dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam
aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan
sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh
menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan
langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam
proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri,
sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak.
Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja,
halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta,
ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan,
karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah
pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan
melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada
makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh
karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan
kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti
membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan
atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan
manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan
bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka
manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini
sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi
kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus
ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam
kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan
Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling
Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia
merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata
bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh
rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu
adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia
berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi
manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan
semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa
teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan
sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu
pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa
ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama
manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia
sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya
juga pasti tidak akan terjadi.
SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?
Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah
sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih
memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982,
bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para
wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng
Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga
mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan
hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan Walisanga
hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara
menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid
adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu
dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu
adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah
jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata,
“Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat,
tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”;
Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan
wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”;
Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi
ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya
inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti
Jenar dan mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja
ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan
Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka
terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak
bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali
memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid
sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang
digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan
penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang teologi
manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang
tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang
sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama
juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh
23, Kinanti bait 1-8.
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari
Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa
yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat
setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal
dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan
mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari sang sufi sebagai bukti
bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang diinginkannya,
dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam
kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah.
Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain
kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm.
124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara
tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah.
Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan
Yang Maha Melihat, mengetahui segala-galanya), dan tidak boleh ada yang
lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping
tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya
kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya
berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan
tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat
Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta
kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa
kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai segala hal
yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara
maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus
tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan
berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi
sekedar syari’at lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil
seiring dengan tekad hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah,
sebagaimana roh Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi
manusia.
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang
sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama
Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini
bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita
bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir
[artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar
Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini
adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa
tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan
ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan
bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang
ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan
lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa
benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang
bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.”
(Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah
berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam
tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu
orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri
bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya
bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya,
“Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar
menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang
mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini
sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi,
sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya
manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu
Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar
tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak
bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual
harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir
itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma
Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.”
(Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana,
Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam
teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan
antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid
al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh
Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam
kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan
diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang
sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya
Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur
al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq
Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada
teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa
rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan
kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati,
sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut
wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu
janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad
Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk,
hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang
Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam
semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang
bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia
dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi
bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak
tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada
susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus,
tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan
kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari
keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya
kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu
saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang
menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi
kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan
hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam
dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan.
Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi
kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari
perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya
munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab
manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak
kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah
sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara
Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling
asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan Kehidupan
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup,
engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang
berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah,
lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir
Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini
sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian
hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara
kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa
diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang
“Shalat Tarek Limang Waktu”.
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup
itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang
melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka
dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian
hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam
menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas
dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini,
tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara
manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang
dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti
Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan
atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud.
Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau
pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah
Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana
saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi,
dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk
mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola
keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke
semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal.
Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa
lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan
budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat
kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang
iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat
terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh
keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu.
Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan
kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat
Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini
berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat
abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia
berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah
yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah
sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia
ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi
itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh
lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan
segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala
sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu,
termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut
sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga
seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga
hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak
hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk
dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah
adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala
dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai
lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan
tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini
bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam
daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak
yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur,
menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang
sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan
kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi
jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia,
tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab
semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran
saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak
mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk
shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh,
budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut,
karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang,
tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.”
(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri
manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia
penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga
manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri
manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal
dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah
menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar
tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik
spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi.
Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka
kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh
dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan
kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat
tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah
dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan
atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam,
apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam
kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam
kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api
neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila
saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna,
langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
VI Pangkur, 20-21).
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang
sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya.
Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia.
Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat
berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian.
Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati.
Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang
utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam
kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal
ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila
saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya
hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga
memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau
hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya
akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar
Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang
sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak
terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu,
kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa
dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak
Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi
manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar,
sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh
Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada
unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal
yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami
pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki
kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah
mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian,
tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai
dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia
sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup
selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya
beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak
dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan
kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…”
(Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari
ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan
Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la
ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para
wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah
beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan
yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala
menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh
Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup
selamanya tidak mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah
berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh
Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya
gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam
al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang,
berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari,
menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar
sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus
sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara
dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan
pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada
Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai
pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau
syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai
syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh
Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul
kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat
besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang
sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya
Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV
Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat
secata bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi
manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh
laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh Siti Jenar
mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2)
Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan
kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3)
Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika
sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam
kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini,
di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah
terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha
Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi
kemanunggalan dan keabadian.
SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung
Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya
sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun,
Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya
Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun
kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba
amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar..
sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa,
mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R.
Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken
Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit
Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri,
sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi
sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah
Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu
cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat
yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada
perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun,
Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak
kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa
apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam
dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat
Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng.
Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan
wejangan wali ke-8. wali VIII yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau
Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri
dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah
Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut
sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan
Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat
pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan
pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak
tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan
keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu
yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar.
Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap
batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada
yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin
dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan
yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan
selubung syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua
ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar
(mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah
ini:
a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b. Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.
c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.
e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
i. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
j. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
k. Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan
anugerah) Allah.
l. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
n. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
o. Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya
seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi,
loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis)
laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul
di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya
adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam
barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut
alam mitsal, yang dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian
dzat sifat asma af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya
nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm.
54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari
aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut
tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di
muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud
Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk
syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya,
sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya
Allah, ajaran “langit” Allah berhasil “dibumikan” oleh Imannya
kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling
Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara
langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu)
dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga
dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak
manusia bersama-sama “merasakan” Allah dalam diri pribadi
masing-masing.
DUA PULUH SATU
Adapun yang menjadi maksud:
a. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c. Ma’rifat, penglihatan roh.
d. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e. Akal, pembicaraannya roh.
f. Niat, pakaremaning roh.
g. Shalat, menghadapnya roh.
h. Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya
Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari
masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan
spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok
dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat adalah doktrin
pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk
perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi
yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin,
roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun
iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang
utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
DUA PULUH DUA
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang
menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik
luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya
artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan,
yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.”
(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah
dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut
Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia).
Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah pancaran cahaya-Nya,
pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah
yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah
sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat
merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman
azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau
keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan
bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki
karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah “perundingan”
antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk
mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada
manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk
mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta
kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik
iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
DUA PULUH TIGA
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian
rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud,
Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam
syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling
kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat
dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan,
dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat
syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi
kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga
dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan
mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki
dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka
kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang
tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas,
ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya
hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati
sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa
ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga,
hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar.
Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti
Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk
membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat.
Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada
Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam
kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual
yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang
keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian
lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa,
manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan, yakni
Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas
positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya
guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan
Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari
sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan)
itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam
sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan
lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat
adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai
wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu
melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
DUA PULUH EMPAT
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau
maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya
seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati,
iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring
tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat
pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati
muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling
raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan
proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya
ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu
adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya
rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan
kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati
memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang,
mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian.
Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah
kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat
Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah,
maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah
meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia
meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati
di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang
terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab
nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh
Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang
tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi
kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak
hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan laku
(meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa,
sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke
dalam diri atau dalam sukma.
DUA PULUH LIMA
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur
nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur
rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang
langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur
menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna
kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi
tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan =
samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari
pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan,
di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam
dirinya mengalami kasyaf.
DUA PULUH ENAM
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun,
satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh”
(ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku,
sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa
seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah
ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan
tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada
dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti
pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama
Allah.
DUA PULUH TUJUH
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek
meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma
sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang
bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad
takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora
ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang
kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya
napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang
kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma
kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman
yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah
shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku,
shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah
aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang
sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk
memperbanyak melafalkan dan mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati”
ini.
DUA PULU DELAPAN
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning
pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya
rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep
jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing
Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup
tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak
terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak
terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah, selesailah
berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat
wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara
abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad.
Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad.
Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis
kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat
memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya
sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur
Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang
tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang
buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya
bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di
sinilah arti penting adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam
bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh
kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga
dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi
Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang
negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang
terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah
pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang
diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang belum mampu mengalami
Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam
kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran
kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam
pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong
manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan
Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang
Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah,
manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup
yang tidak terkena kematian.
DUA PULUH SEMBILAN
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana
telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep
marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia,
iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah,
pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm.
54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di
kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi
bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh
Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna.
Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah,
Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki
fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan
waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain.
Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan
tauhid al-wujud.
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada
pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad
rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak
mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut.
Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya
sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah
manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau
tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya.
Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat
setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha,
bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh
Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal,
sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating
nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka
prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan
masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian
termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula
Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang
dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling
Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran
Syuhrawardi.
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut
shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah,
diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang
belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti,
sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari
kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman
batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup
melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus
dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya
lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus
sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian (
penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci
pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang
memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya
jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah
dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang
dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju
kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya
sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan
merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221;
Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan
apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip
hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi
yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih
mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya
wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan
bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga
dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal
wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh
adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat
tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh
seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari
manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa;
unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan
mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada
keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka
paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan
sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini,
dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan
(di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta
selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa
dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya
sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna.
Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari
bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan
bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang
menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara
mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat
(meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana
diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak
diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita
masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah
mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika
dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus
kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat,
iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku
sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam
shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada
nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat
kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap
mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir
[rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung
membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH DUA
Shalat Luhur
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat,
iya iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat
iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana
urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak,
shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat
sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan,
di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya
adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.”
Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala
Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku
berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng
Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung,
tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH TIGA
Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat,
iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh
ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di
dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam
sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam
kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing
angen-angenku.”
(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng
Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung,
tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH EMPAT
Shalat Maghrib
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya
iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh
ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam
sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma
terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan
terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu
akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng
Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung,
tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH LIMA
Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat,
iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh
ing uripku.”
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat,
yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat
yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di
dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam
kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng
Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung,
tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH ENAM
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).
c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan
kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j. Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan
kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang
tak pernah terkena mati).
k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa
suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci
diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian
dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang
ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah
shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan
dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya
memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat
yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam
Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam
shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam
(selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam
hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang
akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh
Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu
hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya,
yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah
dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif,
pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang
lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga
merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia.
Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang
memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi
saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang
menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama
diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang
tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal
Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model
dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan
erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga
pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di
bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat,
sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu
keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat
khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam
kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap
memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut
mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan
makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam
Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan
keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’
itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan
diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak
menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan
zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista;
(4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi
shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi
tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang
melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika
melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang
liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang
liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah
dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal
dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga
doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’
atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan
konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah
satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar
menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan
menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para
pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
TIGA PULUH SEMBILAN
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi
tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong
(palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap
sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi
harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang
yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya
menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah,
pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang.
Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia
adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka
nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti
Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” .
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali
adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada
yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang
selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at
Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti
Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya
dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa
syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan
pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi
formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang.
Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi
formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan,
namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan
syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah
telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi
orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah
tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi,
justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang
ini juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan
manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi
syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa
makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan
makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi
kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk
profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena
Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg
sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta
itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara
iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat
lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari’at atau shalat
nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan
menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya
mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk
berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri
dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah
kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap
dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad
yg kudus.”
EMPAT PULUH SATU
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha
besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA.
Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah,
maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA.
Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala
yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh
Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana
ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6),
beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan
(melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan
mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak
mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq
untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam
aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan
sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh
menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan
langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam
proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang,
sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali
oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak
ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa
seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain,
sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu
hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa
berkuasa memerintah sesama bangkai.” .
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah
pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan
melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada
makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh
karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan
kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti
membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan
atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan
manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan
bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka
manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini
sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi
kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus
ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam
kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri,
sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak.
Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja,
halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta,
ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan,
karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan
Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling
Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia
merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata
bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh
rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu
adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia
berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi
manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan
semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah
teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga
ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural
juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan
terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan,
memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja
pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” .
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam
bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari
mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan
roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang
disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar
yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam
(pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh
batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang
memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta
mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan
kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka
maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian
dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka
jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya
sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan
apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera
ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya,
akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh
karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.
Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari
pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur.
Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak
kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat,
menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan,
sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian
jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal
tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu
bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan
dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi.
Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya
harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera
harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau
Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan
nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang
Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu
produk akal sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam
syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang,
sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun
bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun
badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika
penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa
pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan
tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat
sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat
dunia.” .
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti
Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan
Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak
abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga
memiliki muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya,
maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia
yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk
wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta
menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain
adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang
intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi).
Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera,
berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua
aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat
setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan
kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli
Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu
ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat.
Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana
af’al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah
af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk
pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan
yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.”
“…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia
menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan
kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan
kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma
ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan
engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna
mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud.
Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu
adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku
dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17),
maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang
melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah
dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku
dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi.
Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang
maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” .
EMPAT PULUH DELAPAN
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu
kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka
seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut
Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari
seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. .
Bis………………………… kedudukannya…………. ubun-ubun.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling
Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman
rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat
al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi
tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam
masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut,
apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang
sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa
al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya
adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata
harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar
menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol
yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
EMPAT PULUH SEMBILAN
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi
busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan
kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang
lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam
tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini
nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya
sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku
sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum
menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa
kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak
hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa
nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu
hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar
lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak
merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya
yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” .
Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan,
ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran
bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara
keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga
ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh
Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia
ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan
dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika
manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk
sirna. (bandingkan dengan Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur,
di mana roh suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai
goda-nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur
kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad,
yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia
berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan
pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah
diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur
bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai
pedoman hidup.”
“Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari
pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur.
Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak
kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat,
menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan,
sehingga menodai nama dan citranya.” .
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan
menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib.
Yang dipuja dan yang memuja, yang dilihat dan melihat yang bersabda
sedang bertutur, gerak dan diam bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang
berkunjung, lebih baik kembali saja.” .
Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan
pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu
terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar, dan intuisi (wahyu).
Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan pedoman pasti.
Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang
betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti
Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik,
yang hanya memberikan ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah
wafat tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad
sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh
Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap
kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru syafa’at Muhammad hanya
terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad, me-Muhammad-kan
diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah dan asma
Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam
Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk
menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam
proses Manunggaling Kawula-Gusti.
LIMA PULUH SATU
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu
pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai
mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu,
napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali
sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau
menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan
sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan
nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah,
dengan konteks kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam
mencerminkan kebebasan manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan
mengalami hal yang natural (alami), tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan
iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya memenuhi penggilan sultan,
dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia
masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik negara atau
raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan
diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat
dan ada juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat
seluruh alam semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan).
Adapun mengenai alam yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang
sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang
memberi nama, termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar,
diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan kembali
kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. . Maka memang nama itu
perlu, namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk memperdebatkan
nama.
Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar
LIMA PULUH DUA
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
Inilah maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak kecuali dzat Allah yang tidak rusak. .
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi,
al-Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu
syai-in halikun illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah,
kecuali wajah-Nya (penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash /
28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya,
bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun
Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga
menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan
Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan,
bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya
dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun
Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala
sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan
dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah,
maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal
dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui
orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian
dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
LIMA PULUH TIGA
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa,
yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa
maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” .
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari
dunia. Zuhud adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk
lain, sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru
memiliki segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal dengan Gustinya,
sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang Maha Memiliki.
Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang realistis
adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk
(manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia)
tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan
aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti
tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan
sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang
ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti
Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi salah
satu poros keihsanan dan keikhlasan.
LIMA PULUH EMPAT
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah,
janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang
diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka
keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam
al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali
tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat
tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi
pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan
yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu
sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly.
Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar
kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan,
kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata,
mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin
dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa
melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang
jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang
memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” .
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin
kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang
menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy,
yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli dengan
berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya.
Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan
menetukan kewalian hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul
darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’ Allah adalah
pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari
wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu
adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar
tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu
berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap
tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak semua
sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis
terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada
Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di
sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan
dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan
kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran
anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini
tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya.
Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti
Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang
menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan
keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra
hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab
banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun
nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.
Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam
tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku
menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan
dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu
shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam kematian ini, maka
sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah
Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada
Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi
emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur dengan tanah.
Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh
apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia
menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang tempat. Jika ia
miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila ia
sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan
meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari
kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu,
kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk
menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh
meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia berdzikir,
mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid berlenggang
mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di
sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu
diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi
gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak
pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun
lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja
penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam
kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal
waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda,
terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. .
“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya.
Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan,
agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang
kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya :
lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada
batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan
kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku
Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika
kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api.
Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka
menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam
yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” .
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah
berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu
dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan
kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia
berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang
dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai
keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya
tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya
dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan
kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu,
bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun
tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa
sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan
sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi
melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang
dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak
merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang
itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada
dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika
masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa
menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa.
Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah
menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam
tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju
dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud
Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan
selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar
atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti
itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif
menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif
itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif
merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat.
Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya,
yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku
tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang
merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah,
niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci.
Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah
semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti
dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang
benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin
ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar,
kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang
benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi
penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang
dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam.
Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” .
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak
menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah
ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi
ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba
indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia
adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak
nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia
ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan
pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia
yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke
mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang
tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan
benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan
jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab
asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan
kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian.
Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta
malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan saya
akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan
bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun
saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran
Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana.
Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak
menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang
merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua yang saya
katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau tidak yang saya
tuturkan itu, kanda pasti tahu.” .
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam
semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang
baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud menurut dalil :
layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak menciptakan barang
yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya :
drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali.
Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan
bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis
dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi.
Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua
zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat
tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh
karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam,
sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk
menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan
jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun
akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal
desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa
biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba
dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus
hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya
tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar,
di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah
guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang
cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh
hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa
Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir
insan, wabatinul insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir
al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia
itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak
sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba
sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena
paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba
seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba
terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah
diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung.
Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan tentang dan
kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam kehidupan di
Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan
nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada
memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua
penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan
apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu muslihat,
kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya.
Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik,
seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk
memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali
mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah
sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat
hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar
dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau
pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai
kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka
mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal
ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan,
yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya
mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan,
gunung-gunung atau tepi samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai
laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang
Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut
cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan
serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang
mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa
yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”.
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar
pada masa Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan
dan ajaran Syekh Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal,
jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari
Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma
(memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja.
Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela. <Ajaran Syekh
Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia di dalam
menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai
alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya jangan
terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya diselami dengan
segenap nalar dan rasa batin.
Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan
tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut
saya , untuk mengharapkan hidayah hanyalah bias didapat dengan
kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa, saya
tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah
bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan
salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan.
Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan
dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada
janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa
takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua
isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir
batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang
Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang
ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya
ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti
jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya
sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya
kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri,
bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha
Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu
repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada
kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan
nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak
tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui
Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil
mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia
tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika
menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan
Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” .
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat
dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat
raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua
tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian
bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri.
Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung
dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena
adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua
raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan.
Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh
ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang
tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang
memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika
diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih
karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat Jibril
yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan,
shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya.
Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika
salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab
salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman
kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum
bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk
melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan
shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi
Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus merasakan
kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu
Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at.
Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah
ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan
shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika
musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia
diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh
melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika.
Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang
melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur
Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat,
timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang
malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan
melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya
mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada
Pendeta Balhum.” .
“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu,
anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama,
anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al
(perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri
manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki
kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik
Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup,
yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan
yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki
hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua
ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang
Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan
perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak
lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir
Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai
cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut :
pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau
amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan itulah yang
dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah
pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh
idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang
dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud
syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama
ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh,
percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu
terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api
menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air,
menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib.
Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. .
No comments:
Post a Comment