أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Pasal 2: Penamaan Musyrik Bagi Pelaku Syirk Walau Sebelum Ada Hujjah
Pasal 3: Orang Berstatus Kafir Setelah Ada Hujjah
Pasal 4: Masaail Dhahirah
Pasal 5: Tidak Ada Udzur dalam Syirk Akbar
Pasal 6: Nukilan Sheikh Amin Asy Syinqithy
Pasal 7: Risalah Makna Thoghut
Pasal 8: Takfir Mu’ayyan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
Orang-orang
yang melakukan syirik akbar sedangkan dia tidak dipaksa lagi
menyengaja maka dia itu musyrik, baik dia mau disebut musyrik ataupun
tidak mau, sama saja baik sebelum hujjah atau sesudahnya, baik di zaman
fatrah maupun bukan masa fatrah, sama saja tujuannya baik atau buruk,
sama saja dia itu ahli ibadah atau ahli fasiq, sama saja dia itu
mengaku islam atau tidak. Dan tidak boleh tawaqquf dari menamakan dia
(orang mu’ayyan itu) sebagai musyrik, karena itu tergolong nama-nama
syar’iyyah dan orang-orang yang tawaqquf dalam hal itu adalah orang
yang jahil akan nama-nama syar’iy.
[13] Rusydu adalah jalan kebenaran, sedangkan Al Ghayy adalah jalan kesesatan
Al Urwah Al Wutsqa
BUHUL TALI YANG SANGAT KOKOH
(KUMPULAN MANHAJ KAMI)
Penyusun: Abu Sulaiman
Muqaddimah
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Segala
puji bagi Allah Tuhan sekalian alam, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul paling mulia, keluarganya dan para
sahabat semuanya. Wa ba’du.
Ini
adalah ringkasan apa yang kami yakini dalam masalah-masalah tauhid
berupa pembedaan antara nama sebelum hujjah dan setelahnya, makna
tegaknya hujjah dan sampainya hujjah dalam masalah dhahirah (yang
nampak), perbedaan antara sampainya hujjah dengan paham akan hujjah,
tidak ada udzur dalam Syirik akbar dengan sebab kejahilan terhadap
hukum, taqlid, takwil dan ijtihad, serta tidak ada perbedaan antara
nau’ dengan mu’ayyan di dalamnya, kemudian di akhir ada pembahasan
syirik dalam hukum dan tasyri’.
Kami
mohon kepada Allah untuk mengikhlaskan niat saya dan meluruskan upaya
saya dan memberikan petunjuk saya, saudara-saudara saya dan semua kaum
muslimin ke jalan yang lurus.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Penutup para nabi dan rasul, keluarganya dan para sahabatnya.
Daftar Isi:
Pasal 1: Hakekat Dienul IslamPasal 2: Penamaan Musyrik Bagi Pelaku Syirk Walau Sebelum Ada Hujjah
Pasal 3: Orang Berstatus Kafir Setelah Ada Hujjah
Pasal 4: Masaail Dhahirah
Pasal 5: Tidak Ada Udzur dalam Syirk Akbar
Pasal 6: Nukilan Sheikh Amin Asy Syinqithy
Pasal 7: Risalah Makna Thoghut
Pasal 8: Takfir Mu’ayyan.
Pasal 1: Hakekat Dienul Islam
“(Tidak
demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 112)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang kokoh…” (Q.S. Luqman [31] : 22)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“…Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus….” (Q.S. Al Baqarah [2] : 256)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka:
“Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang
kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 4)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…” (Q.S. An Nahl [16] : 36)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (Q.S. Ali Imran [3] : 19)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Barangsiapa
mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi” (Q.S. Ali Imran [3] : 85)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Hak
menetapkan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah agama yang
lurus…” (Q.S. Yusuf [12] : 40)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“…Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja…”(Q.S. Yusuf [12] : 76)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al An’am [6] : 121)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Saya
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi akan Laa
ilaaha illallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka
mendirikan shalat dan mereka menunaikan zakat. Terus bila mereka
melakukan hal itu maka mereka telah menjaga darah dan hartanya dari
(tindakan) aku kecuali dengan hak Al Islam.” (Al Bukhari dan Muslim)
Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan dia kufur kepada apa yang
diibadahi selain Allah, maka haramlah darah dan hartanya, sedangkan
perhitungannya atas Allah.” (HR. Muslim)
Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Hari
kiamat tidak akan terjadi sehingga kelompok dari umatku bergabung
dengan orang-orang musyrik, dan hingga jumlah besar dari umatku
beribadah kepada berhala-berhala.” (HR Al Barqany dalam shahihnya)
Dan dalam riwayat dari Abu Dawud : “Hingga kabilah-kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik.”
Rasullullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah jangan jadikan kuburanku sebagai berhala yang di ibadati.”
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata : “Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja
tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
mengikuti beliau dalam apa yang dibawanya, jika seorang hamba tidak
mendatangkan hal ini maka dia bukan muslim. Bila dia bukan kafir
mu’anid maka dia kafir jahil. Status thabaqah (orang-orang macam) ini
adalah mereka itu orang-orang kafir jahil yang tidak mu’anid
(membangkang) dan ketidakmembangkangan mereka itu tidaklah mengeluarkan
mereka dari statusnya sebagai orang-orang kafir.” [Thariqul Hijratain Wa Babus Sa’adatain : 452]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Islam adalah Istislaam
(berserah diri) kepada Allah tidak kepada yang lain-Nya, dia beribadah
kepada Allah tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dia tawakkal hanya
kepada-Nya, mengharap-Nya, dan takut kepada-Nya saja, dia mencintai
Allah dengan kecintaan yang sempurna yang mana dia tidak mencintai
makhluk-mahkluk seperti kecintaan dia kepada Allah… siapa yang menolak
beribadah kepada Allah maka dia bukan muslim, dan siapa yang beribadah
kepada yang lainnya di samping dia beribadah kepada Allah maka dia
bukan muslim.” [Kitab An Nubuwwat : 127]
Dan beliau rahimahullah berkata juga sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah: Dalam Islam itu harus istislaam (berserah diri) kepada Allah saja dan meninggalkan istislaam kepada selain-Nya. Dan ini adalah hakikat ucapan Laa ilaaha illallah. Siapa yang istislaam
kepada Allah dan kepada yang lain, maka dia itu musyrik sedangkan
Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya. Dan siapa yang tidak istislaam kepada Allah maka dia itu mustakbir (orang yang menyombongkan diri) dari ibadah kepada-Nya, sedangkan Dia Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman : “Sesungguhnya orang yang istikbar dari ibadah kepadaku maka mereka akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina” [Al Qaul Al Fashl An Nafis : 160]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah
berkata: “Para ulama telah ijma, salaf maupun khalaf dari kalangan
para sahabat, tabi’in, para imam dan seluruh ahlus sunnah bahwa
seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengan mengosongkan diri dari
Syirik Akbar, bara’ (berlepas diri) darinya dan dari para
pelakunya, membencinya, memusuhinya sesuai kemampuan dan kekuatan, serta
memurnikan amalan-amalan seluruhnya kepada Allah.” [Ad Durar As Saniyyah 11/545]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Islam adalah komitmen (iltizaam) terhadap tauhid, berlepas diri dari syrik, bersaksi akan kerasulan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam dan mendatangkan rukun Islam yang empat.” [Mishbah Adh Dhalam : 328]
Al Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah
berkata : “Dan seluruh tokoh-tokoh Islam menggatakan : “Setiap orang
yang menyakini dengan hatinya dengan keyakinan yang tidak mengandung
keraguan di dalamnya dan dia menyatakan dengan lisannya Laa ilaaha
illallah wa anna Muhammadan Rasulullah dan bahwa semua yang beliau bawa
itu benar serta dia berlepas diri dari setiap dien selain dien Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam maka sesungguhnya dia itu muslim mukmin, tidak ada atas dia selain hal itu.” [Al Fashl 4/35]
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya orang awam yang tidak mengetahui dalil-dalil,
bila dia meyakini keEsaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan risalah
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dia beriman akan
kebangkitan setelah mati, (iman) kepada surga dan neraka, dan (meyakini)
bahwa hal-hal syirik yang dilakukan di Masyaahid
(kuburan-kuburan yang dikeramatkan) itu adalah bathil dan sesat, bila
dia meyakini hal itu dengan keyakinan yang pasti lagi tidak ada
keraguan di dalamnya, maka dia itu muslim meskipun tidak mengutarakan
dengan dalil.” [Ad Durar As Saniyyah 10/409]
Al Imam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah engkau
meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya,
engkau membencinya, engkau mengkafirkan para pelakunya dan engkau
memusuhi mereka.“ [Al Jami’ Al Farid : 308]
Seluruh macam ibadah harus ditujukan kepada Allah saja. Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah
yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Q.S. Al An’am [6] : 162-163)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memvonis kafir orang yang memalingkan salah satu macam ibadah kepada selain-Nya. Dia ta’ala berfirman :
“Dan
barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak
ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya
perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu
tiada bakal beruntung.” (Q.S. Al Mukminun [23] :117)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“…Dan
dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan
kekafiranmu itu sementara waktu; Sesungguhnya kamu termasuk penghuni
neraka”. (Q.S. Az Zumar [39] : 8)
Taat dalam tasyri’
yaitu dalam penghalalan dan pengharaman atau penyandaran wewenang
pembuatan hukum dan undang-undang adalah termasuk ibadah. Maka siapa
memalingkannya kepada selain Allah maka dia musyrik, siapa saja
orangnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (Q.S. At Taubah [9] : 31)
Bentuk
ketuhanan macam apa yang mereka klaim dan bentuk peribadatan macam apa
yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani kepada alim ulama dan para
pendetanya ? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu di dalam hadits hasan dari ‘Adiy ibnu Hatim, ia datang ─saat masih Nashrani─ berkata : “Kami tidak pernah mengibadati mereka”.
Di sini ‘Adiy ibnu Hatim dan orang-orang Nashrani merasa tidak pernah
beribadah kepada alim ulama dan para pendeta, karena mereka tidak
pernah sujud dan shalat kepadanya, dan mereka tidak paham apa yang
dimaksud dengan peribadatan dan pentuhanan alim ulama dan pendeta itu,
maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu seraya berkata : “Bukankah
mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut
menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah
halalkan terus kalian ikut mengharamkannya ?”, maka ‘Adiy berkkata : “Ya, benar”, maka Rasulullah berkata lagi : “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka”. (At Tirmidzi, hadits hasan) Yaitu
: bukankah mereka membuat hukum dan kalian mematuhi atau menyetujui
dan menjadikan hukum mereka sebagai acuan ?, dan ‘Adiy mengiakannya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata : “Dan begitu juga Al Bukhturi berkata : “Sesungguhnya mereka
(orang-orang Nashrani) tidaklah shalat kepada mereka (ulama dan para
rahib), dan seandainya mereka itu memerintahkannya untuk menyembah
mereka tentu mereka tidak bakal mentaatinya, akan tetapi mereka itu
memerintahkannya, terus mereka menjadikan apa yang Allah halalkan
sebagai keharaman dan yang haram mereka jadikan halal, kemudian mereka
itu mentaatinya, sehinggah itulah bentuk rubbubiyah (ketuhanan)
tersebut.” [Majmu Al Fatawa 7/67-68]
Al ‘Alamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah
berkata dalam rangka menjelaskan ayat 121 surat Al An’am : “Ia adalah
fatwa dari langit (samawiyyah) dari Sang Pencipta Jalla wa ‘Ala yang
mana di dalamnya Dia menegaskan bahwa orang yang mengikuti hukum
syaitan yang menyelisihi hukum Ar Rahman adalah orang musyrik terhadap
Allah.”
Dan beliau rahimahullah
berkata juga : “Maka Rabb langit dan bumi langsung menangani fatwa
dengan Dzat-Nya sendiri, kemudian dia menurunkannya berupa Al-Qur’an
yang selalu dibaca dalam surat Al An’am seraya dengannya Dia
memberitahu makhluk-Nya bahwa setiap orang yang mengikuti aturan, hukum
dan undang-undang yang menyelisihi apa yang telah Allah syari’atkan
lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia itu musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan apa yang diikutinya itu sebagai rabb (tuhan).”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“…Keputusan
itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus…” (Q.S. Yusuf [12] : 40)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dalam ayat ini menjelaskan bahwa hukum itu termasuk hak-hak khusus
uluhiyyah dan bahwa hukum itu adalah dien. Maka siapa yang mengikuti
hukum selain Allah maka dia itu telah mengikuti dien selain Islam,
sedangkan siapa yang mencari selain Islam sebagai dien, maka tidak akan
diterima hal itu darinya dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang
yang rugi. Dan siapa yang ridla dengan selain hukum Allah berarti dia
telah rela dengan kekafiran sebagai diennya. Siapa yang memalingkan
hukum (hak membuat hukum) kepada selain Allah maka dia musyrik. Maka
diketahuilah bahwa demokrasi itu adalah Syirik dan para pendukungnya
adalah antara orang-orang musyrik dan para arbab musyarri’un (tuhan-tuhan pembuat hukum).
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Bila amalan-amalanmu seluruhnya untuk Allah maka kamu
adalah muwahhid, dan bila di antara amalan itu ada penyekutuan untuk
makhluk maka kamu adalah musyrik.” [Ad Durar As Saniyyah: 1/160]
Al Imam Su’ud Ibnu ‘Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah
berkata : “Siapa yang memalingkan sebagian dari (ibadah-ibadah) itu
kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli
ibadah atau orang fasiq dan sama saja tujuannya itu baik ataupun
buruk.” [Ad Durar As Saniyyah : 9/270]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya orang yang melakukan Syirik itu telah
meninggalkan tauhid, karena sesungguhnya keduanya (syirik dan tauhid)
itu adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu, sehingga
kapan saja syirik itu ada maka tauhid hilang.” [Syarah Ashli Dien Al Islam dalam Al-Jami Al Farid : 380]
Beliau berkata juga : “Siapa yang memalingkan sebagiannya kepada selain Allah maka dia musyrik.” [Ad Durar As Saniyyah : 2/161, cetakan pertama]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah
berkata: “Sesungguhnya Islam dan Syirik adalah dua hal yang
berseberangan yang tidak bisa bersatu kedua-duanya dan tidak bisa
hilang kedua-duanya.” [Minhaj At Ta’sis : 12]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata: “Sesungguhnya melafalkan syahadat dengan tanpa mengetahui
maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya tidaklah orang mukallaf
itu dengannya menjadi seorang muslim, bahkan justru pelafalan itu
menjadi hujjah atas anak Adam, dan siapa bersaksi akan Laa ilaaha
illallah dan dia beribadah kepada yang lain di samping dia beribadah
kepada Allah maka kesaksiannya itu tidak berarti baginya meskipun dia
shalat, zakat, shaum dan melakukan hal-hal dari amalan Islam.” [Ad Durar 1/522-523]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya orang muslim itu tidak meminta kepada selain
Allah selama-lamanya, karena sesungguhnya orang yang memohon dan
meminta kebutuhannya kepada mayit atau yang gaib sungguh dia itu telah
meninggalkan Islam, sebab syirik itu menafikan Islam, merobohkannya, dan
mengurainya satu ikatan demi satu ikatan, berdasarkan yang telah lalu
bahwa Islam itu adalah penyerahan wajah, hati , lisan dan anggota badan
kepada Allah saja tidak kepada selain-Nya. Orang muslim itu bukanlah
orang yang taqlid kepada nenek moyang dan guru-gurunya yang bodoh serta
berjalan di belakang mereka tanpa ada petunjuk dan bashirah.” [Al Qaul Al Fashl An Nafis : 31]
Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah
berkata : “Siapa yang mengucapkan kalimat ini seraya mengetahui
maknanya lagi mengamalkan tuntutannya berupa penafian Syirik, penetapan
Wahdaniyyah (Keesaan) bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti
akan makna yang dikandungnya dan mengamalkannya maka dia itu muslim
sebenarnya. Bila dia mengamalkan secara dhahir saja tanpa disertai
keyakinan maka dia itu kafir meskipun dia mengucapkannya.” [Taisir Al ‘Aziz Al Hamid : 58]
Beliau
berkata juga : “Sesungguhnya pengucapan kalimat itu tanpa mengetahui
maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya, berupa komitmen terhadap
tauhid, meninggalkan Syirik dan kufur kepada thaghut, maka
sesungguhnya hal itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.” [Taisir Al ‘Aziz Al Hamid,Lihat Al Haqaaiq]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : Dan adapun perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadist shahih : “Dan dia kufur terhadap segala yang diibadati selain Allah”,
ini adalah syarat yang agung yang mana pengucapan Laa ilaaha illallah
tidak sah tanpa keberadaannya. Dan bila ini tidak ada maka orang yang
mengucapkan Laa ilaaha illallah ini tidak terjaga darah dan hartanya,
karena ini adalah makna Laa ilaaha illallah, sehingga pengucapan ini
tidak bermanfaat tanpa menghadirkan makna yang ditunjukan olehnya,
berupa penanggalan syirik dan pelepasan diri darinya dan dari
pelakunya. Bila dia mengingkari peribadatan segala sesuatu yang
diibadati selain Allah, berlepas diri darinya dan dia memusuhi orang
yang melakukan hal itu, maka dia menjadi muslim yang terjaga darah dan
hartanya.” [Ad Durar As Saniyyah : 2/156, cetakan lama]
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata : “Para ulama telah ijma bahwa orang yang memalingkan satu macam dari dua macam doa[1]
kepada selain Allah, maka dia itu musyrik meskipun dia mengucapkan Laa
ilaaha illallah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim.” [Ibthal At Tandid : 76]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, menjadikan
tandingan bagi Rabbnya dan menyamakan antara-Nya dengan yang lainnya
dalam hak khusus-Nya, maka pantas dikatakan atasnya bahwa dia itu
musyrik yang sesat bukan muslim, meskipun dia itu memakmurkan masjid dan
mengumandangkan seruan adzan, karena dia itu tidak komitmen dengannya.
Sedangkan sumbangan harta dan berlomba-lomba atas amalan yang nampak
bila disertai dengan meninggalkan hakikatnya (yaitu tauhid) maka hal
itu tidaklah menunjukan akan Islam.” [Mishbah Adh Dhalam : 17]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Seandainya kita menyebut satu persatu orang-orang yang
telah dikafirkan oleh para ulama padahal mereka itu mengaku Islam dan
para ulama telah menfatwakan kemurtaddan dan vonis bunuh baginya,
tentulah pembicaraan menjadi panjang, akan tetapi di antara kisah yang
terakhir adalah kisah Bani Ubaid, para penguasa Mesir dan jajarannya,
mereka itu mengaku sebagai ahlu bait, mereka shalat jama’ah dan Jum’at,
mereka telah mengangkat para qadhi dan mufti,
namun para ulama ijma terhadap kekafiran mereka, kemurtaddannya dan
(keharusan) memeranginya, serta negeri mereka adalah negeri harbiy, wajib memerangi mereka meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa lagi benci kepada mereka.” [Tarikh Nejed : 346]
Syaikh Abdullatif rahimahullah berkata tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Ya,
siapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah sedang dia itu muhsin
(berbuat kebajikan), maka baginya pahala disisi Rabbnya, dan tidak ada
rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati…”, Ayat ini adalah sebagai bantahan terhadap ‘Ubbaadul Qubuur (para penyembah kuburan)[2]
dan penyembah orang-orang shaleh yang beristiqhatsah kepada selain
Allah lagi menyeru selain-Nya, karena penyerahan wajah kepada Allah dan
ihsan dalam beramal itu telah hilang dari mereka dan tidak mereka dapatkan.” [Minhaj At Ta’sis : 70]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, wahai
saudara-saudaraku pegang teguhlah pokok dien kalian, yang pertama dan
paling akhir, pangkalnya dan kepalanya, yaitu kesaksian atas Laa ilaaha
illallah, kenalilah maknanya, cintailah orang-orang yang
merealisasikannya dan jadikanlah mereka itu sebagai saudara-saudara
kalian meskipun mereka itu jauh. Kafirlah kalian kepada para Thaghut,
musuhilah mereka, bencilah orang yang mencintai mereka atau yang
mendebat dalam membela-bela mereka atau orang yang tidak mau
mengkafirkan mereka atau orang yang berkata : “Tak ada urusan saya dengan mereka.” Sungguh
telah dusta orang ini atas nama Allah dan mengada-adakan, justeru
Allah telah membebani dia untuk (mengomentari negatif) mereka dan
memfardhukan atasnya untuk kufur terhadap mereka dan berlepas diri dari
mereka meskipun mereka itu saudara-saudaranya atau anak-anaknya.” [Hadiyyah Thayyibah dalam Majmu’ah At Tauhid:86]
Pasal 2: Penamaan Musyrik Pada Pelaku Syirk Walau Sebelum Ada Hujjah
I. Dalil-dalil dari Al Qur’an
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Q.S. At Taubah [9] : 113)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menamakan mereka sebagai orang-orang musyrik sebelum tegaknya hujjah
risaliyyah, yang mana ayat ini turun berkenaan dengan ibu Rasulullah
saat beliau hendak memintakan ampunan buatnya. Sedangkan ibu beliau
adalah belum mendengar Al Qur’an dan belum mendengar kerasulan Muhammad
shallallahu alaihi wasallam.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata tentang ayat ini : “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mau memintakan ampun buat ibunya, namun Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarangnya dari hal itu.” [Tafsir Ibnu Katsir : 2/479]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan begitulah bagi banyak kaum musyrikin, sekutu-sekutu mereka menghiasi pembunuhan anak-anak mereka.” (Q.S. Al An’am [6] : 137]
Allah menamakan mereka sebagai kaum musyrikin sebelum datangnya risalah Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah…” (Q.S. At Taubah [9] : 6)
Allah menamakan mereka kaum musyrikin sebelum mendengar firman Allah, yaitu sebelum hujjah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Atau
agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (Q.S. Al A’raf [7] : 173)
Allah menamakan mereka kaum musyrikin sebelum ada hujjah risaliyyah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Aku
(burung Hudhud) mendapati dia dan kaumnya sujud kepada matahari, tidak
kepada Allah; dan syaitan Telah menjadikan mereka memandang indah
perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah),
sehingga mereka tidak dapat petunjuk…… Sesungguhnya dia itu dahulunya tergolong orang-orang kafir.” (Q.S. An Naml [27] : 24-43)
Allah
sebutkan bahwa Bilqis tergolong orang-orang kafir sebelum
perjumpaannya dengan Sulaiman alahi sallam, sedangkan kekafiran di sini
dalam ayat ini adalah bermakna Syirik dengan dalil bahwa ayat
sebelumnya menjelaskan bahwa mereka itu beribadah kepada matahari dan
yang lainnya. [Lihat Haqaiq At Tauhid, Syaikh Ali Al Khudlair]
Semua
para Rasul telah diutus kepada kaumnya dan mereka itu mengkhitabi
kaumnya atas dasar status mereka itu sebagai orang-orang musyrik
sebelum diutusnya mereka. Kemudian mereka itu meminta dari kaumnya untuk
meninggalkan syirik:
“Dan
sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…!” (Q.S. An Nahl [16] : 36)
Dan FirmanNya Subhanahu Wa Ta’ala :
“…Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya….” (Q.S. Al A’raf [7] : 59) Dan ayat-ayat lainnya…
II. Dalil-dalil dari hadist
Adapun
hadist-hadist di antaranya adalah hadist Banu Al Muntafiq yaitu hadist
shahih riwayat Al Imam Ahmad: Mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
dan bertanya kepada beliau dalam hadist yang panjang tentang orang
yang telah meninggal dunia dari kalangan ahlu fatrah, maka Rasulullah
berkata : “Demi Allah, sungguh kamu tidak melewati kuburan orang musyrik
mana saja baik orang Amiriy atau Quraisy, maka katakan : “Muhammad
telah mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu dengan kabar yang
menakutkan kamu, wajah dan perutmu digusur di dalam api neraka.” [Musnad Imam Ahmad : 4/13 (162/51) lihat Az Zanad Syarh Lum’ah Al I’tiqad]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Al Hadyu : “Di antara faidah hadist ini adalah bahwa orang yang mati di atas syirik disaksikan bahwa dia itu di neraka.”
Orang yang menyekutukan Allah sebelum hujjah risaliyyah dinamakan orang musyrik. Dan ini sangat jelas sekali.
Dan di antaranya adalah hadist permohonan ampun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam buat ibunya.
III. Pernyataan-Pernyataan Para Imam :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata : “Nama musyrik itu telah ada sebelum risalah, karena dia itu
menyekutukan Rabbnya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan menjadikan
bersama-Nya tuhan-tuhan yang lain serta dia menjadikan bagi-Nya andad
sebelum (datangnya) Rasul. Sehingga pastilah bahwa nama-nama ini
(mengada-adakan, melampaui batas, merusak dan yang lainnya) mendahului
risalah, dan begitu juga nama jahl (bodoh) dan jahiliyah. Dikatakan jahiliyyah dan jahl sebelum (adanya) Rasul. Dan adapaun ta’adzib (pengadzaban) maka itu tidak (ada sebelum risalah).” [Majmu Al Fatawa : 20/38]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Maka macam orang-orang musyrik ini dan yang serupa
dengannya dari kalangan orang-orang yang beribadah kepada para wali dan
orang-orang shalih, kami menghukumi bahwa mereka itu adalah
orang-orang musyrik dan kami memandang mereka itu kafir bila telah tegak
atas mereka hujjah risaliyyah. Dan dosa-dosa selain ini yang tingkatan
dan kerusakannya di bawah (syirik) ini, maka kami tidak mengkafirkan
(orang) dengan sebabnya.” [Ad Durar As Saniyyah : 1/522]
Sangat jelas sekali bahwa syaikh rahimahullah
menghukumi pelaku syirik akbar sebagai orang musyrik meskipun sebelum
(tegak) hujjah. Dan bila hujjah risaliyyah sudah tegak maka dihukumi
musyrik lagi kafir.
Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba Buthain rahimahullah
berkata : “Dan orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah namun dia
suka melakukan syirik akbar, seperti meminta kepada mayyit atau yang
ghaib, memohon kepada mereka pemenuhan kebutuhan dan diselamatkan dari
bencana, taqarrub kepada mereka dengan nadzar dan sembelihan, maka dia itu musyrik, mau tidak mau.” [risalah makna kalimat At Tauhid yang diterbitkan bersama dengan Al Kalimaat An Nafi’ah : 106]
Syaikh Abdullah Aba Buthain yang sebagai mufti negeri Nejed rahimahullah berkata juga : “Orang pelaku syirik adalah musyrik, mau tidak mau, sebagaimana sesungguhnya pemakan riba itu adalah muraabi
mau tidak mau, meskipun dia tidak menamakan apa yang dilakukannya
riba, dan peminum khamar itu adalah peminum khamar meskipun dia
menamakannya dengan nama lain.” [Risalah Al Intishar Lihizbillahil Muwahidin War Raddu ‘Alal Mujadil ‘Anil Musyrikin : 12 digabung dengan Aqidatul Muwahhidin]
Beliau berkata juga setelah menuturkan kisah ‘Adiy Ibnu Hatim : ‘Adiy rahimahullah
sama sekali tidak mengira bahwa sikap setujunya kepada mereka (para
ulama dan rahib) dalam apa yang telah disebutkan adalah bentuk ibadah
kepada mereka, maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
mengabarkan bahwa hal itu adalah ibadah dari mereka kepada mereka (para
ulama dan rahib) padahal mereka itu tidak meyakini sebagai bentuk
ibadah kepada mereka. Dan begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Ubbadul
Qubur berupa berdo’a kepada penghuni kubur, memohon pemenuhan kebutuhan
kepada mereka dengan sembelihan dan nadzar, (itu semua) adalah ibadah
dari mereka kepada orang-orang yang dikubur meskipun mereka tidak
menamainya dan tidak meyakininya sebagai ibadah.” [Al Intishar, Aqidatul Muwaahidin : 12-13]
Dan beliau berkata dalam Ad Durar : 10/393-394 dalam rangka mengkomentari hadist ini (hadist ‘Addiy) : “Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mencela mereka dan menamakan mereka sebagai kaum musyrikin padahal
mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan mereka ini adalah ibadah kepada
mereka, namun mereka tidak diudzur.”
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata tentang orang-orang yang taqlid (ikut-ikutan) kepada guru-guru
mereka dalam masalah yang membuat (pelakunya) kafir : “…ada perbedaan
antara muqallid yang memiliki tamakkun (peluang kesempatan)
untuk mencari tahu dan mengenal kebenaran, terus berpaling darinya,
dengan muqallid yang sama sekali tidak memiliki tamakkun. Dan kedua macam orang ini ada dalam realita. Orang yang memiliki tamakkun dan yang berpaling adalah teledor (mufarrith)
lagi meninggalkan yang wajib atasnya juga tidak ada udzur baginya di
sisi Allah. Dan adapun orang yang tidak mampu untuk bertanya dan untuk
mengetahui yang sama sekali tidak memiliki tamakkun untuk tahu maka ini ada dua macam :
Pertama :
Orang yang menginginkan petunjuk yang mementingkannya lagi mencintainya
dan tidak kuasa mendapatkannya dan mencarinya karena tidak ada orang
yang membimbing, maka status hukumnya adalah hukum orang-orang ahlul fatrah dan yang belum sampai dakwah kepadanya.
Dan Kedua :
(Orang) yang tidak memiliki keinginan untuk mencarinya dan tidak
membisikan jiwanya dengan selain apa yang menjadi keinginannya.” [Thariq Al Hijratain Wa Babus Sa’a adatain : 544-545]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab
berkata dalam rangka menafsirkan perkataan Ibnul Qayyim di atas :
“Sesungguhnya Al ‘Allamah Ibnul Qayyim memastikan kekafiran orang-orang
yang taqlid kepada guru-guru mereka dalam masalah-masalah yang
membuatnya kafir bila mereka memiliki tamakkun untuk mencari dan mengetahui kebenaran dan mereka itu memiliki ahliyyah
untuk itu (maksudnya mereka baligh lagi berakal), namun mereka justru
berpaling dan tidak ambil peduli. Sedangkan orang yang tidak memiliki tamakkun dan ahliyyah
untuk mengetahui apa yang dibawa para rasul, maka dia itu menurutnya
(Ibnul Qayyim) adalah tergolong ahlul fatrah (yaitu) kalangan yang sama
sekali belum sampai kepadanya dakwah seorang rasulpun. Dan kedua macam
orang ini (yaitu ahlul fatrah dan orang-orang yang taqlid kepada
guru-gurunya dalam masalah-masalah mukaffirah yang tidak memiliki tamakkun untuk mencari kebenaran dan tidak memilik ahliyyah
untuk itu) tidak dihukumi sebagai orang Islam dan mereka tidak masuk
ke dalam deretan kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak
mengkafirkan sebagiannya, dan ucapannya nanti akan datang dihadapanmu.
Dan adapun nama syirik maka itu tepat bagi mereka dan nama (musyrik)
itu layak untuk mereka itu. Dan Islam macam apa yang tersisa bila inti
pokonya dan kaidahnya yang paling besar yaitu syahadah akan Laa Ilaha
Illallah telah dilanggar..??!.” [Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis : 99]
Maksudnya
bahwa pelaku syirik yang berada di zaman fatrah adalah sama dengan
orang yang melakukan kemusyrikan yang tidak memiliki tamakkun untuk
mengetahui, yaitu keduanya musyrik walaupun mengaku muslim, karena
tidak merealisikan tauhid.
Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah
berkata : “Bahkan ahlul fatrah yang belum sampai kepadanya risalah dan
Al Qur’an dan mereka mati di atas jahiliyyah, mereka itu tidak
dinamakan muslimin dengan ijma dan tidak boleh dimintakan ampunan
baginya. Hanyasannya para ulama berselisih dalam hal pengadzaban mereka
di akhirat.” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan : 151]
Bila
engkau telah paham hal ini maka mudah bagimu memahami apa yang samar
atasmu dari sebagian perkataan Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab,
yaitu sikapnya yang tidak mengkafirkan orang jahil yang menyembah kubah
Al Kawwaz dan perkataan yang serupa itu. Sesungguhnya Syaikh rahimahullah
tidak mengkafirkan orang-orang musyrik langsung saja karena saat itu
adalah zaman fatrah, sehingga sampai dakwah kepadanya, namun beliau
tidak menghukumi mereka sebagai orang muslim. Yaitu bukan kafir karena
belum ada hujjah dengan sebab fatrah atau tidak ada tamakkun, bukan
muslim karena tidak realisasikan tauhid, tapi dia musyrik karena
menyekutukan Allah. Camkan hal ini dan jangan kamu termasuk orang yang
dungu!
Oleh sebab itu maka dua putra Syaikh Abdullathif yaitu Abdullah dan Ibrahim serta Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman mengatakan saat ditanya tentangnya, mereka berkata : “Maka dikatakan, Ya, karena sesungguhnya Syaikh Muhammad rahimahullah
tidak langsung serta merta mengkafirkan manusia kecuali setelah
tegaknya hujjah dan dakwah, sebab mereka saat itu berada di zaman
fatrah[3]
dan (zaman) ketidaktahuan akan atsar-atsar risalah, dan oleh sebab itu
beliau berkata : “Karena kejahilan mereka dan ketidakadaan orang yang
mengingatkan mereka, adapun bila hujjah sudah tegak maka tidak ada
larangan dari mengkafirkan mereka meskipun mereka tidak memahaminya.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/434-435]
Abdullah dan Husen putera Syaikh Muhammad
berkata tatkala keduanya ditanya tentang orang yang mengaku muslim
yang mati sebelum adanya dakwah Syaikh Muhammad : “Orang yang meninggal
dunia dari kalangan para pelaku syirik sebelum sampainya dakwah ini
maka hukum yang divoniskan atasnya adalah bahwa bila dia itu diketahui
melakukan Syirik dan menjadikannya sebagai ajaran kemudian mati di
atasnya, maka ini dhahirnya mati di atas kekufuran (maksudnya dengan
kekafiran di sini adalah syirik karena pemberlakuan hukumnya atas orang
itu, Ali Al Khudlair) sehingga tidak boleh dido’akan, tidak boleh
berkurban atas namanya, dan tidak boleh juga bersedekah atas namanya.
Adapun hakikat sebenarnya adalah dikembalikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
bila ternyata hujjah telah tegak atas dia di masa hidupnya dan dia
membangkang, maka dia kafir dalam hukum dhahir dan bathin. Dan bila
ternyata hujjah belum tegak atasnya maka urusannya kembali kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/ 142].
Putera-putera Syaikh Muhammad dan Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar tatkala ditanya tentang hal itu, mereka mengatakan : “Bila dia melakukan kekafiran dan kemusyrikan karena kejahilan[4] atau tidak adanya orang yang mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir sehingga hujjah tegak atasnya namun kami tidak menghukumi dia sebagai orang muslim.”(Ad Durar 10/136)
Jelaslah
di hadapan pembaca yang budiman bahwa orang semacam ini bukan kafir
karena hujjah belum tegak atasnya, dan dia bukan muslim karena dia
menyekutukan Rabbnya, sebab sesungguhnya tauhid dan syirik adalah dua
hal yang berlawanan yang tidak bisa bersatu dan dua hal yang
kontradiksi yang keduanya tidak bisa bersatu dan tidak bisa hilang
kedua-duanya dari diri seseorang di dalam waktu yang bersamaan.
Orang
ini telah menyekutukan Allah, sedangkan bila ada syirik maka tauhid
hilang yang merupakan inti Islam, jadi dia adalah musyrik dan adapun ta’dzib (pengadzaban) maka ini urusan yang berkaitan dengan hujjah.[5]
Syaikh Abdullathif, Syaikh Ishaq dan Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman
telah menukil ijma dari Ibnul Qayyim, bahwa para ahlul fatrah dan
orang yang belum sampai dakwah kepadanya, sesungguhnya kedua macam
orang ini tidak dihukumi sebagai orang Islam dan mereka tidak masuk
kedalam deretan kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak
mengkafirkan sebagiannya. Dan adapun syirik maka itu tepat bagi mereka
dan namanya mencakup diri mereka. Islam apa yang tersisa bila inti dan
kaidahnya yang terbesar yaitu syahadah Laa Ilaha Illallah dilanggar. [Hukmi
Takfiril Mu’ayyan Wal Farqu Baina Qiyaamil Hujjah Wa Fahmil Hujja,
Aqidatul Muwahhidin: 160, lihat juga Al Haqaiq karya Syaikh Ali Al
Khudlair : 17]
Syaikh Ahmad Hamud Al Khalidiy
berkata dalam komentarnya terhadap kitab Takfir Al Mu’ayyan : Yaitu
mereka itu dinamakan orang-orang musyrik dan mereka tidak diadzab
kecuali tegak hujjah atas mereka, Ibnu Taimiyyah Syaikhul Islam berkata
: nama musyrik telah ada sebelum risalah, karena dia menyekutukan
Tuhannya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan menjadikan bersamanya
tuhan-tuhan yang lain, serta dia menjadikan bagi-Nya andad sebelum
Rasul.–hingga ucapan– Dan adapun pengadzaban maka tidak (ada sebelum
risalah).” [Majmu Al Fatawa: 20/38]
--------------------------------
[3] Perlu anda ketahui bahwa para ulama dakwah tauhid Nejed sepakat bahwa zaman Syaikh Muhammad adalah zaman fatrah.
[4] Maksudnya kejahilan karena fatrah.
[5]
Ini menurut para ulama dakwah Nejed. Adapun ulama yang lain seperti An
Nawawi rahimahullah, maka mereka memastikan bahwa pelaku syirik akbar
walaupun di masa fatrah adalah dipastikan diadzab berdasarkan nash-nash
yang lain yang shahih, seperti hadits Muslim tentang ayah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa ia di neraka. Namun kedua pihak
telah sepakat bahwa status dunia orang tersebut adalah dihukumi
musyrik.
Pasal 3: Orang Berstatus Kafir Setelah Ada Hujjah
Orang
yang melakukan syirik setelah sampainya hujjah, maka dia musyrik
kafir, karena nama kafir yang berkonsekuensi adzab tidak ada kecuali
setelah sampai hujjah. Sedangkan orang yang asalnya muslim terus
melakukan syirik akbar, maka dia musyrik kafir murtad dan dia itu lebih
buruk dari orang kafir asli berdasarkan ijma.
I. Dalil-dalil dari Al-Qur’an :
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“…Dan
barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia dihari kiamat termasuk
orang-orang merugi.” (Q.S. Al Maidah [5] : 5)
Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“…Maka
setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka
lalu ingkar kepadanya, maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang
kafir itu.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 89)
Dalam ayat pertama ada dilalah
bahwa iman dan kekafiran yang mendatangkan adzab adalah setelah ada
hujjah. Dalam ayat kedua Allah menamakan mereka sebagai orang-orang
kafir setelah ada hujjah.
II. Pernyataan-Pernyataan Para Imam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata : “Para ulama tidak mengkafirkan orang yang melakukan sesuatu
dari hal-hal yang diharamkan karena sebab baru masuk Islam atau karena
hidup di pedalaman yang sangat jauh, karena vonis kafir tidak ada
kecuali setelah sampainya risalah.” [Majmu Al Fatawa : 28/501]
Beliau juga berkata : “Kekafiran yang mendatangkan adzab tidak ada kecuali setelah risalah. [Majmu Al Fatawa : 2/78]
Dan
beliau berkata juga : “Kekafiran setelah tegak hujjah mendatangkan
adzab dan sebelumnya mengurangi nikmat dan tidak menambah.” [Majmu Al Fatawa : 16/254]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Macam orang-orang musyrik itu dan yang serupa dengan mereka
dari kalangan orang-orang yang beribadah kepada para wali dan
orang-orang shalih, kami vonis mereka sebagai orang-orang musyrik dan
kami memandang mereka kafir bila hujjah risaliyyah telah tegak atas
mereka. Dan dosa selain ini yang lebih rendah tingkatan dan
kerusakannya, maka kami tidak mengkafirkan (si pelaku) dengan
sebabnya.” [Ad Durar As Saniyyah : 522 jilid 1]
Hal ini walillahihamd adalah jelas sekali, sesungguhnya Syaikh rahimahullah menamakan orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa sebagai ‘abid
(hamba) bagi makhluk itu lagi musyrik terhadap Allah sebelum tegak
hujjah, dan adapun setelah tegak hujjah maka beliau menamakannya
sebagai orang musyrik lagi kafir.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata juga setelah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah
takfir muslim mu’ayyan bila menyekutukan Allah setelah sampainya
hujjah, beliau berkata : “Dan kami tidak mengetahui perbedaan dari
seorang ulamapun dalam masalah ini.” [Mufid Al Mustafid Fi Kufri Tarik At Tauhid dalam Aqidatul Muwahidin : 55]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya tauhid itu menuntut penanggalan syirik,
berlepas diri darinya, memusuhi para pelakunya dan mengkafirkan mereka
di kala hujjah telah tegak atas mereka.” [Syarhu Ashli Dien Al Islam dalam Majmu’ah At Tauhid : 31]
Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata : “Sesungguhnya ucapan Syaikh Taqiyyudien rahimahullah bahwa takfir dan qatl
(pembunuhan) itu tergantung atas sampainya hujjah. Ucapannya ini
menunjukan bahwa kedua hal ini, yaitu takfir dan qatl tidak tergantung
kepada paham terhadap hujjah secara muthlak, akan tetapi terhadap
sampainya hujjah. Jadi paham terhadap hujjah adalah suatu hal,
sedangkan sampainya hujjah adalah hal lain pula.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahl : 13]
Beliau
berkata juga : “Dan orang yang mengucapkan Laa ilaha illallah namun di
samping itu dia juga melakukan syirik akbar, seperti memohon kepada
mayit dan orang-orang yang ghaib, meminta kepada mereka pemenuhan
kebutuhan dan diselamatkan dari bencana serta taqarrub kepada mereka
dengan nadzar dan sembelihan, maka orang ini adalah musyrik, mau tidak
mau, sedangkan Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya dan
siapa yang menyekutukan Allah maka Allah haramkan surga atasnya dan
tempat kembalinya adalah nereka. Dan dengan sebab perbuatan ini dia
menjadi musyrik, dan siapa yang melakukannya maka dia kafir, namun atas
dasar apa yang dikatakan oleh Syaikh, tidak boleh dikatakan si fulan
kafir sampai dijelaskan kepadanya apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bila dia tetap bersikeras setelah penjelasan itu, maka dia dihukumi kafir serta halal darah dan hartanya.” [Risalah Makna Laa ilaha illallah : 106-107 dalam kalimat An Nafi’ah]
Pasal 4: Makna Tegak Dan Sampainya Hujjah dalam Masail Dhaahirah
Orang
yang telah sampai kepadanya Al-Qur’an Al Adhim maka hujjah dan
peringatan telah tegak terhadapnya, terutama dalam bab dien yang paling
jelas yang karenanya semua rasul diutus.
Adapun
bila yang dimaksud dengan hujjah dan tegaknya itu adalah bahwa setiap
orang di datangi ke tempatnya terus hujjah ditegakan kepadanya, maka
ini adalah apa yang Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa ingkari di dalam
firman-Nya tentang para pelaku Syirik :
“Maka
mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?
Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari daripada
singa. Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan
kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka. (Q.S. Al Muddatstsir [74] : 49-52)
Dan sudah maklum dari sirah (perjalanan) Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bahwa sikap beliau dalam mendakwahi kelompok-kelompok yang memiliki
kekuatan, beliau mengirim surat kepada tokoh-tokohnya saja tanpa
rakyatnya. Dan beliau tidak mensyaratkan atau menyuruh para utusannya
serta para gubenurnya untuk mendatangi individu-individu orang dalam
rangka menegakkan hujjah atas mereka, terutama bagi orang-orang kafir
harbiy. Dan sedangkan keadaan setelah tersebar dan tersiarnya islam di
belahan bumi ini menurut para ulama tidaklah seperti di awal dakwah dan
permulaan Islam atau bersama orang yang baru masuk Islam.
I. Dalil-Dalil dari Al-Qur’an
Masalah tegaknya hujjah dalam masalah masail dhahirah (masalah-masalah yang nampak) adalah al-ilmu (mengetahui) atau al balaagh (sampai) atau adannya dakwah yang berjalan atau tinggal di tempat keberadaan ilmu[7] atau adanya tamakkun (peluang kesempatan).[8] [lihat Al Haqaiq karya Syaikh Ali Al Khudlair]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia sampai ia sempat mendengar firman Allah…”
(Q.S. At Taubah [9] : 6)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Orang-orang
kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang
membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur’an)” (QS. Al Bayyinah [98] : 1-2)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Dan Allah mengkhitabi semua jin dan manusia dengan Al Qur’an sebagaimana firman-Nya: “Supaya dengannya aku memberikan peringatan kepada kalian dan (kepada) orang-orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.”
Maka setiap yang telah sampai kepadanya (Al Qur’an) baik manusia atau
jin berarti telah diberi peringatan oleh Rasul dengannya.” [Majmu Al Fatawa : 16/148-149]
Dan beliau rahimahullah berkata dalam penjelasan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Jangan kalian dengar akan Al Qur’an ini dan buat gaduh di dalam (majelis)nya.” (Q.S. Fushshilat [41] : 26)
Beliau berkata : “Hujjah itu sudah tegak dengan adanya Rasul yang menyampaikan dan adanya kesempatan (tamakkun) mereka untuk mendengar dan mentadabburi,
bukan dengan mendengarnya itu, karena di antara orang-orang kafir ada
orang yang menghindar dari mendengar Al Qur’an dan memilih yang
lainnya.” [Majmu Al Fatawa : 16/166]
II. IJMA
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata : “Telah terjalin ijma, bahwa orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
terus tidak beriman, maka dia itu kafir dan tidak diterima darinya
alasan ijtihad karena nampaknya dalil-dalil risalah dan bukti-bukti
kenabian.” (Ad Durar A Saniyyah : 10/237)
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar rahimahullah berkata :“Para ulama telah ijma, bahwa orang yang telah sampai kepada-Nya dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka sesungguhnya hujjah telah ditegakkan atasnya.” [Ar Raddu ‘Alal Qubuuriyyiin : 115]
III. Pernyataan-Pernyataan Para Imam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Hujjah Allah dengan rasul-rasul-Nya telah tegak dengan adanya kesempatan (tamakkun)
untuk mengetahui, sehingga bukan termasuk syarat (tegaknya) hujjah
Allah tahunya orang-orang yang didakwahi akan hujjah tersebut, dan oleh
sebab ini keberpalingan orang-orang kafir dari mendengarkan dan
mentadabburi Al-Qur’an bukanlah penghalang dari tegaknya hujjah Allah
ta’ala atas mereka, serta begitu juga keberpalingan mereka dari
mendengarkan apa yang dinukil dari para nabi dan dari membaca
atsar-atsar yang diriwayatkan dari mereka tidaklah menghalangi
(tegaknya) hujjah,[9] karena kesempatan sudah ada.” [Kitab Ar Radd ‘Alal Manthiqiyyin : 99]
Beliau
juga berkata : “Bukan termasuk syarat penyampaian risalah ini adalah
sampainya hal itu kepada setiap mukallaf di dunia ini, namun yang
menjadi syarat adalah orang-orang mukallaf itu memiliki kesempatan
untuk menyampaikan hal itu kepada diri mereka, kemudian bila mereka
teledor dan tidak berupaya untuk sampainya hal itu kepada mereka padahal
sarana-sarana yang mesti ditempuh itu ada, maka keteledoran (tafrith) itu dari mereka, bukan darinya (yang menyampaikannya).” [Ikhtishar Ali Al Khudlair dari Al Fatawa : 28/125, silakan lihat Al Haqaiq]
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata tentang orang-orang yang taqlid kepada
guru-gurunya dalam Masaa-il Mukaffirah : “Orang yang memiliki
kesempatan dan yang berpaling itu mufarrith (teledor) lagi meninggalkan
kewajibannya yang sama sekali tidak ada udzur dihadapan Allah.” [Thariq Al Hijratain : 544]
Beliau berkata juga : “Sesungguhnya adzab didapatkan karena dua hal: Pertama, Keberpalingan dari hujjah dan tidak menginginkannya serta terhadap sebab-sebab yang menghantarkan kepadanya. Dan kedua, membangkang akan hujjah setelah tegaknya dan meninggalkan keinginan akan tuntutannya. Yang pertama kufur i’radl (karena berpaling) dan yang kedua kufur inad (pembangkangan).” [Tahriq Al Hijratain : 546]
Syaikh Muhhamad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata dalam risalahnya kepada Isa Ibnu Qasim dan Ahmad Ibnu Suwailim
: “Dan sesungguhnya kalian masih ragu tentang thaghut-thaghut itu dan
para pengikutnya apakah hujjah itu sudah tegak atau belum atas mereka ?
Ini adalah tergolong keanehan yang paling mengherankan, bagaimana
kalian ragu akan hal ini sedangkan sudah saya jelaskan berkali-kali
kepada kalian… Sesungguhnya orang yang belum tegak hujjah atasnya adalah
orang yang baru masuk Islam dan orang yang hidup dipedalaman yang sangat jauh[10] atau hal itu dalam masalah khafiyyah[11] (yang masih samar) seperti sharf dan ‘athaf (pelet) maka (dalam hal seperti ini) pelakunya tidak dikafirkan sehingga diberitahu (terlebih dahulu). Dan adapun ushuluddien
yang telah Allah jelaskan dan Dia pastikan di dalam kitab-Nya maka
sesungguhnya hujjah Allah adalah Al-Qur’an. Siapa yang sampai kepadanya
Al-Qur’an berarti hujjah itu sudah tegak, akan tetapi inti kekeliruan adalah kalian tidak membedakan tegak hujjah dengan paham hujjah,
karena sesungguhnya mayoritas orang kafir dan munafik, mereka itu
tidak paham hujjah Allah padahal hujjah itu sudah tegak atas mereka,
sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.S. Al Furqan [25] : 44)
Tegak
dan sampainya hujjah adalah lain, sedangkan paham hujjah adalah hal
lain pula. Dan Allah telah mengkafirkan mereka dengan sebab sampainya
hujjah kepada mereka meskipun mereka tidak memahaminya.” [Tarikh Nejd : 410]
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar rahimahullah
berkata : “Setiap orang yang telah sampai Al-Qur’an kepadanya maka dia
itu tidak diudzur, karena inti yang besar yang mana ia adalah pokok
dien Islam telah Allah jelaskan dalam kitab-Nya, Dia menerangkannya dan
menegakan hujjah dengannya atas hamba-hamba-Nya, dan yang dimaksud
tegak hujjah itu bukanlah si orang itu memahami dengan pemahaman yang
jelas seperti dipahaminya oleh orang yang telah Allah beri hidayah dan
taufiq serta yang tunduk kepada perintah-Nya, karena sesungguhnya
orang-orang kafir itu telah tegak hujjah atas mereka padahal Allah
mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan pada hati mereka penghalang
(yang menghalangi) dari memahami firman-Nya.” [Ar Raddu ‘Alal Quburiyyin : 116-117]
Dan beliau rahimahullah berkata juga : “Sesungguhnya sampainya hujjah adalah lain dan paham akan hujjah adalah lain pula.” [Ar Raddu Alal Quburiyyin: 117]
Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya hujjah telah tegak dengan Al Qur’an atas
setiap orang yang Al Qur’an telah sampai kepadanya dan dia mendengarnya
meskipun dia tidak memahaminya.” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan : 154]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah
berkata setelah menyebutkan ayat-ayat yang mencela taqlid : “Para
ulama dengan ayat ini dan lainnya berdalil bahwa tidak boleh taqlid
dalam mengenal Allah dan risalah. Dan hujjah Allah tegak atas manusia
dengan diutusnya para rasul kepada mereka meskipun mereka tidak
memahami hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya.” [Al Intishar, AqidatulMuwahhidin : 17]
Dan beliau berkata lagi : “Orang yang telah sampai kepadanya risalah Muhammad shalallallahu ’alaihi wasallam
dan telah sampai Al Qur’an kepadanya maka hujjah telah tegak atasnya,
sehingga tidak ada udzur dalam hal tidak beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, maka
tidak udzur baginya setelah itu dengan sebab kejahilan.” [Al Kufru Al
Ladzu Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahil : 11]
Beliau rahimahullah
berkata lagi : “Tidak ada udzur (alasan) bagi seorangpun dalam
kejahilan akan hal-hal ini dan yang serupa dengannya setelah diutusnya
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan sampainya hujjah-hujjah
Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya meskipun orang yang telah sampai
hujjah kepadanya itu tidak memahaminya, karena hujjah Allah itu tegak
atas hamba-hamba-Nya dengan sampainya hujjah itu bukan dengan paham
terhadapnya. Sampainya hujjah adalah satu hal sedangkan paham
terhadapnya adalah hal lain pula, oleh sebab ini Allah tidak mengudzur
orang-orang kafir dengan sebab ketidakpahaman mereka setelah hujjah dan
penjelasan-penjelasan–Nya itu sampai kepadanya.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/359-360]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata seraya mengingkari Al Mulhid musuh tauhid Ustman Ibnu Manshur[12]
yang mengklaim bahwa hujjah itu tidak tegak atas orang jahil sehingga
nampak jelas baginya dan dia mengetahui bahwa apa yang dikatakan
kepadanya itu adalah benar, Syaikh berkata : “Ulama mana dan ahli Fiqh
mana yang mensyaratkan dalam tegaknya hujjah dan penjelasan itu tahunya
orang yang diajak bicara akan kebenaran ini…??! (kemudian beliau
menuturkan ayat-ayat ….) terus berkata : dari ayat-ayat semacam ini yang
menunjukan kebutaan mereka (orang-orang kafir) dan ketidaktahuan
mereka terhadap kebenaran adalah banyak sekali. Dan tidak ada
seorangpun yang mengatakan pendapat seperti ini sebelum orang bodoh ini
(Ustman, maksudnya), namun justeru yang disyaratkan itu hanyalah paham
terhadap apa yang diinginkan oleh si pembicara dan (paham) akan maksud
dari ucapan itu, bukan (tahu) bahwa itu adalah kebenaran, ini adalah
bagian kedua. Dan hal inilah yang diambil kesimpulannya dari nash Al
Kitab, As Sunnah dan perkataan para ulama, bukan apa yang dikatakan
oleh orang yang ngawur lagi membuat pengkaburan ini.” [Mishbah Adh Dhalam : 122-123]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah
berkata : “Dan bila telah sampai kepada orang Nashrani apa yang dibawa
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan dia tidak tunduk
kepadanya karena dugaan dia bahwa beliau adalah Rasul buat orang Arab
saja, maka dia kafir meskipun kebenaran dalam hal itu belum jelas
baginya. Dan begitu juga setiap orang yang telah sampai kepadanya
dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang dengannya
dia bisa mengetahui apa yang diinginkan dan yang dimaksud, terus dia
menolak akan hal itu karena syubhat atau yang lainnya, maka dia itu
kafir meskipun masalahnya masih samar bagi dia. Dan hal ini tidak ada
perselisihan di dalamnya.” [Mishbah Adh Dhalam: 326]
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata tentang orang yang baligh lagi berakal yang paham akan ucapan : “Orang yang telah sampai risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan juga Al Qur’an telah sampai kepadanya, maka sungguh hujjah telah tegak atasnya.” [Kasyfu Asy Syubhatain : 368]
-------------------------------------------------
[6] Permasalahan yang mana orang-orang khusus dan orang-orang awam dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
diutus dengannya dan seperti peribadatan terhadap Allah saja tidak ada
sekutu bagi-Nya dan larangan dari beribadah kepada selain-Nya baik
berupa malaikat, para Nabi dan yang lainnya juga dan sepeti wajibnya
shalat lima waktu, zakat, shaum, dan haji, dan seperti pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan keji), riba, khamar, dan judi. (lihat Mufidul Mustafid)
[7]
Oleh sebab itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di dalam
hadits shahih memerintahkan seorang sahabat untuk membunuh dan
mengambil harta orang yang menikahi ibu tirinya tanpa memberikan
penjelasan kepada orang tersebut atau memerintahkan utusannya untuk
menegakkan hujjah kepadanya sebelum dibunuh, karena orang tersebut
berada di tengah kaum muslimin lagi memiliki tamakkun untuk mengetahui,
sedangkan pengharaman menikahi mahram adalah termasuk masalah dhahirah.
Dan dia dikafirkan karena menolak hukum pengharaman menikahi mahram
atau menghalalkannya dengan perbuatannya.
[8]
Oleh sebab itu Al Imam Ibnu Qudamah menukil ijma para ulama tentang
kekafiran orang yang mengingkari kewajiban zakat sedang dia hidup di
tengah kaum muslimin dan tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan,
karena dia memiliki tamakkun dengan keberadaannya di tengah kaum
muslimin, dan kewajiban zakat adalah termasuk masalah dhahirah.
[9]
Oleh sebab itu orang-orang yang melakukan kemusyrikan yang nyata yang
dia ketahui maknanya dalam kondisi seperti sekarang ini, di mana
sarana-sarana ilmu banyak, dakwah di mana-mana dan thaghutpun
mengetahui bahwa dakwah ini berbahaya bagi pemerintahan mereka, maka
apakah ada orang yang berakal yang mengatakan bahwa hujjah belum tegak
di dalam hal ini?
[10]
Harus ingat bahwa orang macam ini bila melakukan kemusyrikan, tetap
disebut orang musyrik bukan muslim, namun belum dikafirkan. Camkan hal
ini!
[11]
Seperti masalah Khalqul Qur’an dan masalah-masalah yang
dipertentangkan antara Ahlus Sunnah dengan Ahli Bid’ah lainnya yang
pada dasarnya mengandung unsur kekafiran. Contohnya pernyataan bahwa Al
Qur’an adalah makhluq, maka ini mengandung pendustaan terhadap nash
yang menyatakan bahwa Al Qur’an itu Kalamullah bukan makhluq, namun
karena ini adalah masalah yang tersamar, maka orangnya tidak dikafirkan
sampai ditegakkan hujjah secara khusus kepadanya dan syubhatnya
disingkapkan. Jadi yang namanya hujjah di dalam masaail khafiyyah adalah
bayaan dan diskusi. Dan digolongkan juga di dalam masaail
khafiyyah adalah permasalahan syirik akbar yang samar dari sisi makna
dan hakikatnya, seperti Demokrasi berkaitan dengan orang yang tidak
terlibat langsung di dalamnya namun dia hanya sekedar mencoblos atau
mencontreng, maka sebelum pengkafiran orang mu’ayyan yang mencoblos
harus ditegakkan hujjah terlebih dahulu secara khusus karena ada
ihtimaal (kemungkinan) dia itu tidak mengetahui makna dan hakikat
demokrasi itu dan hakikat mencoblos.
[12]
Dia itu dahulunya termasuk orang baik dan sempat mensyarah Kitab
Tauhid Syaikh Muhammad, kemudian terkena syubhat Dawud Ibnu Jirjis
Al’Iraqi yang mengudzur pelaku syirik akbar dengan sebab kejahilan.
Pasal 5: Tidak Ada Udzur Karena Jahil, Takwil, Ijtihad, dan Taqlid, dalam Syirk Akbar
I. Dalil-dalil Al Qur’an
“Dan
(ingatlah) tatkala Tuhanmu mengambil dari anak-anak Adam dari
sulbi-sulbi mereka keturunannya, dan Dia menjadikan sebagai saksi atas
diri mereka : “Bukankah Aku Tuhanmu”, mereka menjawab : “Benar, kami
bersaksi”, (yang demikian itu Kami lakukan) agar kalian dihari kiamat
(tidak) mengatakan : “Sesungguhnya kami lalai akan hal ini”, atau supaya
kalian (tidak) mengatakan : “yang berbuat syirik itu bapak-bapak kami
dahulu, sedangkan kami adalah keturunan setelah mereka, maka apakah
Engkau membinasakan kami dengan sebab apa yang dilakukan orang-orang
sesat itu ?. Dan demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar
mereka kembali (kepada kebenaran).” (Q.S. Al A’raaf [7] : 172-174)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata dalam tafsir ayat ini : (“agar kalian di hari kiamat (tidak) mengatakan : “Sesungguhnya kami lalai akan hal ini”),
yaitu Kami katakan hal ini untuk (menolak) alasan atau dalih kalian di
hari kiamat, di mana kalian mengatakan karena sebab kalian telah
berbuat syirik: “Sesungguhnya kami lalai akan hal tauhid rububiyyah ini
dan yang menjadi keharusannya berupa tauhid uluhiyyah dengan cara
ibadah kepada Allah saja”. Dan yang dimaksud adalah bahwa Dia Subhanahu Wa Ta’ala tidak menerima alasan kebodohan mereka, “atau
supaya kalian (tidak) mengatakan : yang berbuat Syirik itu hanyalah
bapak-bapak kami sebelum ini, sedangkan kami adalah keturunan mereka” yang jahil akan kebathilan syirik mereka sehingga tidak ada jalan bagi kami kecuali mengikuti mereka “maka apakah engkau akan membinasakan kami dengan apa yang dilakukan orang-orang sesat itu” dengan
cara mengadakan syirik, terus Engkau jadikan adzab kami seperti adzab
mereka padahal kami ini memiliki udzur, yaitu baik sangka terhadap
mereka. Dan yang dimaksud adalah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala
tidak menerima dari mereka alasan taqlid kepada bapak-bapak dan
kakek-kakek mereka sebagaimana Dia tidak menerima dari mereka alasan
karena kebodohan setelah Dia menegakkan hujjah fitrah dengan akal. “Dan demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran”,
yaitu rincian yang jelas ini kami gamblangkan kepada anak-anak Adam
ayat-ayat dan bukti-bukti supaya mereka menggunakan akal-akalnya dan
supaya mereka kembali dengannya dari kejahilan mereka dan sikap
taqlidnya. Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa orang yang belum sampai bitsah Rasul kepadanya tidak diudzur dihari kiamat dengan penyekutuan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dan dengan perbuatan-perbuatan keji serta kemungkinan-kemungkinan yang
dijauhi oleh fitrah yang suci, dan bahaya serta kerusakannya bisa
diketahui sekedar oleh akal. Dan mereka itu hanya diudzur dengan sebab
menyelisihi petunjuk para Rasul dalam hal-hal yang memang tidak bisa
diketahui kecuali dari mereka (para rasul), yaitu mayoritas
rincian-rincian ibadah” [Aqidatul Muwahhidin : 389]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata: Seandainya tidak ada dalil terhadap pentauhidan Allah dan
pengenalan-Nya kecuali apa yang manusia akui berupa rububiyyah Allah
dan hak khusus-Nya dalam menciptakan, maka tentulah itu cukup sebagai
dalil .” (Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis:19).
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini :….dan tidak ada ‘udzur bagi orang yang taqlid di dalam tauhid). .”(7/280).
Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata tentang ayat di atas: Ibnul Qayyim
berkata: Dikarenakan ayat Al A’raf ini ada di surat makkiyyah maka
Allah menyebutkan di dalamnya mitsaq (perjanjian) dan pengambilan
kesaksian yang umum bagi seluruh mukallaf yang telah mengakui
rububiyyah-Nya, keesaan-Nya dan kebatilan syirik, di mana ia adalah
mitsaq dan pengambilan kesaksian yang dengannya hujjah tegak atas
mereka, udzur (alasan) terputus dengannya dan sangsi hukum menimpa
dengannya serta pembinasaan menimpa dengan sebab menyelisihinya.”(Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin:330).
Syaikh Abu ‘Abdillah Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Hamid berkata juga di dalam Al Jawab Al Mufid yang tergabung dalam Aqidatul Muwahhidin seraya menukil dari Al Baidlawi
dalam tafsir ayat mitsaq : “Karena taqlid saat tegaknya dalil dan
adanya kesempatan untuk (mencari) tahu adalah tidak pantas untuk
dijadikan alasan (udzur).” [329]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Sebagian
(Allah) beri (mereka) petunjuk dan sebagian telah tetap atas diri
mereka kesesatan, sesungguhnya mereka telah menjadikan syaitan-syaitan
itu sebagai auliya selain Allah sedangkan mereka itu mengira bahwa
mereka itu mendapat petunjuk.” (Q.S. Al A’raaf [7] : 30)
Ibnu Jarir rahimahullah berkata seraya menafsirkan dan Ibnu Katsir rahimahullah
menguatkannya : “Dan ini tergolong dalil yang paling jelas yang
menunjukan kesalahan orang yang mengklaim bahwa Allah tidak akan
mengadzab seorangpun atas maksiat yang dia lakukan atau kesesatan yang
dia yakini kecuali bila dia melakukannya setelah dia mengetahui
kebenaran yang ada di hadapannya, terus dia melakukan (maksiat atau
kesesatan) sebagai bentuk pembangkangan darinya terhadap Tuhannya dalam
hal itu, karena seandainya keadaannya seperti itu tentulah tidak akan
ada perbedaan antara kelompok kesesatan yang sesat namun mengira bahwa
dia itu mendapat petunjuk dengan kelompok yang mendapat petunjuk,
sedangkan Allah sudah membedakan antara nama-namanya dan hukum-hukumnya
dalam ayat ini.” [Tafsir Ibnu Katsir : 2/281]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah mengatakan dengan maknanya: Ibnu Jarir berkata : “Dan ini menunjukan bahwa orang jahil tidak diudzur.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/392]
Al Imam Al Baghawi rahimahullah
berkata di dalam tafsirnya: Di dalam firman Allah ini ada dalil yang
menunjukan bahwa orang kafir yang mengira bahwa dia berada di atas
kebenaran di dalam agamanya adalah sama dengan orang kafir yang
mengingkari dan orang (kafir)yang mu’anid (membangkang). (2/156).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah
: “Apakah kalian mau kami beritahukan akan orang-orang yang paling
rugi amalannya ? Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam
kehidupan dunia ini sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan
perbuatan baik.” (Q.S. Al Kahfi [18] : 103-104)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata : “Ayat ini umum bagi setiap orang yang beribadah kepada Allah
dengan cara yang tidak (Allah) ridlai seraya mengira bahwa dia itu
benar di dalamnya dan bahwa amalannya diterima padahal dia itu keliru
dan amalannya tertolak.” [Tafsir Ibnu Katsir : 3/143]
II. Dalil dalil dari As Sunnah
Adapun
hadist-hadist di antaranya adalah hadist Banu Al Muntafiq yaitu hadist
shahih riwayat Al Imam Ahmad: Mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
dan bertanya kepada beliau dalam hadist yang panjang tentang orang
yang telah meninggal dunia dari kalangan ahlu fatrah, maka Rasulullah
berkata : “Demi Allah, sungguh kamu tidak melewati kuburan orang musyrik
mana saja baik orang Amiriy atau Quraisy, maka katakan : “Muhammad
telah mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu dengan kabar yang
menakutkan kamu, wajah dan perutmu digusur di dalam api neraka.” [Musnad Imam Ahmad : 4/13 (162/51) lihat Az Zanad Syarh Lum’ah Al I’tiqad]
Ini
dalil yang jelas lagi terang yang tiada kesamaran sedikitpun di
dalamnya, yang mana beliau menghukumi orang ahli fatrah yang mati di
atas syirik dengan api neraka. Padahal mereka itu tidak lain adalah
orang-orang jahil…!
Di antaranya hadits hasan tentang masuknya seseorang kedalam api neraka karena sebab seekor lalat.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata dalam penjelasan hadist ini : “Dan dalam hadist ini ada
penghati-hatian dari terpuruk kedalam syirik. Dan bahwa orang bisa jatuh
kedalamnya sedangkan dia tidak tahu
bahwa (perbuatannya) itu tergolong syirik yang mengharuskan masuk
neraka. Dan faidah lain di dalam hadist itu : adalah bahwa laki-laki
tersebut asalnya muslim sebelum (kejadian) itu, karena kalau bukan
muslim (asalnya) tentu beliau (shalallahu ‘alaihi wasallam) tidak mengatakan : “dia masuk neraka karena lalai.” [Fathul Majid : 132]
Ucapan beliau : “Dia tidak tahu” artinya bahwa dia itu jahil.
Dan di antaranya hadist permohonan ampunan Nabi shalallahu alahi wasallam buat ibunya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
tatkala meminta izin untuk memohonkan ampunan bagi ibunya kepada
Rabbnya sebab dia mati dalam kejahiliyyahan, beliau tidak mendapatkan
izin untuk memintakan ampun baginya, karena dia mati di atas ajaran
kaumnya yang penyembah berhala.”
Dan di antaranya hadist yang masyhur yang diriwayatkan oleh Muslim,
tatkala beliau ditanya tentang bapak seseorang yang mati pada masa
fatrah, dan beliau memvonis bapak orang tersebut dan bapak beliau shalallahu ‘alahi wasallam sendiri dengan api neraka, di mana beliau berkata : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”
Dan karena dia mati di atas syirik terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dan peribadatan terhadap yang lainnya… Maka apa gerangan dengan orang
yang berada di tengah kaum muslimin sedang dia beribadah kepada
undang-undang dan para pembuatnya atau kepada kuburan yang dikeramatkan?
Sungguh mereka dan yang serupa dengannya lebih utama untuk tidak
diudzur, karena mereka melakukan syirik akbar sedang mereka berada di
tengah kaum muslimin dan Al Qur’an ada di hadapan mereka, dan begitu
juga sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ada di antara mereka, namun mereka berpaling darinya.
III. IJMA
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Dan begitu juga Ali membunuh orang-orang yang
mengkultuskannya dan membakar mereka dengan api padahal mereka itu
murid para sahabat, mereka rajin ibadah, shalat dan shaum, dan mereka
mengira bahwa mereka itu berada di atas kebenaran.” [Ijma]
Dan
begitu juga ijma salaf atau pengkafiran Qadariyyah yang ekstrim dan
yang lainnya padahal mereka itu ahli ilmu, rajin ibadah dan menduga
bahwa mereka itu melakukan perbuatan baik, namun tak seorang salafpun tawaqquf dalam mengkafirkan mereka dengan alasan bahwa mereka itu tidak memahami. Sesungguhnya mereka itu semuanya tidak memahami. [Ad Durar As Saniyah : 10/94]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah juga berkata tentang orang-orang yang murtad dizaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhu : Di antara mereka ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan kembali menyembah berhala seraya mengatakan : “Seandainya dia (Rasulullah) adalah Nabi tentulah tidak mati.”
Dan di antara mereka ada orang yang tetap di atas dua kalimat
syahadat, namun dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa
beliau (Rasulullah) shalallahu ‘alaihi wasallam menyertakan
dia dalam kenabian, karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang
bersaksi baginya akan hal itu, kemudian banyak dari manusia membenarkan
hal itu, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka adalah orang-orang murtad meskipun jahil akan hal itu. Dan siapa yang meragukan kemurtadan mereka maka dia kafir. [Syarh Sittati Muwadli Minas Sirah dalam Majmu’ah At Tauhid : 23]
Bila
saja orang yang mengangkat sosok manusia dalam tingkatan nabi adalah
kafir meskipun dia jahil, maka apa gerangan dengan yang mengangkat
makhluk pada derajat Al Khaliq…?!
Hamd Ibnu Nashir Alu Mu’ammar rahimahullah berkata : “Para ulama sudah ijma bahwa orang yang telah sampai dakwah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
kepadanya, maka sesungguhnya hujjah Allah telah tegak atasnya.”
Kemudia beliau berkata : “Dan setiap orang yang telah sampai Al Qur’an
kepadanya adalah tidak diudzur.” [Ad Durar As Saniyyah : 72-73]
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Ijma telah terjalin bahwa orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
kepadanya, maka dia kafir dan tidak diterima darinya alasan ijtihad
karena jelasnya dalil-dalil risalah dan tanda-tanda kenabian.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/247]
Dan Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata : “Dan bila sampai apa yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
kepada orang Nashrani dan dia tidak tunduk kepadanya karena dugaannya
bahwa beliau adalah Rasul buat orang Arab saja, maka dia kafir meskipun
kebenaran itu pada saat itu belum jelas baginya. Begitu juga setiap
orang yang telah sampai dakwah rasul kepadanya dengan cara yang mana
dengannya dia mengetahui apa yang dimaksud dan yang dituju, terus dia
menolak hal itu karena suatu syubhat atau yang lainnya, maka dia kafir
meskipun masalahnya masih kabur atas dia, dan ini tidak ada perbedaan
di dalamnya.” [Mishbah Adh Dhalam : 326]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah
berkata : “Bila pelaku syirik akbar diudzur karena kejahilannya, maka
siapa orang yang tidak diudzur ? Dan lazim (konsekuensi harus) klaim
ini adalah bahwa Allah tidak memiliki hujjah kepada seorangpun kecuali
atas orang yang membangkang (mu’anid), padahal orang yang mengklaim hal
ini tidak mungkin baginya membakukan kaidah ini, akan tetapi mesti dia
itu jatuh dalam kontradiksi, karena sesungguhnya dia tidak bisa
tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
atau ragu akan hari kebangkitan atau ushulud dien yang lainnya,
sedangkan orang yang ragu itu adalah jahil. Dan para ahli fiqh
menyebutkan dalam kitab-kitab fiqh hukum orang murtad, yang mana dia
adalah orang muslim yang kafir setelah Islamnya, baik dengan ucapan,
perbuatan, keyakinan atau keragu-raguan, sedangkan sebab keragu-raguan
adalah kejahilan. Konsekuensi wajib klaim orang ini adalah bahwa dia
tidak mengkafirkan orang-orang jahil dari kalangan Yahudi, Nashrani,
orang-orang yang sujud kepada matahari, bulan dan patung, karena sebab
kejahilan mereka, dan tidak pula mengkafirkan orang-orang yang dibakar
Ali radliyallahu ‘anhu dengan api, karena sesungguhnya kita
pastikan bahwa mereka itu adalah orang-orang jahil. Sedangkan para ulama
sudah ijma atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang
Yahudi dan Nashrani atau orang yang ragu akan kekafiran mereka,
sedangkan kita menyakini bahwa mayoritas mereka adalah orang-orang
jahil.” [Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin,AqidatulMuwahhidin: 16]
Dan dia berkata juga rahimahullah
: “Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran (syirik) karena takwil,
atau ijtihad, atau keliru (memahami) atau taqlid, atau kejahilan
diudzur, sungguh dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah, dan ijma
tanpa diragukan lagi. Lagi pula dia itu mesti menggugurkan kaidah
pegangannya ini, dan kalau seandainya dia membakukan kaidahnya ini maka
dia telah kafir tanpa diragukan, sebagaimana seandainya dia tawaqquf
dalam mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. [Al Intishar,AqidatulMuwahhidin: 18]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah
berkata seraya menukil dari penulis Ikhtiyarat Ibni Taimiyyah : “Orang
murtad adalah orang yang menyekutukan Allah, atau yang membenci
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau (membenci) apa
yang beliau bawa, atau meninggalkan pengingkaran setiap kemungkaran
dalam hatinya, atau menduga bahwa di antara para sahabat itu ada orang
yang berperang bersama orang-orang kafir atau membolehkan hal itu atau
mengingkari hal yang diijmakan dengan ijma yang qath’iy, atau
menjadikan antara dirinya dengan Allah perantara-perantara yang mana ia
tawakkal terhadapnya, memohonnya, memintanya, maka (pelakunya) kafir
berdasarkan ijma. Dan siapa yang ragu akan satu sifat dari sifat-sifat
Allah sedangkan orang seperti dia ini tidak (layak) jahil akannya, maka
dia murtad, dan bila orang seperti dia itu (layak) tidak mengetahuinya
maka dia tidak murtad, oleh sebab ini Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu akan qudrah Allah ta’ala.”
Syaikh Aba Buthain
menyatakan : “Beliau sebutkan begitu saja dalam hal-hal yang membuat
kafir yang di muka, namun beliau dalam masalah sifat (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) membedakan antara orang jahil dengan yang lainnya.” [Al Intishar, AqidatulMuwahhidin : 18-19]
Dan beliau juga berkata juga setelah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Sungguh beliau rahimahullah
telah memastikan dalam banyak tempat akan kekafiran orang yang
melakukan macam-macam kemusyrikan yang beliau sebutkan, dan beliau
menghikayatkan ijma kaum muslimin atas hal itu dan beliau tidak
mengecualikan orang yang jahil dan yang lainnya. Allah Subhaanahu Wa
Ta’aalaa berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya.” [An Nisa : 48]. Dan Dia berfirman tentang (Isa) Al Masih, bahwa ia berkata :
“…Siapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh telah Allah haramkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah nereka…” (Q.S. Al Maidah [5] : 72)
Maka
siapa yang mengkhususkan ancaman itu bagi orang yang membangkang
(mu’anid) saja, dan dia mengeluarkan orang jahil, orang yang melakukan
takwil, dan orang yang taqlid (dari ancaman tersebut), maka sungguh dia
telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya serta dia telah keluar dari
jalan kaum mukminin (ijma). Padahal para fuqaha telah memulai bab hukum
orang murtad dengan bab orang yang menyekutukan Allah, dan mereka tidak
membatasi itu bagi mu’anid saja. Dan hal ini adalah jelas sekali
walillaahil hamd. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“(mereka
kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (Q.S. An Nisa [4] : 165) [Al Intishar, AqidatulMuwahhidin : 27]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata tatkala menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah takfir :
(Saya adalah tergolong orang yang paling melarang penisbatan orang
mu’ayyan terhadap takfir, tabdi’ (bid’ah), tafsiq, atau maksiat kecuali
bila telah diketahui bahwa telah tegak hujjah atasnya hujjah
risaliyyah yang mana orang yang menyelisihinya bisa menjadi kafir,
fasiq, atau maksiat) Syaikh Muhammad berkata : “Ini adalah bentuk
ucapannya dalam masalah ini. Di setiap tempat yang kami kaji dari
pernyataannya, beliau tidak menyebutkan sikap tidak kafir mu’ayyan
melainkan beliau menyusul perkataannya itu dengan (ungkapan) yang bisa
menghilangkan kemusykilan, bahwa yang dimaksud dengan sikap tawaqquf
dari mengkafirkannya adalah sebelum sampainya hujjah kepadanya. Adapun
bila hujjah telah sampai kepadanya maka dia itu divonis sesuai dengan
tuntutan masalah ini, baik takfir, tafsiq, atau maksiat. Dan beliau rahimahullah tegas-tegasan menyatakan bahwa ucapannya itu adalah di dalam selain masalah-masalah dhahirah. Beliau menyatakan dalam Ar Rad ‘Alal Mutakallimin
tatkala menuturkan bahwa sebagian imam-imam mereka murtad dari Islam,
beliau berkata : “Dan hal ini bila dalam maqalat khafiyyah
(masalah-masalah yang samar) bisa dikatakan bahwa dia itu adalah orang
yang keliru yang sesat di dalamnya yang mana belum tegak atasnya hujjah
yang membuat kafir orang yang meninggalkannya. Namun (kesalahan) ini
muncul dari mereka dalam hal-hal yang mana orang-orang khusus dan
orang-orang awam dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
diutus dengannya dan beliau kafirkan orang yang menyelisihinya seperti
peribadatan terhadap Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangan
dari beribadah kepada selain-Nya baik berupa malaikat, para Nabi dan
yang lainnya, sesungguhnya ini syiar-syiar Islam yang paling nyata, dan
sepeti wajibnya shalat lima waktu dan pengagungan status shalat ini,
juga seperti pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan keji),
riba, khamar, dan judi. Kemudian engkau dapati banyak dari tokoh-tokoh
mereka terjatuh di dalamnya maka mereka itu murtad, bahkan lebih dasyat
dari itu bahwa di antara mereka ada orang yang menulis tulisan dalam
ajaran kaum musyrikin seperti yang dilakukan oleh ‘Abdillah Ar Raziy yaitu (Al Fakhru Ar Raziy),
beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata : “Dan ini adalah kemurtadan yang
terang dengan kesepakatan kaum muslimin.” Kemudian Syaikh Muhammad
berkata : “Dan kami tidak mengetahui penyelisihan dalam masalah ini
dari seorang ulamapun.” [Mufid Al Mustafid : 54-55]
Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata juga: Para ulama ijma bahwa tidak boleh taqlid dalam urusan tauhid dan kerasulan. ( Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah:10/399-400).
IV. Pernyataan Para Imam
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah
berkata : “Dan siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallah namun dia
melakukan syirik akbar, seperti permintaan kepada mayit dan yang ghaib,
permohonan kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan dan diselamatkan
dari bencana serta taqarrub kepada mereka dengan nadzar dan sembelihan,
maka dia musyrik, mau tidak mau. [Risalah makna kalimah At Tauhid dalam Al Kalimat An Nafi’ah : 106]
Dan
beliau berkata : “Dan termasuk hal yang maklum adalah bahwa syirik itu
hanyalah diharamkan karena keburukan pada dzatnya dan karena ia
mengandung celaan dan hinaan terhadap Rabb serta menyerupakan-Nya
dengan para makhluk, sehingga kerusakan-kerusakan ini tidak bisa hilang
dengan cara merubah namanya, seperti penamaannya sebagai tawassul,
minta syafa’at, pengagungan dan penghormatan terhadap orang-orang
shalih dan yang lainnya. Orang musyrik itu adalah orang musyrik, mau
tidak mau, sebagaimana pezina itu adalah pezina mau tidak mau, dan
begitu juga pemakan riba itu adalah pemakan riba, mau tidak mau.” [Ta’rif Al Ibadah : 155 dalam cetakan Al Kalimat An Nafi’ah]
Dan beliau berkata juga : “Sesungguhnya beliau (Ibnu Taimiyyah) mensyaratkan fahmul hujjah
dalam hal-hal yang samar atas banyak manusia serta tidak ada penohokan
di dalamnya terhadap tauhid dan risalah, seperti jahil akan sebagian
sifat (Allah). Adapun hal-hal yang langsung menohok Tauhid dan keimanan
terhadap risalah, maka sesungguhnya beliau telah menegaskan dalam
banyak tempat terhadap kekafiran para pelakunya serta hukuman bunuh
bagi mereka setelah disuruh bertaubat, dan beliau tidak mengudzur mereka
dengan sebab kejahilan, padahal kita memastikan bahwa penyebab
keterjatuhan mereka dalam hal-hal tersebut adalah kejahilan. Karena
kalau seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu adalah kekafiran yang
mengeluarkan dari Islam tentulah mereka tidak melakukannya.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahli : 14, Ad Durar Saniyyah :10/368]
Dan beliau berkata juga : “Dan perkataannya (Ibnu Taimiyyah) rahimahullah
dalam hal seperti itu adalah banyak, beliau tidak mengkhususkan takfir
terhadap orang mu’anid saja, padahal dipastikan bahwa mayoritas mereka
itu adalah orang-orang jahil yang tidak mengetahui bahwa apa yang
mereka ucapkan atau mereka lakukan itu adalah kekafiran, mereka tidak
diudzur dengan sebab kajahilan dalam hal-hal seperti ini, karena di
antara hal itu ada yang langsung menohok tauhid yang merupakan
kewajiban terbesar, dan di antaranya ada yang mengandung penentangan
terhadap risalah dan penolakan nash-nash Al Kitab dan As Sunah yang
sudah di ijmakan oleh ulama salaf.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahli : 16]
Dan beliau berkata lagi : “Masalahnya sebagaimana yang dikatakan (oleh Ibnul Qayyim) rahimahullah
bahwa sebab terjadinya syirik adalah nampaknya kajahilan,
menghilangnya ilmu, sedikitnya ulama dan dominannya orang-orang bodoh…”
[Al Intishar, AqidatulMuwahhidin : 31]
Dan beliau berkata lagi seraya menukil dari Ibnul Qayyim : “Dan Ibnul Qayyim berkata : ‘Saya melihat ucapan yang indah milik Abul Wafa Ibnu Uqail.
Saya tuturkan lengkap ucapannya : Tatkala taklif ini dirasa berat oleh
orang-orang jahil dan para pengekor, maka mereka berpaling dari
tuntunan-tuntunan syariat kepada tuntunan-tuntunan yang mereka
buat-buat bagi mereka sendiri, sehingga terasa mudah atas mereka,
karena mereka dengannya tidak berada dalam perintah selain mereka.’”.
Beliau (Abul Wafa) berkata : Dan mereka adalah orang-orang kafir menurut saya dengan sebab perbuatan-perbuatan ini.
Dan Aba Buthain rahimahullah berkata : “lihatlah pengkafiran Ibnu Uqail terhadap mereka padahal beliau mengabarkan kejahilan mereka.” [Al-Intishar, Aqidatul Muwahhidin : 33]
Perkataan Ibnu Uqail ini dinukil juga oleh Syaikh Muhammad dalam Mufid Al Mustafid. (lihat Aqidatul Muwahhidin : 64 dan Tarikh Nejed : 375) .
Beliau (Aba Buthain) rahimahullah
ditanya tentang orang yang melakukan salah satu dari mukaffirah karena
kejahilan, apakah dia kafir atau tidak, bila tidak mengetahui bahwa
apa yang dia lakukan itu adalah kekafiran ? Beliau menjawab setelah
menuturkan 3 ayat 163-165 dari surat An Nisa : “Tidak ada udzur bagi
seorangpun setelah diutusnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
dalam ketidakberimanan terhadap beliau dan apa yang beliau bawa dengan
alasan dia tidak memahami hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan
Allah, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu tidak paham…” [Ad Durar As Saniyyah : 10/351/352]
Dan
berkata juga (Ibnu Taimiyyah) memvonis kemurtaddan mereka (yaitu
tokoh-tokoh ahli kalam) begitu saja dan beliau tidak tawaqquf pada
orang-orang yang jahil. [Ad Durar As Saniyyah : 10/355]
Dan berkata juga : “Siapa orangnya yang telah sampai kepadanya risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
dan Al Qur’an juga sampai kepadanya maka hujjah telah tegak atasnya,
sehingga tidak ada udzur dalam ketidakberimanan kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir,
kemudian tidak ada udzur baginya karena kajahilan setelah itu.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/365]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab
berkata : “Sesungguhnya engkau bila telah mengetahui bahwa orang
menjadi kafir dengan satu kalimat yang dilontarkan dari lisannya, dan
terkadang dia mengucapkannya sedang dia jahil, namun dia tidak diudzur
karena kejahilan.” [Kasyfu Asy Syubuhat, Majmuah At Tauhid : 60]
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab
menukil dari Ibnu Hajar dalam kitab Az Zawajir ‘An Iqtirafil Kabair :
“Penjelasan Syirik, dan beliau menuturkan sejumlah darinya karena
banyak terjadinya di antara menusia dan di lisan-lisan orang awam tanpa
mereka mengetahui (mereka jahil) bahwa hal itu seperti itu, sehingga
bila jelas (status)nya bagi mereka maka mudah-mudahan mereka
menjauhinya supaya tidak hapus amalan-amalan orang yang melakukan hal
itu dan mereka kekal dalam adzab yang sangat besar dan siksa yang
sangat pedih.” [Al Kalimat An Nafi’ah : 40]
Dan
berkata juga : “Dan Al Qur’an sangat sarat dengan ayat-ayat seperti
ini, namun mayoritas manusia tidak merasa akan masuknya realita
(mereka) dalam kandungan (makna)nya, dan dia mengiranya berkenaan dengan
orang-orang yang sudah lewat dan tidak meninggalkan penerus. Inilah
yang menghalangi antara seseorang dengan memahami Al Qur’an,
sebagaimana apa yang dikatakan oleh Umar Ibnul Khattab radhiyallahu’anhu
: “Ikatan-ikatan Islam ini hanya akan terurai satu demi satu bila
tumbuh di dalam Islam ini orang yang tidak mengetahui jahiliyyah.” Ini
dikarenakan seandainya dia tidak mengetahui Syirik dan apa yang dicela
dan dikecam oleh Al Qur’an maka dia jatuh kedalamnya dan merestuinya
sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu adalah apa yang dikerjakan
oleh orang-orang jahiliyyah sehingga dengannya terurailah ikatan-ikatan
Islam.” [Al Kalimat An Nafi’ah : 13 -14]
Al Imam Al Bukhari
berkata : Bab maksiat-maksiat adalah termasuk masalah (peninggalan)
jahiliyyah dan pelakunya tidak dikafirkan kecuali dengan sebab syirik
berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alahi wasallam : “Sesungguhnya kamu adalah orang yang pada dirimu ada sifat kejahiliyyahan.” Dan Allah berfirman :
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya dan mengampuni (dosa)
apa yang dibawah itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. An Nisa [4] : 48) [Kitab Al Iman : 10]
Al Imam Al Barbahari rahimahullah
berkata : “Dan seorangpun dari Ahli kiblat tidak boleh divonis keluar
dari Islam sehingga ia menolak satu ayat dari Kitabullah ‘Azza wa Jalla
atau menolak sebagian dari atsar-atsar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
atau menyembelih untuk selain Allah atau shalat kepada selain Allah,
dan bila dia melakukan sesuatu dari hal itu maka wajib atas kamu
mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila tidak melakukan sesuatu darinya
maka dia itu muslim secara nama tidak secara hakikat (sebenarnya).” [Syarhus Sunnah poin 49]
Al Imam Asy Syaukani rahimahullah
berkata dalam bab Al Ijtihad : “Pertama : Kekeliruan yang bisa menjadi
penghalang dari mengetahui Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dalam
menerapkan ilmu akan Pencipta, tauhid dan keadilan. Para ulama
mengatakan : masalah seperti ini kebenaran di dalamnya adalah hanya
satu, siapa yang menepatinya maka ia sampai pada kebenaran dan siapa
yang keliru di dalamnya maka dia kafir.” [Irsyadul Fuhul 2/227, Al Haqaaiq]
Dan
berkata juga : “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa
mengamalkan maknanya tidaklah menetapkan keIslaman(nya), karena
sandainya kalimat ini diucapkan oleh seorang dari ahlul jahiliyyah dan
dia masih tetap beribadah kepada berhalanya tentulah hal itu bukan
bentuk keIslaman(nya).” [Ad Durr An Nadlid : 77]
Dan
beliau berkata : “Bila engkau mengatakan : orang-orang yang
mengkultuskan orang-orang yang sudah mati tidak mengetahui bahwa apa
yang mereka lakukan adalah Syirik, bahkan seandainya dia mengetahui
sedikit saja bahwa itu adalah Syirik tentulah dia tidak akan
melakukannya. Maka saya katakan : masalahnya memang seperti apa yang
engkau katakan, namun tidak samar lagi atas dirimu apa yang sudah baku
dalam sebab-sebab kemurtaddan bahwa tidak disyaratkan dalam keadaan
riddah itu Al Ilmu (tahu) akan makna yang diucapkan oleh orang yang
mendatangkan lafadh kekafiran atau yang dilakukan oleh orang yang
melakukan perbuatan kafir.” [Ad Durar An Nadlid : 82]
Al Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Raudhatun Nadhir
: “Al Jahidh mengklaim bahwa orang yang menyelisihi millah Al Islam
bila dia memandang kemudian tidak mampu mendapatkan kebenaran, maka dia
diudzur lagi tidak dosa…” Kemudian beliau (Ibnu Qudamah) berkata :
“Adapun pendapat Al Jahidh maka bathil secara yakin dan kekafiran
terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan bentuk penolakan akan Allah dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam, karena kita mengetahui secara pasti bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan orang-orang Yahudi dan Nashrani untuk masuk Islam dan
mengikutinya, serta beliau mencela mereka atas sikap keras kepala
mereka, beliau perangi semuanya dan membunuhi orang yang sudah baligh
di antara mereka, sedangkan kita mengetahui bahwa orang mu’anid yang
mengetahui (kebenaran) itu adalah tergolong jarang, dan justeru
mayoritasnya adalah kaum muqallidin yang menyakini ajaran pendahulu mereka secara taqlid, dan mereka tidak mengetahui mukjizat dan kejujuran Rasulullah. [Ithaf Dzawil Bashaa-ir, Tahqiq Abdul Karim An Namlah : 8/76-78]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata dalam pembatal-pembatal keIslaman : Dan tidak ada perbedaan
dalam semua pembatal-pembatal ini antara orang yang main-main dan
serius serta yang takut, kecuali orang yang dipaksa. [Majmu’ah At Tauhid : 25]
Dan beliau tidak mengecualikan orang jahil, atau melakukan takwil, atau salah ijtihad, atau taqlid.
Syaikh Muhammad
berkata tatkala menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah takfir
(Saya adalah tergolong orang yang paling melarang penisbatan orang
mu’ayyan terhadap takfir, tabdi’ (bid’ah), tafsiq, atau maksiat kecuali
bila telah diketahui bahwa telah tegak hujjah atasnya hujjah
risaliyyah yang mana orang yang menyelisihinya bisa menjadi kafir,
fasiq, atau maksiat) Syaikh Muhammad berkata : “Ini adalah bentuk
ucapannya dalam masalah ini. Disetiap tempat yang kami kaji dari
pernyataannya, beliau tidak menyebutkan sikap tidak kafir mu’ayyan
melainkan beliau itu menyusul perkataannya itu dengan (ungkapan) yang
bisa menghilangkan kemusykilan, bahwa yang dimaksud dengan sikap
tawaqquf dari mengkafirkannya adalah sebelum sampainya hujjah
kepadanya. Adapun bila hujjah telah sampai kepadanya maka dia itu
divonis sesuai dengan tuntutan masalah ini, baik takfir, tafsiq, atau
maksiat. Dan beliau rahimahullah tegas-tegasan menyatakan bahwa ucapannya itu adalah dalam selain masalah-masalah dhahirah. Beliau menyatakan dalam Ar Rad ‘Alal Mutakallimin
tatkala menuturkan bahwa sebagian imam-imam mereka murtad dari Islam,
beliau berkata : “Dan hal ini bila dalam maqalat khafiyyah (hal-hal
yang masih samar) bisa dikatakan bahwa dia itu adalah orang yang keliru
yang sesat di dalamnya yang mana belum tegak atasnya hujjah yang
membuat kafir orang yang meninggalkannya. Namun (kesalahan) ini muncul
dari mereka dalam hal-hal yang mana orang-orang khusus dan orang-orang
awam dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
diutus dengannya dan beliau kafirkan orang yang menyelisihinya seperti
peribadatan terhadap Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangan
dari beribadah kepada selain-Nya baik berupa malaikat, para Nabi dan
yang lainnya, sesungguhnya ini syiar-syiar Islam yang paling nyata, dan
sepeti wajibnya shalat lima waktu dan pengagungan status shalat ini,
juga seperti pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan keji),
riba, khamar, dan judi. Kemudian engkau dapati banyak dari tokoh-tokoh
mereka terjatuh di dalamnya maka mereka itu murtad, bahkan lebih dasyat
dari itu bahwa di antara mereka ada orang yang menulis tulisan dalam
ajaran kaum musyrikin seperti yang dilakukan oleh ‘Abdillah Ar Raziy
yaitu (Al Fakhru Ar Raziy), beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata : “Dan ini
adalah kemurtadan yang terang dengan kesepakatan kaum muslimin.”
Kemudian Syaikh Muhammad berkata : “Dan kami tidak mengetahui
penyelisihan dalam masalah ini dari seorang ulamapun.” [Mufid Al Mustafid : 54-55]
Dan
sebelumnya beliau menyebutkan bahwa Al Fakhru Ar Raziy, Abu Mi’syar
dan yang lainnya bahwa mereka telah murtad dan kafir dari Islam. [Mufid Al Mustafid : 54]
Beliau berkata dalam risalah hakikat makna Laa ilaaha illallaah : Maka dikatakan kepada orang jahil ini
bila kamu tahu al ilah adalah al ma’bud (yang diibadati) dan kamu tahu
bahwa do’a termasuk ibadah, maka bagaimana kamu berdo’a kepada makhluk
yang mati lagi lemah dan kamu tinggalkan Dzat Yang Maha Hidup Yang
Maha Berdiri Sendiri Yang Maha Lembut Yang Maha Penyanyang lagi Maha
Kuasa…? Maka orang musyrik ini
malah mengatakan : “Sesungguhnya segala urusan ada di Tangan Allah,
namun orang shalih ini memberi syafaat bagi saya. Dan dia mengira bahwa
hal itu menyelamatkan dia dari Syirik”. [Aqaa-idul Islam: 17]
Beliau
berkata juga setelah menuturkan hadist-hadist : “Hadist-hadist shahih
ini bila dilihat oleh orang jahil ini atau sebagiannya, atau dia
mendengarnya dari orang lain, maka jiwanya senang dan matanya berbinar…
padahal masalah tidak seperti apa yang dikira oleh orang jahil yang
musyrik ini.” [Risalah Fisy Syahadatain Aqaa-idul Islam : 24]
Dan
beliau berkata setelah menyebutkan Khawarij : “Apakah orang jahil yang
musyrik ini mengira bahwa mereka meninggalkan hal itu karena alasan
mereka itu mambaca tasbih, tahlil dan takbir.” [Risalah Fisy Syahadatain Aqaa-idul Islam : 25]
Dan beliau berkata juga dalam risalah lain tentang Kalimah At Tauhid
setelah menuturkan ayat-ayat : “Maka ketahuilah bahwa wasiat Allah
bagi hamba-hamba-Nya adalah kalimah Tauhid yang memilah antara
kekafiran dan Islam. Maka saat itu terpecahlah manusia, baik karena
kejahilan, atau aniaya, atau pembangkangan.” [Aqaid Al Islam : 37]
Dan
beliau berkata lagi dalam suratnya kepada Abdurrahman Ibnu Rabi’ah:
“Siapa yang beribadah kepada Allah siang dan malam kemudian dia menyeru
Nabi atau wali di sisi kuburannya, maka dia telah mengangkat dua tuhan
dan tidak bersaksi akan Laa ilaaha illallah, karena al ilah
adalah apa yang diseru sebagaimana apa yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik pada hari ini dikuburan Az Zubair, Abdul Qadir atau yang
lainnya dan sebagaimana yang dilakukan sebelumnya di kuburan Zaid dan
yang lain.“ [Tarikh Nejed : 341]
Beliau
berkata kepada orang yang menuduhnya dengan berbagai tuduhan, berkata
seraya membantah : “Al hamdulillaah Amma ba’du, apa yang disebutkan
oleh orang-orang musyrik bahwa saya melarang baca shalawat kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam atau saya pernah menyatakan bahwa seandainya saya punya kuasa saya sudah hancurkan kubah (kuburan) Nabi shalallahu ‘alahi wasallam
atau (tuduhan) bahwa saya menjelek-jelekkan orang shaleh atau bahwa
saya melarang mencintai mereka. Semua ini adalah dusta dan fitnah yang
dibuat-buat atas nama saya oleh syaitan-syaitan yang ingin memakan
harta orang lain dengan bathil, seperti Syamsan dan anak-anak Idris yang
menyuruh orang-orang agar bernadzar buat mereka, memohon kepada mereka
dan menyerunya, dan begitu syaitan-syaitan yang faqir yang mengaku-aku
pengagung Syaikh Abdul Qadir rahimahullah padahal beliau berlepas diri dari mereka seperi bara’nya Ali Ibnu Abi Thalib rahimahullah dari Rafidlah. Maka tatkala orang-orang melihat saya memerintahkan mereka dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
yaitu agar mereka tidak beribadah kecuali kepada Allah dan bahwa orang
yang menyeru Abdul Qadir adalah kafir dan Abdul Qadir bara’ dari
mereka…” [Tarikh Nejd:468]
Beliau
katakan : “Dan sesungguhnya kami kafirkan thaghut penduduk Kharj dan
yang lainya karena sebab perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan, di
antaranya :
- Sesungguhnya mereka menjadikan bapak-bapak dan kakek-kakek mereka sebagai perantara.
- Dan juga mereka mengajak manusia kepada kekufuran.
- Dan juga mereka membuat orang-orang benci akan dien Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka mengklaim bahwa penduduk ‘Aridl telah kafir tatkala menyatakan tidak ada yang (berhak) diibadati kecuali Allah.
- Dan macam-macam kekafiran lainnya.
Ini adalah hal yang jelas yang lebih terang dari matahari yang tidak membutuhkan penjelasan (lagi), namun kamu ini adalah laki-laki yang bodoh lagi musyrik…”
Kemudian
beliau berkata : “Dan adapun masalah yang ketiga : yaitu tipu daya
kamu yang paling besar yang dengannya kamu menipu orang awam : Bahwa
para ulama berkata (Tidak boleh mengkafirkan orang muslim dengan sebab dzanb
(dosa)) : Ini adalah benar, namun ini bukan apa yang kami lakukan, dan
itu (sebabnya) adalah bahwa Khawarij mengkafirkan orang yang berzina,
atau orang yang mencuri, atau orang yang membunuh, bahkan bila setiap
dosa besar dilakukan oleh orang muslim maka dia kafir. Adapun Ahlus
Sunnah, sesungguhnya madzhab mereka adalah bahwa orang muslim tidak
dikafirkan kecuali dengan sebab syirik. Sedangkan kami tidak
mengkafirkan thaghut-tahghut dan para pengikutnya kecuali dengan sebab
syirik, dan kamu ini adalah tergolong orang yang paling bodoh, kamu
kira bahwa orang yang shalat dan mengaku Islam itu tidak bisa kafir,
kalau kamu meyakini itu, maka apa pendapat kamu tentang orang-orang
munafiq yang ikut shalat, shaum dan ikut jihad…?” [Tarikh Nejd : 304-305 Surat kepada Ibnu Suhaim Qadli Riyad], silahkan baca Tarikh Nejd bagi orang yang ingin petunjuk !
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya orang yang melakukan syirik berarti telah
meninggalkan Tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang kontradiksi
yang tidak bisa bersatu, di kala syirik ada maka Tauhid menghilang.” [Syarh Ashli Dien Al Islam, Majmu’ah At Tauhid : 28]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab
berkata : “Dan orang yang menyelisihi dalam hal itu adalah
bermacam-macam, dan orang yang paling dahsyat penyelisihannya adalah
orang yang menyelisihi dalam semua itu.”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata seraya mensyarah ucapan Syaikh Muhammad : “Dia menerima
syirik seraya meyakininya sebagai dien (ajaran) dan dia mengingkarai
Tauhid dan meyakini sebagai kebathilan, sebagaimana realitas mayoritas
(orang yang mengaku Islam). Dan sebabnya adalah kebodohan
akan kandungan Al Kitab dan As Sunnah berupa ma’rifah akan Tauhid dan
apa yang menafikannya berupa syirik, tandid, mengikuti hawa nafsu dan
apa yang diwariskan oleh nenek moyang, seperti keadaan para pendahulu
mereka dari kalangan musuh para rasul. Mereka menuduh ahli Tauhid
dengan tuduhan dusta, bohong, mengada-ada dan nista, dan dalih mereka
adalah : “Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami begitulah mereka melakukan.” (Q.S. Asy Syu’ara [26] : 74)
Orang macam ini dan yang sesudahnya telah melanggar kandungan kalimat
ikhlas dan makna yang ditunjukannya serta isinya berupa dien yang mana
Allah tidak menerima dien selainnya yaitu Al Islam.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid : 29-30]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam Fatawa Al Aimmah An Najdiyyah 3/155
: Dalam jawaban Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa Al Mishriyyah tentang ahli
filsafat, setelah beliau menuturkan apa yang mereka yakini, beliau
berkata : ”Dan Syaikhul Islam tidak mengatakan bahwa mereka itu diudzur
karena kejahilan, namun justeru beliau mengkafirkan mereka dan
mengatakan bahwa mereka itu murtad”, beliau berkata : “Dan siapa yang
menyembunyikan (keyakinannya) maka dia itu munafiq yang tidak disuruh
taubat menurut mayoritas ulama.” [Al Mutammimah Li Kalami Aimatid Dakwah : 22]
Dan
beliau berkata : “Dikatakan setiap orang kafir pasti telah keliru dan
orang-orang musyrik itu mesti memiliki pentakwilan-pentakwilan dan
meyakini bahwa penyekutuan mereka dengan orang-orang shaleh itu adalah
bentuk pengagungan terhadap mereka yang manfa’at bagi mereka dan bisa
membela mereka, namun mereka tidak diudzur dengan sebab kekeliruan itu
dan juga dengan sebab takwil tersebut.” [Al Fatawa Al Aimmahh An Najdiyyah 3/168, Al Mutammimah 22-23]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah
: “Dan kita mengetahui orang yang melakukan hal itu (maksudnya syirik)
dari kalangan orang yang mengaku Islam, bahwa tidak ada yang
menjerumuskan mereka kedalam hal itu kecuali kejahilan.
Seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu menjauhkan dari Allah
sejauh-jauhnya dan (mengetahui) bahwa itu tergolong syirik yang telah
Allah haramkan, tentulah mereka tidak melakukannya, namun semua ulama
telah mengkafirkan mereka dan tidak mengudzur karena kejahilan
sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang-orang sesat :
‘Sesungguhnya mereka itu diudzur karena sesungguhnya mereka itu jahil.’“
[Ad Durar As Saniyyah : 10/405]
Beliau berkata juga : “Dan apa yang telah lalu berupa penghikayatan Syaikhul Islam rahimahullah
terhadap ijma kaum muslimin bahwa orang yang menjadikan antara dia
dengan Allah para perantara yang mana ia tawakkal terhadap mereka dan
mohon kepada mereka penghadiran manfa’at dan penolakan bahaya bahwa dia
itu kafir musyrik (penghikayatan ijma) itu meliputi orang yang jahil dan lainnya.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/393]
Dan
beliau berkata lagi : “Dan semua ulama dalam kitab-kitab Fiqh
menyebutkan hukum orang murtad, dan macam kekafiran dan kemurtaddan
yang paling pertama mereka sebutkan adalah Syirik, mereka berkata :
sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah maka dia telah kafir, dan mereka tidak mengecualikan orang jahil.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/402]
Dan
berkata lagi : “Dan Al Qur’an membantah orang yang menyatakan, ‘bahwa
orang taqlid itu diudzur’ (orang yang mengatakan demikian) sungguh
telah mengada-ada dan berdusta atas nama Allah.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/394]
Syaikh Abdullathif Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya seluruh orang-orang kafir dan orang-orang
musyrik semenjak zaman Nuh hingga masa kita ini mereka jahil dan
melakukan takwil. Ahlul Hulul Wal Ittihad, Ibnu ‘Arabiy, Ibnu Faridl At
Tilimsaniy dan yang lainnya dari kalangan Shufiyyah mereka melakukan
takwil. Para ‘Ubbadul Qubur dan kaum musyrikin yang menjadi fokus
pembicaraan, mereka juga melakukan takwil –hingga beliau
mengatakan– dan orang-orang Nashrani juga melakukan takwil.” [Minhaj At Ta’sis : 262]
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah
berkata : “Syirik akbar berupa ibadah kepada selain Allah dan
memalingkannya kepada makhluk-makhluk yang mereka sekutukan bersama
Allah, berupa para Nabi, para wali dan orang-orang shalih, sesungguhnya
hal ini tidak seorangpun diudzur karena kejahilan akannya, namun
mengetahuinya dan iman kepadanya termasuk hal-hal yang paling pokok
dalam Islam.” [Kasyfu Asy Syubhatain : 63]
Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad
ditanya dan di daftar isi pengumpul fatwa-fatwanya mengatakan : Apakah
diudzur karena kejahilan dalam tauhid, kemudian pengumpul berkata :
Beliau (Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim) ditanya : meskipun dia itu
jahil…? beliau menjawab : Tauhid, tidak dianggap kejahilan di dalamnya.
Hal seperti ini tidak layak tidak diketahui. Orang seperi ini hanyalah
berpaling dari dien. Apakah orang tidak tahu matahari ?” [Al Fatawa 12/198, Al Mutammimah : 36]
Syaikh Abu ‘Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid rahimahullah
berkata : “Ashlud dien adalah mengenal Allah ‘Azza wa Jalla dan
beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan hal ini tidak
ada udzur karena kajahilan di dalamnya, sama saja apakah tempat
kemungkinan ilmu ada seperti Darul Islam atau tidak ada seperti Darul
Harbi, dan sama saja apakah penegakan hujjah itu sudah terjadi atau
belum. Dan wajib menganggap orang yang jahil darinya sebagai orang
kafir dalam urusan dhahir.” [Al Jawabul Mufid dalam Aqidatul Muwahhidin : 327]
Kemudian
beliau menuturkan masalah yang mungkin bisa diudzur : “Dan mereka itu
diudzur dengan sebab menyelisihi petunjuk para rasul hanya dalam
hal-hal yang tidak bisa diketahui kecuali dari mereka, yaitu mayoritas
ibadah-ibadah yang terperinci.”
Penulis kitab Ma’aarij Al Qabul berkata bahwa macam-macam kekafiran tidak keluar dari empat : Kufr Jahl wa takdzib (Kekafiran karena sebab kejahilan dan pendustaan), Kufr Kitman Wa inkar (Kekafiran karena pengingkaran dan penyembunyian), Kufr ‘inad wastikbar (Kekufuran karena pembangkangan dan penolakan), dan kufur nifaq.
Bila semuanya terkumpul pada sesorang maka itu kegelapan berlapis
kegelapan, karena masalahnya bisa jadi hal itu semuanya tidak ada, yaitu
ucapan hati, perbuatannya, ucapan lisan dan amalan anggota badan, atau
hilang sebagiannya saja berdasarkan rincian berikut… Kemudian dia
sebutkan yang kedua : Dan bila hilang pembenaran hati yang disertai
tidak adanya pengetahuan akan kebenaran maka hal ini adalah kekafiran
karena sebab kejahilan dan pendustaan, dan itu seperti kafirnya
orang-orang musyrik Arab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Namun mereka mendustakan apa yang tidak mereka kuasai ilmunya dan belum datang kepada mereka takwilnya.” (Q.S. Yunus [10] : 39) [Mukhtashar Ma’aarij Al Qabul : 183]
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata : “Selama si hamba tidak membawa hal ini (tauhid…) maka dia
bukan muslim, bila dia bukan kafir mu’anid maka dia kafir jahil. Status
thabaqah orang-orang ini adalah kafir jahil yang tidak mu’anid,
sedangkan ketidakmembangkangan mereka itu tidaklah mengeluarkan mereka
dari statusnya sebagai orang-orang kafir.” [Thariq Al Hijratain : 542]
V. QIYAS
Pembahasan ini kami ambil sepenuhnya dari kitab Al Mutammimah Li Kalam Aimmatid Dakwah karya Syaikh Ali Ibnu Khudlair hafidhahullah. Beliau berkata :
Setelah
menuturkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, Ijma dan
pernyataan para ulama yang menunjukan tidak ada udzur karena kejahilan
dalam hal syirik akbar, kami akan menuturkan apa yang ditunjukan oleh
qiyas dalam hal itu. Dan disini ada dua qiyas : Qiyas Aula dan Qiyas
Syabah.
Petama : Qiyas Aula
- Ijma para sahabat atas kafirnya Musailamah dan para pengikutnya secara ta’yin dan mereka tidak diudzur karena kejahilan tatkala dia mengaku sekutu Rasulullah dalam kenabian.
Sisi
Qiyasnya adalah tidak diudzurnya dia dalam persekutuan ini, maka apa
gerangan dengan orang yang mengklaim musyarakah (menyertai/menyekutui)
Allah dalam ibadah kepada-Nya, dia dan pengikutnya. Dan ini lebih utama
(untuk tidak diudzur)
- Ijma para sahabat atas kafirnya Al Mukhtar Ats Tsaqafi dan para pengikutnya tatkala dia mengklaim menjadi Nabi, sebagaimana yang kami katakan tentang Musailamah dan para pengikutnya. Ini juga lebih utama (untuk tidak diudzur karena kejahilan).
- Ijma para sahabat atas tidak diudzurnya orang-orang yang menolak bayar zakat dengan sebab kejahilan, karena mereka menolak (menunaikan) salah satu dari hak Laa ilaaha illallaah, maka lebih utama lagi orang yang menolak Laa ilaaha illallaah yang merupakan inti.
- Tidak diudzurnya orang yang menikahi ibu tirinya dengan ijma dengan sebab kejahilan, bahkan tidak diminta rincian masalah darinya, karena masalahnya adalah sama dalam hal itu, karena dia tidak komitmen akan hak-hak Laa ilaaha illallaah maka apa gerangan dengan Laa ilaaha illallaah.
Kedua : Qiyas Syabh
- Salaf ijma atas kafirnya Ahlul Hulul Wal Ittihad, karena mereka mengklaim bahwa Allah telah menyatu pada sebagian makhluk-Nya Maha Suci Allah dari hal itu. Maka begitu juga sama dengannya orang yang mengklaim bahwa uluhiyyah (sifat Ketuhanan) itu menyatu pada diri orang-orang shalih, sehingga dia mengibadatinya.
- Salaf ijma atas kafirnya Al Musyabbihah yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dalam asma dan sifat, maka serupa dengannya orang yang menyamakan salah satu makhluk Allah dengan Allah dalam sifat uluhiyyah baginya, terus dia mengibadati selain Allah.
- Salaf ijma atas kafirnya orang-orang Jahmiyyah Mu’aththilah dan Qadariyyah yang mengingkari lagi menafikan sifat Ilmu bagi Allah, maka serupa dengannya orang yang menafikan sifat uluhiyyah dari Allah dan memberikan kepada sebagian makhluk-Nya
- Mengqiyaskannya dengan qiyas syabah terhadap orang yang memperolok-olok Allah, maka sesungguhnya dia kafir dengan ijma dan tidak diudzur dengan kejahilannya, sedangkan orang musyrik dengan penyekutuannya itu dia memperolok-olok Allah sebagaimana kata ulama salaf, Allah berfirman : “Dan Maha Suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik”
VI. Lawazim (Konsekuensi-Kensekuensi) Yang Bathil
Orang
yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan, dia memiliki
konsekuensi-konsekuensi yang bathil bila memberlakukan pendapatnya
secara baku :
- Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil lagi awam dari kalangan Yahudi dan Nashrani.
- Dia harus mengudzur Ahlul Fatrah atau sebagiannya karena kejahilan mereka. (dan ini tentunya menyelisihi ijma)
- Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil dan awam dari kalangan munafiqin. (dan ini tentunya menyelisihi ijma)
- Dia harus mengudzur setiap orang yang mengingkari rububiyyah Allah karena jahil. (dan ini tentunya menyelisihi ijma)
- Dia harus mengudzur orang yang mengingkari Ilmu Allah karena kejahilan atau takwil. (dan ini tentunya menyalahi ijma)
- Dia harus mengudzur orang yang menafikan nama-nama dan sifat Allah karena kejahilan dari kalangan jahmiyyah. (dan ini tentunya menyalahi ijma)
- Pendapat ini mengharuskan adanya pendapat bahwa hujjah itu belum tegak atas seorangpun dari umat ini baik dengan Rasul atau dengan Al Qur’an.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata saat menjelaskan batalnya lawazim yang lalu, beliau berkata dalam kitabnya Kasyfusy Syubhatain :
“Sesungguhnya larangan dari mengkafirkan dan menetapkan dosa dengan
sebab kekeliruan dalam hal ini semua (yaitu syirik akbar) adalah
merupakan sikap membantah terhadap (ulama-ulama) yang telah
mengkafirkan Mu’aththilah Dzat, Mu’aththilah Rububiyyah, Mu’aththilah
Asma dan Sifat dan mu’aththilah sifat Esa Allah ta’ala dengan
Ilahiyyah, dan orang-orang yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala
tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi sebelum kejadiaannya
seperti Qadariyyah yang ekstrim, dan orang-orang yang berpendapat dengan
penyandaran segala kejadian kepada bintang-bintang yang ada di atas,
serta orang yang berkeyakinan adanya dua pokok, cahaya dan gelap.
Sesungguhnya orang yang komitmen dengan hal ini semua, maka dia lebih
kafir dan lebih sesat daripada Yahudi dan Nashrani.
Apakah
setelah jabaran yang ringkas ini, wajarkah orang yang berakal
mengatakan bahwa saya adalah mubtadi’ yang perlu disuruh taubat…? Kepada Allah tempat mengadu dan dihadapan Allah kita akan bertemu…
Pasal 6: Nukilan Sheikh Muhammad Amin Asy Syinqithy Tentang Orang Yang Menerapkan Hukum Buatan
Cukuplah untuk menjelaskan kekafiran penguasa-penguasa negara ini kami tuturkan perkataan Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithy rahimahullah, karena yang dibutuhkan adalah ikhtishar (ringkas) saja.
Beliau
Berkata : “Termasuk petunjuk Al Qur’an terhadap jalan yang paling
lurus adalah penjelasannya bahwa setiap orang yang mengikuti hukum
(tasyri) selain hukum yang dibawa oleh penghulu anak Adam Muhammad Ibnu
Adillah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka ikutnya terhadap hukum yang menyelisihi itu adalah kufrun bawwah
(kekafiran yang nyata) yang mengeluarkan dari Millah Islamiyyah.”
Kekafiran yang lebih jelas dari sinar matahari di siang bolong. [Adlwa-ul Bayan 3/324]
Dan
beliau berkata juga : “Allah bersumpah dengannya bahwa orang yang
mengikuti syaitan dalam penghalalan bangkai adalah musyrik, sedangkan
syirik ini adalah mengeluarkan dari millah (Islam) dengan ijma kaum
muslimin.” [Adlwa-ul Bayan : 3/325]
Ketahuilah bahwa pembuat hukum dan perundangan adalah corong syaitan ditengah manusia.
Dan berkata juga : “Dan bisa dipahami dari ayat-ayat ini, seperti firman-Nya : “Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya.” (Q.S. Al Kahfi [18] : 26)
Bahwa orang-orang yang mengikuti aturan-aturan para pembuat hukum
selain apa yang telah Allah syariatkan sesungguhnya mereka adalah
orang-orang musyrik.” [Adlwa-ul Bayan : 4/65]
Dan
berkata juga : “Dan dengan nash-nash samawi yang telah kami sebutkan
ini, jelaslah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti
qawanin wadl’iyyah yang ditetapkan oleh syaitan lewat lisan-lisan para
walinya seraya menyelisihi apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala syariatkan lewat lisan-lisan para rasul-Nya ‘alaihimussalam,
sesungguhnya tidak ada yang meragukan kekafiran dan kemusyrikan mereka
kecuali orang yang telah Allah hapus bashirahnya dan Allah butakan
dari cahaya wahyu seperti mereka.” [Adlwa-ul Bayan : 4/66]
Dan
berkata juga : “Ketahuilah wahai ikhwan, bahwa penyekutuan Allah dalam
hukum-Nya dan penyekutuan-Nya dalam ibadah kepada-Nya, semuanya satu
tidak ada perbedaan sama sekali di antara keduanya. Orang yang
mengikuti aturan selain aturan Allah dan hukum selain hukum Allah (atau
selain apa yang Allah syariatkan) serta undang-undang yang menyelisihi
syariat Allah, yang dibuat oleh manusia seraya berpaling dari cahaya
langit yang Allah turunkan lewat lisan Rasul-Nya, orang yang seperti
ini dan orang yang menyembah patung dan sujud kepada berhala adalah
sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya, keduanya satu
(status) dan keduanya musyrik terhadap Allah.” [Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaa-Il Bayan, Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Aziz As Sudais : 52 Dar Thibah Cet. I 1412]
Dan
berkata juga : “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan,
hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syariatkan
lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai rabb (tuhan).” [Al Hakimiyyah : 56]
Dan
berkata juga : “Dan syirik yang disebutkan dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya kalian adalah benar-benar musyrikun.” Adalah syirik akbar
yang mengeluarkan dari millah Islam dengan ijma kaum muslimin.” [Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaa-Il Bayan, Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Aziz As Sudais : 56 Dar Thibah Cet. I 1412]
Dan
berkata juga : “Mereka itu tidak mengibadatinya dengan sujud dan ruku’
namun mereka mengibadatinya dengan cara mengikuti aturan, hukum, dan
undang-undang.” [Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaa-Il Bayan, Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Aziz As Sudais : 57 Dar Thibah Cet. I 1412]
Dan adapun nukilan-nukilan ulama lainnya serta penjabarannya, maka rujuk tulisan kami : Asy Syirku Fil Hukmi Kasy Syirki Fil ‘Ibadah.
Kemudian
saya katakan kepada kalian dengan lantang dan jelas bahwa negara ini
adalah negara kafir, biarlah terjadi apa yang terjadi dalam taqdir,
tidak ada sikap lunak dan basa-basi dalam masalah keyakinan. Ajal sudah
ditentukan dan rizki juga sudah dibagi-bagi. Dan tidak akan mati satu
jiwapun kecuali setelah menyempurnakan rizki dan ajalnya.
Bahkan
para penguasa negeri ini sendiri yang terang-terangan menyatakan bahwa
negara ini bukan negara Islam, dan mereka justeru marah terhadap orang
yang menyatakan : “Kami ingin negara Islam atau bahwa ini adalah
negara Islam”. Pengakuan mereka itu adalah saksi yang paling adil dan
paling kuat daripada yang lain. Ya Allah saksikanlah…
Bahkan
negara yang jauh lebih baik dari negara ini, yaitu negara Turki
Utsmani, sungguh para imam dakwah Najdiyyah telah banyak berkomentar
tentangnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz Ibnu
shalih Al Jarbu’.
Ini Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Syaikh (Muhammad) yang wafat tahun 1233 H rahimahullah,
tatkala Turki Utsmani menyerang negeri Tauhid -sebagian wilayah
jazirah Arab- telah menulis risalah yang beliau beri judul Ad Dalaail,
di dalamnya beliau jelaskan kemurtaddan orang-orang itu (Turki Utsmani)
bahkan kemurtaddan orang yang membantu dan mendukung mereka dari kaum
muslimin. Beliau namakan pasukan mereka itu sebagai Junuud Al Qubaab
Wasy Syirki (Pasukan Kubah dan Syirik) [Lihat Ad Durar As Saniyyah : 1/397 Cet. II dan lihat pula jilid IX dan X dalam Ad Durar.]
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah
yang wafat tahun 1301 H menulis kitab dalam membongkar Turki Utsmaniy
dan menjelaskan kesesatannya, beliau beri judul Sabilun Najah Wal Fikak
Min Muwalatil Murtaddin Wal Atrak.
Kemudian Syaikh Al Jarbuu’ berkata : “Dan dalam syair Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah
ada yang menunjukan pedasnya kecaman atas penyelisihan Turki Utsmani
terhadap syariat Allah yang padahal orang-orang masa sekarang
menyebutnya sebagai khilafah Islamiyyah…!!, Syaikh Sulaiman rahimahullah berkata :
Dan apa yang dikatakan terhadap orang-orang Turki dalam penyebaran kekafiran mereka…
Adalah benar, mereka itu tergolong orang-orang yang paling kafir dalam semua ajaran…
Permusuhan dan keburukan mereka terhadap kaum muslimin…
Melambung dan menggelembung dalam kesesatan atas semua agama…
Dan siapa yang loyal kepada orang-orang kafir maka seperti mereka…
Dan tidak ragu dalam pengkafirannya menurut orang yang berakal…
Dan orang yang terkadang sedikit loyal dan cenderung kepada mereka…
Maka tidak ragu dalam vonis fasiq baginya dan ia merasa takut…!
Dan sama persis apa yang dikatakan oleh muridnya Syaikh Husein Ibnu Ali rahimahullah :
Wahai Negara Turki semoga tak kembali kejayaan kalian…
Atas kami dan kalian tidak kembali di tanah air kami…
Kalian berkuasa, namun kalian menyalahi jalan Nabi kami…
Dan kalian halalkan kemungkaran-kemungkaran dan minuman keras…
Kalian jadikan syiar kaum musyrikin sebagai syiar kalian…
Namun terhadap kemusyrikan kalian lebih cepat dari mereka…
Kalian membekali diri kalian dengan ajaran agama orang-orang Nashrani…
Maka kebusukan di atas kebusukan besar yang kalian pikul…
Enyahlah kalian … binasalah kalian … kecewalah kalian…
Dan juga orang yang senang dengan kalian dan cenderung kepada kalian…!!!
Dan
ungkapan seperti itu dilontarkan juga oleh Syaikh Abdullah Ibnu
Muhammad Ibnu Salim, Syaikh Abdullah Ibnu ‘Abdillathif, Syaikh
Abdirrahman Ibnu ‘Abdillathif Ibnu ‘Abdillah Alu Asy Syaikh. Banyak
sekali, panjang sekali bila disebutkan, keadaannya terus berlangsung
hingga masalahnya sampai kepada kita, kemudian kita merubah manhaj
Salaf seraya kita mengaku benar di dalamnya, wallaahul musta’an.” [lihat kitab Al Warif Fi Masyu’iyyatit Tatsrib ‘Alal Mukhalif : 37-40]
Ini ungkapan para ulama tentang Negara Turki Ustmani, maka apa gerangan dengan Negara Indonesia ini…?
Apa
pendapat kalian bila seseorang berkata : “Saya muslim dan saya tidak
ingin menerapkan hukum-hukum Islam dalam hidup saya.” Apakah sah bila
seseorang di antara kita mengatakan tentang orang ini : “Dia muslim
karena mengucapkan dua kalimat syahadat, masih shalat, dan, dan,…?!!
Pasal 7: Risalah Fii Makna Ath Thoghut
Ketahuilah
bahwa orang itu tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman kepada
Allah kecuali dengan kufur terhadap thaghut, dan adapun dalilnya adalah
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“…Karena
itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus…” (Q.S. Al Baqarah [2] : 256)
Ar Rusydu adalah agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan Al Ghayy[13]
adalah agama Abu Jahal, sedangkan Al ‘Urwah Al Wutsqa adalah kesaksian
Laa ilaaha illallaah, di mana hal ini mengandung penafian dan
penetapan. Penafian semua macam ibadah dari selain Allah, dan menetapkan
seluruh ibadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagiNya.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah :
- 1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
- 2. Engkau meninggalkannya,
- 3. Engkau membencinya,
- 4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
- 5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain
Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan
kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian
beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :
- I. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah
adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah,
itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana firmanNya
Ta’ala :
“Berdo’alah
kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya
orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk
nereka Jahannam dalam keadaan hina” (Al Mukmin : 60)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam besabda : “Do’a itu adalah ibadah”
Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah diantara bentuk
pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini
bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali
yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali
tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah, maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Ta’ala berfirman :
“Katakanlah,
Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah
Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (Al An’am : 162-163)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah
(tumbal)”(HR Muslim). Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat
tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah,
gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut
dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.
Taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah
ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah
syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab
dahulu :
“Dan mereka menjadikan
bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa
tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan
persangkaan mereka : “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami”
(Al An’am : 136)
Jadi
orang yang menganggap pembuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti
dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.
Wewenang
( menentukan / membuat ) hukum/ undang-undang/aturan adalah hak Allah.
Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya,
sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah
syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut.
Allah Ta’ala berfirman :
“(Hak)
menentukan hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan
agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf : 40)
Dalam
ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum
kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai
ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah
perbuatan syirik, sebagaimana firmanNya :
“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq.
Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat
kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini
adalah orang-orang musyrik” (Al An’am : 121)
Kita
mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama
Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum
musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya (agar
berkata) :, “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang
membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya”
Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai)
dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian
sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti
sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” Hadits ini
diriwayatkan Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih.
Ucapan
tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju
dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, atau agar setuju dengan
penyandaran kewenangan pembuatan hukum walaupun satu hukum saja kepada
selain Allah, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin)
setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat
lain Allah Ta’ala berfirman :
“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan alim ulama dan para Rahib (ahli ibadah) mereka sebagai Arbaab
(tuhan-tuhan) selain Allah, dan juga Al Masih putera Maryam, padahal
mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan” (At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut :
- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah
- Mereka telah musyrik.
- Mereka telah melanggar laa ilaaha illallaah.
- Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut telah Allah vonis sebagai orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai Arbaab.
Dalam atsar yang diriwayatkan At Tirmidzi yang dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah radliyallaahu ‘anhu dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
membacakan ayat itu di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata :
“Wahai Rasulullah, kami tidak pernah ibadah kepada mereka (ahli ilmu
dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu
menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan
menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah
halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka itu”
Jadi
orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran
hukum kepada selain Allah, yaitu kepada ahli ilmu dan para rahib.
Sedangkan pada masa sekarang, banyak orang meyakini bahwa demokrasi
adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal
demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang pembuatan
hukum/undang-undang kepada selain Allah, yaitu rakyat atau
wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik akbar, maka orang tersebut
tidak kufur terhadap thaghut sehingga dia itu belum muslim.
Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas :
“Itu
dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan
sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (Luqman : 30)
juga firmanNya Ta’ala :
“Itu
dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan
sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (Al Hajj : 62)
Allah
adalah Tuhan yang haq, peribadatan kepada-Nya adalah haq, penyandaran
kewenangan pembuatan hukum/undang-undang kepada-Nya adalah haq,
hukum/undang-undang Allah adalah haq dan mengikuti hukum/undang-undang
yang Allah turunkan adalah haq. Sedangkan sembahan dan para pembuat
hukum selain Allah adalah bathil, peribadatan kepada selain Allah adalah
bathil, penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah
adalah bathil, hukum dan undang-undang selain yang Allah turunkan
adalah bathil, serta mengikuti hukum dan undang-undang tersebut adalah
kebathilan.
- II. Engkau meninggalkannya
Meyakini
perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus
disertai meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini
pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan
dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak
kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik,
tetapi dengan dalih ‘Mashlahat Dakwah’ lalu ia masuk
ke dalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap
thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam
rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’
Sesungguhnya
kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan
berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Ini berdasarkan Al Qur’an, As
Sunnah dan IJma para ulama.
Adapun Al Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya
mereka dahulu bila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallaah
ilaaha illallaah, mereka menyombongkan diri (tidak mau menerima), dan
mereka berkata:”Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan tuhan-tuhan
kami karena seorang penyair gila?” (Ash Shaaffaat:35-36).
Di
dalam ayat ini orang-orang kafir arab paham bahwa konsekuensi mereka
bila mengucapkan laa ilaaha illallaah adalah harus meninggalkan segala
bentuk kemusyrikan, sedangkan mereka merasa keberatan dengannya maka
mereka menolak untuk mengucapkannya.
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati…” (Az Zukhruf : 26-27)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan
orang yang tidak meninggalkan syirik akbar, maka dia itu tidak
dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa
yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah,
namun di samping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain
juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat
dan melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah : 1/323, & Minhajut Ta’sis : 61).
Ketika
Abu Thalib mau meninggal dunia, di mana dia itu mengakui kebenaran
dakwah Rasul dan bahkan ikut melindungi Rasulullah, Rasulullah dating
sedang di sisi Abu Thalib sudah ada abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi
Umayyah. Rasulullah berkata kepadanya: “Wahai paman, ucapkanlah Laa
ilaaha illallaah ilaaha illallaah, suatu kalimat yang akan saya jadikan
hujjah untuk membelamu di sisi Allah!” Maka keduanya (Abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi Umayyah) berkata kepadanya:”Apakah kamu (Abu Thalib) tidak suka ajaran Abdul Muthallib? Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengulanginya dan mereka
berduapun mengulangi ucapannya. Maka akhir ucapan Abu Thalib adalah
bahwa ia di atas ajaran Abdul Muthallib dan enggan menucapkan laa
ilaaha illallaah.”(HR Al Bukhari dan Muslim).
Di sini mereka paham bahwa konsekuensi pengucapan laa ilaaha illallaah aadalah meninggalkan segala kemusyrikan.
Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah
berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan
para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa
orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545).
Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid : “Sekedar
mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa
mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan
segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan
Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma
para ulama”.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah
berkata : “Para ‘ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari
dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun
dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadurrasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid : 76).
Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah
berkata : “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada
selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau
orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik ataupun buruk” (Durar As Saniyyah: 9/270).
Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya” (syarh Ashli Dienil Islam, AqidatulMuwahhidin:209)
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.
- III. Engkau Membencinya
Orang
yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya,
maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah
mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan
tauhid kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam :
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati…” (Az Zukhruf : 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”(HR Ahmad dari Al Bara Ibnu ‘Azib).
Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir
di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh :
Orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang
dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan
sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila
kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka
janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama
mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan
mereka” (An Nisa : 140)
Jadi
orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran
sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan)
dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia
sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut
walaupun dia mengaku benci dengan hatinya.
Seandainya
kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut
harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan
majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan :
“Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi
meninggalkan majelis tersebut.
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu ber-ijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah
yang berjumlah 170 orang saat salah seorang di antara mereka
mengatakan pembenaran kenabian Musailamah dan yang lain -yang hadir di
mesjid- tidak mengingkari ucapannya atau tidak pergi darinya. (Riwayat
para penyusun As Sunan / Ashhabus Sunan)
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.
- IV. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Kita harus mengkafirkan para pelaku syirik akbar karena 2 hal:
Pertama: Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, diantaranya :
“Dan
orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka
mengatakan) : “Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya
mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Sesungguhnya Allah memutuskan diantara mereka dihari kiamat dalam apa
yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan
petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar : 3)
Dan firmanNya Ta’ala :
“Dan
siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti
dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi
Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” ( Al Mukminun : 117)
Bila
Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak
mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah Subhaanahu Wa
Ta’aalaa di dalam vonis-Nya.
Kedua: Karena Dia Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, diantaranya adalah firmanNya :
“Dan
dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan
dari jalanNya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar,
sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (Az Zumar :
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda : “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya,
sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah”, maksud kalimat tersebut adalah : Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati (Ad Durar As Saniyyah: 9/291).
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut.
Al Imam Al Barbahari rahimahullah
berkata:” Tidak seorangpun dari ahli kiblat ini boleh dikeluarkan dari
Islam, sehingga dia menolak stu ayat dari Al Qu’an atau sesuatu dari
atsar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, atau shalat (beribadah)
kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain-Nya, dan barangsiapa
melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas kamu untuk mengeluarkan dia dari Islam.” (Syarhus Sunnah no:49)
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu
akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah
kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam, Majmu’atut Tauhid:24)
Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan
syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam – Majmu’ah Tauhid:29)
Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan
pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana
Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhallam : 28).
Beliau berkata lagi : [“Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab
(tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh
oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, tidak
mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan
Allah dan RasulNya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, bahkan dia
itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan
selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam :29)]
Para imam dakwah Nejd
berkata : “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah
sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran
mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur
keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal
darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para
pelaku syirik” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)
Mereka
juga mengatakan : “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan
orang-orang musyrik adalah dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena
sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan
memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi
mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)
Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah
sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ‘ulama
suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan neo murji-ah. Orang
yang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij,
justeru mereka itu adalah penerus dakwah para rasul. Orang yang
menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan
dakwah para rasul.
Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah
berkata : “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar
termasuk ‘aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul
dan (ulama) umat ini, dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul
dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan
dia mengikuti selain jalan kaum mu’minin” (Mishbahuzh Zhallam : 72)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan
(orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah)
ditegakkan hujjah kepada orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku
syirik secara ta’yin itu maka dia kafir juga, karena mendustakan vonis
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Orang
yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, akbar pada umumnya dia
lebih loyal kepada pelaku syirik itu dan justru memusuhi para muwahhid
yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi,
sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Banyak orang yang tidak
mengkafirkan para penguasa murtad, dan pada akhirnya mereka tawalli
kepada para penguasa kafir murtad itu.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “ Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku
syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka,
atau mengklaim bahwa : ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi
tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang
yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak
pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah : 10/53)
Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : [“Orang-orang yang merasa keberatan
dengan masalah takfir (pelaku syirik akbar), bila engkau mengamati
mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan
dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan
munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya.
Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah
bersama kami di Dir’iyyah dan ‘Uyainah yang mana mereka murtad dan
benci akan dien ini” (Ad Durar As Saniyyah : 10/92)]
- V. Engkau Memusuhi Mereka
Kita harus memusuhi orang-orang kafir karena 2 alasan:
Pertama:
Karena Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah mencap orang-orang kafir itu
sebagai musuh, sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (An Nisa:101).
Kedua: Karena Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhi mereka, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh.” (Fathir:6).
Sedangkan
syaithan itu ada dua, syaithan manusia (yaitu orang kafir) dan
syaithan jin (yaitu jin kafir), sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa
Ta’aalaa:
“Dan demikianlah, Kami telah jadikan musuh bagi setiap nabi itu, yaitu syathan-syaithan manusia dan (syaithan-syaithan) jin.”(Al An’am:112).
Orang
yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada
thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan para nabi yang bersamanya :
“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)
dan firmanNya Ta’ala :
“Kalian
tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan
RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya,
saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (Al Mujaadilah : 22)
Syaikh Muhammad rahimahullah
mengatakan : [Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamnnya walaupun ia
mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi
para pelaku syirik…..”] (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid : 21)
Permusuhan lawannya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/ tauhid, Allah Ta’ala berfirman :
“Dan
siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara
kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (Al Maidah : 51)
Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman :
“Maka
bunuhlah orang-orang musyrik itu dimanapun kalian mendapati mereka,
tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat
pengintaian” (At Taubah : 5)
KE DUA : Iman Kepada Allah
Adapun makna iman kepada Allah adalah :
- I. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadahi
- II. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah
- III. Engkau menafikan ibadah itu dari selain Allah
- IV. Engkau mencintai lagi loyal kepada orang yang bertauhid
- V. Serta engkau membenci lagi memusuhi para pelaku syirik
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
- I. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadati
Orang
yang membolehkan tumbal, sesajen, permohonan kepada orang yang sudah
meninggal atau meyakini serta memegang sistem demokrasi berarti dia
telah meyakini adanya ilaah yang lain bersama Allah, mereka
tidak beriman kepada Allah. Orang yang menyerukan penegakan hukum
thaghut atau menyerukan demokrasi, dia itu tidak beriman kepada Allah,
begitu juga orang yang menyerukan hukum adat. Orang yang meyakini bahwa
ada yang berhak membuat hukum dan undang-undang selain Allah
Subhaanahu Wa Ta’aalaa maka dia itu meyakini bahwa ada tuhan selain
Allah yang berhak diibadati dengan ketaatan, sehingga dia itu tidak
dikatakan telah beriman kepada Allah walaupun dia itu mengaku telah
beriman kepada-Nya.
Orang yang bertauhid hanya meyakini satu sumber hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Orang yang bertauhid hanya meyakini satu Dzat yang berhak diibadati. Allah Ta’ala berfirman :
“Katakanlah ; “Dialah Allah Yang Maha Esa” (Al Ikhlas : 1)
Dan firmanNya Ta’ala :
“Janganlah engkau mengangkat dua tuhan, Dia itu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa” (An Nahl : 51).
Dan Dia Ta’ala berfirman:
“Hak menetapkan hukum itu hanyalah di Tangan Allah.”(Yusuf:40).
Sedangkan
tuhan-tuhan para ‘Ubadul Qubur adalah banyak, yaitu orang-orang yang
sudah mati yang mereka ajukan permohonan (permintaan) kepadanya. Dan
adapun tuhan-tuhan para pengusung demokrasi dan para penyembah
undang-undang adalah banyak pula, ada tuhan dari Partai A, Partai B,
Partai C dan seterusnya, di mana para pembuat hukum itu adalah
tuhan-tuhan mereka.
- II. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
bukan memerintahkan ibadah kepadaNya, akan tetapi Dia memerintahkan
supaya orang hanya ibadah kepadaNya, dan tidak mempersekutukan
sesuatupun denganNya dalam ibadah-ibadah tersebut, sebagaimana
firmanNya :
“Dan mereka tidak
diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah seraya
memurnikan seluruh Dien (ketundukan) hanya kepadaNya” (Al Bayyinah : 5)
juga firmanNya Ta’ala :
“Dan
barangsiapa yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah sedang
dia itu muhsin (mengikuti tuntunan rasul), maka dia itu telah berpegang
pada buhul tali yang sangat kokoh (tauhid/Islam)” (Luqman : 22)
Menyerahkan wajah sepenuhnya kepada Allah adalah dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Dia Ta’ala berfirman :
“Ya,
siapa orangnya yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah,
sedang dia muhsin (berbuat kebaikan) maka bagi dia pahala disisi
Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka itu tidaklah
bersedih” (Al Baqarah : 112)
Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata : “Ayat ini adalah bantahan terhadap ‘ubbadul qubur yang menyeru selain Allah dan beristighatsah kepada selainNya, karena penyerahan wajah serta ihsan dalam beramal itu tidak ada pada diri mereka” (Minhaj At Ta’sis:70)
‘Ubbadul qubur
adalah orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum, haji,
dsb, tetapi masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama
orang shalih atau wali atau orang-orang yang beribadah kepada tuhan
yang lain di samping mereka beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa
Ta’aalaa. Jadi ‘ubbadul qubur adalah kaum musyrikin.
Syaikh Ali Al Khudlair di awal kitab Ath Thabaqat menyebutkan bahwa di antara golongan yang termasuk ‘ubbadul qubur
adalah : Para penyembah penguasa (thaghut), para penganut
ideologi-ideologi dan falsafah-falsafah (kafir), para penyembah
negara-negara kafir, para budaknya, para penganut sistim-sistim kafir,
para hamba hukum dan perundang-undangan buatan, serta yang lainnya.(Kitab Ath Thabaqat:3).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hak Allah atas hamba-hambaNya adalah mereka beribadah kepadaNya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun denganNya” (HR Al Bukhari dan MUslim dari Mu’adz Ibnu Jabal)
Orang
yang berbuat syirik, berarti dia telah melanggar hak Allah. Subhaanahu
Wa Ta’aalaa. Jelasnya bahwa orang yang mengaku beriman pada rukun
iman, rukun Islam dan dia beribadah kepada Allah, akan tetapi di
samping itu dia membuat tumbal, sesajen, memohon kepada penghuni kubur
atau membuat hukum dan undang-undang atau menyandarkan kewenangan
pembuatan hukum kepada selain Allah atau mengkomitmeni undang-undang
buatan atau membelanya, maka mereka itu dianggap tidak beriman kepada
Allah (dia bukan muslim).
Syaikh ‘Adurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : [Para ulama telah berijma, baik salaf maupun khalaf dari
kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa
seseorang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara (dia) mengosongkan
diri dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya,
membenci mereka, memusuhi mereka sesuai kekuatan dan kemampuan, serta memurnikan amalan seluruhnya bagi Allah” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545)]
Perkataan
seseorang : ”Saya beriman kepada Allah dan saya bukan musyrik”
tidaklah bermanfaat bila ternyata realita syirik ada padanya, oleh
sebab itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah
berkata : [Iman itu bukan angan-angan dan bukan dengan hiasan, akan
tetapi ia adalah apa yang terpatri di dalam hati dan dibenarkan dengan
amalan]
- III. Menafikan ibadah itu dari selain Allah
Orang
yang beriman kepada Allah tidak mungkin memalingkan satu macam
ibadahpun kepada selain Allah, karena orang yang memalingkan satu saja
ibadah kepada selain Allah, berarti telah meninggalkan Islam. Oleh
sebab itu Allah Ta’ala memerintahkan kepada nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir :
“Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi” (Al Kaafirun : 2).
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah
berkata: Ulama telah ijma bahwa barangsiapa memalingkan satu macam
ibadah kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, walaupun dia itu
mengucapkan laa ilaaha illallaah, dan walaupun dia itu shalat, shaum
serta mengaku muslim. (Ibthalut Tandid:76).
- IV. Engkau Mencintai Dan Loyal (Wala) Kepada Orang Yang Bertauhid
Orang
yang beriman kepada Allah pasti mencintai dan loyal kepada orang yang
bertauhid, karena mereka memiliki ikatan persaudaran diatas dien ini,
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (Al Hujurat : 10)
dan firmanNya dalam ayat yang lain :
“Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebahagiannya adalah penolong bagi sebahagian yang lain” (At Taubah : 71)
Oleh
sebab itu, tidak mungkin orang mukmin mendukung orang-orang kafir
dalam rangka menghancurkan kaum muslimin karena itu bertentangan dengan
wala (loyalitas) terhadap kaum muslimin.
- V. Engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhi mereka
Allah mengatakan tentang ucapan para rasul semua-Nya yang harus kita ikuti :
“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (Al Mumtahanah : 4)
Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.
Falsafah
yang mengajarkan agar tidak membenci atau tidak memusuhi ajaran agama
lain adalah falsafah kafir. Sistem yang menyamakan semua ajaran agama
adalah system syirik. Orang yang bertauhid pasti membenci dan memusuhi
pelaku syirik meskipun ayah sendiri atau anak sendiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata: Dan tidak selamat dari jeratan syirik akbar ini kecuali orang
yang memurnikan tauhid kepada Allah dan memusuhi kaum musyrikin karena
Allah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan membenci mereka. (Dari Mufudul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed:371)
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : [Sesungguhnya keislaman itu tidak sah kecuali dengan
memusuhi para pelaku syirik akbar, dan bila dia tidak memusuhi mereka
maka dia itu termasuk bagian dari mereka walaupun dia tidak melakukan
syirik itu] (Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, lihat Tarikh Nejed:372).
-------------------------------------------[13] Rusydu adalah jalan kebenaran, sedangkan Al Ghayy adalah jalan kesesatan
Pasal 8: Takfir Mu'ayyan dalam Masalah Syirk Akbar dan Masail Dhahirah
Dalil-dalil
atas takfir mu’ayyan (menetapkan kafir kepada seseorang) adalah sangat
banyak lagi tak terhitung, kita menyebutkan darinya apa yang sesuai
dengan kesempatan :
I. Al Kitab
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
dia menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan supaya dia menyesatkan
dari jalan-Nya. Katakanlah : Nikmatilah kekafiranmu sebentar
sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka.” (Q.S. Az Zumar [39] : 8)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
mereka menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya mereka
menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah : Nikmatilah (kekafiran kalian)
karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah neraka.” (Q.S. Ibrahim [14] : 30)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Katakanlah : wahai orang-orang kafir.” (Q.S. Al Kafirun [109] : 1)
Dalam ayat-ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita agar mengkafirkan pelaku syirik.
Sebagian
para imam dakwah Tauhid berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an telah
mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan
mereka, memusuhi mereka dan memeranginya.” [Ad Durar As Saniyyah : 9/291]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah
dikafirkan oleh Al Qur’an maka sesungguhnya dia itu telah menyelisihi
apa yang dibawa oleh para rasul, berupa tauhid dan konsekuensinya.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid : 30]
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah
berkata: “Kami katakan dalam masalah takfir mu’ayyan, dhahir ayat-ayat
dan hadist-hadist serta perkataan jumhur ulama menunjukan terhadap
kekafiran orang yang menyekutukan Allah, dia beribadah kepada yang lain
di samping ibadahnya kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak
membedakan antara mu’ayyan dengan yang lainnya. Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa Syirik dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dihendaki-Nya. Barang
siapa mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa
yang besar.” (Q.S. An Nisa [4] : 48)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“maka bunuhlah orang-orang musyrk itu dimana saja kamu jumpai mereka” (QS. At Taubah [9] : 5) Sedangkan ini mencakup setiap individu dari kaum musyrikin.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/402]
II. As Sunnah
Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
telah bermaksud memerangi Banu Mushthaliq tatkala diberitakam bahwa
mereka menolak membayar zakat, hingga akhirnya Allah mendustakan si
pembawa berita. [Ad Durar As Saniyyah : 10/67]
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang merubah diennya maka bunuhlah.” Syaikh Aba Buthain rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadist ini : “Dan ini mencakup mu’ayyan dan yang lainnya.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/403]
Di dalam hadist shahih bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
mengutus seseorang sambil membawa panji kepada laki-laki yang menikahi
ibu tirinya, agar ia membunuhnya dan mengambil hartanya. [Ad Durar As Saniyyah : 10/67]
III. IJMA
Para sahabat ijma atas kafirnya Musailamah dan para pengikutnya. Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Di antara ada orang-orang yang mendustakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka kembali kepada peribadatan terhadap berhala, serta mereka mengatakan “Seandainya dia (Rasulullah) adalah nabi tentu tidak mati”.
Dan di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimah syahadat namun
dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
menyertakannya dalam kenabian, karena Musailamah mengangkat
saksi-saksi palsu yang bersaksi akan kenabian dia (Musailamah) terus
dibenarkan oleh banyak orang, namun demikian para ulama ijma bahwa
mereka itu murtaddin meskipun mereka jahil akan hal itu, dan siapa yang
meragukan kemurtaddan mereka maka dia kafir. [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, dalam Majmu’ah At Tauhid:23]
Para
shahabat ijma untuk membunuh jama’ah masjid Kuffah, juga atas
kekafiran dan kemurtaddan mereka tatkala mereka menyatakan ungkapan
akan pengakuan kenabian Musailamah, namun para sahabat berselisih
pendapat apakah diterima taubat mereka tatkala mereka taubat atau tidak.
Dan masalah ini ada dalam shahih Al Bukhari dan Syarh-nya dalam Al
Kifalah. [Ad Durar As Saniyyah : 10/68]
Para sahabat ijma atas kafirnya orang yang mengkultuskan Ali, mereka adalah Ghulatur Rafidlah. [Ad Durar As Saniyyah : 10/68]
Ijma para ulama akan kafirnya para penguasa dan kroni-kroni Bani Ubaid. Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Seandainya kita menuturkan orang-orang yang mengaku Islam
yang telah dikafirkan oleh para ulama dan mereka fatwakan kemurtaddan
dan keharusan membunuhnya tentulah pembahasannya panjang, namun di
antara kisah yang paling akhir adalah kisah Bani Ubaid para penguasa
Mesir dan jajarannya sedangkan mereka itu mengaku tergolong Ahlul Bait,
mereka shalat Jum’at dan jama’ah, serta telah mengangkat para qadli
dan mufti. Dan para ulama ijma atas kekafiran mereka, kemurtaddan
mereka dan (keharusan untuk) memerangi mereka, dan bahwa negeri mereka
adalah negeri harbi yang wajib diperangi, meskipun mereka dipaksa dan
benci kepada mereka (para penguasa).” [Tarikh Nejd : 346]
Imam Ishaq Ibnu Rahwiyah rahimahullah
berkata : “Para ulama ijma bahwa orang yang menolak sesuatu yang telah
Allah turunkan mereka itu kafir meskipun mengakui semua apa yang Allah
turunkan.” [At Tamhid : 4/226, Al Kalimat An Nafi’ah]
Ungkapan beliau ini ditafsirkan oleh Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab di dalam kitabnya Al Mukaffirat Al Waqi’ah
: 19, beliau berkata : “Dan makna ucapan Ishaq adalah seseorang
menolak sesuatu yang telah Allah turunkan dalam Kitab-Nya atau lewat
lisan para Rasul-Nya berupa faraidl (hal-hal yang fardlu), yang wajib,
yang sunnah atau yang mustahab setelah mengetahui bahwa Allah
menurunkannya dalam Kitab-Nya atau melarangnya, kemudian dia menolaknya
setelah itu, maka dia kafir murtad meskipun dia mengakui seluruh apa
yang telah Allah turunkan berupa syariat kecuali apa yang ditolak dan
dia ingkari karena bertentangan dengan keinginannya dan adatnya atau
adat daerahnya. Dan ini adalah makna perkataan para ulama : “siapa yang
mengingkari hukum furu’ yang sudah di ijmakan maka dia kafir meskipun
tergolong orang yang paling ahli ibadah dan paling zuhud.”
Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad
ditanya tentang orang yang tidak mengkafirkan para pelaku Syirik,
beliau berkata : “Bila dia masih ragu akan kekafiran mereka atau tidak
tahu akan kekafiran mereka, maka dijelaskan kepadanya dalil-dalil dari
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam yang
menunjukan kekafiran mereka. Kemudian bila ragu setelah itu atau
bimbang, maka sesungguhnya dia adalah kafir dengan ijma kaum muslimin
bahwa orang yang ragu akan kekafiran orang kafir adalah kafir.” [Kitab Autsaqu’ural Iman dalam Majmu’ah At Tauhid : 96]
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata
: “Masalah yang ditunjukan oleh Al Kitab, As Sunnah dan ijma ulama
adalah bahwa dosa seperti syirik dengan cara beribadah kepada yang lain
bersama Allah adalah kekafiran. Siapa orangnya melakukan sesuatu dari
macam ini dan jenisnya, maka orang ini tidak diragukan lagi
kakafirannya dan tidak apa-apa bila engkau mengetahui benar bahwa
perbuatan ini muncul dari seseorang, engkau mengatakan si fulan telah
kafir dengan sebab perbuatan ini. Dan ini dibuktikan bahwa para fuqaha
dalam bab hukum orang murtad menyebutkan banyak hal yang bisa membuat
seorang muslim menjadi murtad lagi kafir, dan mereka memulai bab ini
dengan ucapan mereka : Siapa yang menyekutukan Allah maka dia telah
kafir dan hukumnya dia itu disuruh bertaubat, bila dia taubat, dan bila
tidak maka dibunuh, sedang istitaabah (menyuruh taubat) itu hanyalah terjadi pada orang mu’ayyan.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/416-417]
Dan
berkata juga : “Dan perkataan ulama tentang takfir mu’ayyan adalah
banyak sekali, sedangkan macam Syirik yang terbesar ini adalah ibadah
kepada selain Allah, dan itu adalah kekafiran dengan ijma kaum
muslimin, dan tidak ada larangan dari mengkafirkan orang yang memiliki
sifat itu, karena orang yang berzina dikatakan si fulan berzina, dan
orang yang memakan riba dikatakan si fulan pemakan riba, wallahu
A’lam.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/417]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata setelah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah : “Perhatikanlah
ucapan orang yang menisbatkan kepadanya bahwa beliau tidak mengkafirkan
orang mu’ayyan bila orang itu terang-terangan menghina dien para nabi
dan bergabung dengan para pelaku syirik dan dia mengklaim bahwa mereka
itu ada di atas kebenaran, memerintahkan agar bergabung dengan mereka
dan dia mengingkari orang yang tidak mencela Tauhid dan tidak masuk
bergabung bersama kaum musyrikin karena dia masih mengaku Islam.
Lihat
bagaimana beliau (Ibnu Taimiyyah) mengkafirkan orang mu’ayyan meskipun
dia ahli ibadah dengan sebab menghalalkan ganja, meskipun dia
mengklaim kehalalan bagi orang-orang khusus yang bisa membantu mereka
mengalahkan orang-orang kafir, dan beliau berdalil dengan ijma para
sahabat atas pengkafiran Qudamah dan sahabatnya bila mereka tidak
taubat, sedangkan ucapan beliau ini tentang orang mu’ayyan dan
perkataan para sahabat juga tentang orang mu’ayyan, maka apa gerangan
dengan masalah kita ini yang mana penghalalan ganja ini tidak sebanding
dengan satu bagian darinya. [Mufid Al Mustafid : 81, Aqidatul Muwahhidin]
Abu ‘Abdillah Abdurrahan Ibnu ‘Abdil Hamid rahimahullah
berkata : “Sesungguh-nya tawwaqquf dari takfir mu’ayyan secara muthlaq
dan hanya mengatakan bahwa jenis (nau’) orang yang melakukan hal ini
adalah kafir, tapi orang mu’ayyan bila melakukannya maka kita tidak
bisa mengkafirkannya, pernyataan ini tidak lain adalah sia-sia yang
tidak ada maknanya, dan pengguguran akan hukum-hukum syariat, serta
ibadah yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan ijma para sahabat, tabi’in dan ulama umat ini.” [Al Jawa Al Mufid : 384]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah
Berkata dalam Syarh Ashli Dienul Islam tentang salah satu orang yang
menyalahi Tauhid : “Macam orang ini tidak mendatangkan makna yang
ditunjukan oleh Laa ilaaha illallaah berupa penafian syirik dan apa
yang dituntutnya berupa orang yang melakukannya setelah ada bayan
secara ijma.” Kemudian beliau berkata : “Dan orang yang tidak
mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Al Qur’an maka dia telah
menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul, berupa Tauhid dan apa yang
dituntutnya.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid]
IV. Pernyataan-Pernyataan Para Imam
Al Imam Al Barbahari rahimahullah
berkata : “Dan seorang dari ahli kiblat tidak boleh dikeluarkan dari
Islam sampai dia menolak satu ayat dari Kitabullah, atau sesuatu dari
atsar-atsar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau
menyembelih untuk selain Allah atau shalat untuk selain Allah. Dan bila
dia melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas dirimu untuk
mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila tidak melakukan sesuatu dari hal
itu maka dia muslim mukmin secara nama bukan secara hakikat”. [Syarhus Sunnah : poin 49]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah
berkata tentang orang yang mengatakan : ‘Sesungguhnya kalian
mengkafirkan kaum muslimin’ (padahal orang itu beribadah kepada selain
Allah) : “Sesungguhnya orang yang berbicara ini tidak mengetahui Islam
dan Tauhid, dan yang nampak adalah tidak sahnya keIslaman orang yang
berbicara ini, karena dia tidak mengingkari hal-hal yang dilakukan oleh
orang-orang musyrik pada masa sekarang dan tidak menganggapnya sesuatu
(yang mesti diingkari). Sungguh dia itu bukan muslim.” [Majmu’ah Ar Rasail Juz I bagian 3 hal 655 dan Ad Durar As Saniyyah : 10/416]
Oleh
sebab itu apa faidahnya mempelajari bab murtad, pembatal-pembatal
keIslaman serta konsekuensi-konsekuensi yang mesti diberlakukan
terhadap orang yang jatuh ke dalam pembatalan-pembatalan ini bila
mereka tidak menerapkannya kepada seorangpun dalam kekafiran yang
nampak…? Sungguh ini adalah kesesatan yang buta dan kejahilan yang amat
besar. Kami tidaklah mengada-ada, tetapi inilah pernyataan Al Imam Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Alu Asy Syaikh
tentang orang yang tidak mau mengkafirkan mu’ayyan : “Dan saya kira
mereka itu tidak mengkafirkan kecuali orang yang langsung dengan nash
Al Qur’an dinyatakan kekafirannya, seperti Fir’aun, sedangkan nash-nash
(yang ada) tidak menta’yin setiap orang. Dia itu belajar bab
hukum orang murtad namun tidak dia terapkan kepada seorangpun. Ini
adalah kesesatan yang buta dan kejahilan yang paling besar”. [Aqidatul Muwahhidin, nukilan dari Majmu Al Fatawa : 1/84]
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Al Mukaffirat Al Waaqi’ah : 47
: “Dan amatilah perkataan Ibnu Taimiyyah tentang orang-orang yang mana
inti perkataan mereka adalah syirik akbar dan kekafiran yang tidak
mungkin Allah ampuni kecuali dengan taubat darinya, dan bahwa itu
memestikan terjadinya kemurtadaan dari dien ini dan kekafiran terhadap
Rabbul ‘Alamin. Bagaimana beliau tegas-tegasan mengkafirkan dan
memvonis murtad dari dien orang yang melakukan hal ini bila telah tegak
hujjah dari Al Kitab dan As Sunnah kemudian dia tetap bersikeras di
atas perlakuan itu. Ini adalah hal yang tidak mungkin ditentang oleh
orang yang mengetahui dienul Islam.”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
telah mencap kafir para pelaku syirik dalam ayat-ayat yang sangat
banyak, maka (kalau begitu) haruslah (kita) mengkafirkan mereka juga.
Ini adalah tuntutan Laa ilaaha illallaah yang merupakan kalimat ikhlas,
sehingga maknanya tidak tegak kecuali dengan mengkafirkan orang yang
menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah kepada-Nya, sebagaimana dalam
hadist : “Siapa yang mengucapka Laa ilaaha illallaah dan dia kufur
kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta
dan darahnya, sedangkan perhitungannya atas Allah Ta’ala.”
Sabdanya : “…dan dia kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah…”
adalah penguat bagi penafian (Laa ilaaha), sehingga orang tidak
terjaga darah dan hartanya kecuali dengan hal itu, kemudian bila dia
ragu atau bimbang maka darah dan hartanya tidak terjaga. Hal-hal ini
adalah termasuk kesempurnaan Tauhid. [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid : 29]
Mengkafirkan
pelaku syirik adalah termasuk tuntutan Laa ilaaha illallaah, apakah
ini khusus bagi ulama saja…? Atau atas setiap insan yang ingin
selamat…?
Dan beliau berkata juga :
“Ini berdasarkan apa yang telah engkau ketahui bahwa Tauhid itu
menuntut penafian syirik, berlepas diri darinya, memusuhi para
pelakunya, dan mengkafirkan mereka saat hujjah telah tegak atas
mereka.” [Majmu’ah At Tauhid : 31 risalah yang sama]
Dua putra Syaikh Muhammad yaitu Syaikh Husen dan Syaikh Abdullah
berkata : “Orang yang mengatakan saya tidak memusuhi para pelaku
syirik atau dia memusuhi mereka namun tidak mengkafirkannya, atau orang
yang mengatakan saya tidak mengomentari negatif orang yang sudah
mengucapkan Laa ilaaha illallaah meskipun mereka melakukan kemusyrikan
dan kekafiran dan memusuhi dien Allah, atau orang yang mengatakan saya
tidak akan mengganggu kubah-kubah (kuburan yang dikeramatkan), maka
orang ini adalah bukan orang muslim, justeru dia tergolong orang-orang
yang Allah firmankan tentang mereka :
“Dan
mereka mengatakan : ‘kami beriman kepada sebagian dan kami kafir
kepada sebagain’, dan mereka menginginkan menjadikan jalan (tengah) di
antara itu. Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya.” (Q.S. An Nisa [4] : 150-151)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Engkau
tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya…”(Q.S. Al Mujadilah [58] : 22)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Hai
orang-orang yang beriman jangan kalian jadikan musuh-Ku dan musuh
kalian sebagai auliya yang mana kalian menjalin kasih sayang terhadap
mereka…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 1) [Ad Durar As Saniyyah : 10/139-140]
Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata tentang orang yang mengatakan : ‘Bahwa peribadatan kepada
kubah (kuburan) dan memohon kepada mayit bersama Allah adalah bukan
Syirik dan bahwa para pelakunya bukan kaum musyrikin’ : “Maka nampaklah
status dia dan kekafiran dan pembangkangannya.” [Ad Durar As Saniyyah : 8/127-128 dan lihat Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak dalam Majmu’ah At Tauhid : 128]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas ahli Tauhid untuk
menjauhi mereka (para pelaku syirik), mengkafirkan mereka dan berlepas
diri dari mereka… Kemudian beliau berdalil dengan ayat :
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah…” (Q.S. Maryam [19] : 48)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Maka tatkala dia meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Q.S. Maryam [19] : 49)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 4)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Dan (ingatlah) tatkala kalian tinggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Q.S. Al Kahfi [18] : 16)
Kemudian
beliau berkata : “Tidak tegak bagi ahli Tauhid, Tauhid mereka kecuali
dengan meninggalkan para pelaku syirik, memusuhi mereka dan
mengkafirkan mereka.” [Ad Durar As Saniyyah : 11/434]
Syaikh Abdurrahman
juga berkata : “Seandainya (si hamba) mengetahui makna Laa ilaaha
illallaah tentu dia mengetahui bahwa orang ragu atau bimbang tentang
kekafiran orang yang menyekutukan yang lain bersama Allah sesungguhnya
dia itu tidak kafir kepada thaghut”.
Apakah
kufur kepada thaghut hak ulama saja…? Atau wajib atas setiap orang
termasuk kalian, bahkan bukan sekedar wajib tapi Tauhid…?
Syaikh Muhammad Ibnu Abdullathif rahimahullah
berkata setelah mengkafirkan orang yang beribadah kepada selain Allah :
“Dan siapa yang meragukan kekafirannya setelah tegak hujjah atasnya
maka dia kafir.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/439-440]
Al Imam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Dan makna kufur kepada thaghut adalah engkau berlepas diri
dari setiap yang dikultuskan selain Allah, baik berupa jin, manusia,
atau yang lainnya dan bersaksi atas kekafiran dan kesesatannya serta
engkau membencinya meskipun itu adalah ayahmu atau saudaramu. Dan
adapun orang yang mengatakan : ‘Saya tidak beribadah kecuali kepada
Allah namun saya tidak akan mengomentari para Syaikh (yang dikultuskan)
dan kubah-kubah yang ada di atas kuburan dan yang serupa dengan hal
itu’, maka orang ini dusta dalam pengucapan Laa ilaaha illallaah, dia
tidak beriman kepada Allah dan tidak kufur kepada thaghut.” [Ad Durar As Saniyyah : 2/121]
Dan
beliau berkata juga : “Dan engkau wahai orang yang telah Allah beri
karunia dengan Islam dan mengetahui bahwa tidak ada ilah (yang haq)
kecuali Allah, jangan kamu kira bahwa engkau bila telah mengucapkan
(“Ini memang adalah Al Haq dan saya meninggalkan selainnya, namun saya
tidak akan mengomentari negative para pelaku Syirik dan tidak akan
mengatakan sesuatupun tentang mereka…”) Jangan kamu kira bahwa hal itu
membuat kamu mendapat predikat Islam dengannya, justeru wajib membenci
mereka, membenci orang yang mencintai mereka, mencela mereka dan
memusuhinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim dan rasul-rasul
yang lain :
“Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain
Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, serta tampak antara kami dan
kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman
kepada Allah saja…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 4)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Siapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada Al urwah Al wutsqa.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 256)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Dan
sungguh kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (mereka
menyerukan) : ‘Beribadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut’…” (Q.S. An Nahl [16] : 36)
Seandainya seseorang mengatakan : “Saya mengikuti Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
dan beliau itu di atas Al Haq, tapi saya tidak akan komentari negatif
latta dan ‘Uzza serta saya tidak akan komentari Abu Jahl dan yang
serupa dengannya tidak ada urusan saya dengan mereka.” Tentu tidak sah
keIslamannya. [Ad Durar As Saniyyah : 2/109]
Al ‘Allamah Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Alu Syaikh rahimahullah
berkata : “Bila dia mengatakan (“Saya katakan selain mereka adalah
kafir dan saya tidak mengatakan mereka itu orang-orang kafir…”), Maka
ini adalah vonis dari dia akan keIslaman mereka (para pelaku syirik),
karena tidak ada perantara antara kufur dan Islam, bila mereka bukan
kafir berarti mereka muslimun, dan saatnya siapa yang menamakan kufur
sebagai Islam atau menamakan orang-orang kafir sebagai orang-orang
muslim, maka dia kafir, jadi dia adalah orang kafir. [Autsaqu ‘ural Iman, Majmu At Tauhid : 96]
Dua putra Syaikh Muhammad, yaitu Syaikh Husen dan Syaikh Abdullah
ditanya : “Apa pendapat anda orang yang masuk dien ini (Tauhid) dan ia
mencintainya, namun dia tidak memusuhi para pelaku Syirik atau dia
memusuhi mereka namun tidak mengkafirkannya atau dia mengatakan : Saya
muslim namun (tidak bisa) mengkafirkan orang yang mengucapkan Laa
ilaaha illallaah meskipun mereka tidak mengetahui maknanya…? Dan orang
yang masuk dien ini namun dia mengatakan : Saya tidak akan mengomentari
negative kubah-kubah itu dan saya tahu bahwa itu tidak bisa
mendatangkan manfaat dan mudlarat tapi saya tidak akan mengganggunya…?
Mereka menjawab
: “Sesungguhnya orang itu tidak menjadi muslim kecuali bila dia
mengetahui Tauhid, menyakininya, mengamalkan tuntutannya, membenarkan
Rasulullah dalam apa yang beliau kabarkan, dan mentaatinya dalam apa
yang beliau larang, beriman kepadanya dan kepada apa yang beliau bawa.
Siapa orangnya yang mengatakan saya tidak memusuhi para pelaku Syirik
atau dia memusuhinya namun tidak mengkafirkannya, atau mengatakan saya
tidak akan mengomentari negatif orang-orang yang sudah mengucapkan Laa
ilaaha illallaah meskipun mereka itu melakukan kekafiran dan
kemusyrikan serta memusuhi dien Allah, atau orang yang mengatakan saya
tidak akan mengomentari negative kubah-kubah itu, maka orang seperti
ini bukan muslim, namun dia tergolong orang-orang yang Allah Subhanahu
Wa Ta’ala firmankan :
“Dan mereka mengatakan : ‘kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagian.’ dan
mereka menginginkan menjadikan jalan (tengah) di antara itu. Mereka
itulah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya, dan Kami siapkan adzab
yang menghinakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. An Nisa [4] : 150-151)
Dan
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah mewajibkan memusuhi orang-orang
pelaku syirik, meninggalkan mereka dan mengkafirkannya….” [Ad Durar As Saniyyah : 10/139]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu Taimiyyah
: (Ibadah kepada selain Allah adalah lebih kafir daripada meminta
tolong kepada selain Allah. Bila orang menyembelih untuk selain Allah
dalam rangka taqarrub kepadanya, tentulah haram meskipun membaca
bismillah di dalamnya sebagaimana yang dilakukan oleh segolongan dari
kaum munafiqin umat ini, dan meskipun mereka itu murtaddin yang
sembelihannya sama sekali tidak halal, namun pada sembelihannya
terkumpul dua larangan. Dan inilah yang biasa dilakukan di kota Mekkah
dan yang lainnya, berupa sembelihan buat jin (tumbal) –selesai
perkataan Syaikh–)
Syaikh Muhammad
berkata : “Dan dialah yang mana musuh-musuh dien ini menisbatkan
kepada beliau bahwa beliau tidak mengkafirkan mu’ayyan. Coba lihatlah
semoga Allah memberimu petunjuk pengkafiran beliau terhadap orang yang
menyembelih untuk selain Allah dari kalangan umat ini, serta penegasan
beliau bahwa orang munafiq menjadi murtad. Ini adalah pada orang
mu’ayyan karena tidak terbayang sembelihan menjadi haram kecuali
sembelihan mu’ayyan.” [Al Mufid Al Mustafid : 52]
Kemudian
berkata seraya mengomentari perkataan Ibnu Taimiyyah : “Maka lihatlah
–semoga Allah merahmatimu– kepada sang imam ini yang mana orang yang
Allah sesatkan hatinya menisbatkan kepada beliau tidak mengkafirkan
mu’ayyan. Bagaimana beliau menyebutkan tentang orang seperti Al Fakhru
Ar Razi yang mana dia adalah tergolong tokoh besar kalangan Syafi’iyyah,
dan seperti Abu Mi’syar yang mana dia adalah tergolong penulis besar
yang masyhur dan yang lainnya, bahwa mereka itu murtad dari Islam. Al
Fakhru ini adalah yang Syaikh sebutkan dalam Ar Raddu ‘Alal
Mutakallimin tatkala beliau menyebutkan kitab tulisannya yang beliau
sebutkan disini, beliau berkata : (‘Dan ini adalah riddah sharihah
(kemurtaddan yang jelas) dengan kesepakatan kaum muslimin’)” [Mufid Al Mustafid : 54]
Syaikh Muhammad berkata juga setelah menuturkan perkataan Ibnu Taimiyyah tentang orang-orang yang divonis oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu dengan riddah (murtad) : perhatikanlah ungkapan beliau rahimahullah
dalam takfir mu’ayyan dan kesaksian atasnya masuk neraka bila telah
dibunuh, serta istri dan anak-anaknya dijadikan tawanan (budak) karena
(mereka) menolak membayar zakat. Padahal beliau inilah yang mana
musuh-musuh dien menisbatkan kepadanya bahwa beliau tidak takfir
mu’ayyan. [Mufid Al Mustafid : 64]
Beliau berkata juga : Ibnu Qayyim
berkata dalam kitab Iqhatsatul Luhafan tentang pengingkaran akan
pengangungan kuburan: (“Masalahnya telah menghantarkan kaum musyrikin
sampai-sampai sebagian orang-orang yang ekstrim di antara mereka
mengarang dalam hal itu satu kitab yang dinamakan (Manasik Al Masyahid)
dan tidak diragukan bahwa ini adalah keluar dari dien Islam dan masuk
dalam dien para penyembah berhala”) : “Orang yang disebutkan Ibnu
Qayyim ini adalah tergolong laki-laki yang tergolong banyak mengarang
yang terkenal dengan julukan Ibnul Mufid. Sungguh saya telah melihat
isi kitab itu dengan mata kepala saya sendiri, maka bagaimana orang
mengingkari takfir mu’ayyan.” [Mufid Al Mustafid : 66]
Beliau berkata juga : “Abul Abbas rahimahullah
berkata : (Ibnul Khudlairiy memberitahu saya dari ayahnya dari Syaikh
Al Khudlairiy imam madzhab Hanafi di zamannya, beliau berkata : Para
fuqaha Bukhara pernah mengatakan tentang Ibnu Sina : “dia adalah orang
kafir yang cerdik”). Ini imam madzhab Hanafi pada zamannya
menghikayatkan dari semua fuqaha Bukhara bahwa Ibnu Sina adalah kafir,
sedangkan ia adalah orang mu’ayyan yang banyak menulis yang pura-pura
menampakan Islam.” [Al Mufid : 66]
Beliau
berkata : Ibnu Hajar berkata saat menjelaskan hadist Ibnu Abbas “Bila
engkau meminta, mintalah kepada Allah” dalam Syarh Arba’in, yang
maknanya : Sesungguhnya orang yang menyeru selain Allah maka dia kafir,
dan dalam hal ini beliau menulis satu kitab khusus yang diberi nama Al
I’lam Bi Qawathi’il Islam, di dalamnya beliau menyebutkan banyak ucapan
dan perbuatan yang masing-masing darinya bisa mengeluarkan dari Islam
dan dengannya orang mu’ayyan dikafirkan yang pada umumnya tidak
menyamai seper seratus apa yang menjadi tema bahasan kita. [Al Mufid : 67]
Syaikh Muhammad
berkata dalam rangka membantah orang yang enggan mengkafirkan secara
mu’ayyan orang yang menyekutukan Allah : “Apakah pernah ada seorang
saja dari semenjak zaman sahabat hingga zaman Manshur –Al Bahuty– bahwa
mereka (pelaku syirik) itu dikafirkan nau’nya saja tidak mu’ayyan ?.” [lihat risalah beliau kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy dalam Tarikh Nejd : 346, juga Ad Durar As Saniyyah : 10/69]
Membedakan nau’ dengan mu’ayyan dalam syirik akbar tak lain adalah bid’ah, oleh karena itu Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah
tatkala menuturkan orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut Syaikh
Muhammad padahal mereka itu jauh dari manhajnya : “Dan setelah diteliti
mereka itu tidak mengkafirkan pelaku syirik kecuali secara umum saja
dan untuk menerapkannya di antara mereka, mereka sangat enggan,
kemudian merebaklah bid’ah dan syubhat mereka itu sampai akhirnya laris
dikalangan ikhwan-ikhwan khusus. Itu wallahu a’lam disebabkan (mereka)
meninggalkan kitab-kitab induk dan tidak memperhatikannya serta tidak
takut dari kesesatan”. [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan, dalam Aqidatul Muwahhidin: 149]
Beliau
berkata : “Sesungguhnya sebagian orang yang kami isyaratkan tadi telah
saya tanya tentang masalah ini, maka dia berkata : Kami mengatakan
kepada para pengagung kubah (kuburan) yang mereka ibadati dan orang
yang di dalamnya : “Perbuatan kamu adalah syirik tapi dia bukan
musyrik.” Coba lihatlah dan pujilah Rabbmu dan mintalah ‘afiyah,
sesungguhnya jawaban ini adalah termasuk jawaban (Dawud Ibnu Jirjis) Al
Iraqiy yang telah dibantah oleh Syaikh Abdullathif. Dan orang yang
mengatakan hal itu kepadaku menuturkan bahwa ia pernah ditanya oleh
sebagain penuntut ilmu tentang hal itu dan landasannya, maka ia
mengatakan: (Kafirkan nau’ dan tidak menta’yin seseorang kecuali setelah
diberi penjelasan)” [Hukmu Takfri Al Mu’ayyan : 160]
Beliau
berkata juga : “Dan masalah kita ini –yaitu, ibadah kepada Allah saja
tidak ada sekutu bagi-Nya serta bara’ dari peribadatan selain-Nya dan
bahwa orang yang beribadah kepada yang lain di samping ibadah kepada
Allah maka sungguh dia telah menyekutukan-Nya dengan syirik akbar yang
mengeluarkan dari Islam–, adalah pokok dari segala pokok dan dengannya
para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, dan hujjah telah tegak atas
manusia dengan Rasul dan Al Qur’an. Dan begitulah engkau dapatkan
jawaban dari para imam dien ini dalam pokok ajaran itu saat
mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah, sesungguhya dia itu disuruh
taubat, bila dia taubat, bila tidak maka dia dibunuh, mereka tidak
menyebutkan ta’rif (pemberian penjelasan terlebih
dahulu) dalam masalah-maslah pokok, mereka hanya menyebutkan ta’rif
dalam masalah-masalah khafiyyah (yang samar) yang terkadang samar atas
sebagian kaum muslimin dalilnya, seperti masalah-masalah yang diyakini
oleh sebagian ahlul bid’ah seperti Qodariyah dan Murji’ah atau dalam
masalah-masalah yang samar seperti Sharf dan ‘Athf (pelet). Dan
bagaimana ‘Ubaddul Qubur itu diberi penjelasan sedangkan mereka itu
bukan kaum muslimin dan mereka tidak masuk dalam nama Islam, apakah ada
amalan tersisa bersama adanya syirik…!!?” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan : 150-151]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah
berkata : “Kami katakan dalam takfir mu’ayyan : Dhahir ayat-ayat,
hadits-hadits serta perkataan jumhur ulama menunjukkan kafirnya orang
yang menyekutukan Allah, dimana ia ibadah kepada yang lain disamping
kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara mu’ayyan dan
yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya” dan firman-Nya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kalian dapatkan mereka”,
sedangkan dalil ini umum bagi setiap individu dari kalangan para
pelaku syirik. Dan semua para ulama dalam kitab-kitab fiqh menyebutkan
hukum orang murtad, sedangkan kemurtadan dan kekafiran yang paling
mereka sebutkan pertama adalah syirik, mereka mengatakan :
“Sesungguhnya siapa yang berbuat syirik maka dia kafir”, dan mereka
tidak mengecualikan orang jahil, dan “Siapa yang mengklaim Allah itu
punya istri atau anak maka dia kafir”, dan mereka tidak kecualikan
orang jahil, “Siapa yang menuduh ‘Aisyah berzina maka dia telah kafir”,
Dan siapa yang memperolok-olok Allah atau para Rasul-Nya, atau
kitab-kitab-Nya, maka telah kafir dengan ijma berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala : “Jangan kalian cari-cari alasan sungguh kalian telah kafir setelah iman kalian”.
Dan mereka menyebutkan banyak hal yang diijmakan kekafiran pelakunya
dan mereka tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, kemudian
mereka mengatakan: “Siapa yang murtad dari Islam maka dia dibunuh
setelah disuruh taubat (istitaabah)”, mereka telah menghukumi
kemurtaddannya sebelum hukuman istitabah. Jadi istitaabah
adalah setelah vonis kemurtadan, sedangkan istitaabah hanyalah pada
orang mu’ayyan. Dan dalam bab ini mereka menyebutkan hukum orang yang
mengingkari wajibnya salah satu dari ibadah yang lima, atau
menghalalkan susuatu dari hal-hal yang diharamkan, seperti khamr, babi
dan yang lainnya, atau meragukannya, maka dia kafir bila orang seperti
dia tidak jahil akannya, dan mereka tidak mengatakan hal itu dalam
syirik akbar dan yang lainnya yang mana sebagiannya telah kami
sebutkan, bahkan mereka memutlakan kekafirannya dan tidak
mengecualikannya dengan sebab kejahilan, dan mereka juga tidak
membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, serta sebagaimana yang
telah kami sebutkan istitabah hanya terjadi pada orang mu’ayyan. Apakah
boleh bagi orang muslim meragukan kekafiran orang yang mangatakan
bahwa Allah memiliki istri atau anak atau berkata Jibril salah dalam
menyampaikan risalah atau orang yang mengingkari hari kebangkitan
setelah kematian atau mengingkari salah seorang Nabi…? Dan apakah orang
muslim membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya dalam hal itu dan
yang lainnya, sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan : “Siapa yang mengganti diennya, maka bunuhlah dia”. Sedangkan
ini mencakup mu’ayyan dan yang lainnya, sedangkan penggantian dien
yang paling dahsyat adalah menyekutukan Allah dan ibadah kepada yang
lainnya. [Ad Durar As Saniyyah : 10/401]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : Inti dien Islam dan kaidahnya ada dua :
Pertama :
- Perintah ibadah hanya kepada Allah tidak ada sekutu baginya
- Dorongan yang kuat akan hal itu
- Melakukan loyalitas di dalamnya
- Mengkafirkan orang yang meninggalkannya
Kedua :
- Penghati-hatian dalam syirik dalam ibadah kepada Allah
- Kecaman yang keras akan hal itu
- Melakukan permusuhan di dalamnya
- Dan mengakfirkan pelakunya. [Ashlu Dienil Islam, Majmu’ah At Tauhid : 28]
Kemudian
beliau berkata tentang orang yang menyalahi inti dienul Islam itu:
“Dan di antara mereka –yaitu yang paling bahaya– adalah orang yang
mengamalkan tauhid namun tidak mengetahui kedudukannya, dia tidak
membenci orang yang meninggalkannya dan tidak mengkafirkan mareka. [Ashlu Dienil Islam, Majmu’ah At Tauhid : 29]
Pensyarah, Abdurrahman Ibnu Hasan berkata : Ucapan beliau rahimahullah
“yaitu yang paling berbahaya” karena dia tidak mengetahui kedudukan
apa yang diamalkannya dan tidak mendatangkan apa yang meluruskan
tauhidnya berupa syarat-syarat yang berat yang mesti dipenuhi, ini
berdasarkan apa yang telah kamu ketahui bahwa Tauhid itu menuntut
penafian syirik, bara darinya, memusuhi para pelakunya serta
mengkafirkan mereka saat hujjah tegak atas mereka. [Majmu’ah At Tauhid : 31]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata : “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan
syirik, bara darinya dan mengkafirkan pelakunya.” [Majmu’ah At Tauhid :
29]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata seraya mengakui dan menganggap bagus apa yang dilakukan oleh
seorang Arab Badui yang awam : “Dan sungguh indah sekali apa yang
dikatakan seorang Arab badui tatkala ia datang kepada kami dan telah
mendengar sesuatu dari Islam (Tauhid) ini, ia berkata : “Saya bersaksi
bahwa kami adalah orang –orang kafir –yaitu dia dan seluruh orang-orang
badui– dan saya bersaksi bahwa Muthawwi (ustadz)[14] yang mengatakan bahwa kami adalah orang-orang Islam, dia adalah kafir.” [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah : 23 dalam Majmu’ah At Tauhid]
Ketahuilah
bahwa pernyataan yang mengharuskan penegakan hujjah sebelum
mengkafirkan pelaku syirik adalah hanyalah syubhat yang tak berdalil
sama sekali.
Sebelum akhir, saya
memberikan hadiah bagi orang-orang yang kalah di hadapan para thaghut
dan para pelaku syirik, yang mana mereka itu membedakan antara nau’ dan
mu’ayyan dalam syirik akbar dan yang menuduh para muwahhidin yang
mengkafirkan para thaghut dan para pelaku syirik dengan tuduhan-tuduhan
yang keji dan nama-nama yang menjijikan. Saya hadiahkan :
Perkataan Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
dalam risalahnya kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy, si musuh
Tauhid yang yang mengakui kebenaran tauhid yang didakwahkan oleh Syaikh
Muhammad, namun dia membedakan nau’ dan mu’ayyan dalam syirik akbar
dengan berlandaskan pada pemahaman yang salah akan perkataan Ibnu
Taimiyyah : Dan kamu –wal ‘iyadzu billah– jatuh terpuruk setingkat demi
setingkat, pertama kalinya (kamu jatuh) ke dalam keraguan, negeri
syirik, loyalitas kepada mereka , shalat di belakang mereka, serta bara
kamu dari kaum muslimin karena mudaahanah (basa-basi) terhadap mereka (musyirikin). [Ad Durar As Saniyyah : 10/64, Tarikh Nejed: 343]
Dan
beliau mengatakan kepadanya : “Apakah ada seseorang semenjak zaman
sahabat hingga zaman manshur yang mengatakan bahwa mereka itu
dikafirkan nau’nya saja tidak mu’ayyannya…?” [Ad Durar As Saniyyah : 10/69, Tarikh Nejed: 346]
Dan
beliau berkata seraya mengingkari orang yang mengingkari pengkafiran
orang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallaah bila melakukan syirik
akbar atau kekafiran : “Dan tidak pernah mendengar seorangpun dari
kalangan terdahulu dan orang-orang kemudian bahwa ada seorang yang
mengingkari sesuatu dari hal itu atau mempermasalahkannya karena alasan
para pelaku syirik itu masih mengaku Islam, atau karena alasan
pengucapan Laa ilaaha illallaah, atau karena penampakan sesuatu dari
rukun-rukun Islam, kecuali apa yang kami dengar dari orang-orang
terlaknat itu pada masa sekarang padahal mereka mengakui bahwa ini
syirik, namun orang yang melakukannya atau memperindahnya atau ia
bersama para pelakunya (bergabung) atau mencela Tauhid atau memerangi
para muwahhid karena alasan tauhidnya atau membenci mereka karenanya,
bahwa dia itu tidak kafir karena mengucapkan Laa ilaaha illallaah atau
karena dia melaksanakan rukun-rukun Islam yang lima…!! Pernyataan ini
sama sekali tidak pernah didengar kecuali dari orang-orang kafir yang
jahil lagi dzalim itu.” [Tarikh Nejd : 381, Mufid Al Mustafid]
Sebagian
orang-orang jahil di masa sekarang mengatakan: “Buat apa mengkafirkan
pelaku syirik, tidak ada urusan saya dengan mereka, bukan kewajiban
kita, ini hak ulama…!” Kemudian mereka setelah itu mengingkari orang
yang mengkafirkan pelaku syirik itu seraya mengatakan : “Awas jauhi
orang sesat ini, dia mengkafir-kafirkan kaum muslimin…!!!” Subhanallah,
apakah ‘Ubbadul Qubur itu muslim…???
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah
berkata : “Siapa yang kamu maksud dengan kaum muslimin yang kamu
bela-bela agar tidak dikafirkan, bila mereka itu adalah Jahmiyyah dan
‘Ubbadul Qubur, maka sungguh mereka itu bukan orang-orang Islam yang
wajib kamu bela-bela, justeru mereka itu adalah musuh-musuh Allah,
Rasul-rasul-Nya, syariat-Nya, dan dien-Nya. [Kasyfu Asy Syubhatain : 64 ]
Beliau
berkata juga : “Dan ‘Ubbadul Qubur, mereka itu menurut Ahlus Sunnah
dinamakan Al Ghaliyah (orang-orang yang ghuluw terhadap makhluk) karena
keserupaannya dengan orang-orang Nashrani dalam hal ghuluw pada para
Nabi, para wali dan shalihin. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka,
menampakan permusuhan terhadap mereka dan kebencian terhadapnya,
menghati-hatikan orang agar tidak duduk-duduk dengan mereka serta
berupaya keras untuk menjauhkan (orang-orang) darinya, maka sungguh dia
telah mengikuti jalan kaum mukminin, menapaki tuntunan para imam
mujtahidin dan menyelisihi apa yang dijadikan pegangan oleh Khawarij
dan Rafidlah, berupa mengkafirkan kaum muslimin. Maka siapa yang
menjadikan pengkafiran mereka itu seperti mengkafirkan kaum muslimin,
maka sungguh dia tergolong orang-orang yang telah membuat pengkaburan,
dan orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah, serta
mencari jalan orang-orang yang bengkok. Kita berlindung kepada Allah
dari dosa-dosa yang menutupi dan hati-hati yang terpuruk.” [Kasyfu Asy Syubhatain : 103]
Dan
berkata juga : “Dan begitu juga ‘Ubbadul Qubur, sesungguhnya mereka
itu bukanlah tergolong ahlul ahwa wal bida’, tapi mereka dinamakan oleh
salaf sebagai Al Ghulah karena penyerupaan mereka terhadap orang-orang
Nashrani dalam sikap ghuluw terhadap para Nabi dan orang-orang saleh.”
[Kasyfu Asy Syubhatain : 40]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata
: “Dan adapun ‘Ubbadul Qubur, mereka itu menurut salaf dan ahli ilmu
dinamakan Al Ghaliyah karena perbuatan mereka menyerupai ghuluwnya
orang-orang Nashrani terhadap para nabi, orang-orang saleh, dan para
ahli ibadah.” [Minhaj At Ta’sis : 101]
Dan
beliau berkata juga : “Bila orang-orang jahil ‘Ubbadul Qubur berkata :
Mana orang yang beribadah kepada selain Allah…?, maka dikatakan kepada
mereka : “Kalianlah orangnya dan yang sebangsa dengan kalian…!” [Minhaj At Ta’sis : 71]
Dan
berkata juga setelah menafsirkan ayat 112 surat Al Baqarah : “Ia
adalah bantahan atas ‘Ubbadul Qubur dan Ash Shalihin yang istighasah
kepada selain Allah lagi menyeru selain-Nya, karena penyerahan wajah
kepada Allah dan ihsan dalam beramal itu tidak ada pada mereka serta mereka tidak mendapatkannya.” [Minhaj At Ta’sis : 70].
Dan
tadi sudah dijelaskan bahwa para pengusung undang-undang buatan dan
orang-orang yang loyal kepada thoghut murtad adalah termasukdalam
jajaran ‘Ubbadul Qubuur.
Ketahuilah
bahwa orang yang mengingkari orang yang mengkafirkan pelaku syirik atau
melontarkan berbagai syubhat dalam rangka membela-belanya, maka dia
itu haruslah dihajr.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata : “Bila kalian telah tahu akan hal itu, maka thaghut-thaghut
yang dikultuskan orang-orang dari kalangan para penduduk Al Kharaj dan
yang lainnya, mereka itu terkenal dikalangan khusus dan umum dengan
sikap tersebut dan bahwa mereka itu memposisikan diri untuk itu dan
memerintahkan orang-orang untuk (mengkultuskannya), semuanya adalah
kuffar murtaddin dari Islam, siapa yang membela-bela mereka atau
mengingkari kepada orang yang mengkafirkan mereka dan dia mengklaim
bahwa perbuatan mereka ini meskipun bathil namun tidak mengeluarkan
mereka kepada kekafiran, maka status menimal orang yang membela-bela
ini adalah fasiq yang tulisan dan kesaksiaannya tidak boleh diterima
serta tidak boleh shalat bermakmum padanya, bahkan dienul Islam tidak
sah kecuali dengan bara’ dari mereka dan mengkafirkannya”. [Ad Durar As Saniyyah : 10/52-53]
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman dan Syaikh Abdullah Ibnu Syaikh Abdullathif
tatkala ditanya tentang orang yang tawaqquf dari mengkafirkan
quburiyyun, mereka menjawab : “Tidak sah status keimanan orang yang
tidak mengkafirkan Jahmiyyah dan Quburiyyun atau ragu dalam
mengkafirkan mereka. Dan masalah ini adalah tergolong masalah-masalah
yang paling jelas dilkalangan para penuntut ilmu dan ahlul atsar”. [Ad Durar As Saniyyah : 10/437]
Siapa
orangnya yang menuduh kaum muwahhidin yang mengkafirkan para thaghut,
kaum Quburiyyun, para pengusung undang-undang buatan serta para pembuat
hukum di negeri ini dan negeri lainnya sebagai Khawarij, sungguh dia
itu telah mencela semua para rasul dan tidak paham akan dien ini.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata: Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar
tergolong bab ini (aqidah khawarij), maka sungguh dia telah mencela
para Rasul dan ulama umat ini, dia tidak bisa membedakan antara dien
para Rasul dengan madzhab Khawarij dan sungguh dia telah mencampakkan
nash-nash Al Qur’an dan mengikuti selain jalan kaum mukmin. [Mishbah Adh Dhalam : 72]
Dan
biasanya para pemegang fikrah Inhizaahmiyyah yang loyal kepada
pemerintah-pemerintah murtad yang mengklaim bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang paling salafiy, mereka itu menjadikan para muwahhid
sebagai musuh sedangkan para thaghut dan kaum musyrikin sebagai sahabat,
mereka persilahkan orang-orang kafir itu untuk hadir dalam acara-acara
mereka.
Syaikh Muhammad rahimahullah berkata
: “Sesungguhnya orang-orang yang keberatan dengan masalah takfir, bila
engkau amati mereka ternyata para muwahhid adalah musuh-musuh mereka
yang mereka benci dan dongkol dengannya, sedangkan orang-orang musyrik
dan munafiq adalah sahabat mereka yang mana mereka merasa dekat
dengannya. Tapi ini telah terjadi pada orang-orang yang ada didekat
kami di Dar’iyyah dan Uyainah yang (akhirnya) murtad dan benci akan
dien (ini). [Ad Durar As Saniyyah : 10/91]
Bila
mereka jahil atau ragu tentang kafirnya ‘Ubbadul Qubur dan ‘Ubbadul
Dustur, maka dijelaskan kepada mereka dalil-dalil tentang kekafirannya,
bila masih ragu atau bimbang setelah itu maka mereka kafir.
Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah rahimahullah
pernah ditanya tentang orang yang tidak mengkafirkan para pelaku
syirik itu, beliau menjawab : “Bila dia ragu akan kekafiran mereka atau
tidak tahu akan kekafirannya maka dijelaskan dalil-dalil dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang menunjukan kekafiran mereka,
kemudian bila dia ragu setelah itu atau bimbang maka sesungguhnya dia
adalah kafir dengan ijma para ulama bahwa orang yang ragu akan
kekafiran orang kafir adalah kafir. [Autsaqu ‘Ural Iman : 96 dalam Majmu’ah At Tauhid]
Ketahuilah
bahwa sesungguhnya orang-orang yang membela-bela kaum Quburiyyun dan
Dusturiyyun, keadaannya tidak lepas dari tiga keadaan, silahkan kalian
pilih salah satunya bagi diri kalian. Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman
berkata dalam rincian tiga keadaaan tentang orang-orang yang membela
Jahmiyyah, Ibadliyyah dan kaum murtaddin dari kalangan ‘Ubbadul Qubur:
- Bisa jadi mereka telah kalian dakwahi dengan hikmah dan mauidhah hasanah (pengajaran yang baik) serta kalian mendebat mereka dengan dalil-dalil yang bisa diakui dan diterima oleh setiap orang, terus mereka itu menerima apa yang kalian ajak kepadanya berupa petunjuk dan dien yang haq, dan mereka rujuk dari kesesatannya serta taubat, kembali dan komitmen dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bila keadaannya seperti ini maka berarti orang yang memusuhi mereka dan yang protes kepada kalian dan kepada mereka adalah salah, dzalim lagi aniaya.
- Dan bisa jadi mereka tidak menerima ajakan kalian berupa petunjuk, dienul haq dan jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan justeru mereka ngotot, membangkang, keras kepala, dan melawan Allah layaknya unta yang melawan pemiliknya, maka berarti hujjah telah tegak atas mereka. Bila demikian maka tak ada larangan dari mengkafirkan mereka, menampakan permusuhan kepada mereka, bara’ darinya, memusuhinya, mentahdzirnya, menjauhinya dan memutus hubungan dengan mereka karena hujjah telah sampai dan tegak atas mereka.
- Dan bisa jadi kalian itu tidak mendakwahinya dan tidak menasehatinya, maka berarti kalian tergolong pendukung dan kroni-kroni mereka serta para pembela-bela mereka sebelum mendakwahi mereka kepada dienullah dengan hikmah, mau’idhah hasanah dan penegakan hujjah atas mereka.
“Inilah
kalian yang membela-bela mereka di dunia ini, maka siapa yang bisa
membela-bela mereka dari (adzab) Allah di hari kiamat, atau siapa
orangnya yang bisa melindungi mereka…?”
Kalian
jadikan diri kalian sebagai tameng mereka di mana kalian menulis
tulisan untuk membantah orang yang memusuhi mereka, berusaha
mengalahkan mereka, membenci mereka dan menyebarkan keburukan,
kebusukan serta kesesatan mereka.
Apakah kalian tidak takut suatu hari yang mana kalian di hari itu dikembalikan kepada Allah…??! [Kasyfu Asy Syubhatain : 55-56]
Syaikh Abdullah Ibnu ‘Abdillathif rahimahullah
berkata tatkala ditanya tentang Turki Utsmaniy : “Orang yang tidak
tahu kafirnya negara ini dan tidak bisa membedakan antara mereka dengan
para pemberontak dari kalangan kaum muslimin, maka dia tidak
mengetahui makna Laa ilaaha illallaah. Kemudian bila di samping itu dia
menyakini bahwa (pemerintah) negara itu adalah orang-orang islam, maka
ia lebih dahsyat dan lebih bahaya, dan ini adalah keraguan terhadap
kekafiran orang yang kafir kepada Allah dan menyekutukan-Nya, sedangkan
orang yang mendatangkan mereka dan membantunya untuk menyerang kaum
muslimin dengan macam bantuan apa saja maka ini adalah kemurtaddan yang
jelas. [Ad Durar As Saniyyah : 10/429]
Sebagian
imam-imam dakwah ini berkata: “Di antara sikap yang mengharuskan
pelakunya dikafirkan adalah sikap tidak mengkafirkan para pelaku syirik
atau ragu prihal kekafiran mereka. Sesungguhnya hal itu termasuk
penggugur dan pembatal keIslaman. Maka siapa yang memiliki sifat ini
berarti dia telah kafir, halal darah dan hartanya, serta wajib diperangi
sampai mau mengkafirkan para pelaku syirik. Dan dalil atas hal itu
adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir kepada segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan
darahnya.” Beliau menggantungkan keterjagaan harta dan darah atas dua hal. Hal pertama, pengucapan Laa ilaaha illallaah. Dan kedua, kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah.
Sehingga tidak terjaga darah dan harta seorang hamba sehingga dia mendatangkan dua hal ini. Pertama
: Ucapannya Laa Ilaaha Illallaah, dan yang dimaksud adalah maknanya
bukan sekedar lafadhnya, sedangkan maknanya adalah mentauhidkan Allah
dengan semua macam ibadah. Hal Kedua : Kufur kepada
segala yang diibadati selain Allah, sedangkan yang dimaksud adalah
mengkafirkan para pelaku Syirik dan bara’ dari mereka dan dari apa yang
mereka ibadati bersama Allah
Maka
siapa yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik dari kalangan negara
Turki dan ‘Ubbadul Qubur seperti penduduk Makkah dan yang lainnya yang
beribadah kepada orang-orang shaleh, dia berpaling dari Tauhidullah
kepada syirik dan dia merubah Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
dengan bid’ah, maka dia kafir seperti mereka meskipun membenci ajaran
mereka, tidak menyukai mereka dan mencintai Islam dan kaum muslimin,
karena orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik adalah tidak
membenarkan Al Qur’an, sebab Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku
syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhinya dan
memeranginya. [Ad Durar As Saniyyah : 9/291]
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad,keluarga dan para sahabat. Wal hamdu lillaahi Rabbil ‘Alamin.