Pledoi Sufi
Mereka Yang Memusuhi Dunia Sufi
Syeikh Abduk Qadir Isa
Orang-orang yang menusuk dunia Sufi dalam Islam dan ingin merobohkan bahkan ingin menghancurkan dengan berbagai kedustaan, dengan melemparkannya melalui pandangannya yang sesat terbagi menjadi berbagai kelompok: Ada yang memusuhi karena benci dan dendam pada Islam, ada juga karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf, lalu mereka terkubang dalam kebodohan yang mendustakan.
Orang-orang yang menusuk dunia Sufi dalam Islam dan ingin merobohkan bahkan ingin menghancurkan dengan berbagai kedustaan, dengan melemparkannya melalui pandangannya yang sesat terbagi menjadi berbagai kelompok: Ada yang memusuhi karena benci dan dendam pada Islam, ada juga karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf, lalu mereka terkubang dalam kebodohan yang mendustakan.
Kelompok Pertama:
Adalah musuh-musuh Islam dari kaum Zindiq Orientalis dan anthek-antheknya melalui rentetan perang Salib dan aktivitas kolonialisme yang penuh dendam, semata mereka hanya ingin merobohkan benteng-benteng Islam, menghancurkan rambu-rambu utamanya, dan menebarkan racun permusuhan dengan mengembangkan konflik antar barisan Islam.
Adalah musuh-musuh Islam dari kaum Zindiq Orientalis dan anthek-antheknya melalui rentetan perang Salib dan aktivitas kolonialisme yang penuh dendam, semata mereka hanya ingin merobohkan benteng-benteng Islam, menghancurkan rambu-rambu utamanya, dan menebarkan racun permusuhan dengan mengembangkan konflik antar barisan Islam.
Mohammad Asad, salah satu orientalis yang masuk Islam telah membuka
kedok mereka dalam bukunya, al-Islam fi Muftariqit Thuruq, ketika
membicarakan pengaruh perang Salib.
“Mereka memiliki semangat besar untuk meneliti Islam dalam rangka
mengetahui rahasia kekuatannya, agar mereka tahu dari mana pintu-pintu
masuknya, dan dari gerbang mana jalan menuju umat Islam untuk merobohkan
dan merekayasa keburukannya. Diantara para orientalis itu, yang paling
berpengaruh adalah RA Nicholson dari Inggris, Goldziher Yahudi, Louis
Massignon dari Perancis dan lainnya.
Di satu sisi mereka menebar racun dalam madu, dan memuji Islam dalam
sebagian buku-bukunya agar menarik respon pembaca. Ketika mulai
tertarik, mereka membuat pengaruh pada akidahnya, lalu menebar kebatilan
dalam hatinya untuk ditaburkan pada Islam, dengan berbagai dosa dan
dusta.
Kadang-kadang mereka membuat rincian akademik yang spesifik, bahkan berjubah keagamaan, lalu mengenalkan Tasawuf sebagai ruhnya Islam. Namun di satu sisi mereka menegaskan bahwa Tasawuf itu sesungguhnya warisan dari Yahudi, Nasrani dan Budha. Mereka membuat keraguan pada pembacanya bahwa Tasawuf adalah pandangan yang telah menyimpang dan sesat, seperti pandangan tentang Hulul dan Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Wahdatul Adyan.
Kita tahu, dan kita tidak asing dengan tudingan mereka, karena mereka adalah musuh. Karena demikian watak musuh dan pemakar. Kita tidak perlu lagi merinci hujatan mereka, karena kita sudah mengenal watak para musuh dunia Sufi dengan tujuannya yang begitu kotor.
Kadang-kadang mereka membuat rincian akademik yang spesifik, bahkan berjubah keagamaan, lalu mengenalkan Tasawuf sebagai ruhnya Islam. Namun di satu sisi mereka menegaskan bahwa Tasawuf itu sesungguhnya warisan dari Yahudi, Nasrani dan Budha. Mereka membuat keraguan pada pembacanya bahwa Tasawuf adalah pandangan yang telah menyimpang dan sesat, seperti pandangan tentang Hulul dan Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Wahdatul Adyan.
Kita tahu, dan kita tidak asing dengan tudingan mereka, karena mereka adalah musuh. Karena demikian watak musuh dan pemakar. Kita tidak perlu lagi merinci hujatan mereka, karena kita sudah mengenal watak para musuh dunia Sufi dengan tujuannya yang begitu kotor.
Namun yang memprihatinkan kita adalah mereka yang mengaku sebagai
tokoh Islam, tetapi mereka mengadopsi pandangan-pandangan musuh Islam
itu untuk dijadikan pegangan demi menusuk Islam dari dalam, yaitu Ruhul
Islam dan Mutiara Islam, yang tidak lain adalah Tasawuf. Apakah
dibenarkan bagi seorang muslim yang berakal, mengambil pandangan dari
musuh-musuh Islam yang kafir demi menusuk sesama saudaranya yang muslim?
Maha Suci Allah, sungguh sebuah kebohongan besar.
Kalau saja para orientalis itu benar-benar membela Islam, benar-benar
tulus dalam tesis mereka dengan keinginannya memurnikan Islam dari
kotoran, kenapa mereka juga tidak memeluk Islam?
Kenapa mereka tidak menggunakan metode muslim bagi pandangan hidupnya?
Kenapa mereka tidak menggunakan metode muslim bagi pandangan hidupnya?
Kelompok Kedua
Adalah mereka yang bodoh terhadap ajaran hakikat Tasawuf Islam, karena mereka tidak mendapatkan bimbingan dari tokoh Sufi yang benar dan dari kalangan Ulamanya yang Ikhlas. Bahkan mereka mengambil analisa tentang tasawuf dengan pandangan yang mengaburkan, jauh dari kejelasan dan fakta.
Mereka ini terbagi-bagi:
Adalah mereka yang bodoh terhadap ajaran hakikat Tasawuf Islam, karena mereka tidak mendapatkan bimbingan dari tokoh Sufi yang benar dan dari kalangan Ulamanya yang Ikhlas. Bahkan mereka mengambil analisa tentang tasawuf dengan pandangan yang mengaburkan, jauh dari kejelasan dan fakta.
Mereka ini terbagi-bagi:
- Mereka mengambil pandangan Sufi dari
kalangan yang mengamalkan tasawuf secara menyimpang yang mengaku sebagai
gerakan Tasawuf, tanpa membedakan antara hakikat Tasawuf yang terang
dengan peristiwa-peristiwa penyimpangan tasawuf.
- Ada kalangan yang terpeleset karena
sesuatu yang ditemukan dalam kitab-kitab Tasawuf, sebagai rahasia
tersembunyi, lantas menafsirkan menurut selera mereka tanpa adanya
pendalaman hakikatnya, bahkan mereka memahami menurut perspektif mereka
sendiri, menurut pengetahuan mereka yang terbatas dan dangkal. Tanpa
mereka mau merujuk pada wacana dunia Tasawuf yang terang dan jelas yang
tidak melanggar syariat. Mereka tidak menerjemahkan melalui pandangan
kaum Sufi sendiri terhadap hal-hal yang tersembunyi itu.
Mereka ini semisal orang yang dalam
qalbunya ada penyimpangan dan penyakit jiwa, lalu menakwilkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang Mutasyabihat dengan penafsiran dangkal mereka yang
menyimpang, tanpa mereka memahami ayat-ayat Muhkamat (tegas) dan jelas
makna dan tujuannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab, darinya ada ayat-ayat Muhkamat dan disanalah ada Ummul Kitab, dan ayat lain bersifat Mutasyabihat. Sedangkan mereka yang hatinya ada penyimpangan, mereka mengikuti yang kabur dari ayat itu demi menimbulkan fitnah dan meraih rekayasa pemahaman.”
“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab, darinya ada ayat-ayat Muhkamat dan disanalah ada Ummul Kitab, dan ayat lain bersifat Mutasyabihat. Sedangkan mereka yang hatinya ada penyimpangan, mereka mengikuti yang kabur dari ayat itu demi menimbulkan fitnah dan meraih rekayasa pemahaman.”
Karena itu agar tidak disalahpahami, sejumlah Ulama Sufi menjelaskan
berbagai rahasia Tasawuf dalam kitab-kitabnya, seperti yang dilakukan
oleh Ibnu Araby dalam kitabnya Al-Futuhatul Makkiyyah dan Ar-Risalah
oleh al-Qusyairy.
***
Jawaban Atas Akidah Sufi Tentang Allah
Mereka menuding akidah Sufi berbeda
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan menuding lebih jauh, kalau Akidah
sufi kolaboratif dengan pandangan Filsafat Ilmuniasi Yunani, Majusi
Persia, Hinduisme dan Nasrani.
Tentu tudingan bahwa sumber Tasawuf adalah singkretisme ajaran
agama-agama dan filsafat Yunani adalah kekeliruan besar. Bahwa dalam
dunia tasawuf ada hikmah-hikmah agung dan mengandung filsafat kehidupan
yang luhur, sesungguhnya tidak bias dihubungkan-hubungkan dengan tradisi
filsafat tersebut secara menyeluruh.
Seperti tradisi musyawarah yang sudah ada di zaman Jahiliyah. Maka
ketika tradisi Syura itu di absahkan oleh Islam, sama sekali tidak bias
dituduh bahwa tradisi Musayawarah dalam Islam itu bersumber dari zaman
Jahiliyah.
Kalau Nabi Muhammad saw, melakukan tradisi khalwat, tahannuf atau
tahannut di gua Hira, sementara kaum Jahiliyin, juga melakukan hal yang
sama di tempat terpisah dalam rangka menyucikan dirinya, apakah metode
yang ditempuh Rasulullah dalam gua hira itu ditentang oleh ummat Islam
bahkan oleh Rasul sendiri?
Apalagi untuk menggali akidah Islam yang hakiki, tidak bisa melalui
pendekatan yang bersifat letere, tekstual dan formal. Sementara istilah
akidah itu sendiri di zaman Rasulullah belum muncul sebagai elemen
ushuliyah sebagaimana yang kita fahami saat ini. Justru muncul pembagian
akademis, dalam ilmu-ilmu Islam, ketika engetahuan dan pengajaran Islam
mulai disusun secara sistematis oleh generasi Mujatihdin, Muhadditsin,
Mufassirin, dan Mutakallimin.
Banyak ummat Islam terjebak oleh jargon “Kembali pada sumber
Al-Qur’an dan As-Sunnah”, dengan cara-cara yang dangkal dan bahkan malah
menyesatkan. Misalnya dengan menegaskan segala hal yang tidak tertera
secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut dianggap menyesatkan.
Kemudian mereka bersikeras mengikuti jejak Nabi secara ketat dengan
formalitasnya belaka, sedangkan aspek kedalaman jiwa (ruh)nya hilang
sama sekali, sehingga Islam tampak kaku, keras, dan radikal.
Padahal dalam amaliyah Islam Rasulullah saw, membagi tiga: Islam,
Iman dan Ihsan. Islam yang kelak berhubungan dengan ibadah syari’ah,
penataan aturan-aturan fiqih, dalam rangka menata kehidupan lahiriyah.
Lalu disana muncul para fuqoha’, yang menyimpulkan produk hokum Islam
melalui Ijtihad. Bahkan untuk membuka pintu Ijtihad ini pun para Ulama
sangat ketat aturannya, agar tidak semua orang menafsirkan Al-Qur’an dan
as-Sunnah dengan klaim-klaim yang gampangan. Kita bisa bayangkan jika
para Mjtahid tidak membuat aturan ketat mengenai syarat Ijtihad, pasti
konflik-konflik social akibat perbedaan Ijtihad begitu luar biasa dan
malah menghancurkan ummat Islam itu sendiri.
Sedangkan Iman, kelak berpengaruh dalam academia teologi yang popular
dengan Ilmu Tauhid. Di kalangan ahli Tauhid sendiri soal-soal yang
Sifat dan Asma Allah banyak pandangan yang berbeda. Tetapi perbedaan itu
sebatas masalah-masalah yang berkembang yang berinduk pada
ushuliyahnya.
Misalnya Allah Maha Esa. Dalam Al-Qur’an Allah menggunakan kata Yang
Satu, dengan kata yang berbeda-beda. Misalnya Ahad, Wahdat, Wahdaniyah,
Wahid, yang memiliki hubungan yang berbeda-beda. Bahwa Allah Maha Esa
itu tidak satu pun yang berbeda pandangan. Namun mengenai interaksi
Ahad, Wahdah, Wahid, dengan praktek Tauhid maupun filosufi Ketauhidan
akan muncul banyak ragam.
Rupanya kaum formalis yang menolak Tasawuf dengan serampangan saja
meng genalisir fakta keragaman kata dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, lalu
mengklaim apa yang dipandangnya itu sebagai kebenaran mutlak yang tak
terbantah sama sekali.
Ihsan, sebagai praktek dan manifestasi Islam dan Iman dalam kualitas
hubungan hamba dengan Allah, sama sekali tidak pernah dibedah secara
tuntas oleh mereka yang anti terhadap dunia Sufi. Sebab, hanya akademi
Sufisme saja yang menguraikan secara gambling apa dan bagaimana Ihsan
itu diterapkan dalam Ubudiyah sehari-hari. Karena tanpa pelaksanaan
Ihsan, seorang hamba yang melakukan ibadah sholat hanyalah melaksanakan
kewajiban formalnya sholat, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Sedangkan
kualitas khusyu’ dalam sholat, elemen-elemen kekhusyu’an, maupun nuansa
khusyu di depan Allah tidak dikaji tuntas, kecuali dengan
mengetengahkan teknik-teknik khusyu’ yang kering.
Apakah jika dunia Sufi membahas masalah khusyu’ dalam sholat maupun
di luar sholat menjadi bid’ah dan bertentang dengan Qur’an dan Sunnah?
Alangkah bodohnya kita, jika menuduhkajian dunia Sufi sebagai bentuk
yang menyimpang dari kedua sumber utama Islam itu. Justru dunia Sufi
mendorong seseorang untuk meraih khusyu’ yang hakiki, bukan khusyu’ yang
dikhusyu’-khusyu’kan, sementara ia telah gagal meraih sholat Khusyu’.
Seluruh ajaran Sufi, walaupun sebagian kecil yang minor kita jumpai
telah menyimpang dari ajaran Sufi yang benar – sesungguhnya tetap
bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Para Sufi sendiri sepakat demikian,
dan sebaliknya yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah malah dianggap
bathil. Hanya saja criteria mengenai sesuatu yang menyimpang dan tidak
dari Al-Qur’an dan sunnah, maka dunia Sufi lebih dalam lagi dan sulit
difahami mereka yang hanya mendang Al-Qur’an dan Sunnah secara formal
belaka.
Sementara itu tudingan terhadap Ibnu Araby, al-Bisthamy, Junaid
al-Baghdady, Al-Hallaj, Syekh Abdul Qadir al-Jilany, maupun Sufi-sufi
besar lainnya, semata karena cara meandang Al-Qur’an dan Sunnah secara
berbeda. Perbedaannya ibarat kita memandang cermin. Ada cermin itu
buram, ada yang retak dan pecah, ada pula yang bercermin dari samping
dan dari balik cermin, tentu semua itu akan gagal memantulkan gambar
yang obyektif. Dunia Sufi dengan se gala ragam metodenya, mengajak kita
menandang cermin dari arah yang benar dan dengan obyek yang utuh, bahkan
berusaha agar cermin tetap bening, bersih dan cemerlang.
Sementara kaum yang anti Thariqat Sufi
merasa telah bercermin dengan benar, padahal mereka tidak mengetahui
jika cermin yang digunakan itu adalah cermin yang buram, retak, dan cara
bercermin yang keliru. Ketika mereka menuding orang lain,
sesusungguhnya mereka sedang menuding diri sendiri.
Kata-kata yang muncul dari para Sufi sesungguhnya harus difahami
menurut konsumsi Bathiniyah dari kandung Al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya
ketika seseorang mempraktekkan Ihsan, “Seakan-akan engkau melihat Allah,
dan jika tidak melihatNya, Allah melihatmU,” pastilah menimbulkan
pantulan cahaya Ubudiyah yang agung dengan sesuai dengan kondisi
psikholohis ruhani masing-masinghamba Allah. Pantulan cahaya Ilahi
inilah yang tidak bisa difahami oleh orang yang tidak pernah megalami
perjalaan ruhani ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Mukasyafah atau keterbukaan Rahasia Ilahi adalah Hak Allah yang
diberikan kepada yang dikehendakiNya. “Allah berbuat sebagaimana yang
dikehendakiNya.” Termasuk menghendaki hambaNya untuk mengetahui yang
ghaib, rahasia takdir, dan rahasia alam semesta raya, baik yang fisik
maupun yang metafisik.
Diantara rahasia yang dianugerahkan oleh Allah kepada para Sufi
adalah mengenal rahasia huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an. Sebab, hakikat
huruf-huruf itu adalah Asma’ Allah, dipastikan memiliki hubungan
korelatif dan apresiatif secara paripurna dengan kehidupan hamba, alam
semesta bumi langit seisinya, dan alam akhirat, bahkan Asma’, Sifat,
Af’al dan DzatNya.
Mereka menuduh bahwa kaum Sufi menjauhi Qur’an dan Hadits, lalu
mendahulukan mukasyafah. Ini tuduhan yang salah benar, karena seluruh
aspek Mukasyafah sesungguhnya merupakan penafsiran dari Al-Qur’an dan
Sunnah itu sendiri. Setiap Mukasyafah harus ditimbang dengan Qur’an dan
Sunnah, hal demikian sangat popular di kalangan Sufi. Karena itu dalam
dunia Sufi, sangat dibedakan mana yang bisikan Jin, Syetan, Malaikat,
Ilham, dan yang langsung dari Allah.
Ibnu Abbas ra, sendiri telah menegaskan bahwa dirinya diberi Ilmu
oleh Allah Ta’ala, sebagian bisa disebarkan (publikasi), dan sebagian
bila disebarkan justru ia akan dikafirkan dan dibunuh oleh banyak orang.
Artinya, aspek Mukasyafah sangatlah individual, dan memang tidak bisa
diungkapkan kecuali pada ahlinya atau orang tertentu yang relevan dengan
manfaat dunia akhiratnya.
Merngenai Wihadatul Wujud, Hulul, Al-Faidl (ilmuniasi), sesungguhnya
justru tidak ada dalam dunia Sufi. Yang ada adalah Widatus Syuhud. Orang
yang pertama kali mengatakan Wihdatul Wujud adalah Ibnu Taymiyah yang
memang anti dengan pengalaman Dunia Sufi. Ia menuduh Sufi itu Wihdatul
Wujud, sebuah tudingan yang jauh dari pengalaman ruhani Sufistik. Karena
Wihdatul Wujud sering diartikan dengan panteisme, sedang konsep Sufi
tentang penyatuan hamba dan Allah jauh dari panteisme. Penyatuan itu
bersifat ruhani dan musyahadah (penyaksian mata hati, mata ruh dan mata
rahasia batin. Bukan wujud fisik. Hal demikian pun diurai secaa lembut
melalui kaidah-kaidah Sufi agar tidak menyimpang dari Tauhid,
sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary
dalam kitab Al-Hikam.
Kalau kita membaca Al-Qur’an dengan pandangan kulitnya, formalitas
dan penafsiran tekstual belaka, maka kita pun ketika memahami wacana
Sufi juga akan terjebak sedemikian rupa. Karena itu dalam tradisi Sufi
harus ada Mursyid Kamil Mukammil yang membimbing, agar mereka tidak
terkena ghurur (tipudaya) dalam menempuh perjalanan menuju kepada Allah.
Tidak begitu mudah orang memahami pandangan Ibnu Araby, Abu Yazid
al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Bisyr Al-Hafy, Syeikh Abdul Qadir
al-Jilany, Abdul Karim al-Jily, Al-Hallaj, maupun Abul Hasan
asy-Syadzily.
Bagaimana anda bisa memahami arti tenggelam di lautan, sementara anda
belum pernah tenggelam, dan hanya mendengarkan kisah tentang orang
tenggelam saja?
Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam?
Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam?
****
Tuduhan terhadap Dunia Wali
Mereka menuduh kaum Sufi, dengan suatu
tudingan keliru. Diantara tudingan mereka yang kontra pada dunia Sufi,
tentang Kewalian antara lain:
- Sufi dituduh mengutamakan Wali daripada Nabi.
- Para Wali dianggap sama dengan Allah
dalam setiap sifatNya, bermula dari salah paham mereka mempersepsi
tentang ragam dunia Wali dengan tugas-tugas ruhani masing-masing,
seakan-akan tugas itu menyamai tugas Allah.
- Para Wali seperti memiliki dewan, majlis, berkumpul di gua Hira untuk menunggu takdir.
Tiga tudingan itulah yang membuat orang salah paham terhadap dunia Sufi.
JAWABAN
Ummat Islam sepakat adanya para Auliya’ atau kekasih-kekasih Allah. Bahkan mereka yang kontra terhadap dunia Tasawuf pun memiliki definisi khusus, menurut penafsiran formal mengenai para Wali ini, yang tentu saja berbeda jauh antara langit dan bumi dengan pemahaman kaum sufi.
Ummat Islam sepakat adanya para Auliya’ atau kekasih-kekasih Allah. Bahkan mereka yang kontra terhadap dunia Tasawuf pun memiliki definisi khusus, menurut penafsiran formal mengenai para Wali ini, yang tentu saja berbeda jauh antara langit dan bumi dengan pemahaman kaum sufi.
- Kaum Sufi tidak pernah menempatkan
derajat para Wali lebih unggul dibanding para Nabi dan Rasul. Para
Auliya adalah sebagai pewaris dan pemegang amanah Risalah setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Sebagai Khalifah dan sekaligus juga sebagai pewaris
Nubuwwah. Jika, muncul ungkapan-ungkapan kehebatan para Auliya dalam
kitab-kitab Tasawuf, sama sekali tidak ada satu pun kata atau isyarat
yang menunjukkan keunggulan maqom Auliya’ dibanding maqom Ambiya dan
Rasul. Semata hanya ingin mempresentasikan jika para Auliya’ diberi
karomah (hal-hal yang di luar nalar akal rasional) oleh Allah swt,
apalagi para Anbiya dan Mursalin.
-
Para Sufi yang diangkat derajatnya oleh Allah meraih maqom Kewalian atas KehendakNya, diberi anugerah, fadlal dan rahmatNya, menurut kehendakNya. Kesalahpamahan mereka yang kontra terhadap dunia Wali semacam ini bersumber pada fenomena karomah, fenomena hikmah-hikmah terdalam yang tidak bisa dipahami oleh mereka, karena hanya merujuk pada teks Qur’an dan Hadits tanpa mengenal hakikat kedalaman dibalik ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah itu.Apakah anda tega menyalahkan Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abul Hasan Asy-Syadzily, Hujjatul Islam al-Ghazaly, Ibnu Araby. Al-Bisthamy, Asy-Syibly, Junaid al-Bahgdady, para Imam Mazhab, yang sangat terkenal sebagai para Auliya’ Allah, dan sama sekali mereka jauh dari perspesi anda tentang kewalian itu?
Padahal mereka adalah para penjaga Al-Qur’an dan as-Sunnah, para pelestari tradisi Syariat, Thariqat dan hakikat Risalah Nabi besar Muhammad SAW.
Jadi jika ada Istilah Abdal sebagaimana juga pernah disebut oleh Nabi Muhammad SAW, tentu saja, tidak gampang memahami tugas-tugas para Wali itu. Sedangkan siapa pun dalam menjelajah dunia ruhani, metafisika, dunia hakikat senantiasa justru akan dlolalah (tersesat) sepanjang perjalanannya tidak dibimbing oleh Wali yang Mursyid, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Siapa yang sesat (jalan menuju kepada Allah) maka ia tidak akan pernah menemukan Wali yang Mursyid”.
Kriteria Wali Mursyid tentu tidak sesederhana yang mereka pahami. Kata Iman dan Taqwa saja, sangat berlapis-lapis kedalamannya, dan beragam pula wilayah implementasinya dalam dunia jiwa para hamba Allah. Apakah sebegitu mudah orang mengaku menjadi Wali Allah, hanya karena merasa beriman dan merasa bertaqwa dan bahkan mengklaim merasa dirinya beramal shaleh?
Sedangkan tahap agar hamba Allah bisa bebas dari rasa takut dan gelisah saja sulitnya bukan main. Gelisah terhadap cobaan dunia dan cobaan akhirat, takut terhadap fitnah dunia dan siksa akhirat, pun manusia akan sulit membebaskan psikhologinya. Padahal para Wali itu tidak pernah takut dan tidak pernah susah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Inilah yang dipresentasikan dunia Tasawuf sebagai tradisi ilmu-ilmu Islam bidang hakikat, yang juga bisa difahami maknanya melalui pendekatan hakikat pula, dengan logika bathiniyah yang suci. Sebab wilayah hakikat bukanlah wilayah rasional empiris, juga bukan wilayah inderawi. Itu pun harus dalam bimbingan mereka yang telah meraih keparipurnaan hakikat sebagai Insan Kamil.
Karena itu Ibnu Araby, membagi komunitas para auliya’ menurut komunitas kebajikan yang disebut dalam berbagai ayat Al-Qur’an, semisal, komunitas Sholihun, Muhsinun, Shobirun, Syakirun, Dzakirun, Mujahidun, Muttaqun, ‘Aminun, Mukhlishin, Mukhlashin, ‘Abidun, dan ratusan komunitas Sholeh disana yang tentu saja, merupakan kualifikasi moral yang begitu dalam. Jika Allah menyebutkan suatu kelompok moral, dengan menggunakan istilah tertentu, pasti memilki rahasia tertentu pula. Kata Robb, beda dengan kata Ilah, beda lagi dengan penyebutan yang menggunakan Sifat dan Asma’ sepetri Al-Khaliq, Al-Bari’, al-Mushowwir, misalnya.
Munculnya istilah Ghauts, Quthub, Abdal, Nuqaba’, Nujaba’, tentu memiliki dasar-dasar yang tersirat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan tugas-tugas amanah kewaliyan mereka tentu Allah sendiri Yang Maha Tahu, yang dengan KemahakuasaanNya, dan Irodah MutlakNya, memberikan wewenang dan tugas khusus. Dan semua tugas itu juga dalam rangka meneruskan amanah Rasul SAW. - Soal adanya dewan para Wali,
sesungguhnya juga tidak bisa dipersepsi sebagaimana kita memahami majlis
sosial politik, dengan dewan pimpinan tertentu itu, dengan cara
pemilihan ketua dewan atau ketua organisasi. Bahwa dalam dunia Kewalian
ada hirarki struktural secara ruhani, pasti sangat berbeda hirarki
strukturalnya dengan dunia sosial manusiawi. Kalau suatu saat memang ada
tugas bermajlis di gua Hira’, itu bukan suatu tugas yang bisa dinilai
sebagaimana berkumpulnya sebuah majlis PBB atau lainnya. Namun, karena
tugas kasuistis, menyangkut perkara moralitas ummat manusia di dunia,
bahkan yang hidup maupun yang sudah mati, yang begitu tampak jelas dalam
Alam Mukasyafah mereka, melalui Nur Ilahi.
Tetapi wajar jika anda mempersoalkan,
adanya kelompok tertentu yang mengklaim dewan para wali, lalu membuat
pertemuan alam ghaib, lalu mereka merasa sebagai para wali, padahal
tidak lebih dari sebuah tipudaya alam Jin dan Iblis, bisa saja demikian.
Karena Iblis dan Syetan pun punya kelompok tandingan Wali yang disebut
dalam Al-Qur’an “Auliya’ as-Syayathin”. Atau para Wali Syetan, yang
seringkali menggunakan jubah religius dan keagamaan. Mereka berjubah,
tapi penuh dengan kebusukan, ketakaburan, riya’ dan ‘ujub, hubbud dunya
(cinta dunia), penghamba nafsu dan takut mati.
Namun alangkah piciknya kita kalau memahami dunia Wali dari sekadar
gelombang sosial ummat atau dari fenomena keagamaan (khususnya di bidang
bathiniyah), lalu anda membuat kesimpulan gradual, kesimpulan salah
kaprah, sebagaimana para orientalis dan pengamat Sufi yang lebih banyak
salah kaprahnya dalam memaknai istilah dan terminologi Sufi itu sendiri.
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thoriq, wallahu A’lam bish-Showab.
***
Orang Sufi anti Syurga dan Tidak Takut Neraka?
Diantara tuduhan yang dilontarkan
kepada kaum Sufi, bahwa dalam tasawuf, seorang Sufi itu tidak mau syurga
dan tidak takut neraka. Padahal Rasulullah pernah berharap syurga dan
dihindarkan dari neraka. Rasulullah paripurna saja masih demikian,
kenapa kaum Sufi enggan dengan syurga dan tidak takut neraka?
Tuduhan dan pertanyaan berikutnya seputar syurga dan neraka, bahwa
kaum Sufi dalam tujuannya untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak
menuju syurga dan tidak menghindar dari neraka, dianggap sebagai akidah
yang salah. Padahal dalam ayat Al-Qur’an disebutkan, “Makan dan minumlah
(di syurga) dengan nikmat yang disebabkan oleh amal yang telah kamu
kerjakan di hari-hari yang lampau….” (al-Haaqqah, 24) . Jadi kaum Sufi
pandangannya bertentangan dengan ayat tersebut.
JAWABAN
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.
Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka.
Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur’an juga memiliki struktur
hubungan yang berbeda. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki
tekanan berbeda dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman
yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan dengan kata Naar, yang
disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka
Jahanam, Neraka Sa’ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata
Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka tertentu.
Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena
faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari
segi hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika
seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.
Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka
yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah,
“Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang
sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeda.
Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena didahului
dengan panggilan Ilahi “Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat
ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang
beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeda.
Karena yang terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba
kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya.
Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar
Ibrahim as.
Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya
hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa
seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan
neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya
di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh
amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau
punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan
neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga
diterima oleh Allah. Namun, kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin
pada syurga dan neraka paling rendah.
Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik
untuk menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih
perumpamaan paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling rendah
sudah dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja di
perusahaan juga berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya sama.
Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci
dan mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan dan
mencintai direktur perusahaan tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama,
namun kualitas moral dan etos kerjanya yang berbeda. Bagi seorang
direktur yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari
oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai
dirinya, disbanding para pekerja yang hanya mencari untung be laka,
sehingga mereka bekerja tanpa ruh dan spirit yang luhur.
Karena itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi
memiliki kualifikasi ruhani dan spiritual yang berbeda dengan persepsi
syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi
kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, adalah
Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu
saja berbeda dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan
bilogis seksual-hewani.
Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan derajat
kema’rifatan yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah
Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa
keinginan syurga adalah syurga fisik dengan kenikmatan fisik yang selama
ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang bisa menjadi penghalang
(hijab) antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.
Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan symbol berbeda-beda, ada
Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Firdaus, yang
tentu saja menunjukkan kualifikasi yang bersifat lahiriyah maupun
bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya,
maka perspesi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu hewaninya dan
syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan
rasa nikmat syurgawi yang identik dengan syahwatiyah.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan
hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa
menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah
dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk
Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan
kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena
hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga.
“karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian
dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.
Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul
(sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju
makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan
roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan?
Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.
Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.
Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini
dikecam habis, “Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah
yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…” Ucapan yang
menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai
bentuk anti syurga dan tak takut neraka?
—(ooo)—
No comments:
Post a Comment