أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Jawaban singkat al-Qur’an atas pertanyaan (lihat QS. Al-Isra’: 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi “rahasia” yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
2. Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22
?????? ???? ???
3. Kitab suci al-Qur’an dalam QS. Al-Shura 52. 6
????? ?????? ???? ???? ?? ?????
3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal. 10
3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. 11
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)
3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman dan seks. 23
* Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a’rad. Ia menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
* Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari. 25
Al Hijr 29
Artinya : “29. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud“.
Dari kata “meniupkan kedalamnya ruh” artinya adalah pada saat janin masih berumur 4 bulan janin tersebut mampu merasakan atau menerima Pancaran Gelombang Hidup dari Sang Ilahi (Cahaya Ilahi). Cara mengartikannya jangan secara harfiah yaitu, Tuhan meniupkan ruh itu seperti manusia meniupkan udara dari mulutnya (Damar Jati Supadjar).
Al Israa’ 85 :
Artinya : “85. Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Jawaban singkat al-Qur’an atas pertanyaan (lihat QS. Al-Isra’: 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi “rahasia” yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Selanjutnya al-Qur’an juga banyak menggunakan kata ruh untuk menyebut hal lain, seperti :
1. Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu’ara’ 193, al-Baqarah 87, al-Ma’arij 4, al-Naba’ 38 dan al-Qadr 4.
(????? ?????? , ??? ????? , (?????? ???????2. Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22
?????? ???? ???
3. Kitab suci al-Qur’an dalam QS. Al-Shura 52. 6
????? ?????? ???? ???? ?? ?????
Tentang bagaimana hubungan ruh itu
sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Ibn Manzur
mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan bahwa bagi orang
Arab, ruh dan nafs merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang
satu dipandang mu’anath dan lainnya mudhakkar.7
Makalah berikut ini berusaha menjelaskan
beberapa pendapat Ulama Islam yang berusaha menjelaskan pengertian,
kedudukan dan hubungan ruh dengan nafs dalam diri manusia, berdasarkan
rentang urutan hidup mereka :
Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)
Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan
jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena
dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang
nyata. Jiwa (ruh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia
adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi
manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa merupakan
kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat
bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam
tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku 8 dengan mediasi
alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh
yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu :
1. Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup
daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini
merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan
mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan
hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi
tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap
berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan. 93. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal. 10
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah),
yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan,
minum, tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi
benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan
bergerak dengan iradat (kehendak).3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. 11
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali
di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa
manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh,
sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai
daya (al-’aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya
teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya
al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah
merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup,
aktif dan bisa mengetahui. 12
Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi
dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang
terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan,
perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh
seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua,
berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala
hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan
jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. 13 Di sini al-Ghazali
mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak
begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam
kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan
suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg
dinamakan manusia.
Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)
Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa
yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang
berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia
beserta seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung
ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang
menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan. 14
Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja
dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan
telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka
perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia
melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua
perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua
anggota tubuh seperti seperangkat alat”. 15
Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs
tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari
materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula
esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.16
Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari
badan ketika kematian datang.
Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga
digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang
ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya
(badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh
yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa
(nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia
disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena
sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga
angin juga disebut ruh. 17
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu :
1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: … Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang … (QS. al-’An’am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, “Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir”.
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya. 18
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: … Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang … (QS. al-’An’am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, “Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir”.
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya. 18
Tentang tempat ruh dan nafs di dalam
tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: “Tidak ada tempat khusus ruh di dalam
jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir
di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika
ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi
jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa”. 19
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa
(nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs
al-ammarah bi al-su’, jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat
dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa,
al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang
bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi
jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang
benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang
berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru,
dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan
dan kebajikan serta membenci kejahatan. 20
Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)
Ibn Qayyim al-Jauziyah
Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa)
adalah substansi yang bersifat nurani ‘alawi khafif hayy mutaharrik
atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut,
hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh
dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu
bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh
yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap
membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan
memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan. 21
Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak
orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs
lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs
mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah.
Mereka berargumen dengan firman Allah:
Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) …
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah(QS. Al-Fajr: 27).
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya
jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan
sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang
tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah,
ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa
yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan
dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima
dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela.
Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan. 22
Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah
yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada
kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah
tentang tiga sifat jiwa ini.
Ibn Qayyim juga
menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang
terpengaruh oleh ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada
masing-masing kelompok tersebut, yaitu:
1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah ‘alawiyah)
dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan
kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi
kehinaan.
2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab’iyyah ghadabiyyah)
dan cintanya tertuju pada pemaksaan, tirani, keangkuhan di bumi,
kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman dan seks. 23
Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini,
dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan
bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya
untuk satu jiwa. 24
FILOSOF LAIN
* Al-Nazzam
berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya.
Ia masuk dan bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi
bencana, mengekang dan mempersempit ruang lingkupnya. Keberadaannya
dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi
pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas dari
badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan
terpaksa.
* Al-Jubba’i
berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan.
Sebab kehidupan adalah a’rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak
bisa ditempati a’rad.* Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a’rad. Ia menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
* Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari. 25
Ilmu merupakan harta abstrak titipan
Allah Subhanahu wata’ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila
terus diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan
ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah
Subhanahu wata’ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap,
beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk,
amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.
Update
Bagaimana Ruh dalam Al Qur’anAl Hijr 29
Artinya : “29. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud“.
Dari kata “meniupkan kedalamnya ruh” artinya adalah pada saat janin masih berumur 4 bulan janin tersebut mampu merasakan atau menerima Pancaran Gelombang Hidup dari Sang Ilahi (Cahaya Ilahi). Cara mengartikannya jangan secara harfiah yaitu, Tuhan meniupkan ruh itu seperti manusia meniupkan udara dari mulutnya (Damar Jati Supadjar).
Al Israa’ 85 :
Artinya : “85. Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Semoga Tulisan ini Bermanfaat dan bisa menambah Ilmu dan Pemahaman Anda. Terimakasih Atas Kunjungannya. Salam Kenal.
No comments:
Post a Comment