أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Mengenal Allah, Rabbul ‘alamin
merupakan intisari dakwah dan risalah. Bahkan hal inilah yang menjadi
prioritas utama dalam dakwah setiap rasul. Di berbagai tempat dalam
kitab-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia
miliki. Sebuah bukti yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba
mengenal diri-Nya. Bukti yang kongkrit bahwa ma’rifatullah
(mengenal Allah) adalah suatu hal yang dituntut dari diri seorang hamba.
Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan bahwa pribadi
termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Saya adalah pribadi yang paling mengenal Allah dari kalian.” (Al Fath, 1/89).
Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Pribadi termulia yang memiliki cita-cita dan kedudukan tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam ma’rifatullah
(mengenal Allah), mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya serta
mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.” (Al Fawaa-id, hal. 150).
Ma’rifatullah serta Mengenal Nama dan Sifat-Nya
Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita adalah, “Siapakah ahli ma’rifah tersebut?” atau “Bagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan sebagai ahli ma’rifah?”
Biarlah hal ini dijawab oleh sang pakar hati, Abu Bakr Az Zur’i yang
terkenal dengan Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam kedua. Beliau mengatakan, “Al ‘arif (orang yang mengenal Allah dengan benar) menurut para ulama adalah orang yang mengenal Allah ta’ala
dengan berbagai nama, sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan
dalam perikehidupannya yang dibarengi niat dan tujuan yang ikhlas…” (Madaarijus Saalikin, 3/337).
Pernyataan beliau di atas menunjukkan
bahwa pengetahuan dan keimanan seorang hamba tidak akan kokoh, hingga ia
mengimani berbagai nama dan sifat-Nya dengan ilmu (pengetahuan) yang
dapat menghilangkan kebodohan terhadap Rabb-nya.
Prof. Dr. Muhammad Khalifah At Tamimi
mengatakan, “Pengetahuan (pengenalan) hamba terhadap berbagai nama dan
sifat-Nya berdasarkan wahyu yang disampaikan Allah di dalam kitab-Nya
dan sunnah rasul-Nya akan mampu membuat seorang hamba merealisasikan
penghambaan (ubudiyah) kepada Allah secara sempurna. Setiap
kali keimanan terhadap sifat-Nya bertambah sempurna, maka kecintaan dan
keihklasan (kepada-Nya) akan semakin menguat. Manusia yang paling
sempurna dalam penghambaannya kepada Allah adalah orang yang beribadah
dengan (merealisasikan seluruh kandungan) nama dan sifat-Nya.” (Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Tauhidil Asma wash Shifaat, hal.24).
Oleh karena itu, mempelajari dan
memahami berbagai nama dan sifat Allah merupakan hal yang sangat urgen
karena memiliki kaitan yang erat dengan kewajiban untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).
Kaidah Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Masalah Nama dan Sifat Allah
Kaidah pokok yang diyakini oleh ahlus
sunnah wa jama’ah dalam hal ini adalah meneliti semua dalil yang
berbicara mengenai nama dan sifat Allah tanpa merusaknya dengan cara
mentakwil atau menyelewengkan maknanya. Hal inilah yang akan
menghantarkan seorang kepada ma’rifatullah yang benar. Ketika ia mengimani berbagai sifat Allah yang ditetapkan oleh diri-Nya sendiri dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ia mengetahui bahwa Allah memiliki berbagai sifat yang sempurna dan
agung. Tidak ada ruang di dalamnya untuk menyelewengkan berbagai sifat
tersebut dengan makna-makna yang batil.
Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i dalam
Tafsirnya (2/294) mengatakan, “Sesungguhnya dalam permasalahan ini
(pembahasan mengenai nama dan sifat Allah) kami meniti (menempuh)
madzhab salafush shalih, (yaitu jalan yang ditempuh juga oleh) imam
Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits ibnu Sa’d, Asy Syafi’i, Ahmad,
Ishaq ibnu Rahuyah dan imam-imam kaum muslimin selain mereka, baik di
masa terdahulu maupun di masa ini. (Madzhab mereka dalam permasalahan
ini adalah) membiarkan dalil-dalil yang berbicara mengenai nama dan
sifat-Nya apa adanya, tanpa dibarengi dengan takyif menetapkan hakikat sifat), tasybih (menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk) dan ta’thil (menolak sifat bagi Allah). (Segala bentuk gambaran sifat) yang terbetik dalam benak kaum musyabbihin (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) tertolak dari diri Allah. Tidak
ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya dan tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy Syura: 11). (Oleh karena itu, pendapat yang
benar dalam hal ini) adalah pendapat yang ditempuh oleh para imam,
diantara mereka adalah Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al
Bukhari. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya, maka sungguh dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari
sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya sendiri, maka sungguh dia
juga telah kafir. Segala sifat yang ditetapkan Allah dan Rasulullah bagi
diri-Nya bukanlah tasybih. Oleh karenanya, seorang yang
menetapkan segala sifat yang terdapat dalam berbagai ayat yang tegas dan
hadits-hadits yang shahih sesuai dengan keagungan-Nya serta menafikan
segala bentuk kekurangan dari diri Allah, maka dia telah menempuh jalan
hidayah.”
Beberapa Faktor yang Menghalangi Ma’rifatullah
Ma’rifatullah terhalang dari
diri seorang hamba dengan menafikan sifat-sifat dan menentang berbagai
nama yang Dia tetapkan. Bagaimana bisa seorang yang tidak mengakui
berbagai nama yang Dia tetapkan berikut sifat yang terkandung di
dalamnya bisa mengenal Allah ta’ala?! Bisakah seorang yang tidak mengenal-Nya bisa mencintai-Nya? Al Hasan Al Bashri rahimahullah ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengenal Rabb-nya, niscaya dia akan mencintai-Nya.” (Al Hamm wal Hazn hal.69; Ihya Ulumid Diin, 4/295).
Oleh karenanya Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Tatkala pujian dan sanjungan dengan menggunakan nama, sifat dan
perbuatan-Nya merupakan sesuatu yang paling dicintai oleh-Nya, maka
pengingkaran terhadap nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan tindakan ilhad (kriminalitas) dan kekufuran terbesar kepada-Nya. Tindakan ini lebih buruk daripada kesyirikan. Seorang mu’aththil
(menafikan nama dan sifat-Nya) lebih buruk daripada seorang musyrik,
karena kondisi seorang musyrik tidaklah sama (dengan derajat orang yang)
menentang berbagai sifat-Nya dan hakikat kerajaan-Nya serta mencela
sifat yang Dia miliki dan menyamakan/menyekutukan Allah dengan
selain-Nya. Maka, (pada hakikatnya) kelompok mu’aththil (golongan yang menafikan nama dan sifat-Nya) adalah musuh sejati para rasul. Bahkan akar seluruh kesyirikan adalah tindakan ta’thil, karena jika tidak dilatarbelakangi oleh ta’thil terhadap kesempurnaaan zat dan sifat-Nya serta buruk sangka terhadap-Nya, tentulah Allah tidak akan disekutukan.” (Madaarijus Saalikin, 3/347).
Berikut beberapa bentuk ilhad (kriminalitas)
terhadap Allah yang terkait dengan nama dan sifat-Nya, kami sajikan
secara ringkas kepada anda dikarenakan keterbatasan ilmu kami.
Pertama, menyerupakan (menganalogikan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsil mengatakan
wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini
didustakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy Syuura: 11). “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah (yang kamu serupakan dengan-Nya).” (QS.
An Nahl: 74). Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan
aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang
penuh dengan kekurangan.
Kedua, menolak nama dan
sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk
penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan
sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi
diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib (keinginan
untuk memberi pahala). Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan
jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan
berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun
memiliki cinta.
Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala
telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan
di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat
Asy Syuura ayat 11 di atas! Allah ta’ala menyatakan bahwa tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa
Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan
dan kesempurnaan-Nya.
Penetapan sifat bagi Allah meskipun
memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan
Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan
oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul
Qadir Al Jilani di atas!
Demikian pula, alasan di atas dapat
dibantah secara logika bahwa kesamaan nama suatu sifat tidak
berkonsekuensi adanya kesamaan hakikat sifat tersebut. Contoh
praktisnya, makhluk memiliki pendengaran dan penglihatan, apakah
pendengaran dan penglihatan mereka antara satu dengan yang lain memiliki
hakikat dan bentuk yang sama?! Tentulah kita akan menjawab tidak.
Ketika Dia menetapkan sifat mendengar, melihat atau cinta bagi diri-Nya,
maka meskipun sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk tentu hakikat
sifat tersebut tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya. Sifat yang Dia
tetapkan bagi diri-Nya sendiri adalah sifat yang sesuai dengan keagungan
dan kesempurnaan-Nya, tidak seperti sifat yang dimiliki oleh makhluk
yang dipenuhi kekurangan.
Ketiga, menetapkan suatu kaifiyah (bentuk/cara) bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala.
Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan
besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya
karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi
dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita
ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah
bentuknya begini dan begitu?!
Oleh karena itu, ketika Imam Malik dan gurunya, Rabi’ah ditanya mengenai hakikat sifat istiwa
(bersemayam) Allah oleh seseorang, mereka mengatakan, “Istiwa diketahui
maknanya, namun hakikatnya tidak dapat dinalar (dijangkau oleh logika).
Beriman kepadanya wajib dan bertanya mengenai hakikatnya adalah
bid’ah.” [Lihat perkataan beliau ini dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 3/398; Itsbat Shifatil ‘Uluw hal. 119 dan Dzammut Takwil hal. 13 dan Lum’atul I’tiqad hal. 64 karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi); Idlohud Dalil fii Qath’i Hujaji Ahlit Ta’thil hal. 14 (Muhammad bin Ibrahim bin Sa’ad bin Jama’ah); Al I’tiqad hal. 116 (Ibnul Husain Al Baihaqi); Al ‘Ulum li ‘Aliyyil Ghaffar hal. 129 (Adz Dzahabi).
Urgensi dan Kesalahan dalam Ma'rifatullah
Berbagai tindakan di atas merupakan
perbuatan yang akan menghalangi seorang hamba untuk mengenal Zat yang
harus dia cintai. Berbagai tindakan tersebut akan membuat seorang
mengenal Rabb-nya dengan bentuk pengenalan yang keliru atau bahkan
menghantarkan seorang hamba menjadi pribadi yang tidak mengenal Allah
karena dirinya tidak mengenal sifat Zat yang dia cintai. Kita tutup
pembahasan kita ini dengan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menunjukkan pentingnya memahami permasalahan nama dan sifat Allah ta’ala karena sangat terkait dengan ma’rifatullah
(pengenalan terhadap Allah). Beliau mengatakan, “Mengimani dan
mengetahui berbagai sifat-Nya, menetapkan hakikat (makna) bagi sifat
tersebut, keterkaitan hati dengannya serta menyaksikan (pengaruh) sifat
tersebut merupakan jalan awal, pertengahan dan tertinggi (untuk
mengenal-Nya). Hal ini merupakan ruh bagi para saalikin
(orang-orang yang berjalan menuju Allah), kendaraan yang akan
menghantarkan mereka, penggerak tekad ketika malas dan penggugah
semangat ketika tidak maksimal dalam beribadah. Perjalanan mereka
(menuju Allah) bergantung pada bekal-bekal yang akan menopang perjalanan
mereka. Setiap orang yang tidak berbekal, maka pasti dia tidak mampu
menempuh perjalanan. (Dan ketahuilah) bekal terbaik adalah (pengetahuan)
terhadap sifat Zat yang dicintai dan (itulah) puncak keinginan mereka.”
(Madaarijus Saalikin, 3/350).
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya
berbagai sifat Allah yang sempurna dan digunakan untuk berdo’a
kepada-Nya serta hakikat berbagai nama-Nya adalah faktor pendorong hati
(seorang) untuk mencintai Allah dan sampai kepada-Nya. Hal ini
dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang dikenalnya, takut,
berharap, rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut namanya
sesuai dengan (kadar) ma’rifah (pengenalan) hati terhadap sifatnya.” (Madaarijus Saalikin, 3/351).
Demikianlah pembahasan kita kali ini,
besar harapan kami uraian ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan
orang yang membacanya. Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
No comments:
Post a Comment