أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa ketauhidan seseorang dalam asma dan shifat itu maksudnya adalah bahwa seseorang itu meng-esakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama2 yang telah Allah sebutkan bagi diri-Nya sendiri, dan menyifati Allah dengan sifat2 yang telah Allah sifatkan bagi diri-Nya sendiri di dalam kitab-Nya, ataupun melalui lisan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian ia menetapkan semua itu dengan tanpa merubahnya, tanpa menghilangkannya, tanpa menanyakan bagaimananya, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Pengertian yang semakna dengan pengertian di atas ini -kurang lebihnya- pernah dikemukakan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Atau dari sisi yang lainnya, penjelasan tentang asma dan shifat Allah ini insya Allah dapat pula kita pahami –diantaranya- berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh ibnu Qudamah rahimahullah dari perkataannya al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
الله تعالى اسماء وصفات جاء بها كتابه واخبر بها نبيه صلى الله عليه وسلم امته لا يسع احدا من خلق الله تعالى قامت عليه الحجه ردها لأن القرآن نزل بها وصح عن رسول صلى الله عليه وسلم القول بها فيما روى عنه العدل فإن خالف ذلك بعد ثبوت الحجة عليه فهو كافر فاما قبل ثبوت الحجة عليه فمعذور بالجهل لأن علم ذلك لايدرك بالعقل ولا بالروية والفكر ولا يفكر بالجهل بها احد الا بعد انتهاء الخبر اليه بها ونثبت هذه الصفات وننفي عنها التشبه كما نفى التشبه عن نفسه فقال تعالى ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
“Mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah ta'ala, maka semua itu telah datang kabar di dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan pula oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umat beliau.
Maka, tidak ada seorang pun dari makhluk2 Allah ta'ala yang boleh menolaknya setelah hujjah ditegakan kepadanya, karena Al-Qur'an telah turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dan telah shahih sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh orang2 yang adil mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah tersebut.
Apabila ada seseorang yang menyelisihinya setelah tsabitnya hujjah kepadanya, maka ia kafir.
Adapun jika belum tsabit hujjah kepadanya, maka ia diberikan udzur disebabkan kejahilannya, sebab ilmu tentang hal ini tidaklah dapat dicapai melalui akal, bukan pula melalui perenungan, dan tidak pula melalui hati dan pemikiran. Dan kami tidaklah mengkafirkan seorangpun dalam masalah ini karena dia tidak tahu, kecuali jika setelah sampainya khabar kepadanya.
Dan kami tetapkan semua shifat Allah ini, sekaligus kami nafikan darinya penyerupaan sebagaimana Allah sendiri telah menafikan adanya penyerupaan dengan firman-Nya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
(Itsbat Shifat al-‘Uluw hal. 124)
Allah berfirman :
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Tentang firman Allah : “Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya,"
Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah mengatakan :
إخباراً أنه تعالى هو الرزاق القابض الباسط المتصرف في خلقه بما يشاء, فيغني من يشاء, ويفقر من يشاء لما له في ذلك من الحكمة
“Ayat ini mengabarkan bahwa Allah ta’ala, Dia-lah yang memberi rejeki, menggenggamnya, melapangkannya, dan mengaturnya untuk makhluk2-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki.
Maka Dia jadikan kaya siapa yang Dia kehendaki, dan Dia jadikan faqir siapa yang Dia kehendaki yang pada hal itu terdapat hikmah.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Adapun sebagian orang, mereka memandang bahwa kekayaan dan kemiskinan ini merupakan salah satu patokan bagi kehinaan dan kemuliaan seseorang.
Jika dia kaya, maka dia mulia, tapi jika dia miskin, berarti dia adalah orang yang hina.
Padahal masalahnya tidaklah seperti itu.
Kehinaan dan kemuliaan seseorang, sama sekali tidak ditentukan dari banyak atau sedikitnya harta yang Allah berikan kepadanya.
Bahkan telah tsabit dalam hadits yang shahih, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ
“Aku berdiri di pintu surga, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang2 miskin.”
(Shahih al-Bukhari 7/30 no.5196)
Atau sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal :
وقالت هذه يدخلني الضعفاء والمساكين
“Dan surga berkata : “Orang2 lemah dan orang2 miskin akan memasukiku.”
(Shahih Muslim 4/2186 no.2846)
Bukankah ini merupakan satu kemuliaan yang besar bagi orang2 miskin?
Maka sungguh kemiskinan bukanlah selalu berarti suatu kehinaan, dan begitupula kekayaan tidaklah selalu berarti kemuliaan.
Berkenaan dengan masalah ini, Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan dalam tafsir atas surat Saba’ ayat 36(1) :
قل لهم يا محمد(إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ) من المعاش والرياش في الدنيا(لِمَنْ يَشَاءُ) من خلقه(وَيَقْدِرُ) فيضيق على من يشاء لا لمحبة فيمن يبسط له ذلك ولا خير فيه ولا زلفة له استحق بها منه ، ولا لبغض منه لمن قدر عليه ذلك ولا مقت ، ولكنه يفعل ذلك محنة لعباده وابتلاء ، وأكثر الناس لا يعلمون أن الله يفعل ذلك اختبارًا لعباده ولكنهم يظنون أن ذلك منه محبة لمن بسط له ومقت لمن قدر عليه.
“(Allah berfirman) : “Wahai Muhammad, katakanlah kepada mereka : “Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rejeki “ dari hal penghidupan dan pakaian2 yang mewah bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara makhluk2-Nya. Dan Dia menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya,
(Tapi) semua itu bukanlah karena kecintaan Allah kepada orang2 yang Dia lapangkan rejekinya dan tidak pula karena kebaikan di dalamnya……
Dan itu juga bukanlah karena kemarahan dan kebencian Allah kepada orang2 yang Dia sempitkan rejekinya. Akan tetapi Allah melakukan itu adalah sebagai ujian dan cobaan untuk hamba2-Nya.
Sebagian besar manusia tidak mengetahui bahwa Allah melakukan itu sebagai ujian untuk hamba2-Nya, dan mereka menyangka bahwa orang2 yang dilapangkan rejekinya merupakan tanda kecintaan Allah sedangkan bagi orang2 yang disempitkan rejekinya merupakan tanda kebencian Allah.”
(Jami’ul-Bayan 20/410)
Kemudian, Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah di tempat lainnya menjelaskan dari sisi yang lebih prinsipil dalam masalah ini, yaitu bahwa pada kedua keadaan tersebut (yakni kelapangan dan kesempitan rejeki), maka sisi keta’atan kepada Allah-lah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan oleh seorang hamba.
Beliau rahimahullah mengatakan :
فإن الله تعالى يعطي المال من يحب ومن لا يحب ويضيق على من يحب ومن لا يحب وإنما المدار في ذلك على طاعة الله في كل من الحالين إذا كان غنيا بأن يشكر الله على ذلك وإذا كان فقيرا بأن يصبر
“Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan harta kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai. Dan Dia menyempitkan rejeki kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai.
Acuan dalam masalah ini hanyalah berkenaan dalam ketaatan kepada Allâh dalam dua keadaan tersebut.
Apabila seseorang itu diberikan kekayaan, maka hendaknya ia bersyukur kepada Allâh atas hal itu, dan jika ia berada dalam kemiskinan, maka hendaknya ia bersabar.”
(Tafsir ibnu Katsir 8/388)
Apa yang dikemukakan oleh Al-Hafizh rahimahullah di atas, adalah sebagaimana sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengenai sifat seorang mu'min :
عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له
"Sungguh mengagumkan urusan seorang mu'min. Sesungguhnya setiap urusannya adalah baik, dan tidaklah hal itu terjadi kecuali kepada diri seorang mu'min.
Apabila dia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Dan bersyukur itu adalah baik baginya.
Apabila ia tertimpa kemudharatan, maka ia bersabar. Dan bersabar itu adalah baik baginya."
(Shahih Muslim 4/2295 no.2999)
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah, bahwa bagi seorang muslim, kedua keadaan tersebut, yakni baik dalam kelapangan ataupun kesempitan rejeki atau dalam kondisi kaya ataupun miskin, maka hendaknya sisi keta’atan kepada Allah dalam kedua keadaan itulah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan dan diutamakan olehnya.
Jika ia kaya, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersyukur.
Dan jika ia miskin, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersabar.
Kemudian....
Tentang firman Allah :
“sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Yakni bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat akan keadaan hamba2-Nya, dalam hal siapa yang berhak untuk menjadi kaya dan siapa yang berhak untuk menjadi miskin.
Al-Hafizh rahimahullah mengatakan :
أي خبيراً بصيراً بمن يستحق الغنى ويستحق الفقر
“Yaitu Allah Maha Mengetahui, dan Maha Melihat siapa2 yang berhak untuk kaya, dan siapa2 yang berhak untuk miskin.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Terakhir.....satu yang perlu sekali diingat, yakni bahwa :
وقد يكون الغنى في حق بعض الناس استدراجاً, والفقر عقوبة, عياذاً بالله من هذا وهذا
“Adakalanya kekayaan yang ada pada sebagian manusia itu merupakan satu istidraj (atau bisa dikatakan sebagai sesuatu yang pada akhirnya akan menuju kepada kebinasaan), sedangkan kemiskinan itu merupakan satu hukuman. (Maka) kita berlindung kepada Allah dari kedua hal tersebut.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Note :
(1) Selengkapnya surat Saba’ dari ayat 34 sampai dengan 36 :
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.
Katakanlah: "Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rejeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
(Q.S Saba’ ayat 34-36)
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa ketauhidan seseorang dalam asma dan shifat itu maksudnya adalah bahwa seseorang itu meng-esakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama2 yang telah Allah sebutkan bagi diri-Nya sendiri, dan menyifati Allah dengan sifat2 yang telah Allah sifatkan bagi diri-Nya sendiri di dalam kitab-Nya, ataupun melalui lisan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian ia menetapkan semua itu dengan tanpa merubahnya, tanpa menghilangkannya, tanpa menanyakan bagaimananya, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Pengertian yang semakna dengan pengertian di atas ini -kurang lebihnya- pernah dikemukakan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Atau dari sisi yang lainnya, penjelasan tentang asma dan shifat Allah ini insya Allah dapat pula kita pahami –diantaranya- berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh ibnu Qudamah rahimahullah dari perkataannya al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
الله تعالى اسماء وصفات جاء بها كتابه واخبر بها نبيه صلى الله عليه وسلم امته لا يسع احدا من خلق الله تعالى قامت عليه الحجه ردها لأن القرآن نزل بها وصح عن رسول صلى الله عليه وسلم القول بها فيما روى عنه العدل فإن خالف ذلك بعد ثبوت الحجة عليه فهو كافر فاما قبل ثبوت الحجة عليه فمعذور بالجهل لأن علم ذلك لايدرك بالعقل ولا بالروية والفكر ولا يفكر بالجهل بها احد الا بعد انتهاء الخبر اليه بها ونثبت هذه الصفات وننفي عنها التشبه كما نفى التشبه عن نفسه فقال تعالى ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
“Mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah ta'ala, maka semua itu telah datang kabar di dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan pula oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umat beliau.
Maka, tidak ada seorang pun dari makhluk2 Allah ta'ala yang boleh menolaknya setelah hujjah ditegakan kepadanya, karena Al-Qur'an telah turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dan telah shahih sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh orang2 yang adil mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah tersebut.
Apabila ada seseorang yang menyelisihinya setelah tsabitnya hujjah kepadanya, maka ia kafir.
Adapun jika belum tsabit hujjah kepadanya, maka ia diberikan udzur disebabkan kejahilannya, sebab ilmu tentang hal ini tidaklah dapat dicapai melalui akal, bukan pula melalui perenungan, dan tidak pula melalui hati dan pemikiran. Dan kami tidaklah mengkafirkan seorangpun dalam masalah ini karena dia tidak tahu, kecuali jika setelah sampainya khabar kepadanya.
Dan kami tetapkan semua shifat Allah ini, sekaligus kami nafikan darinya penyerupaan sebagaimana Allah sendiri telah menafikan adanya penyerupaan dengan firman-Nya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
(Itsbat Shifat al-‘Uluw hal. 124)
Al-Quran surat Al-Isra ayat 30
Allah berfirman :
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Tentang firman Allah : “Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya,"
Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah mengatakan :
إخباراً أنه تعالى هو الرزاق القابض الباسط المتصرف في خلقه بما يشاء, فيغني من يشاء, ويفقر من يشاء لما له في ذلك من الحكمة
“Ayat ini mengabarkan bahwa Allah ta’ala, Dia-lah yang memberi rejeki, menggenggamnya, melapangkannya, dan mengaturnya untuk makhluk2-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki.
Maka Dia jadikan kaya siapa yang Dia kehendaki, dan Dia jadikan faqir siapa yang Dia kehendaki yang pada hal itu terdapat hikmah.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Adapun sebagian orang, mereka memandang bahwa kekayaan dan kemiskinan ini merupakan salah satu patokan bagi kehinaan dan kemuliaan seseorang.
Jika dia kaya, maka dia mulia, tapi jika dia miskin, berarti dia adalah orang yang hina.
Padahal masalahnya tidaklah seperti itu.
Kehinaan dan kemuliaan seseorang, sama sekali tidak ditentukan dari banyak atau sedikitnya harta yang Allah berikan kepadanya.
Bahkan telah tsabit dalam hadits yang shahih, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ
“Aku berdiri di pintu surga, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang2 miskin.”
(Shahih al-Bukhari 7/30 no.5196)
Atau sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal :
وقالت هذه يدخلني الضعفاء والمساكين
“Dan surga berkata : “Orang2 lemah dan orang2 miskin akan memasukiku.”
(Shahih Muslim 4/2186 no.2846)
Bukankah ini merupakan satu kemuliaan yang besar bagi orang2 miskin?
Maka sungguh kemiskinan bukanlah selalu berarti suatu kehinaan, dan begitupula kekayaan tidaklah selalu berarti kemuliaan.
Berkenaan dengan masalah ini, Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan dalam tafsir atas surat Saba’ ayat 36(1) :
قل لهم يا محمد(إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ) من المعاش والرياش في الدنيا(لِمَنْ يَشَاءُ) من خلقه(وَيَقْدِرُ) فيضيق على من يشاء لا لمحبة فيمن يبسط له ذلك ولا خير فيه ولا زلفة له استحق بها منه ، ولا لبغض منه لمن قدر عليه ذلك ولا مقت ، ولكنه يفعل ذلك محنة لعباده وابتلاء ، وأكثر الناس لا يعلمون أن الله يفعل ذلك اختبارًا لعباده ولكنهم يظنون أن ذلك منه محبة لمن بسط له ومقت لمن قدر عليه.
“(Allah berfirman) : “Wahai Muhammad, katakanlah kepada mereka : “Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rejeki “ dari hal penghidupan dan pakaian2 yang mewah bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara makhluk2-Nya. Dan Dia menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya,
(Tapi) semua itu bukanlah karena kecintaan Allah kepada orang2 yang Dia lapangkan rejekinya dan tidak pula karena kebaikan di dalamnya……
Dan itu juga bukanlah karena kemarahan dan kebencian Allah kepada orang2 yang Dia sempitkan rejekinya. Akan tetapi Allah melakukan itu adalah sebagai ujian dan cobaan untuk hamba2-Nya.
Sebagian besar manusia tidak mengetahui bahwa Allah melakukan itu sebagai ujian untuk hamba2-Nya, dan mereka menyangka bahwa orang2 yang dilapangkan rejekinya merupakan tanda kecintaan Allah sedangkan bagi orang2 yang disempitkan rejekinya merupakan tanda kebencian Allah.”
(Jami’ul-Bayan 20/410)
Kemudian, Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah di tempat lainnya menjelaskan dari sisi yang lebih prinsipil dalam masalah ini, yaitu bahwa pada kedua keadaan tersebut (yakni kelapangan dan kesempitan rejeki), maka sisi keta’atan kepada Allah-lah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan oleh seorang hamba.
Beliau rahimahullah mengatakan :
فإن الله تعالى يعطي المال من يحب ومن لا يحب ويضيق على من يحب ومن لا يحب وإنما المدار في ذلك على طاعة الله في كل من الحالين إذا كان غنيا بأن يشكر الله على ذلك وإذا كان فقيرا بأن يصبر
“Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan harta kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai. Dan Dia menyempitkan rejeki kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai.
Acuan dalam masalah ini hanyalah berkenaan dalam ketaatan kepada Allâh dalam dua keadaan tersebut.
Apabila seseorang itu diberikan kekayaan, maka hendaknya ia bersyukur kepada Allâh atas hal itu, dan jika ia berada dalam kemiskinan, maka hendaknya ia bersabar.”
(Tafsir ibnu Katsir 8/388)
Apa yang dikemukakan oleh Al-Hafizh rahimahullah di atas, adalah sebagaimana sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengenai sifat seorang mu'min :
عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له
"Sungguh mengagumkan urusan seorang mu'min. Sesungguhnya setiap urusannya adalah baik, dan tidaklah hal itu terjadi kecuali kepada diri seorang mu'min.
Apabila dia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Dan bersyukur itu adalah baik baginya.
Apabila ia tertimpa kemudharatan, maka ia bersabar. Dan bersabar itu adalah baik baginya."
(Shahih Muslim 4/2295 no.2999)
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah, bahwa bagi seorang muslim, kedua keadaan tersebut, yakni baik dalam kelapangan ataupun kesempitan rejeki atau dalam kondisi kaya ataupun miskin, maka hendaknya sisi keta’atan kepada Allah dalam kedua keadaan itulah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan dan diutamakan olehnya.
Jika ia kaya, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersyukur.
Dan jika ia miskin, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersabar.
Kemudian....
Tentang firman Allah :
“sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Yakni bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat akan keadaan hamba2-Nya, dalam hal siapa yang berhak untuk menjadi kaya dan siapa yang berhak untuk menjadi miskin.
Al-Hafizh rahimahullah mengatakan :
أي خبيراً بصيراً بمن يستحق الغنى ويستحق الفقر
“Yaitu Allah Maha Mengetahui, dan Maha Melihat siapa2 yang berhak untuk kaya, dan siapa2 yang berhak untuk miskin.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Terakhir.....satu yang perlu sekali diingat, yakni bahwa :
وقد يكون الغنى في حق بعض الناس استدراجاً, والفقر عقوبة, عياذاً بالله من هذا وهذا
“Adakalanya kekayaan yang ada pada sebagian manusia itu merupakan satu istidraj (atau bisa dikatakan sebagai sesuatu yang pada akhirnya akan menuju kepada kebinasaan), sedangkan kemiskinan itu merupakan satu hukuman. (Maka) kita berlindung kepada Allah dari kedua hal tersebut.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Note :
(1) Selengkapnya surat Saba’ dari ayat 34 sampai dengan 36 :
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.
Katakanlah: "Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rejeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
(Q.S Saba’ ayat 34-36)
No comments:
Post a Comment