Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu
‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Para pengunjung Rumaysho.com yang semoga senantiasa mendapat
penjagaan Allah Ta’ala. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan
kembali pembuktian mengenai aqidah Allah berada di atas langit, di atas seluruh
makhluk-Nya. Yang kita utarakan nanti adalah perkataan empat imam madzhab
mengenai ideologi tersebut. Kita dapat saksikan bahwa empat imam madzhab
sepakat dalam hal ini dan orang-orang semacam abusalafy yang menganut aqidah
Jahmiyah yang melenceng jauh dari aqidah mereka-mereka ini. Semoga Allah
senantiasa memberi taufik.
Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah
Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul
Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد
كفر
“Barangsiapa yang mengingkari
keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin
Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-[3], beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي
في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى
وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري
العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب
الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah
mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah
Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang
tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang
tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas
‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit
ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut
mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]
Imam Malik bin Anas[6], Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas
Langit
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal
ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari
Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin
Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا
يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit.
Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari
ilmu-Nya.”[7]
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At
Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد
الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من
مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول
والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون
ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam
Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap
tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu
(artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat
beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar,
lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ
وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ
وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin
digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat
istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah
bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut
diperintah untuk keluar.[9]
Inilah perkataan yang shahih dari
Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan.
Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.
Imam Asy Syafi’i[10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum
muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit
Syaikhul Islam berkata bahwa telah
mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau
berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al
Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah
memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau
berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت
اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما
الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله
على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا
كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku
dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh
Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad
adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu
Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala
turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]
Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di
atas ‘Arsy-Nya
Adz Dzahabiy rahimahullah
mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas
seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar
menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad
mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana
telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya
sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw
(ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[13]
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و
ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء
شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات
والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana
saja kamu berada.”[14]
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ
إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara
tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[15]
Yang dimaksud dengan kebersamaan
tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu
Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita
tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi
dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi
langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al
Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله
عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم
على العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas
‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di
setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa
Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad
bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb
kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di
atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”[17]
Tidak Perlu Disangsikan
Lagi
Itulah perkataan empat Imam Madzhab
yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit,
di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu
kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah
ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?
Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan
oleh Ishaq bin Rohuwyah.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي
حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال
إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق
العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan,
telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada
kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada
kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah
berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[18]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah
berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis
bumi yang ketujuh.[19]
Adz Dzahabi rahimahullah ketika
membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan,
اسمع
ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة
المذكور
“Dengarkanlah perkataan Imam yang
satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama)
mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di
masanya.”[20]
Sanggahan: Abu Salafy Cuma
Asal Nuduh
Kami sedikit mencuplik ucapan beliau
dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama
Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan
Imam Malik di atas.
Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan
Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al
Muttaqîn,2/82:
كيف
غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان من صفات الحوادث فإثباته في صفات
الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم بنفيه عن الله تعالى ، قوله : والاستواء
غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة ، والإيمان به على الوجه اللائق به
تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله وبكتبه ، والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث لأن
الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب وضع اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما
جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان
سؤاله سببا لاشتباهه على الناس وزيغهم عن المراد.
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia
termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan
menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum
akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-.
Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa
apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib
hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan
“bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah
muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak
sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk
menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa
mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan
membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan
tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan
penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”
Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik
berkata:
الرحمن
على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’
sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan
bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82,
Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)
Pernyataan di atas benar-benar
tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
Penulis berkata, “Perkataan Imam
Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar.
Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui,
sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena
memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy
sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu
Libban. Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan.
Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata:
Itulah yang benar-benar terjadi!
Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa
Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh
delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka
beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk
binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang
menggambarkan Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat
makhluk-Nya..
Penulis menjawab, “Siapa yang
katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?”
Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh
delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka
beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk
binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan
demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang
mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau
bawakan.”
Semoga beliau bisa membedakan
menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba
renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami
bawakan di postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita
mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama
dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita
mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki
tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana
hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat
Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita)’;
seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala
berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro:
11)[21]
Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti
kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh
berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat
kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter
busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang
menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh-jauh hari, Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan,
فالمعتزلة والجهمية ونحوهم من نفاة
الصفات يجعلون كل من أثبتها مجسما مشبها ومن هؤلاء من يعد من المجسمة والمشبهة من
الأئمة المشهورين كمالك والشافعي وأحمد وأصحابهم كما ذكر ذلك أبو حاتم صاحب كتاب
الزينة وغيره
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya
yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat
bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka
menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy
Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau
musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini
disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”[22]
Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup
tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani,
penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam
menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As
Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang
dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan
mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya.
Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat
tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih
(menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan
makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur
dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan
bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[23]
Semoga tulisan kali ini bias sebagai
renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial selanjutnya. Kami
akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah pemahaman
Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa tempat”. Semoga
Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
[1] Imam Abu Hanifah hidup pada tahun 80-150 H.
[2] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu
Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama,
1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.
[3] Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan
pelajaran cukup berharga dalam Mukhtashor Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di
sini menandakan bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah, dan
ini berbeda dengan berbagai anggapan yang telah masyhur di kalangan Hanafiyah.
(Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 136)
[4] QS. Thaha: 5.
[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar,
Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.
[6] Imam Malik hidup pada tahun 93-179 H.
[7] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar,
hal. 138.
[8] QS. Thaha: 5.
[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar,
hal. 378.
[10] Imam Asy Syafi’I hidup pada tahun 150-204 H.
[11] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal.
123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165
[12] Imam Ahmad bin Hambal hidup pada tahun
164-241 H.
[13] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176.
Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.
[14] QS. Al Hadiid: 4
[15] QS. Al Mujadilah: 7
[16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
[17] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
[18] QS. Thaha: 5.
[19] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.
179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
[20] Idem
[21] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.
[22] Minhajus Sunnah Nabawiyah fii Naqdi Kalamisy
Syi’ah wal Qodariyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 2/44, Muassasah
Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
[23] Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama besar dan salah satu dari empat imam besar, yang ilmunya telah tersebar di penjuru dunia, serta jutaan kaum muslimin di negara-negara Islam, seperti Iraq, Hijaz, Negeri Syam, Mesir, Yaman dan Indonesia bermadzhab dengan madzhabnya.
Faktor yang menyebabkan saya memilih pembahasan ini, karena mayoritas kaum muslimin di negeri ini atau di negara ini berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan hanya sedikit dari mereka yang berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah ushul. Ironisnya ini menjadi fenomena.
Kita mendapati sejumlah orang mengaku bermadzhab Imam Malik dalam masalah furu’, namun tidak memahami dari madzhab beliau kecuali tidak bersedekap dalam shalat. Mereka menyelisihi aqidah Imam Malik yang Sunni dan Salafi.
Juga kita mendapati selain mereka mengaku berada di atas madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan tidak memahami dari madzhabnya kecuali masalah menyentuh wanita membatalkan wudhu. Dan, seandainya isterinya menyentuh walaupun tidak sengaja, maka ia sangat marah sembari berteriak : “Sungguh kamu telah membatalkan wudhu’ ku, wahai perempuan !”. Apabila ditanya, tentang siapakah Imam Asy-Syafi’i tersebut, siapa namanya dan nama bapaknya, niscaya sebagian mereka tidak dapat memberikan jawaban kepadamu, dan ia tidak mengenal tokoh tersebut ; dalam masalah aqidah, ia menyelisihi aqidah Imam Asy-Syafi’i, dan dalam masalah furu’ ia tidak mengerti dari madzhab beliau kecuali sangat sedikit.
Demikian juga, jika engkau mendatangi banyak dari pengikut madzhab Hanabilah kecuali yang tinggal di menetyap di Jazirah Arab dan sekitarnya dari orang yang terpengaruh oleh dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, seorang mujaddid (pembaharu) abad ke -12 Hijriyah. Kita mendapati, kebanyakan dari pengikut madzhab Ahmad di negeri Syam dan yang lainnya, mereka tidak mengetahui Aqidah Ahmad bin Hambal, sehingga engkau mendapati mereka dalam aqidahnya berada di atas madzhab Asy’ariyah atau Mufawwidhah. Padahal Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang Salafi dan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau menetapkan nama dan sifat bagi Allah tanpa takyif, tamtsil dn tasybih.
Demikian juga pengikut madzhab Hanafiyah yang tinggal di wilayah India, negara-negara a’jam, Turki, Asia Timur, dan negara-negara Kaukasus serta lainnya. Kita mendapati mereka berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah furu’, namun mereka tidak berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah ushul. Mereka tidak beragama dengan aqidah imam besar ini dalam permasalahan tauhid, nama dan sifat Allah.
Empat Imam besar ini (aimmat al-arba’ah) tidak berbeda dalam masalah aqidah, tauhid dan ushul kecuali sedikit yang Abu Hanifah tergelincir padanya. Yaitu dalam masalah iman, tetapi kemudian beliau rujuk dan kembali kepada ajaran yang difahami para imam lainnya, seperti Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal
[Diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Al-Nashr, dalam pengantar pelajaran Aqidah Imam Syafi’i, yang disampaikan dalam “Daurah Syar’iyah Lil Masa’il Al-Aqdiyah wal Manhajiyah”, pada hari Kamis 7 Februari 2008M yang diadakan oleh Ma’had Aaliy Ali bin Abi Thalib bekerja sama dengan Markaz Al-Albani, Yordania]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
KESAMAAN AQIDAH IMAM EMPAT
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah Al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.[1]
Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits bin Sa’ad, Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.[2]
Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama Salaf seperti Imam Malik, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, Imam Ibnu Al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam Al-Fudhal bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman Ad-Darani, Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. [3]
Aqidah inilah yang dipilih oleh Al-Allamah Shidiq Hasan Khan, dimana beliau berkata : “ Madzhab kami adalaha mazhab ulama Salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[4]
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
__________
Footnotes
[1]. Kitab Al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad
[2]. Manhaj As-Sunah, II/106
[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256
[4]. Qathf Ats-tsamar, hal. 47-48
~ ~
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama besar dan salah satu dari empat imam besar, yang ilmunya telah tersebar di penjuru dunia, serta jutaan kaum muslimin di negara-negara Islam, seperti Iraq, Hijaz, Negeri Syam, Mesir, Yaman dan Indonesia bermadzhab dengan madzhabnya.
Faktor yang menyebabkan saya memilih pembahasan ini, karena mayoritas kaum muslimin di negeri ini atau di negara ini berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan hanya sedikit dari mereka yang berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah ushul. Ironisnya ini menjadi fenomena.
Kita mendapati sejumlah orang mengaku bermadzhab Imam Malik dalam masalah furu’, namun tidak memahami dari madzhab beliau kecuali tidak bersedekap dalam shalat. Mereka menyelisihi aqidah Imam Malik yang Sunni dan Salafi.
Juga kita mendapati selain mereka mengaku berada di atas madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan tidak memahami dari madzhabnya kecuali masalah menyentuh wanita membatalkan wudhu. Dan, seandainya isterinya menyentuh walaupun tidak sengaja, maka ia sangat marah sembari berteriak : “Sungguh kamu telah membatalkan wudhu’ ku, wahai perempuan !”. Apabila ditanya, tentang siapakah Imam Asy-Syafi’i tersebut, siapa namanya dan nama bapaknya, niscaya sebagian mereka tidak dapat memberikan jawaban kepadamu, dan ia tidak mengenal tokoh tersebut ; dalam masalah aqidah, ia menyelisihi aqidah Imam Asy-Syafi’i, dan dalam masalah furu’ ia tidak mengerti dari madzhab beliau kecuali sangat sedikit.
Demikian juga, jika engkau mendatangi banyak dari pengikut madzhab Hanabilah kecuali yang tinggal di menetyap di Jazirah Arab dan sekitarnya dari orang yang terpengaruh oleh dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, seorang mujaddid (pembaharu) abad ke -12 Hijriyah. Kita mendapati, kebanyakan dari pengikut madzhab Ahmad di negeri Syam dan yang lainnya, mereka tidak mengetahui Aqidah Ahmad bin Hambal, sehingga engkau mendapati mereka dalam aqidahnya berada di atas madzhab Asy’ariyah atau Mufawwidhah. Padahal Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang Salafi dan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau menetapkan nama dan sifat bagi Allah tanpa takyif, tamtsil dn tasybih.
Demikian juga pengikut madzhab Hanafiyah yang tinggal di wilayah India, negara-negara a’jam, Turki, Asia Timur, dan negara-negara Kaukasus serta lainnya. Kita mendapati mereka berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah furu’, namun mereka tidak berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah ushul. Mereka tidak beragama dengan aqidah imam besar ini dalam permasalahan tauhid, nama dan sifat Allah.
Empat Imam besar ini (aimmat al-arba’ah) tidak berbeda dalam masalah aqidah, tauhid dan ushul kecuali sedikit yang Abu Hanifah tergelincir padanya. Yaitu dalam masalah iman, tetapi kemudian beliau rujuk dan kembali kepada ajaran yang difahami para imam lainnya, seperti Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal
[Diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Al-Nashr, dalam pengantar pelajaran Aqidah Imam Syafi’i, yang disampaikan dalam “Daurah Syar’iyah Lil Masa’il Al-Aqdiyah wal Manhajiyah”, pada hari Kamis 7 Februari 2008M yang diadakan oleh Ma’had Aaliy Ali bin Abi Thalib bekerja sama dengan Markaz Al-Albani, Yordania]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
KESAMAAN AQIDAH IMAM EMPAT
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah Al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.[1]
Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits bin Sa’ad, Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.[2]
Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama Salaf seperti Imam Malik, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, Imam Ibnu Al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam Al-Fudhal bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman Ad-Darani, Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. [3]
Aqidah inilah yang dipilih oleh Al-Allamah Shidiq Hasan Khan, dimana beliau berkata : “ Madzhab kami adalaha mazhab ulama Salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[4]
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
__________
Footnotes
[1]. Kitab Al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad
[2]. Manhaj As-Sunah, II/106
[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256
[4]. Qathf Ats-tsamar, hal. 47-48
SEJARAH HIDUP IMAM 4 MADZHAB
Benih madzhab sudah muncul sejak
masa sahabat. Sehingga dikenal ada madzhab Aisyah, madzhab Abdullah bin Umar,
madzhab Abdullah bin Masud.
Di masa tabiin juga terkenal tujuh
ahli fiqh dari kota Madinah; Said bin Musayyib, Urwah bin Zubair, Qasim bin
Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Abdullah
bin Utbah bin Masud, Sulaiman bin Yasar, Ubaid bin Abdillah, Nafi' Maula
Abdullah bin Umar.
Dari penduduk
Kufah; Alqamah bin Masud, Ibrahim An Nakha'i, guru Hammad bin Abi
Sulaiman, guru Abu Hanifah. Dari penduduk Basrah; Hasan Al Basri.
Dan kalangan tabiin ada ahli fiqh
yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibnu
Abbas dan Atha' bin Abu Rabbah,
Thawus bin Kiisan, Muhammad bin Sirin, Al Aswad bin Yazid, Masruq bin Al A'raj,
Alqamah An Nakha'i, Sya'by, Syuraih, Said bin Jubair, Makhul Ad Dimasyqy,
Abu Idris Al Khaulani.
Di awal abad II
hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupakan fase keemasan bagi itjihad
fiqh, muncul 13 mujtahid yang madzhabnya
dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah Sufyan bin Uyainah dari Mekah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan Al Basri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan Ats Tsury (161 H) di Kufah, Al Auzai (157 H) di Syam, Syafii, Laits bin Sa'd di Mesir, Ishaq bin Rahawaih di Naisabur, Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Adz Dzhahiri dan Ibnu
Jarir At Thabary, keempatnya di Baghdad.
Namun
kebanyakan madzhab di atas hanya tinggal di kitab dan
buku-buku seiring dengan wafatnya para pengikutnya. Sebagian madzhab lainnya
masih tetap terkenal dan bertahan hingga
hari ini. Berikut adalah sekilas tentang madzhab-madzhab tersebut:
1. Abu Hanifah.
Nama aslinya An
Nu'man bin Tsabit (80-150 H); pendiri madzhab Hanafi. Ia berasal
dari Kufah dari keturunan bangsa Persia.
Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau
termasuk pengikut Tabiin (tabi'utabiin), sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi'in. Beliau pernah
bertemu dengan Anas bin Malik (Sahabat) dan meriwayatkan
hadis terkenal,"Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim,"
Imam Abu Hanifah
dikenal sebagai terdepan dalam "ahlu ra'y", ulama yang baik dalam penggunaan logika sebagai dalil. Beliau adalah
ahli fiqh dari penduduk Irak. Di samping sebagai ulama fiqh, Abu Hanifah berprofesi sebagai pedagang kain di Kufah. Tentang kredibelitasnya
sebagai ahli fiqh, Imam Syafi'i mengatakan,"Dalam
fiqh, manusia bergantung kepada Abu
Hanifah,". Imam Abu Hanifah menimba ilmu hadis dan fiqh dari banyak
ulama terkenal. Untuk fiqh, selama 18 tahun
beliau berguru kepada Hammad bin Abu
Sulaiman, murid Ibrahim An Nakha'i. Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadis dan lebih banyak menggunakan Qiyas dan Istihsan. Dasar madzhab
Imam Abu Hanifah adalah; Al Quran, As Sunnah,
Ijma', Qiyas, Istihsan. Dalam ilmu akidah Imam Abu Hanifah memiliki buku berjudul "Kitabul fiqhul
akbar" (fiqh terbesar; akidah).
Beberapa murid Imam Abu Hanifah yang
terkenal:
·
Abu Yusuf Ya'qub bin Ibrahim dari Kufah (113 —182 H). Beliu
menjadi hakim agung di masa Khalifah Harun Al Rasyid. Beliau
juga sebagai mujtahid mutlak (mujtahid yang
menguasai seluruh disiplin ilmu fiqh).
·
Muhammad bin Hasan Asy Syaibani (132
— 189 H). Lahir di Damaskus (Syuriah) dan besar di Kufah dan menimbah ilmu di Baghdad. Pernah menimba ilmu
kepada Abu Hanifah, kemudian Abu Yusuf. Pernah menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Ia juga termasuk
mujtahid mutlak. Ia menulis kitab
"dlahirur riwayah" sebagai pegangan madzhab Abu Hanifah.
·
Abu Hudzail Zufar bin Hudzail bin Qais (110
—158 H) is juga sebagai mujtahid mutlak.
·
Hasan bin Ziyad Al Lu'lu'iy ( w
204 H). Dalam urusan fiqh beliau belum
mencapai Abu Hanifah dan dua muridnya.
2. Malik bin Anas bin Abi Amir Al Ashbahi (93 —179 H)
Beliau adalah
pendiri madzhab Maliki. Beliau adalah Imam penduduk
Madinah dalam urusan fiqh dan hadis setelah
Tabi'in. Beliau dilahirkan di masa Khalifah Al Walid bin Abdul
Malik dan meninggal di masa khalifah Al
Rasyid di Madinah. Beliau tidak pernah melakukan perjalanan keluar dari
Madinah ke wilayah lain. Sebagaimana Abu Hanifah, Imam Malik juga hidup dalam
dua masa pemerintahan Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Di masa dua Imam besar
inilah, kekuasaan pemerintahan Islam meluas
hingga Samudra Pasifik di barat dan
hingga Cina di timur, bahkan ke jantung Eropa dengan dibukanya
Andalusia.
Imam Malik
berguru kepada ulama Madinah. Dalam jangka cukup panjang beliau
mulazamah (berguru langsung) kepada Abdur
Rahman Hurmuz. Beliau juga menimba
ilmu kepada Nafi' maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab Az Zuhri. Guru fiqh beliu
adalah Rabiah bin Abdur Rahman.
Imam Malik
adalah ahli hadis dan fiqh. Ia memiliki kitab "Al Muwattha"' yang
berisi hadis dan fiqh. Imam Syafi'i berkata
tentangnya,"Malik adalah guru besarku, darinya aku menimba ilmu, beliau
adalah hujjah antaraku dan Allah. Tak
seorang pun yang lebih banyak memberi ilmu melebihi Malik. Jika disebut
ulama-ulama, maka Malik seperti bintang yang
bersinar,"
Imam Malik
membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al Quran, As
Sunnah (dengan lima rincian dari masing-masing Al Quran dan As Sunnah;
tekstualitas, pemahaman dlahir, lafadl umum,
mafhum mukhalafah, mafhum
muwafakah, tanbih alal illah),
Ijma', Qiyas, Amal ahlul madinah
(perbuatan penduduk Madinah), perkataan sahabat, Istihsan, Saddudzarai',
muraatul khilaf, Istishab, maslahah
mursalah, syaru man qablana (syariat nabi terdahulu).
Murid Imam Malik tersebar di Mesir,
utara Afrika, dan Andalus. Di antara mereka adalah Abu Abdillah; Abdur Rahman bin Al Qasim (w 191 H) ia dikenal murid paling
mumpuni tentang madzhab Malik dan paling dipercaya. Ia juga yang mentashih
kitab pegangan madzhab ini "Al Mudawwnah". Murid Imam Malik lainnya
adalah Abu Muhammad (125 — 197 H) ia menyebarkan
madzhabnya di Mesir, Asyhab bin Abdul Aziz, Abu Muhammad; Abdullah bin
Abdul Hakam, Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Hakam, Muhammad bin Ibrahim. Murid Imam Malik dari wilayah Maroko; Abul
Hasan; All bin Ziyad, Abu Abdillah, Asad bin
Furat, Yahya bin Yahya, Sahnun; Abdus Salam dll.
3. Muhammad bin Idris Asy Syafi'i (150 —
204 H)
Beliau adalah
pendiri madzhab Syafi'i. Dipanggil Abu Abdullah. Nama aslinya Muhammad bin
Idris. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah
saw. pada kakek beliau Abdu Manaf.
Beliau dilahirkan di Gaza Palestina (Syam) tahun 150 H, tahun wafatnya
Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Setelah ayah Imam Syafi'i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air
nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan
yatim. Sejak kecil Syafi'i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma'i berkata,"Saya mentashih syair-syair
bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris," Imam Syafi'i adalah imam
bahasa Arab.
Di Mekah, Imam
Syafi'i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji
sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah
ketika masih berusia 15 tahun. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan
berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Beliau mengaji kitab Muwattha' kepada
Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi'i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi' dan lain-lain.
Imam Syafi'i kemudian pergi ke Yaman
dan bekerja sebentar di sana. Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Beliau memiliki tukar pikiran yang menjadikan
Khalifah Ar Rasyid.
Imam Syafi'i
bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187
H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi'i menimba
ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi'i menulis madzhab
lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan
menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul
ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Salah satu
karangannya adalah "Ar Risalah" buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab "Al Umm" yang berisi
madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi'i adalah seorang mujtahid mutlak, imam
fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli
Irak dan fiqh ahli Hijaz . Imam Ahmad
berkata tentang Imam Syafi'i, "Beliau adalah orang yang paling faqih
dalam Al Quran dan As Sunnah," "Tidak
seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di `leher' Syafi'i,".
Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa'adah,
"Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, Bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya
sepakat bahwa Syafi'i memiliki sifat
amanah (dipercaya), `adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud,
wara', takwa, dermawan, tingkah lakunya yang
baik, derajatnya yang tinggi. Orang
yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya raja masih kurang
lengkap,"
Dasar
madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Beliau tidak
mengambil perkataan sahabat karena dianggap
sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi'i mengatakan,"Barangsiapa yang melakukan
istihsan maka is telah menciptakan
syariat,". Penduduk Baghdad mengatakan,"Imam
Syafi'i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),"
Kitab "Al Hujjah" yang
merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh
empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal,
Abu Tsaur, Za'farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi'i.
Sementara kitab "Al Umm"
sebagai madzhab yang baru Imam Syafi'i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir;
Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi' Jizii bin
Sulaiman. Imam Syafi'i mengatakan
tentang madzhabnya,"Jika sebuah hadits
shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadits tersebut) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,"
4.
Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 — 241 H)
Beliau adalah
pendiri madzhab Hanbali. Beliau dipanggil Abu Abdillah.
Nama aslinya Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad
Adz Dzhali Asy Syaibani. Dilahirkan di Baghdad dan
tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan
Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan
mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah,
Yaman, Syam.
Beliau berguru
kepada Imam Syafi'i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak
mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai
ratusan. Ia menguasai sebuah hadits
dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di jamannya dengan berguru kepada
Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al Bukhari (104 — 183 H).
Imam Ahmad adalah seorang pakar
hadis dan fiqh. Ibrahim Al Harbi berkata tentangnya,"Saya melihat Ahmad seakan Allah menghimpun baginya ilmu orang-orang terdahulu dan orang belakangan," Imam
Syafi'i berkata ketika melakukan
perjalanan ke Mesir,"Saya keluar
dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih
melebihi Ibnu Hanbal (Imam Ahmad),".
Di masa
hidupnya, di zaman khalifah Al Makmum, Al Mu'tasim da Al Watsiq, Imam Ahmad
merasakan ujian siksaan dan penjara karena mempertahankan kebenaran tentang "Al Quran kalamullah" (firman dan
perkataan Allah), ia dipaksa untuk mengubahnya
bahwa Al Quran adalah makhluk (ciptaan Allah). Namun beliau menghadapinya dengan kesabaran membaja seperti
para nabi. Ibnu Al Madani mengatakan,"Sesungguhnya Allah memuliakan Islam dengan dua orang laki-laki; Abu Bakar
di saat terjadi peristiwa riddah (banyak orang murtad menyusul wafatnya Rasulullah saw.) dan Ibnu Hambal di saat
peristiwa ujian khalqul quran (ciptaan Allah),".
Bisyr Al Hafi mengatakan,"Sesungguhnya Ahmad memiliki maqam para
nabi,"
Dasar madzhab Ahmad adalah Al Quran,
Sunnah, fatwa sahabat, Ijma', Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai'.
Imam Ahmad
tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang
membukukan madzhabnya dari perkataan,
perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang
sebuah kitab hadis "Al Musnad"
yang memuat 40.000 lebih hadis.
Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal
dan hadis dlaif yang derajatnya
meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar.
Di
antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal (w 266 H) anak terbesar Imam
Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal (213 — 290 H). Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang lain
adalah Al Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad
MENGAMBIL PENDAPAT DARI beberapa MADZHAB
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua pendapat-pendapat madzhab fiqih atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum yang khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.
Sebagai contoh, seseorang bertaqlid kepada pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i dalam mengusap sebagian kepala ketika wudlu, kemudian ia bertaqlid juga kepada Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam hal tidak batalnya menyentuh wanita jika tidak bersyahwat. Kemudian ia shalat dengan wudlu tersebut. Bagaimana hukumnya?
Dalam hal ini umumnya para ulama sepakat membolehkan, karena alasan yang tidak mungkin ditolak. Apalagi di zaman sekarang ini.
Alasan Pertama
Tidak adanya nash di dalam Al-Quran atau pun AsSunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi SAW terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin AlKhattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas'ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?
Alasan Kedua
Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi'i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan.
Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
Alasan Ketiga
Alasan ini semakin menguatkan pendapat bahwa talfiq itu boleh dilakukan. Karena yang membolehkannya justru nabi Muhammad SAW sendiri secara langsung. Maka kalau nabi saja membolehkan, lalu mengapa harus ada larangan?
Nabi SAW lewat Aisyah radhiyallahu `anha disebutkan:
مَا
خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ
تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ بِهَا
Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut. (Fathu al-Bari, X, 524)
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi SAW selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.
Itu nabi Muhammad SAW sendiri, sebagai seorang nabi utusan Allah. Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?
Alasan Keempat
Melakukan talfiq adalah hal yang termudah saat ini, ketimbang harus selalu berpedang kepada satu mazhab saja. Mengingat hari ini tidak ada guru atau ustadz yang mengajar fiqih di bawah satu mazhab saja dalam segala sesuatunya.
Kitab-kitab fiqih syafi'i di Indonesia memang banyak beredar, namun dari semua kitab itu, nyaris tidak ada satu pun yang menjawab semua masalah lewat pendapat Asy-Syafi'i saja. Ada begitu banyak masalah yang tidak dibahas di dalam kitab-kitab kuning itu dan tetap butuh jawaban.
Maka para kiayi sepuh yang biasanya selalu merujuk kepada kitab mazhab Syafi'i, terpaksa harus membuka kitab lainnya. Dan saat itu, beliau telah melakukan talfiq.
Bahkan hasil-hasil sidang Lajnah Bahtsul Matsail di kalangan Nandlatul Ulama pun, yang konon sangat syafi'i oriented, tidak lepas dari merujuk kepada kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i.
Silahkan baca buku Solusi Problema Aktual Hukum Islam: Keputusan Mukta-mar, Munas dan Konbes Nandlatul Ulama (1926-1999)
Oleh karena itu maka sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa kita diperintahkan untuk memilih sesuatu yang termudah, maka saat ini yang lebih mudah justru melakukan talfiq.
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
"Sesungguhnya
agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk
menyulitkannya, maka is pasti dikalahkan". (Fathu al-Bari I, 93)
Para Imam Fiqih yang Empat Mendukung Talfiq
`Al-Izz
Ibnu Abdissalam rahimauhullah menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang
awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena
hal tersebut adalah suatu yang disenangi Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan.”
Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar`iyat.[1]
No comments:
Post a Comment