Dalam
aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi
Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang
Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat
20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks
dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan
dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’
al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa
sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja,
bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana
yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat
20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari
Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang
berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh
Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di
Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran
pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun
taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan
dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat
dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN
ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran
Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda
Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu,
Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan
demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat
kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda
Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu,
Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam
Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada
adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya
Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh
Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta,
1997) ..
Gawat
!!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari
ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran
pengkafiran !!!!
bahwa
kalam Asy’ari dan tasawuf adalah penyebab kemunduran Sunni
walaupun Asy’ariyah dan sufi telah berjasa dalam menemukan keharmonisan
mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri bahwa
kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah dan sufi sangat
terbelakang di banding Barat.
Ilmu
kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri,
ataupun antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Keretakan ini
sesunguhnya sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat
Setiap
generasi memiliki tantangan yang khas. Setiap tantangan menghasilkan
pemecahan yang khas pula. Maka dari itu, tidak mengherankan satu
peradaban yang dibangun oleh generasi tertentu memiliki keunikan
tersendiri jika dibandingkan dengan peradaban yang dibangun oleh
generasi yang lain. Setiap keunikan dalam peradaban tersebut adalah
kebaikan dalam dirinya sendiri. Artinya adalah bahwa tidak setiap
kebaikan yang ada pada masa tertentu adalah kebaikan juga pada masa yang
lain.Untuk itu perubahan demi perubahan seharusnya diupayakan sebagai
usaha pembaruan sebagai respon dari tantangan zaman.
Mu’tazilah
dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis
Madjid, sebagai pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran
tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka
amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam.
Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai
kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu
dalam memahami agama.(Nurcholis Madjid, tt:21)
.
melihat
perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang
bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata),
kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika
sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu
kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai
konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada
iman).
Pada
dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa
Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedang Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
.
Aliran
Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari
golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu
pengikut-pengikut mazhab ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian
mengambil bentuk aliran teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (w. 324H/935M).(Abdurrahman Badawi, 1984:497) Disamping
aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga
bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal
dengan nama teologi Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414)
Rumusan
klasik di bidang teologi sunni yang kita warisi dari para pendahulu
Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan
yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata
kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu
hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni,
abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari
kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan
misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana
tercermin di masa Nabi saw.
.
Kritik atas Teologi Islam Klasik
Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya
Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya
.
Namun,
untuk kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia
modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka tidak dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi
Islam yang asalnya membela Tuhan (teosentris) menuju keberpihakan kepada
kemanusiaan (antroposentri) sebagai suatu rangka pikir untuk memahami
kenyataan sekaligus suatu motivasi religius untuk membalik-mengubanya
menjadi lebih baik.
Merekontruksi
teologi sunni klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan
mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung
kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan
pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal
dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia.
Rumusan
klasik sunni di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari
sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun
dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang
ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana
teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari
fakta-fakta nyata kemanusian dan kenyataan sosial kemasyarakatan.
Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi
Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah
liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif
.
Disamping itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya)
Disamping itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya)
.
Oleh
karena itu, diskursus teologi Islam kontemporer adalah isu-isu
kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural,
kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, agar Islam lebih
survive dalam menghadapi dunia modern dan postmodern, maka perlu adanya
perubahan diskursus teologi Islam yang pada mulanya hanya berbicara
tentang Tuhan (teosentris) beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan
universal (antroposentris).
teologi
tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma
sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia
metodologi
teologi sunni tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau
pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap
‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya.
teologi
sunni tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Untuk mengatasi kekurangan
teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial maka
perlu beralih ke teologi syi’ah
Pemikiran
ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan
adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global
antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan
hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa
mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah
.
“…Jika para pendahulu telah memulai muqaddimah konvensional mereka
yang bersifat keimanan itu dengan nama Allah;
yang bersifat keimanan itu dengan nama Allah;
maka kami memulainya atas nama bumi yang terampas, atas nama kemerdekaan, atas nama kebaikan,atas nama perlawanan,
atas nama persamaan dan keadilan, atas nama persatuan umat
atas nama kemajuan,atas nama kebangkitan umat,
atas nama cinta kemurnian, atas nama mereka yang terbungkam,
dan atas nama seluruh kaum Muslimin yang tertindas…”
atas nama persamaan dan keadilan, atas nama persatuan umat
atas nama kemajuan,atas nama kebangkitan umat,
atas nama cinta kemurnian, atas nama mereka yang terbungkam,
dan atas nama seluruh kaum Muslimin yang tertindas…”
.
Teologi
sunni yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan
doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang
watak sosial dan sejarah, disamping bahwa ilmu kalam sunni juga sering
disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai
wakil Tuhan di bumi.
Sedemikian,
hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang
manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada
sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran
.
Selain
itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang
benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan
konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul
keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam
umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau
‘singkritisme kepribadian’.
Fenomena
sinkritis ini tampak jelas dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan
sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam
peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan
progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam
ekonomi).
.
Dalam
kitab kuning Pesantren tradisional yaitu Kitab “Kifayatul Awam” :
Menurut abu hasan al asy’ari “Wujud adalah maujud itu
sendiri maka wujud Allah Ta’ala adalah Zat Nya sendiri, maka
jadilah wujud itu bukan sifat, maka jadilah sifat sifat yang
wajib itu 12”
Saudaraku…
Imam
Al Asy’ari berpendapat bahwa sifat ma’nawiyah itu tidak ada,
yang ada adalah sifat ma’ani ( sumber kutipan : Dr. Abdul Rahman
Haji Abdullah ( Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains
Malaysia ), Buku “Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan
Aliran”, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta, 1997 )
Saudaraku…
Dalam
aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi
Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang
Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat
20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks
dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan
dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’
al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa
sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja,
bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana
yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat
20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari
Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang
berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh
Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di
Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan
ajaran pengkafiran,
sebagaimana
yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad
Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah
akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau
tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama
berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”.
Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran
Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda
Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu,
Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan
demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat
kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda
Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu,
Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam
Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada
adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya
Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh
Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta,
1997) ..
Gawat
!!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari
ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran
pengkafiran !!!!
saudaraku…
Bahasa
dan istilah-istilah dalam teologi sunni klasik adalah warisan nenek
moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi
doktrin yang tidak bisa diganggu gugat
istilah-istilah
dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan
ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan;
yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis
seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat.
analisa
realitas perlu dilakukan untuk mengetahui latar belakang
historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana
pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya.
Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi
arah dan orentasi teologi kontemporer.
teologi
sunni dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya
yang terjadi justru totalitarianisme. Disini mungkin saya terilhami
oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati
————————————————————————————————————–
Khusus tentang kepercayaan kepada Allah dan Rasul, aliran tradisional membahas hukum hukum akal ( law of reason
) yang terbagi dalam tiga kategori : wajib, mustahil, dan
jaiz.. Menurut para pengkaji, penggunaan hukum hukum ini
dipengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles
No comments:
Post a Comment