Syech Yusuf Taj al-Makasari ( Rahasia segala hakikat )
HAKEKAT
Istilah
bahasa hakikat berasal dari kata "Al-Haqq", yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari
suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai
berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :
"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia
mencapai suatu tujuan ...sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda)
ketuhanan dengan mata hatinya".
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,
ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan oleh
Allah kepada hamba-Nya". Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah
lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya
yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering
mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1) "Ainul Yaqiin; Yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan
tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan
tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran
Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh
keputusan akal".
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa
betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu
merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan
akhirnya.
Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau
sumber dari segala sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai
aspek lain dari syari`ah yang bersifat lahiriah, yaitu batiniah,
sehingga rahasia yang paling dalam
dari segala amal, inti dari syariah dan akhir dari perjalanan yang
ditempuh oleh orang sufi.
Haqiqah juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan
Hakikat dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik
dengan aspek kerohanian dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan
mencapai hakikat seseorang harus memulai dengan aspek moral yang
dibarengi aspek ibadah.
Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh
kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental
seseorang dari tingkat rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih
tinggi. Pada posisi tertinggi Tuhan akan menerangi hati sanubarinya
dengan nur-Nya, sehingga ia betul-betul dapat dekat dengan Tuhan,
mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.
Syech Yusuf al-Makasary, telah membagi kiblat maqam terdapat 4 macam :
1.Kiblat Amal Disebut kiblat orang-orang awam (ahli syariat), seperti
misal: bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke
kiblat masjil haram
2.Kiblat ilmu disebut kiblat
orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun
kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)
3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli
hakikat-ma'rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia
yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas
segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada
segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.
4.Kiblat Tawajjuh, adalah kiblat yang ada di hatisanubari dan sejajar
dengan hakekat hati, yang telah diisyaratkan dalam sebuah Hadits “ Hati
seorang Mukmin adalah Arsyullah”.Sebagian ulama sufi menyatakan “ Hati
itu ghaib, al-Haq juga ghaib, sehingga yang ghaib lebih layak dengan
pendekatan yang ghaib pula. Apabila orang telah sampai pada keadaan ini,
maka dia termasuk orang bebas.
Di kalangan Sufi
orang yang telah mencapai tingkatan ini disebut ahli hakikat. Kalau
dihubungkan dengan Tuhan, hakikat adalah sifat-sifat Allah SWT,
sedangkan Zat Allah disebut al-Haqq. Sufi yang dikenal dengan faham
hakikat adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang pernah menyatakan
“Ana al-Haqq”.
Pembicaraan mengenai masalah ini
tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid yang
dalam pemahaman selintas dapat diartikan sebagai penyatuan makhluk dan
Khalik. Para ulama Syari’at dalam Islam memandang konsep ini
bertentangan dengan Islam.
Oleh karena itu sebagaimana diketahui
al-Hallaj mati dibunuh karena mempunyai faham Hulul dan seperti di Jawa
Syekh Siti Jenar juga mengalami hal serupa. Kaum Sufi yang mempunyai
faham ini kelihatannya merasa takut untuk membicarakan Ittihad, Hulul
dan Tawhid. Karena itulah uraian tentang hal ini hanya dijumpai dalam
karangan-karangan modern dan tulisan-tulisan para Orientalis.
Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Saat itulah terjadi penyatuan
antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam kondisi Ittihad seperti
inilah satu sama lain dapat memanggil Ya Ana (wahai aku). Meskipun yang
terlihat hanya satu wujud pada hakekatnya terdapat dua wujud yang
berbeda.
Adapun Hulul berarti menempati atau
mengambil tempat. Dalam Tasawuf, Hulul berarti suatu keadaan (hal) yang
dicapai seorang Sufi ketika aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT
bersatu dengan aspek al-Lahut (sifat ketuhanan) yang ada pada manusia.
Hulul merupakan salah satu bentuk kebersatuan antara Allah SWT dan
manusia. Kondisi ini dapat terjadi apabila manusia dapat mencapai Fana’
dengan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan yang dimilikinya sehingga
yang tersisa hanyalah sifat-sifat ketuhanannya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa sebelum seorang Sufi
dapat bersatu dengan Tuhan ia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.
Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar
akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri
ini dalam Tasawuf disebut Fana’.
Penghancuran diri
dalam Fana’ ini senantiasa diiringi dengan Baqa’ yang berarti tetap atau
terus hidup. Fana’ dan Baqa’ merupakan dua sisi mata uang atau kembar
dua sebagaimana penjelasan Sufi “Jika kejahilan (kebodohan) seseorang
hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.
Pada
saat seorang Sufi telah mencapai hancurnya perasaan atau kesadaran
tentang adanya tubuh kasar manusia dalam arti tidak disadarinya maka
yang akan tinggal hanyalah wujud rohaninya dan ketika itulah ia dapat
bersatu dengan Tuhan. Dalam kajian Tasawuf, Abu Yazid al-Bustamilah (W.
874 M) yang dipandang sebagai Sufi pertama yang memunculkan faham Fana’
dan Baqa’.
Faham tersebut tersimpul dalam
kata-katanya: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur,
kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
Selanjutnya ia pun mengungkapkan: “Ia membuat aku gila pada diriku
sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun
hidup.......Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila
pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.
Kelihatannya
Zunnun al-Misri baru sampai ke tingkat Ma’rifat sementara Abu Yazid
al-Bustami telah melewati tingkat tersebut dan mencapai Fana’ dan Baqa’
seterusnya Ittihad, bersatu dengan Tuhan.
Dalam
keadaan Hulul seorang Sufi dapat mengeluarkan kata-kata yang aneh dalam
pendengaran awam, seperti yang diucapkan oleh al-Hallaj: “Ana al-Haqq
(Aku adalah Yang Maha Benar)”. Dalam istilah Sufi ungkapan-ungkapan
seperti ini disebut Syatahat. Munculnya istilah seperti ini disebabkan
oleh rasa cinta yang berlimpah.
Menurut faham Hulul al-Hallaj,
sebenarnyalah yang mengeluarkan kata-kata tersebut bukan roh al-Hallaj,
melainkan unsur an-nasut Allah yang sedang mengambil tempat bersatu
dengan unsur al-lahut al-Hallaj. Bukan pula pada Zat Allah, melainkan
unsur an-nasut-Nya yang mengambil tempat pada unsur lahut manusia.
Hal
ini terlihat dari ungkapan syairnya: “Aku adalah Rahasia Tuhan Yang Maha
Benar, dan bukanlah yang Maha Benar itu Aku, Aku hanya satu dari yang
benar, bedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.
Dalam Hulul proses kemanunggalan Allah SWT dan manusia itu adalah Allah
SWT turun mengisi dan memasuki serta mengambil tempat pada tubuh-tubuh
manusia yang Ia pilih, sedangkan dalam Ittihad roh manusia naik
(Mi’raj), lebur manunggal di alam Ketuhanan.
Memang
mendalami dunia hakekat dapat menyebabkan seseorang menjadi sesat dan
"syirik", sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah berkata :
“Mencari
Hakikat itu termasuk Syirik”. Sebagian ahli hakekat mengatakan :”Syarat
kesempurnaan ibadat seorang hamba adalah mengetahui bahwa yang disembah
itu tampak pada dirinya, kalau tidak demikian, maka ia tidak dapat
menjadi penyembah yang sebenarnya, sebab ia dapat memasuki lautan syirik
yang tersembunyi.
Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi seorang
penyembah karena ia menerima perintah dariNya Ta’ala dan Dia adalah yang
disembah, karena segala sesuatu kembali kepadaNya. Ia juga harus
mengetahui dan mengerti bahwa setiap kali ia menghadapi sesuatu apakah
itu gambaran atau pengertian , ia mendapati al-Haq tampak padanya dan
nyata olehnyadengan pengadaan dan penciptaaNya secara umum. Hal ini
dapat dicapai setiap orangsesuai dengan kemampuannya dalam penerimaan
penampakan itu secara khusus.
Sebagaimana Abu Yazid al-Bhistami
menyatakan “ Aku adalah yang mencintai dan yang dicintai adalah Aku”.
Abu Bakar al-Shiddiq berkata berkata “ Saya tidak pernah melihat
sesuatu, kecuali melihat Tuhan sebelumnya”, Umar Ibn al-Khattab berkata
“Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sesudahnya”,
Usman ibn Affan berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali
melihat Tuhan bersamanya, Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib berkata “Saya
tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya.
Perkatan para sufi dalam hal ini tujuannya sama. Adapun perbedaanya
adalah terletak pada penyaksian perkataan mereka tersebut terhadap
masing-masing dari mereka sesuai dengan tingkatan ma’rifatnya dalam
kesufian.
Demikianlah Petikan dari beberapa kitab hasil karya
Syech Yusuf Taj al-Makasari, semoga petikan ini dapat bermanfaat bagi
para ahli suluk yang lagi berjalan menuju kehadllirat Allah SWT.
No comments:
Post a Comment