أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
SYAIR BAHR AN-NISA HAMZAH FANSURI MENEMBUS MAKRIFAT
Sastra
sufi telah memainkan peranan penting dalam sejarah, agama dan budaya di
Nusantara sejak akhir abad ke-14 terutama abad ke-16 dan 17. Bentuk
sufilah yang paling sesuai dengan mentalitas masyarakat Nusantara
sehingga Islam masuk ke semua strata masyarakatnya. Islam diterima
secara damai tanpa peperangan agama. Sejalan dengan itu, Nusantara telah
melahirkan tokoh-tokoh sufi tasawuf yang agung—namun sampai sekarang
sastra sufi Melayu terutama dalam bentuk puisi belum dikaji dalam volume
yang cukup besar, bandingkan dengan tasawuf puitik Parsi telah
diselidiki secara ilmiah dalam bentuk makalah dan buku yang tidak
terhitung jumlahnya. Salah satu tokoh sufi tasawuf Melayu adalah Hamzah
Fansuri. Menurut saya, karya Hamzah tidak kalah dengan penyair seperti Ibnu
Arabi, Al Hallaj, Al Bistani, Maghribi, Syah Nikmatullah, Abdullah
Jalil, Jalaluddin Rumi, Abdulkadir Jailani, dan lain-lain. Karya tasawuf
Hamzah menggambarkan jiwa Islam, mengingatkan manusia terhadap rahasia
yang hidup dan kekal serta memberikan jalan untuk menghayati keakraban
mistik terhadap Tuhan. Sebagai penyair Melayu karya Hamzah mempunyai
ciri khas dalam bentuk alegori beralur,
dan berupa hikayat tentang percintaan dan petulangan yang bersifat
alegoris—suatu ciri yang tidak dimiliki penyair-penyair dunia di atas.
Salah satu karya puisi tasawuf Hamzah yang fenomenal adalah Syair Bahr an-Nisa (Laut
Perempuan) dikarang masa pemerintahan Sultan Alauddin Sayid al-Mukammal
di Aceh (1588-1604). Syair ini mengisahkan perjalanan sufi sampai tahap
makrifat yakni pengenalan pada Hikikat Tertinggi. Citra dan lambang
merupakan inti pati yang dapat merombak pribadi menuju perpaduan hakiki
antara dirinya sendiri dengan Al-Haqq. Laut Perempuan adalah lambang
dari Laut Jiwa. Prinsip keperempuanan di dalam diri manusia adalah jiwa
yang berbeda dari Ruh (prinsip kelelakian). Jiwa merupakan perpaduan nafs[1] dan qalb[2] sedangkan lubuk kalbu menyembunyikan Ruh dan lubuk Ruh pun menyimpan Hakikat Ilahi di dalam diri manusia (sirr; rahasia). Dalam konteks
ini Ruh sebagai penjelmaan prinsip kelelakian bersatu padu dengan
prinsip keperempuanan dalam Hakikat Ilahi sehingga tidak boleh
dibicarakan secara terpisah.
Dalam
syair ini, untuk mencapai makrifat harus melalui jalan empat tahap,
yakni; (1) syariat (menghayati hukum dan cara hidup Islam), (2) tarikat
(menindas dan membunuh nafsu duniawi), (3) hakikat (menemui ”diri” yang
sejati dan kekal di dalamnya), (4) makrifat (sepenuhnya tenggelam di
dalam pengenalan Hakikat Tertinggi). Selanjutnya syair ini melukiskan
tahapan sufi yang sampai kepada makrifat. Tahapan ini merupakan
penghapusan ”diri” secara mutlak (bersama dengan pengenalan) dan
penyatuannya (wasl) dengan
Al-Haqq yang dicapai dalam tiga derajat. Pada bait 1 kisah mikraj Nabi
Muhammad dijadikan perbandingan yang bagus. Dimana sebelum Nabi mikraj
terlebih dahulu malaikat Mikail dan Jibril membelah tubuhnya, mencuci
perut dan hatinya dengan air Zamzam yang suci, sambil membersihkannya
dari segala yang bersangkut paut dengan nafsu duniawi. Dalam syair ini
Laut Perempuan sebagai air Zamzam. Dengan melayarinya seolah-olah
penyair menjalani pembersihan seperti halnya Nabi, apalagi air Laut itu
dikatakan; Airnya Zamzam yang amat lezat/memenuhi cita hati dan fuad. Inti
dari kisah mikraj ini adalah ketika Nabi berada pada lapis langit
ketujuh, maka malaikat Jibril meninggalkannya seorang diri. Di sini Nabi
menghampiri Arsy Allah ”pada jarak dua panah atau lebih dekat lagi” (qaba qausin au adna), dan Nabi pun dikaruniai melihat Hakikat Allah.
Tidak
kalah menarik objek dalam syair ini adalah angka tujuh, dalam
kebudayaan sufi angka tujuh erat hubungannya dengan kepercayaan tentang
tujuh lapis petala langit dan tujuh lapis petala bumi. Selain itu, angka
tujuh di sini juga menyimbolkan seekor naga bercula tujuh tinggal di dalam Lautan (bait
5) yang merupakan lambang nafsu-nafsu manusiawi; keangkuhan, kehendak
buruk, syahwat, iri hati, kejahatan, loba dan kebencian—juga
melambangkan lima indera rasa, daya syahwat, dan daya amarah dari jiwa
manusia. Selain itu, Hamzah juga membedakan antara laut bergelora dengan
laut yang teduh dan tenang. Zat Ilahi ialah laut teduh yang tiada
bergerak. Titik awal penciptaan dan kesadaran Ilahi dilambangkan dengan
ombak-ombak latif, kecil dan indah. Kata pencipta ”Kun” dilambangkan
sebagai taufan ribut yang membangkitkan gelora-gelora yang tinggi, dan
menjadikan laut seperti makhluk; Ombak latif elok jalan/pada ombak kahar jangan tertawan.... Sedangkan
Mata Air dalam syair ini melambangkan mata air Surga Kautsar dan
pohonnya adalah Sirat al-Muntaha. Hal ini dapat merujuk pada Hamzah yang
menggelari Nabi Muhammad dengan Yang Empunya Kolam Air Minum dan Makam
Termulia. Letak kolam ini lebih rendah dari makam termulia itu. Karena
jenjang Nabi Muhammad berada setingkat dengan Arsy, maka mata air yang
terletak pada satu tingkat di bawahnya memang melambangkan Kautsar.
Perlambangan
tahapan menuju penyatuan dilambangkan dengan istri-istri Nabi Muhammad.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini kita rujuk pendapat
(Braginsky,102-104:1993). Nama Maimunah berawal dengan huruf ”mim”
merupakan lambang sifat makhluk nafs al-ammarah[3].
Menurut hadis qudsi yang terkenal dikalangan sufi, hanya huruf itu saja
yang memisahkan Muhammad dari Allah. Setelah huruf itu meninggalkannya,
Muhammad (bentuk namanya yang lain Ahmad) menjadi tunggal, yaitu
mencapai penyatuan diri dengan Tuhan (”Aku, Ahmad tanpa mim yaitu
Al-Ahad atau Yang Tunggal). Makna lain dari nama ini ialah ”kanan”
merujuk pada orang-orang sebelah kanan, ashab al-yamini (Alquran
56:27) para salihin yang mematuhi syariat. Maimunah mencerminkan tahap
syariat yaitu manusia yang dikuasai jiwa hewani memilih jalan kanan.
Dalam syair ini penyair berkali-kali menegaskan tentang perlunya
menindas sifat-sifat hewani tersebut. Tahap tarikat Salamah berawal
dengan huruf ”sin” huruf pertama kata salik yaitu pengembara. Di dalam tradisi sufi ”sin” melambangkan perjalanan dan nafs al-lawammah[4].
Sesuai dengan konteks nama ini mempunyai pengertian kesejahteraan,
keselamatan, kebebasan dari aib. Tahap hakikat Khadijah diawali ”kha”
huruf pertama Parsi khudi yaitu
”diri”. Selain itu Khadijah juga mempunyai arti ”keguguran”. Pada tahap
hakikat segala nafsu sudah dikikis, ”diri” manusia dibersihkan, tetapi
keadaan diri itu sendiri masih kekal. Maka dari itu menyebabkan manusia
yang mencapai tahap hakikat dan nafs al-mulhimah[5] belum sempurna. Tahap makrifat Aisyah diawali ”ain” melambangkan mata air. Ia juga mempunyai arti ”hidup”. Adapun makrifat ialah pengenalan yang memberi kehidupan abadi kepada nafs al-mutmainah[6]
yang telah mencapai pengenalan dan kembali kepada Tuhan. Tahapan kelima
Safiyah, melambangkan jiwa yang sudah disucikan dari segala sifat
makhluk, termasuk juga dirinya sendiri dan sudah mencapai penyatuan
dengan Tuhan (wasl).
No comments:
Post a Comment