أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Sajatine Ingsun Dat kang amurba amisesa,
kang kuwasa anitahake sawiji-wiji,
dadi padha sanalika,
sampurna saka ing kodrating-Sun,
ing kono wus kanyatahan Pratandhaning apngaling-Sun,
minangka bubukaning iradating-Sun,
kang dhingin Ingsun anitahake kayu,
aran sajaratul yakin,
tumuwuh ing sajroning ngalam
ngadam-makdum ajali abadi,
nuli cahya aran Nur Muhammad,
nuli kaca aran miratul kayai,
nuli nyawa aran roh ilapi,
nuli dammar aran kandil,
nuli sosotya aran darrah,
nuli dhinding jalal aran kijab,
kang minangka warananing kalarating-Sun
kang kuwasa anitahake sawiji-wiji,
dadi padha sanalika,
sampurna saka ing kodrating-Sun,
ing kono wus kanyatahan Pratandhaning apngaling-Sun,
minangka bubukaning iradating-Sun,
kang dhingin Ingsun anitahake kayu,
aran sajaratul yakin,
tumuwuh ing sajroning ngalam
ngadam-makdum ajali abadi,
nuli cahya aran Nur Muhammad,
nuli kaca aran miratul kayai,
nuli nyawa aran roh ilapi,
nuli dammar aran kandil,
nuli sosotya aran darrah,
nuli dhinding jalal aran kijab,
kang minangka warananing kalarating-Sun
(Sesungguhnya Aku Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa,
yang berkuasa menciptakan sesuatu, terjadi dalam seketika,
sempurna lantaran kodratku, sebagai pertanda perbuatan-Ku,
merupakan kenyataan kehendak-Ku, Mula-mula Aku menciptakan
hayyu bernama sajaratul yakin, tumbuh dalam alam makdum yang azali abadi, setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad, kemudian kaca bernama miratul kayai, selanjutnya nyawa bernama roh idlafi, lampu bernama kandil, lalu permata bernama dharrah, kemudian dinding jalal bernama hijab, yang menjadi penutup kehadirat-Ku.)
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita tersebut, termuat urutan kejadian Dzat dan Sifat dan Af’al (perbuatan) Tuhan. Yang dimaksud dengan AKU atau INGSUN dalam serat itu tidak lain adalah diri Dzat yang Mutlak. AKU sang Diri Sejati itu mulanya “tersembunyi” atau dumunung di Nukat Ghaib. Nukat artinya Wiji sedangkan Ghaib artinya samar. AKU atau INGSUN kemudian berniat menyatakan diri sebagai PENCIPTA SEGALA SESUATU.
yang berkuasa menciptakan sesuatu, terjadi dalam seketika,
sempurna lantaran kodratku, sebagai pertanda perbuatan-Ku,
merupakan kenyataan kehendak-Ku, Mula-mula Aku menciptakan
hayyu bernama sajaratul yakin, tumbuh dalam alam makdum yang azali abadi, setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad, kemudian kaca bernama miratul kayai, selanjutnya nyawa bernama roh idlafi, lampu bernama kandil, lalu permata bernama dharrah, kemudian dinding jalal bernama hijab, yang menjadi penutup kehadirat-Ku.)
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita tersebut, termuat urutan kejadian Dzat dan Sifat dan Af’al (perbuatan) Tuhan. Yang dimaksud dengan AKU atau INGSUN dalam serat itu tidak lain adalah diri Dzat yang Mutlak. AKU sang Diri Sejati itu mulanya “tersembunyi” atau dumunung di Nukat Ghaib. Nukat artinya Wiji sedangkan Ghaib artinya samar. AKU atau INGSUN kemudian berniat menyatakan diri sebagai PENCIPTA SEGALA SESUATU.
“Niat Ingsun….” begitu doa orang Jawa biasa
diucapkan adalah meniru apa yang disampaikan Tuhan untuk memulai
proses-proses penciptaan. Akhirnya dimulailah ketujuh pangkat penjelmaan
Dzat (tujuh martabat) yang disimbolisasikan ke dalam khasanah Jawa
dengan Pohon Dunia, Cahaya, Cermin, Wajawa (roh Idhafi), Dian (kandil),
permata (dharrah), dinding jalal (penjelmaan insan kamil).
Keberadaan Dzat Tuhan itu ibarat CERMIN YANG AMAT JERNIH atau
KACAWIRANGI. Yaitu DIRI yang diliputi kekosongan yang berisi TYAS CIPTA
HENING. Cermin itu tidak ada bandingannya, tidak punya rupa, warna,
kosong tidak ada apa-apanya. Namun adalah kesalahan bahwa kekosongan
Dzat Tuhan adalah TIDAK ADA, sebab CERMIN itu TETAP ADA.
Ki Soedjonoredjo penulis buku Wewadining Rasa mengatakan kesalahan
anggapan bahwa TUHAN ITU TIDAK ADA, sebagai berikut: “Mbok menawa ana
sawenehing manungso kang kliru ora percaya marang anane kang murbeng
alam. Dadi ananing dhirine lan anane kang gumelar gumandhul karang
kabeh, kaanggep gumandul marang suwung kang mangkono iku umpamakna
nganggep suwung marang warna rupaning kaca benggela, satemah kaca
benggala dipadhakake karo kothongan kang pancen suwung babar pisan. Apa
iku bener?”
Wujud cermin sejati atau kacawirangi adalah “wangwung”, tidak ada
apa-apa. Pantas bila orang lalu menganggapnya tidak ada sebab cermin itu
terlihat begitu jernih, seperti tidak adanya rupa apapun. Tapi cermin
itu tetap ada. CERMIN SEJATI ITU SATU TAPI TIDAK TERHINGGA JENIS DAN
BILANGANNYA.
Orang yang hubungan MIKROKOSMOS dan MAKROKOSMOS nya masih kacau
cenderung menganggap cermin itu tidak ada. Padahal, Hakikat Cermin
adalah daya tunggal getar kodrat yang harmonis. Semua yang tunggal daya
juga tunggal rasa. Misalnya daya tunggal yang disebut pengelihatan, itu
tidak sama dengan dengan pendengaran. Daya tunggal-daya tunggal yang
tiada batas jenis dan bilangannya itu dibingkai oleh keadaan sejati.
Di dalam buku Dewa Ruci (Yasadipura) terdapat inti ajaran mengenai
“cermin” tersebut di atas sebagai berikut: “Badan njaba wujud kita iki,
badan njero mungguwing jroing kaca, ananging dudu pangilon, pangilon
jroning kalbu yeku wujud kita pribadi, cumithak jro panyipta, ngeremken
pandudu, luwih gedhe barkahira, lamun janma wus gambuh ing badan batin,
sasat srisa bathara”
Kisah Dewaruci ini adalah inti Sangkan Paraning Dumadi, sekaligus
sebagai pengungkapan ajaran Kawulo Gusti sampai kepada jarak yang
sedekat-dekatnya yang dikenal sebagai PAMORING KAWULO GUSTI atau
JUMBUHING KAWULO GUSTI. Ajaran tentang sangkan paraning dumadi yang
dilaksanakan sebagai pedoman hidup praktis sehari-hari, sebagaimana yang
terungkap dalam buku Jati Murti itu merupakan ajaran yang mudah
dipahami. Sisi praktisnya terungkap dalam pernyataan yang sering
disampaikan oleh Ki Damardjati Supadjar:
“Ora perlu kabotan tresna marang daden-daden, tresnaa marang sing
dadi. Nanging aja gething marang daden-daden, sebab ing kono ana sing
dadi”
Pernyataan ini, kata Ki Damardjati, menjelaskan hubungan antara
KEJADIAN dan YANG MENJADIKAN, atau YANG DIRASA dengan YANG MERASA. Yang
menghubungkan keduanya adalah RASA. Alam semesta ini adalah yang
dirasakan, bukan rasa atau yang merasakan. Yang digunakan untuk merasa
ialah rasa bukan yang dirasakan atau yang merasakan. Jadi, kenyataan
sejati itu bukan yang dirasakan atau bukan yang dipergunakan untuk
merasa, melainkan yang merasa. Yang dirasa disebut MAKROKOSMOS, yang
dipakai merasa disebut MIKROKOSMOS. Yang merasa disebut KENYATAAN
SEJATI.
Di dalam hubungan ini, ada tiga kemungkinan pengalaman yaitu LUPA,
INGAT dan INGATAN SEMPURNA. Lupa = larut ke yang dirasakan, tidak
memperhatikan rasanya, apalagi yang merasa. Ingat = waspada tentang
rasa, tidak larut ke yang dirasakan. Ingatan sempurna = waspada terhadap
yang merasa, tidak larut ke rasanya apalagi yang dirasakan.
Dalam filsafat ketuhanan Jawa, hubungan Manusia dan Tuhan
(Kawulo-Gusti) memiliki makna sangat mendalam. Manusia harus merasakan
benar-benar bahwa dirinya adalah hamba-Nya atau KUMAWULA yang artinya
dirinya merupakan cermin yang sejati, sehingga Tuhan dan bayangan-Nya
sungguh-sungguh tidak terhalang oleh kotoran sedikitpun. Hal ini
ditandai oleh koreksi terus menerus atas diri “aku” manusia sehingga
mencapai kualitas PRAMANA.
Diungkapkan oleh Ki Damardjati, ketika rasa perasaan belum jernih,
adalah rasa perasaan itu yang dianggap PRIBADI oleh si rasa perasaan.
Artinya si rasa perasaan mengaku aku supaya dianggap: AKU. Jadi rasa
perasaan manusia itu ternyata memang tidak bisa melihat yang
meliputinya. Jadi dalam perbuatan MERASA, bahkan menghalang halangi.
Karenanya, dapatnya manusia melihat terhadap yang meliputinya, tidak ada
jalan lain kecuali TIDAK dengan MERASA, yaitu RASA PERASAAN KEMBALI
KEPADA YANG MELIPUTI (Pribadi/Rasa Sejati). Apabila sudah tidak
terhalang daya rasa perasaan, maka hanya PRIBADI yang ADA, disitulah
baru mengetahui terhadapi DIA, yaitu yang MEMILIKI RASA PERASAAN, bukan
RASA PERASAAN YANG DIPUNYAI.
Sultan Agung menerangkan perbedaan antara Kawulo Gusti dengan
perantaraan 16 terminologi yang memperjelas hubungan antara Gusti (YANG
DISEMBAH) dan Kawulo (YANG MENYEMBAH) sebagai berikut: Dzat-sifat,
Rasa-pangrasa, Cipta-ripta, Yang disembah-yang menyembah, Kodrat-iradat,
Qadim-baru, Sastra-gendhing, Yang Bercermin-bayangannya, Suara-gema,
Lautan-ikan, Pradangga-gendhingnya, Papan Tulis-tulisannya,
Manikmaya-Hyang Guru, Dalang-wayang, Busur-anak panah, Wisnu-kresna.
Dalam konteks pencapaian pribadi manusia tertinggi atau “pamungkasing
dumadi” atau “sampurnaning patrap” adalah LULUHING DIRI PRIBADI,
LULUHING RAOS AKU. Itulah pamungkasing dumadi, di situ lenyap tabir
kenyataan yang sebenarnya.
Manusia yang sempurna dengan demikian adalah manusia yang luluhnya
“aku” yang “diengkaukan” (krodomongso) digantikan dengan “aku” yang
tidak mungkin diengkaukan (dudu kowe).
Hubungan antara Kawulo-Gusti ini, akan ditutup dengan pernyataan
Ranggawarsita: “Sakamantyan denira angudi, widadaning ingkang saniskara,
karana tan kena mleset, surasaning kang ngelmu, nora kena madayeng
jangji, jangjine mung sapisan, purihen den kumpul, gusti kalawan kawula,
supadine dinadak bisa umanjing, satu munggwing rimbagan” (Upaya untuk
mencapai pemahaman haruslah terus menerus sepanjang hidup, agar tercapai
keselamatan lahir-batin, yaitu KESESUAIAN HUKUM TUHAN, sebagai suatu
janji, bahwa MANUSIA ITU WUJUD PERTEMUAN KAWULA GUSTI, artinya WAKIL
TUHAN, sedemikian rupa seperti cincin permata).
Sebagai Wakil Tuhan di alam semesta, manusia telah diberi berbagai
perangkat lunak sehingga dia bisa berhubungan secara langsung dan
berkomunikasi dengan Tuhan sebagai GURU PALING SEJATI MANUSIA. Dalam
Wirid Hidayat Jati dipaparkan ada tujuh unsur pokok penyusun diri
manusia itu:
1. Hayyu (hidup) = disebut ATMA, terletak di luar DZAT
2. Nur (cahaya) = disebut PRANAWA terletak di luar Hayyu
3. Sir (Rahsa) = disebut PRAMANA terletak di luar Nur
4. Roh (Nyawa) = disebut Suksma, terletak diluar Rahsa
5. Nafs (Angkara) = letaknya di luar suksma
6. Akal (budi) =letaknya diluar nafsu
7. Jasad (badan) = letaknya di luar budi.
2. Nur (cahaya) = disebut PRANAWA terletak di luar Hayyu
3. Sir (Rahsa) = disebut PRAMANA terletak di luar Nur
4. Roh (Nyawa) = disebut Suksma, terletak diluar Rahsa
5. Nafs (Angkara) = letaknya di luar suksma
6. Akal (budi) =letaknya diluar nafsu
7. Jasad (badan) = letaknya di luar budi.
Keterangan: Ada keterpaduan antara unsur di atas yaitu:
• Suksma wahya = patemoning jasad lan napas
• Suksma dyatmika = patemoning napas lan budi
• Suksma lana = patemoning budi lan napsu
• Suksma mulya = patemoning napsu lan nyawa
• Suksma sajati =patemoning nyawa lan rahsa
• Suksma wasesa = patemoning rahsa lan cahya
• Suksma kawekas = patemoning cahya lan urip
• Suksma wahya = patemoning jasad lan napas
• Suksma dyatmika = patemoning napas lan budi
• Suksma lana = patemoning budi lan napsu
• Suksma mulya = patemoning napsu lan nyawa
• Suksma sajati =patemoning nyawa lan rahsa
• Suksma wasesa = patemoning rahsa lan cahya
• Suksma kawekas = patemoning cahya lan urip
Penutup:
Terdapat kesulitan memahami hakekat hubungan antara Kawulo-Gusti dalam jagad filsafat ketuhanan Jawa bila kita hanya membaca dengan kemampuan akal budi. Dalam ajaran Jawa, kita diajari untuk melakukan praktik mistik dengan kepercayaan yang benar-benar penuh sehingga terwujud harmoni dan kesatuan dengan tujuan kosmos. Ini akan membuahkan kondisi-kondisi fisik dan metafisik yang bermanfaat bagi kita semua. Tuhan bersemayam di unsur terdalam pada diri manusia sehingga “Kenalilah diri sendiri, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”
Terdapat kesulitan memahami hakekat hubungan antara Kawulo-Gusti dalam jagad filsafat ketuhanan Jawa bila kita hanya membaca dengan kemampuan akal budi. Dalam ajaran Jawa, kita diajari untuk melakukan praktik mistik dengan kepercayaan yang benar-benar penuh sehingga terwujud harmoni dan kesatuan dengan tujuan kosmos. Ini akan membuahkan kondisi-kondisi fisik dan metafisik yang bermanfaat bagi kita semua. Tuhan bersemayam di unsur terdalam pada diri manusia sehingga “Kenalilah diri sendiri, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”
No comments:
Post a Comment