DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15, menjadikan Islam
sebagai agamanya secara aman dan damai. Diawali dengan sebab adanya
pernikahan kedua Sang Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki
Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon. Subang Larang adalah santri Syekh Kuro
atau Syekh Hasanuddin dengan pesantrennya di Karawang. Dinasti Sang
Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang Larang, terlahirlah
tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran Walangsungsang, kedua, Nyai
Lara Santang dan ketiga Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.
Pesantren Syekh Kuro
Syekh Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh Hasanuddin, memegang
peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang
Prabu Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Kuro,
menjadikan putrinya, Subang Larang masantren di Pesantren Syekh Kuro.
Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai Syahbandar di Cirebon.
Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa
dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.
Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya
Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan
bahwa Ki Gedeng Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya
sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan
mengangkat menantunya, Raden Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan
Pajajaran dengan gelar Sang Prabu Siliwangi.
Adapun istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi Ambet Kasih
putri kandung Ki Gedeng Sindangkasih. Istri kedua, Subang Larang putri
Ki Gedeng Tapa. Isteri ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Dari peristiwa pergantian kedudukan di atas ini, antara Ki Gedeng
Tapa dan Sang Prabu Siliwangi memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya
memperoleh kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat.
Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang
Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedeng Tapa yakni Subang Larang.
Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah menantu Ki Gedeng Tapa.
Pernikahan di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar terhadap
kekuasaan politik yang sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi.
Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa
kerja sama ekonomi dengan Syahbandar Cirebon, Ki Gedeng Tapa. Begitu
pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin aman kekuasaannya sebagai
Syahbandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi.
Guna memperkuat power of relation antar keduanya, maka diikat dengan
tali pernikahan.
Pengaruh eksternal
Pengaruh islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat
dilepaskan hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur
Tengah, Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada
digantikan oleh kekuasaan Mamluk di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun
pada kelanjutan Dinasti Khu Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam.
Kemudian membangun kekaisaran Mongol Islam di India.
Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timur Tengah di bawah Turki
semakin berjaya. Konstantinopel dapat dikuasainya (1453). Di Cina
Dinasti Ming (1363-1644) memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk
duduk dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng Ho
ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah ke-36 negara.
Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan
muslim 27.000 dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy, dalam
Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon Laksmana Cheng Ho
membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.
Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau
penjajahan. Bahkan memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan
oleh wilayah yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya.
Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki
Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon.
Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh
Islam seperti di atas, berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu
Siliwangi. Terutama sekali pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai
Syahbandar di Cirebon.
Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan
Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina
Islam. Pembangunan mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya
rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam.
Dapat dilihat dari putrinya Subang Larang, sebelum dinikahkan dengan
Sang Prabu Siliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh Kuro. Di
bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal yang demikian ini, putra
putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru
ke Syekh Datuk Kahfi dan Naik Haji.
Gunung dan guru
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya menuturkan, setiap
dalam upaya pencarian guru pasti tempat tinggalnya ada di Gunung.
Tampaknya sudah menjadi rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu
berada di Gunung. Dapat kita baca Rasulullah saw juga menerima wahyu Al
Quran dan diangkat sebagai Rasul di Jabal Nur. Jauh sebelumnya, Nabi
Adam as dijumpakan kembali dengan Siti Hawa ra, di Jabal Rahmah.
Tempat pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda di Jabal Hud.
Pengangkatan Musa as sebagai Nabi di Jabal Tursina. Demikian pula Wali
Sanga selalu terkait aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung.
Tidak berbeda dengan kisah islamisasi putra putri Prabu Siliwangi erat
hubungannya dengan guru-guru yang berada di gunung.
Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di
istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran
Walangsungsang untuk berguru ke Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan
Jati. Di sini Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.
Walaupun demikian Pangeran Walangsungsang harus pula berguru kedua
guru Sanghyang Naga di Gunung Ciangkap dan Nagagini di Gunung Cangak. Di
sini Pangeran Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung
Cangak ini pula berhasil mengalahkan Raja Bango. Pangeran Walangsungsang
diberi gelar baru lagi Raden Kuncung. Dari data yang demikian,
penambahan atau pergantian nama memiliki pengertian sebagai ijazah lulus
dan wisuda dari studi di suatu perguruan.
Dengan cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji ke Syekh Datuk
Kahfi Cirebon. Dalam Naskah Babad Cirebon dikisahkan Lara Santang
sebelum sampai ke Cirebon, berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati
di Gunung Tangkuban Perahu. Kemudian menyusul berguru ke Ajar Cilawung
di Gunung Cilawung. Di sini setelah lulus diberi nama Nyai Eling.
Naik haji
Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran Walangsungsang dan Lara
Santang Naik Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara
Santang dipersunting oleh Maolana Sultan Mahmud disebut pula Syarif
Abdullah dari Mesir. Lara Santang setelah haji dikenal dengan nama
Syarif Mudaim. Dari pernikahannya dengan Syarif Abdullah, lahir
putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Mualid 1448 dikenal pula setelah
wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua adalah Syarif
Nurullah.
Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman.
Karena sebagai Kuwu di Pakungwati, dikenal dengan nama Cakrabuana.
Prestasi Cakrabuana yang demikian menarik perhatian Sang Prabu
Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu Siliwangi yang
demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang atau Cakrabuana, yakni
Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama menjadi
Haji Mansur.
Untuk lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang Prabu Siliwangi,
dapat dibaca pada Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara
Fiksi dan Fakta.
Silsilah Prabu Siliwangi
Kembali ke masalah pokok artikel saya di atas ini. Suatu artikel yang
saya angkat dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah
Prabu Siliwangi merupakan belukar yang sukar saya pahami. Dari karya Dr.
H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian sangat menarik, Carita Purwaka Caruban
Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cerbon 1720. Diangkat dari
terjemahannya karya Pangeran Sulendraningrat (1972), dan Drs. Atja
(1986).
Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari
Prabu Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau
Kraton Galuh. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa.
Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki Gedengkasih. Istri
kedua, Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih
Putri dari Ki Dampu Awang.
Selain itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu Siliwangi sebagai ke
turunan ke-12 dari Maharaja Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah
ke atas, Prabu Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu Anggalarang,
(10) Prabu Mundingkati (9) Prabu Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu
Susuk tunggal (6) Prabu Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu
Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu Ciungwanara (1) Maharaja
Adimulia. Sudah menjadi tradisi penulisan silsilah, hanya menuliskan
urutan nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi pada zaman
pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama tersebut. Kadang-kadang juga
disebut makamnya di mana.
Pengenalan Islam
Adapun Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah dari garis
ibu, Subang Larang. Dapat dipastikan dari Subang Larang ajaran Islam
mulai dikenal oleh putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri
Ki Gedeng Taparaja Singapora bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Namun
Subang Larang adalah murid dari Syekh Hasanuddin atau dikenal pula
sebagai Syekh Kuro.
Adapun putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua, putri Nyai Larang
Santang. Ketiga, Raja Sangara. Tidak mungkin Subang Larang dengan bebas
membelajarkan ajaran Islam secara terbuka dalam lingkungan istana. Oleh
karena itu, Walangsungsang, mempelopori meninggalkan istana dan berguru
kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk
Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.
Dalam pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan ditandai
pergantian nama menjadi Ki Somadullah. Kemudian membuka pedukuhan baru,
Kebon Pesisir. Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri Ki
Gedeng Alang Alang. Dari sini memperoleh gelar baru Ki Wirabumi.**
MENGENAL DIRI DI HADAPAN TUHAN NYA : Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar, Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro, Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo. . .
Labels
KITAB
(58)
KITAB ISTIQAL
(30)
RAHASIA MAKRIFATULLAH
(26)
SYEH SITI JENAR
(22)
HAKEKAT
(17)
Al muntahi
(15)
Kitab Ta'limul Muta'alim
(15)
MISYAKAATUL ANWAR IMAM AL GHAZALI
(14)
GURU MURSYID
(12)
ULAMA BESAR INDONESIA
(12)
WALI SONGO
(11)
KITAB FUTUHAT AN-NAJHAH
(10)
MENGENAL BID'AH
(10)
PRO DAN KONTRA Yesus Bukan Tuhan
(10)
Di Manakah Allah??
(9)
Futuhat Al Makiyyah
(9)
Ibnu Araby Dalam Kitab Khatamul Auliya'
(9)
MAQAM MUSYAHADAH
(9)
Membongkar Kedok Sufi
(9)
kitab akhir zaman
(9)
Asas Tareqat
(7)
PERANG SALIB
(7)
Kitab Durun Nafis
(6)
DOWNLOAD
(5)
KITAB NASHOIHUL IBAD
(5)
KITAB RAHASIA APPONA KALI BARRU
(5)
Mukjizat Al-Qur'an
(5)
TAUHID MUFADDHAL
(5)
ADAB AS SULUK
(4)
RAHASIA
(4)
Mafahim Yajibu An Tushohhah
(3)
Asia
(1)
Government
(1)
Indonesia
(1)
Islam
(1)
Kali
(1)
Kata
(1)
Tasikmalaya
(1)
Wali
(1)
No comments:
Post a Comment