أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Bismillahirrahmaanirrahim, Alhamdulillahi rabbil 'Aalamiin, Allahumma sholli 'alaa Muhammad Wa aali Muhammad, Ammaa Ba'du
Sumber Data: Arsip Mufti Kesultanan Palembang Darussalam Bidang Tasawuf Islam
Bismillahirrahmaanirrahim, Alhamdulillahi rabbil 'Aalamiin, Allahumma sholli 'alaa Muhammad Wa aali Muhammad, Ammaa Ba'du
Menurut
Asy-Syaikh Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan (Sunan Kudus), siapapun yang tafakkur
atau merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk
sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika
tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.
Pada setiap zarrah (atomis),
mulai dari ukuran sub-atomis (quantum) sampai atomis, yang terdapat di
alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut,
semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Allah SWT telah
berfirman; "Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di
langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan
sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari." (QS. 13:15)
Jadi,
semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan
rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah
ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Sunan
Kudus mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang
yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat
kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan
alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan
dzikirnya dalam lautan qolbu.
Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam
lautan pikiran.
Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan
kerinduan.
Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam ghaib.
Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia
cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-Asma dan
Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya
waktu.
Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasiaan Sirr al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam ke'baqa'an-Nya.
Sunan Kudus membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, yaitu :
- Tauhid Af'al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
- Tauhid Asma' adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A'dham yang Maha Agung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
- Tauhid Sifat adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyahadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama' (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
- Tauhid Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid az-Dzat menurut Sunan Kudus adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan musyahadah kaum 'Arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.
Tauhid
Af'al pada pengertian Sunan Kudus akan banyak berbicara tentang
kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia
yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik
atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan
kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan
memilih, dengan pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah
melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu
kontinuum ruang-waktu relatif.
Tauhid Af’al adalah
Samudera Pengenalan,
di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat
Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan
menyucikan dirinya,
menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan
kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya,
mendekat kepada-Nya
untuk menauhidkan-Nya,
beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya.
Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya
mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af'al inilah
seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari
dominasi nafs ammarah, menuju lawwamah, menuju mulhammah, dan mencapai
ketenangan dengan nafs muthma'innah.
Dalam Samudera Asma',
maka hijab-hijab tersingkap dengan masing-masing derajat dan
keadaannya.
Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin
melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki
medan ruh ilahiah-Nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan).
Samudera Asma' adalah Samudera Munajat dan Permohonan,
difirmankan oleh
Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asma
al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu."
(QS. 7:180).
Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja',
keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan
ruhaniah lainnya.
Di tepian Samudera Asma' adalah lautan
kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih
sayang Allah.
Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan
Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak
gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan
ke dalam rahasia terdalam.
Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki
hamparan Samudera Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat adalah
Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah
semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya
sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan
apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan
hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan
Kerinduan atau Lautan Cinta Ilahi adalah penafian diri.
Apa yang melekat
pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya
yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan
dikembalikan kepada-Nya.
Siapa yang kemudian
menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus
mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan
ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang
menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling
rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid az-Dzat.
Di
tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah
Samudera Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai
tingkatan ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu
tingkatan tanpa nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al
sudah tidak ada. Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi
tentang ketauhidan hanya dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri,
“Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah maqam Nabi Muhammad Saw, maqam
tanpa tapal batas, maqam Kebingungan Ilahiah. Maqam dimana semua yang
baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan
dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula
semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang
menyaksikan dengan pra eksistensinya.
Ketika salik
termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya.
Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di
Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia
yang paling rahasia (sirr al-asrar).
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diri-Mu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh Dia-Mu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh Engkau-Mu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera Pemurnian-Mu,
biarkan aku memandang-Mu dengan cinta-Mu,
menjadi sekedar hamba-Mu dengan ridha-Mu,
seperti Nabi Muhammad yang menjadi Abdullah Kekasih-Mu.
Penguraian
tauhid yang dilakukan oleh Sunan Kudus memang didasarkan pada
langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma', Sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat
Samudera Tauhid tersebut. Hasil akhirnya, kalau tidak ada penyimpangan
yang sangat mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para
sufi lainnya yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata
adalah mentauhidkan Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan
keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.
(Wallaahu A'lamu Bish Shawwab)
Sumber Data: Arsip Mufti Kesultanan Palembang Darussalam Bidang Tasawuf Islam
No comments:
Post a Comment