أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ketika
 kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat 
menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah 
yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi 
bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah 
tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah,
 terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di 
wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang 
mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu 
sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan 
ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman.
Dengan
 demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia 
faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah 
memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran 
Islam di wilayah Nusantara.
Perjalanan
 ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama 
besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama 
besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih 
senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari
 Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama
 Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada 
as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad
 Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari
 didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh
 lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh
 ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga 
merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara
 mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari 
(pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus 
Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi
 (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.
Perjalanan
 ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan 
bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang 
merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir 
ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam 
ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan 
bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf 
mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah.
 Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya 
pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun 
hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa 
jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai 
kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu 
dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka 
dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di 
bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab 
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn 
Idris as-Syafi’i.
Kepastian
 bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari 
perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini 
Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara 
ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di
 antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat 
al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.
Segala
 puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari 
makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun
 dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam 
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan 
kebenaran.
Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji.
Pertama;
 Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab 
sebagai pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu 
wilayah ke wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga. 
Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya 
sangat pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi 
ini. Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia, 
materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri
 adalah di antara hal yang perlu kita pelajari.
Kedua;
 “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat 
terampil dan pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara
 ketika itu diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat memegang
 ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat 
itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai 
tingkatan masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil 
tersebut hingga membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?!
Ketiga;
 Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang 
wilayah Nusantara (Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah 
menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung
 ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah 
setempat. Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa 
nilai-nilai --terutama akidah-- ajaran Islam telah benar-benar berhasil 
ditanamkan oleh para pendakwahnya.
• • •
Di
 wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah 
seorang keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan 
dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin 
ar-Raniri. Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad 
al-Raniri al-Qurasyi al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah 
belajar di Tarim Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. 
Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban 
al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah 
tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam 
tarekat ini.
Tarekat
 al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang teguh akidah 
Ahlussunnah. Para pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai orang-orang 
yang konsisten memegang teguh madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam 
akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah 
hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang 
sedikitpun. Hampir seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah
 memerangi dua akidah ini. Konsistensi ini mereka warisi dari perintis 
tarekat al-Rifa’iyyah sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam
 Ahmad al-Rifa’i.
• • •
Di
 Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini 
cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari
 tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar 
al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini 
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di 
wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid 
tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan 
bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab
 di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat
 mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah
 Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir
 abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman
 al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah.
Kitab
 Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ 
‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan
 bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf 
yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa 
orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut 
benar-benar berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah 
kita kenal, Imam al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh
 ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah.
Tentang
 sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal kapasitasnya 
dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang tersebar di hampir 
seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal di 
berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, 
al-Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar 
dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh 
ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi 
kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang mengajarkan 
kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah masuk dalam 
mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas tinggi”. 
Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji 
memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut 
membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila ditambah 
dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab 
yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku
 keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para
 santri tersebut.
• • •
Wali
 songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan 
Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan 
Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka 
dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh 
melegenda ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. 
Artinya Islam sudah bercokol di wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 
tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para 
pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang 
kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman. 
Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah “gudang” al-Asyrâf
 atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari 
Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah 
Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah.
Yaman
 adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan bahkan 
ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di 
Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria, 
Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap 
memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas
 orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan 
dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas
 oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya 
mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, 
penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa 
seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al 
Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah 
dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang 
disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi ‘Alawi tersebut, yaitu 
al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn 
al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula 
yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali songo di tanah 
Nusantara.
• • •
Suatu
 hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas untuk dijatuhkan
 kepada Syaikh Siti Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah orang yang 
dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia membawa dan menyebarkan
 akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan 
“Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan
 hulûl hendak dihidupkan oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. 
Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum pancung dengan kesepakatan dan 
persetujuan para ulama, termasuk dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; 
sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak perlu mendiskusikan adakah unsur
 politis yang melatarbelakangi hukuman pancung terhadap al-Hallaj ini 
atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah mencatatkan bahwa yang
 membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah karena akidah hulûl
 dan ittihâd yang dituduhkan kepadanya.
Setelah
 perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan bahwa tidak ada 
hukuman yang setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum 
bunuh, persis seperti yang telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad 
terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan 
apakah latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada 
kematian?! Terlebih dengan mencari kambing hitam dari para penguasa saat
 itu atau dari para wali songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan 
pengaruhnya oleh Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu
 dibuat-buat, karena sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang 
telah diajarkan dan diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat 
pula berarti menilai bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo 
tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti, atau istilah lain 
melihat mereka dengan pandangan su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, 
jangan sampai kita terjebak di sini.
• • •
Pasca
 wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu 
kepulauan di wilayah Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari
 tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia 
dan sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh 
dunia Islam secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid 
al-Haram dengan gelar “Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm
 ‘Ulamâ’ al-Haramain”. Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya 
sangat populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Indonesia. 
Beberapa judul kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr 
al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq, Nashâ’ih 
al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil 
dari hasil karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di
 lingkungan pondok pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab 
tersebut patut dipertanyakan “kesantriannya”.
Tokoh
 kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, 
daerah pesisir pantai yang cukup gersang di sebelah barat pulau Jawa 
adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan ke-12 dari garis 
keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
 Cirebon. Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh 
Nawawi bersambung hingga Rasulullah.
Pada
 periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia 
menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara
 praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid 
al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat 
Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya
 tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. 
Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar dari sebelah barat 
hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh besar dalam 
penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar 
Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan akidah
 hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, 
memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.
• • •
Di
 wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang ulama 
besar, tepatnya dari wilayah Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar 
tersebut tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk 
ke wilayah ini pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan
 kembar; kerajaan Goa dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang 
kakak adik memiliki andil besar dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah
 tersebut. Saat itu banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan 
lapang dada akan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan 
dakwah ini juga didukung oleh kondisi geografis wilayah Sulawesi yang 
sangat strategis. Di samping sebagai tempat persinggahan para pedagang 
yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat itu sebagai 
penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi 
lainnya.
Di
 kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, 
terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat 
Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping seorang sufi 
terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai 
berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh 
Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai 
bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, 
tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai 
kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di negara 
timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama.
Latar
 belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di 
wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini 
dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf sendiri, 
bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah 
Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada 
akidah hulûl atau ittihâd untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh 
Yusuf al-Makasari.
 
 
No comments:
Post a Comment