أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Antara Fushush al-Hikam dan al-Hikam
Ada dua kitab tasawuf “jadul” (baca: klasik) yang sudah setahun ini saya pelajari dan kagumi habis. Pertama, Fushush al-Hikam, sebuah adikarya Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi, yang tentangnya serba-sedikit sudah saya masukkan ke blog ini, dan al-Hikâm-nya Ibn ‘Atha’illah, seorang guru kedua terbesar Tarekat Syadziliyah. Meski sama-sama menggunakan al-hikam, yang menyiratkan makna kebijaksanaan, namun jelas kedua-duanya menceritakan hal yang berbeda.
Fushush al-Hikam
Karya pertama yang saya sebutkan ini
merupakan karya metafisika (baca: tasawuf-falsafi) yang berisikan hikmah
Ilahi tertentu kepada ruh para nabi. Masing-masing ruh nabi ini
memanifestasikan hikmah Ilahi tertentu. Harus buru-buru ditambahkan
bahwa karena kajiannya metafisis, maka urutan penyebutan nama-nama nabi
ini tidak ada hubungannya dengan kemunculan nabi secara historis.
Misalnya, Ibn ‘Arabi lebih mendahulukan hikmah al-Haqqiyah pada Kalimat
Ishaq, yang nota bene nabi ini adalah adik dari Nabi Ismail as.
Fushush yang sedang saya
pelajari setiap malam Kamis ini bersama seorang pengajar lulusan Qum,
Iran ini, adalah kitab yang sudah disyarahi oleh Qaysari. Meski
demikian, pengajar Fushush sering juga memasukkan ulasan Imam
Khomeini, Kasyani, dan lain-lain. Insya Allah, pada kesempatan lain saya
akan menuliskan tentang murid-murid Ibn ‘Arabi meski dalam paper lain,
tugasku semasa kuliah di ICAS, telah aku sebutkan beberapa di antara
murid Ibn ‘Arabi, yang rasanya pernah saya masukka ke blog ini juga.
Al-Hikam
Adapun buku kedua, al-Hikam, adalah risalah tasawuf “praktis” karya ulama tasawuf asal Mesir. Dari sekian terjemahan al-Hikam versi Indonesia, menurutku, ada dua yang bagus. Pertama, al-Hikam yang dikomentari oleh Syekh Fadhalla Haeri, yang diterbitkan oleh Serambi. Kedua, al-Hikam yang
dikomentari oleh Muhammad bin Ibrahim (Syekh Ibnu Ibad) dan Syekh
Abdullah asy-Syarqawi, yang diterbitkan oleh Amelia, Surabaya.
Penerjemahnya adalah Moh. Syamsi Hasan dan Drs. Aswadi, M.Ag.
Yang saya miliki adalah yang diterbitkan
oleh Amelia. Alasannya, meski diterbitkan dalam kertas koran, namun mutu
terjemahannya bagus dan isinya lengkap (sebelumnya saya sudah lihat
buku-buku al-Hikam dari penerbit yang berbeda yang ternyata
kurang lengkap). Di samping itu, setingannya juga tergolong apik.
Hal-hal inilah yang menjadikan saya tertarik mengoleksinya.
Setiap dua minggu sekali, saya
menyempatkan diri untuk mempelajarinya bersama seorang guru dari tarekat
Syadziliyah. Kebetulan beliau membuka kelas al-Hikam di
bilangan Pejaten. Kendati buku itu bisa dibaca di rumah, namun suasana
terasa lain apabila saya mengikutinya melalui seseorang yang pengamal
tarekat. Barangkali, saya tidak terlalu pe-de untuk belajar otodidak.
Membaca al-Hikam seakan-akan menguliti diri saya, yang entah kapan bisa matang secara spiritual.
Di luar itu semua, saya menceritakan
kedua buku ini semata-mata karena kekaguman kepada dua orang syekh Sufi
besar ini. Meski secara “tradisional”, mereka berasal dari lingkungan
Sunni, terutama Ibn ‘Atha’illah ini, tiada salahnya jika orang-orang
yang berasal dari lingkungan non-Sunni atau bahkan non-Muslim,
mempelajari kedua kitab tersebut.
No comments:
Post a Comment
AkvvfKEyCzFtfheJCWaEteNVKP0