HAKEKAT GURU SEJATI
Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya
(Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga,
tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan
konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada).
Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta
unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia
memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru
sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi
pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci”
oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru
sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita”
kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh
dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi
konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir).
Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang
sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa
Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning”
Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan
“mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus).
Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam
konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak
lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat
dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds.
Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga
disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat
spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena
ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh
manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya
menjadi jahat.
Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang
dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru
Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”,
wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang
budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan,
berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua,
seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma,
maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri.
Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru
Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala
nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu
bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi
yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru
Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati
Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri
untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.
Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah
ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan
kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau
hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan
suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa
atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning
karep atau rasanya keinginan.
Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati
kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah
rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara
membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga.
Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri,
hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.
SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER
Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi
diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur
papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi
seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan
didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar
dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu
bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat
terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging
sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang
kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi
tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa
merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur
semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan
disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi
kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha).
Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan
berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari,
kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi,
sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….
MENGOLAH GURU SEJATI
Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke
dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh
kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita
dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup
mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa
nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos
yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah
mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat
transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya,
dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu
serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah
(mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al
mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti
kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang
Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter
dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam
sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal)
meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling
kawula-Gusti.
Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma
sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau
penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul
wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk
kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci.
Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing
warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap
upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi,
maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur,
sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat
yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai
nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya
laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan
melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan
sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas
lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat
secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat
nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke
dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari
manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen
khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti =
bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan
menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.
TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI
Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan
dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau
raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti
kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu
salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama
meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh
kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu.
Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan
mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka.
Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai
makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi
sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran
spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk
kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki
kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang
dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan
“idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda
Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.
Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu
batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita
sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita
dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan
nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai
“mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru
Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana
lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu
linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita
akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun
tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.
Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang
diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang,
melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan
petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para
leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam
berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan
(prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah
besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya
manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan
langkah antisipasi.
PENTINGKAH GURU SEJATI ?
Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di
awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru
Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita
berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus
selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk
dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi
peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati
akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan
keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi
kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan
luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan
memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru
Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya
tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan,
malapetaka, atau musibah.
ANASIR ASING
Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat
ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep
pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam
Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam
perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing
yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif
thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para
leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana
mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam
masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi
sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat
macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka),
supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran).
Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai
pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya.
Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi
sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang
aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3.
Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.
Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang
budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena
kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa
pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat
bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini.
JIWA,
RAGA, SUKMA, NYAWA
Sejenak
kita akan membahas (lagi) ilmu tentang jiwa, tetapi mungkin para pembaca yang
budiman masih bertanya tanya apa perbedaan antara jiwa, jasad, dan sukma.
Sebelum saya menjabarkan ketiganya, kiranya perlu saya tampilkan beberapa
cuplikan pemahaman orang lain tentang jiwa sebagai upaya mencari komparasi dan
menambah khasanah ilmu kejiwaan.
KERANCUAN
MEMAKNAI JIWA, SUKMA, NYAWA, PSIKHIS
JIWA,
di dalam Oxford Dictionary tertulis soul (roh), mind dan spirit.
Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Yunani Psychê
yang berarti jiwa dan logos yang berarti nalar, logika atau ilmu. Tubuh
adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat
fana sedangkan jiwa menurut Plato (500 SM) merupakan bagian yang memiliki
substansi tersendiri (terpisah dari jasad) dan bersifat abadi. Plato
berargumen, bahwa jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih
jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena tubuh
menghambat kebebasan jiwa. Bagi seorang murid Plato, yakni Aristoteles (400
SM), semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan tentu
saja manusia. Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan
kembali kedunia Idea di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna)
untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada saatnya.
Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, ia tidak setuju
keduaan ala gurunya. Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu bukan keduaan
melainkan kesatuan. Olehkarenanya jika seseorang mati, maka konsekuensinya
jiwapun turut mati bersama tubuh. Mana yang benar, Plato atau Aristoteles ?
Saya kira kedua-duanya konsep Plato dan Aristoteles tetap mengandung kelemahan-kelemahan.
Bahkan jika ditelaah lebih dalam, banyak ilmuwan kesulitan memetakan letak di
mana jiwa (nafs, hawa, nafas, soul), roh (spirit) dan raga (body). Hal ini
bukan berarti para filsuf pendahulu kita gegabah dalam memaknai tentang jiwa.
Dapat dimaklumi sebab mempelajari tentang seluk beluk kejiwaan kita, musti
menggunakan jiwa kita sendiri. Golek latu adadamar, atau
mencari bara api dengan menggunakan obor sebagai penerang jalan. Sangatlah bisa
dimaklumi sebab pembahasan jiwa sudah bersinggungan dengan ranah gaib yang tak
tampak oleh mata wadag. Hanya saja, untuk melengkapi pembahasan terdahulu dalam
posting MENGENALI JATI DIRI kiranya perlu dilakukan
komparasi terhadap khasanah ilmu jiwa yang telah disampaikan oleh para
pendahulu kita agar jiwa kita menjadi jiwa yang betul-betul merdeka. Merdeka
lahir dan merdeka batin.
JIWA
MENURUT KI AGENG SURYO MENTARAM
Sejenak
para pembaca yang budiman saya ajak mampir ke padepokan seorang filsuf Jawa dan
kondang sebagai seorang yang linuwih dan sakti mandraguna. Beliau adalah Ki
Ageng Suryo Mentaram (kebetulan dulu tinggalnya di belakang rumah kami). Ki
Ageng Suryo Mentaram membahas ilmu jiwa yang dikemukakan seorang filsuf Jawa
sekaligus penghayat kejawen yang pada waktu hidupnya beliau terkenal
sebagai seseorang yang memiliki ilmu linuwih dan sakti mandraguna.Baca
selanjutnya !
Ilmu
jiwa sebagaimana diungkapkan Ki Ageng Suryo Mentaram dikenal dengan dua macam
jiwa. Yakni jiwa KRAMADANGSA, dan jiwa BUKAN KRAMADANGSA. Apa
yang disinyalir sebagai jiwa kramadangsa adalah jiwa yang tidak abadi
disebut pula sebagai rasa “Aku Kramadangsa”. Aku kramadangsa
termasuk di dalamnya adalah “rasa nama” atau ke-aku-an, misalnya aku
bernama Siti Ba’ilah. Aku adalah seorang musafir, aku seorang satrio piningit,
aku adalah seorang kaya raya. Ki Ageng Suryo Mentaram mensinyalir adanya “rasa
jiwa” yang bersifat abadi. Dimaknai sebagai Aku bukan kramadangsa.
Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, rasa aku kramadangsa adalah ke-aku-an
(naari atau “unsur api”) yakni aku yang masih terlena, terlelap dalam
berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan kramadangsa. Sebaliknya aku
bukan kramadangsa adalah aku yang telah otonom yang sudah memiliki
KESADARAN memilih mana yang BENAR dan mana yang SALAH sehingga ia dapat dinamai
“Aku kang jumeneng pribadi”.
Menurut
Ki Ageng Suryomentaram alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari
tiga bagian yakni pancaindera, rasa hati dan pengertian. Pertama,
pancaindera, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan
(mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap
(lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena
api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua, rasa hati,
adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa
senang, susah dan lain-lain. Ketiga, adalah pengertian, kegunaan pengertian
dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari
rasa hati. Pengertian di sebut pula sebagai persepsi, yang pada
gilirannya akan menentukan mind-set atau pola pikir. Dengan demikian
alat pengertian ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi
tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang
didapat dari alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis,
kontemplasi, endapan yang didapat dengan cara menyeleksi hal-hal yang
tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja.
Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak diketahui karena di dalamnya
terdapat banyak hal yang masih mysteré sulit terjangkau oleh kemampuan
alat manusia.
JIWA
YANG MERDEKA (KAREPING RAHSA)
Seperti
yang telah saya kemukakan dan jabarkan dalam posting terdahulu tentang MENGENALI JATI DIRI. Jiwa adalah nafas, nafs,
hawa atau nafsu. Jiwa yang telah merdeka barangkali artinya sepadan
dengan apa yang dimaksud jiwa yang mutmainah (an-nafsul mutmainah).
Rasanya sepadan dengan apa yang dimaksud dalam konsep Ki Ageng Suryo Mentaram
sebagai aku bukan kramadangsa. Aku bukan kramadangsa selanjutnya
saya lebih suka menyebutnya sebagai JIWA yang NURUTI KAREPING RAHSA, lebih
mudah dipahami bila saya analogikan sebagai JIWA yang TUNDUK KEPADA SUKMA
SEJATI. Sebaliknya apa yang disebut sebagai jiwa kramadangsa, aku
kramadangsa, tidak lain adalah jiwa yang NURUTI RAHSANING KAREP. Lebih
tegas lagi saya sebut sebagai JIWA yang DITAKLUKKAN OLEH JASAD.
Barangkali
perlu dipahami bahwa jiwa kramadangsa (rasa nama) kesadarannya lebih
dari jiwa yang berhasil diidentifikasi oleh Aristoteles sebagai jiwa yang ikut
mati. Saya kira Aristoteles hanya menangkap jiwa-jiwa sebagaimana jiwa binatang
dan tumbuhan yang ikut mati. Dan Sementara itu jiwa kramadangsa di sini
adalah jiwa dengan kesadaran rendah, yang dimiliki manusia. Jiwa kramadangsa
hanya terdiri dari kumpulan seluruh catatatan di dalam memori jasad manusia
yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah dialaminya. Tidak
seluruh memori itu bersifat abadi karena banyak catatan-catatan in memorial
dapat terlupakan bahkan lenyap bersama jasad yang mati. Berbeda dengan “aku
bukan kramadangsa”, berarti yang dimaksudkan adalah “aku yang dapat
mengatasi kramadangsa” karena itu “aku” adalah aku yang dapat mengatur
dengan baik kramadangsa-ku.
JIWA,
ROH, JASAD
Tulisan
saya di sini mencoba untuk membantu menjabarkan apa sejatinya di antara ke tiga
unsur inti manusia yakni jiwa, roh dan jasad. Tentu kami yang miskin referensi
buku hanya bisa menyampaikan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai data mentah
untuk kemudian saya rangkum kembali dalam bentuk kesimpulan sejauh yang bisa
diketahui. Pengalaman demi pengalaman batin, memang bersifat subyektif, artinya
tak mudah dibuktikann secara obyektif oleh banyak orang, namun saya yakin banyak
di antara para pembaca pernah merasakan, paling tidak dapat meraba apa
sesungguhnya hubungan di antara jiwa, roh, dan jasad. Walaupun jiwa dan roh
berkaitan dengan gaib, namun bukankah entitas gaib itu berada dalam diri kita.
Diri yang terdiri dari unsur gaib dan unsur wadag (fisik), tak ada alasan bagi
siapapun untuk tidak bisa merasakan dan menyaksikan “obyektivitas” kegaiban.
Mencegah diri kita dari unsur dan wahana yang gaib sama saja artinya kita
mengalienasi (mengasingkan) dan membatasi diri kita dari “diri sejati” yang
sungguh dekat dan melekat di dalam badan raga kita.
Sukma-Raga
Hubungan
antara roh/sukma dengan raga bagaikan rangkaian perangkat internet. Sukma
atau roh dapat diumpamakan IP atau internet protocol, yang
mengirimkan fakta-fakta dan data-data “gaib” dalam bentuk “bahasa mesin” yang
akan diterima oleh perangkat keras atau hardware. Adapun hardware
di sini berupa otak (brain) kanan dan otak kiri manusia. Sedangkan tubuh
manusia secara keseluruhan dapat diumpamakan sebagai seperangkat alat
elektronik bernama PC atau personal komputer, note book, laptop dst yang
terdiri dari rangkaian beberapa hardware. Hardware otak tak akan
bisa beroperasional dengan sendirinya menerima fakta dan data gaib yang dikirim
oleh sukma. Hardware otak terlebih dulu harus diisi (instalation)
dengan perangkat lunak atau sofware berupa “program” yang bernama spiritual
mind atau pemikiran tentang ketuhanan, atau pemikiran tentang yang gaib.
Sukma-Jiwa
Namun
demikian, hardware otak tidak akan mampu memahami fakta-fakta gaib tanpa
adanya jembatan penghubung bernama jiwa. Jiwa merupakan jembatan
penghubung antara sukma dengan raga. Aktivitas sukma antara
lain mengirimkan bahasa universal kepada raga. Bahasa universal tersebut
dapat berupa sinyal-sinyal gaib, pralampita, perlambang, simbol-simbol,
dalam hal ini saya umpamakan layaknya bahasa mesin, di mana jiwa harus
menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa verbal agar mudah dimengerti oleh
otak manusia. Tugas jiwa tak ubahnya modem untuk menterjemahkan “bahasa mesin”
atau bahasa universal yang dimiliki oleh sukma menjadi bahasa verbal manusia.
Namun
demikian, masing-masing jiwa memiliki kemampuan berbeda-beda dalam
menterjemahkan bahasa universal atau sinyal yang dikirim oleh sukma kepada
raga, tergantung program atau perangkat lunak (software) jenis apa
yang diinstal di dalamnya. Misalnya kita memiliki program canggih bernama Java
script, yang bisa merubah bahasa mesin ke dalam bentuk huruf latin atau
bahasa verbal, dan bisa dibaca oleh mata wadag.
Jiwa-Raga
Setelah
jiwa berhasil menterjemahkan “bahasa mesin”, atau bahasa universal sukma ke
dalam bahasa verbal, selanjutnya menjadi tugas otak bagian kanan manusia
untuk mengolah dan menilainya melalui spiritual mind atau
pemikiran spiritual. Semakin besar kapasitas random acces memory (RAM)
yang dimiliki otak bagian kanan, seseorang akan lebih mampu memahami “kabar
dari langit” yang dibawa oleh sukma, dan diterjemahkan oleh jiwa. Itulah alasan
perlunya kita meng upgrade kapasitas “RAM” otak bagian kanan kita agar
supaya lebih mudah memahami fakta gaib secara logic. Sebab sejauh yang
bisa saya saksikan, kenyataan gaib itu tak ada yang tidak masuk akal.
Jika dirasakan ada yang tak masuk akal, letak “kesalahan” bukan pada
kenyataan gaibnya, tetapi karena otak kita belum cukup menerima informasi dan
“data-data gaib”. Dimensi gaib memiliki rumus-rumus, dan hukum yang jauh lebih
luas daan rumit daripada rumus-rumus yang ada di dalam dimensi wadag bumi.
Contoh yang paling mudah, misalnya segala sesuatu yang ada di dalam dimensi wadag
bumi, mengalami rumus atau prinsip terjadi kerusakan (mercapadha). Merca
berarti panas atau rusak, padha adalah papan atau tempat. Mercapadha
adalah tempat di mana segala sesuatunya pasti akan mengalami kerusakan. Sementara
itu di dalam dimensi gaib, rumus kerusakan tak berlaku. Sehingga disebutnya
sebagai dimensi keabadian, atau alam kehidupan sejati, alam kelanggengan, papan
kang langgeng tan owah gingsir. Sekalipun organ tubuh manusia,
apabila dibawa ke dalam dimensi kelanggengan, pastilah tak akan rusak atau
busuk sebagaimana pernah saya ungkapkan dalam kisah terdahulu, silahkan para
pembaca yang budiman membuka posting berjudul KUNCI MERUBAH KODRAT.
Sebaliknya, sukma yang hadir ke dalam dimensi bumi, pastilah terkena rumus atau
prinsip mercapadha, yakni mengalami rasa cape, sakit, rasa lapar, ingin
menikmati makanan dan minuman yang ia sukai sewaktu tinggal di dimensi bumi
bersama raga. Hanya saja, sukmanya merupakan unsur gaib, maka tak akan terkena
rumus atau prinsip mengalami kematian sebagaimana raga.
RUMUS-RUMUS
KEHIDUPAN WADAG DAN GAIB
Jiwa
yang terlahir ke dalam jasad manusia merupakan software yang merdeka dan
bebas menentukan pilihan. Apakah akan menjadi jiwa yang mempunyai prinsip
keseimbangan, yakni seimbang berdiri di antara sukma dan raga, menjadi pribadi
yang seimbang lahir dan batinnya. Ataukah akan menjadi jiwa yang berat sebelah,
yakni tunduk kepada sukma, ataukah jiwa yang menghamba kepada raga saja. Untuk
menjadi pribadi yang dapat meraih keseimbangan lahir dan batin, jiwanya
harus memperhatikan dan menghayati apa saran sang sukma (nuruti kareping
rahsa). Tak perlu meragukan kemampuan sang sukma sebab ia tak akan salah
jalan dalam menuntun seseorang menggapai keseimbangan lahir dan batin. Pribadi yang
seimbang lahir dan batinnya akan mudah menggapai kemuliaan hidup di dunia dan
kehidupan sejati setelah raganya ajal. Sementara itu bagi jiwa yang mau
diperbudak oleh raga berarti menjadi pribadi yang hidup dalam penguasaan lymbic
section, atau insting dasar hewani, selalu mengumbar hawa nafsu (nuruti
rahsaning karep). Tentu saja kehidupannya akan jauh dari kemuliaan sejak
hidup di mercapadha maupun kelak dalam kehidupan sejati.
Sebaliknya,
bagi jiwa yang terlalu condong kepada sukma, ia akan menjadi pribadi yang
fatalis, tak ada lagi kemauan, inisiatif, dan semangat menjalani kehidupan di
dimensi wadag planet bumi ini. Seseorang akan terjebak ke dalam pola hidup yang
mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini sangatlah timpang, sebab kehidupan
duniawi ini akan sangat menentukan bagimana kehidupan kita kelak di alam
keabadian. Apakah seseorang akan menggapai kemuliaan bahkan kemuliaan Hidup di
dunia merupakan bekal di akhirat. Sebagaimana para murid Syeh Siti Jenar yang gagal
dalam memahami apa yang diajarkan oleh gurunya. Para murid menyangka
kehidupan di planet bumi ini tak ada gunanya, bagaikan mayat bergentayangan
penuh dosa. Kehidupan dunia bagaikan penghalang dan penjara bagi roh menuju ke
alam keabadian. Jalan satu-satunya melepaskan diri dari penjara kehidupan dunia
ini adalah jalan kematian. Sehingga banyak di antara muridnya melakukan
tindakan keonaran agar supaya menemui kematian.
NYAWA,
KEMATIAN, DAN MERAGA SUKMA
Banyak
orang, melalui berbagai referensi, menganggap nyawa sama dengan jiwa. Bahkan
dipahami secara rancu dengan menyamakannya dengan roh atau sukma. Nyawa, jiwa,
roh, sukma, diartikan sama. Tetapi manakala kita menyaksikan peristiwa meraga
sukma, perjalanan astral, lantas timbul tanda tanya besar. Bukankah saat
terjadi peristiwa kematian, sukma seseorang keluar dari jasadnya ?! Kenapa
orang yang meraga sukma tidak mengalami kematian ?! Sejak lama saya
bertanya-tanya dalam hati saya sendiri. Apa gerangan yang terjadi dan bagimana
duduk persoalannya. Bagaimanakah sebenarnya rumus-rumus tuhan yang berlaku di
dalamnya ?
Butuh
waktu puluhan tahun hingga saya menemukan jawaban logis, paling tidak nalar
saya bisa menerimanya. Nyawa ibarat “lem perekat” yang menghubungkan
antara sukma dengan raga manusia. Pada peristiwa kematian seseorang, nyawa sebagai
lem perekat tidak lagi berfungsi alias lenyap. Jika lem perekatnya
sudah tak berfungsi lagi maka lepaslah sukma dari jasad. Lain halnya
dengan meraga sukma, lem perekat masih berfungsi dengan baik, sehingga
kemanapun sukma berkelana, jasadnya yang ditinggalkan tidak akan mati. Hanya
saja lem perekat bernama nyawa ini sistem bekerjanya berbeda dengan lem
perekat pada umunya yang benar-benar menyambung merekatkan antara dua benda
padat. Nyawa merekatkan antara jasad dan sukma secara fleksibel, bagaikan
dua peralatan yang dihubungkan oleh teknologi nir kabel. Namun demikian
nyawa tentu saja jauh lebih canggih ketimbang teknologi bluetooth yang
bisa menghubungkan dua peralatan dalam jarak dekat maupun jauh. Dalam khasanah
spiritual Jawa, para leluhur di zaman dulu menemukan adanya keterkaitan
masing-masing unsur gaib dan wadag manusia. Raga supaya hidup harus dihidupkan
oleh sukma, sukma diikat oleh rasa. Ikatan rasa akan pudar dan
lama-kelamaan akan habis apabila rasa tidak kuat lagi menahan penderitaan dan
trauma yang dialami oleh raga. Bila seseorang tak kuat lagi menahan rasa sakit,
kesadaran jasadnya akan hilang atau mengalami pingsan, dan bahkan kesadaran
jasadnya akan sirna samasekali alias mengalami kematian. Di sini peristiwa
kematian adalah padamnya “alat nirkabel” atau semacam “bluetooth”
bikinan tuhan sehingga terputuslah hubungan antara jasad dan sukma. Lain halnya
dengan aksi meraga sukma, sejauh manapun sukma berkelana ia tetap
terhubung dengan raga melalui “teknologi” bluetooth bikinan tuhan
bernama nyawa.
TINGKAT 1 (Neng; sembah raga)
Jumeneng;
menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi
luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi
sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada
hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang
baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama
tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan
manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun
sikap eling dan waspadha. Neng adalah tingkat dasar,
barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air,
mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan,
tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang
dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui
pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH
diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya
puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih
diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara
misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih,
kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati
leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs
sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan
menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara
ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini
dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN
kita secara benar dan tepat.
Kehidupan
sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi,
artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan.
Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat
dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan). Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya
perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak
mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan
santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.
Titik Lemah
Pada
tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun
belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum
tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang
masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin
diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan
suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat
yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila
tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi
bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat
diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya
masih nihil. Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada
tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an
(api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan
harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir.
Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri
paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !
TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening atau hening;
ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini
sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai “kakangne mbarep adine wuragil” (lihat dalam posting; Saloka Jati). Waspadha terhadap apa saja yang
dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni
penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan
sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlas dan tulus,
hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari
semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin
maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan,
serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil
(diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai
melalui empat macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa
geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni
ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa
banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis
suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap
reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah terheran-heran (ora gumunan).
4. Tapa
mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri.
Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar
bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku,
ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga
berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri.
Dengan demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya.
Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di
atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar
mudah terhapus dari ingatan.
Titik Lemah
Jangan
lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab
pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan
yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di
sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha.
Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa
lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan
segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus
dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih
menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara
pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia.
Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai
sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam
tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan
dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu.
TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran Kesinungan
dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan.
Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan
serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik
menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang
baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus
dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa
terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pencapaian tataran ini sama halnya laku
hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar,
tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran),
yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini
ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan
kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap
ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh
sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan
tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak
munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang
rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh
karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata
bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau
jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau
cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada
batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak
dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok,
pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh
semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.
NAH,
orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di
mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan,
“buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda
terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari
pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari
“pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda. Singkat kata, pencapaian Nung,
ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam
segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai
orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam
terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.
Untuk
meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri
secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang
harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad
dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ;
retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi
rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.
Titik Lemah
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat
menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan
seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang
yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena.
Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya
adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang
tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.
Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda
terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu
negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci)
mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru
Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas
kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi
kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat,
menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan.
Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan.
Salam sejati
No comments:
Post a Comment