Mengenal lebih dekat nama Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama :
San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang);
Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana);
Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka);
Prabu Satmata
(gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau
mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan
pengikutnya);
Syekh Lemah Abang atau
Lemah Bang (gelar
yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model
yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan.
Jadi sangat wajar kalau orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti
Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang);
Syekh Siti Jenar
(nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa
manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan
selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang
ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa
Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon);
Syekh Nurjati atau
Pangran Panjunan atau
Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto);
Syekh Siti Bang, serta
Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung
(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam
sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]);
Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan
Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh
Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal
muasal kejadian manusia, yang secara biologis diciptakan oleh yang Maha
Kuasa dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat)
persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal
akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah
kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut
manungsa sebagai bentuk
“manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka
keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan
populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti
Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan.
Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu
dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan serng terhalang oleh
badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh
Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M
(Serat
She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah
Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972;
P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972;
H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto,
Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang
Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten;
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2
vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban
larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura,
sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa
dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Asal usul dan silsilah tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya sampai
saat ini masih sangat kabur. Kekurang-jelasan asal-usul ini juga sama
dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia
sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan
oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17, dilakukan
oleh Penguasa pada waktu itu dirasa sangat perlu sekali. Ini semua
disengaja untuk “mengubur” segala apa yg berbau dengan Syekh Siti Jenar
akibat dari popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama
serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian
menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal
dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wonde
ne kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika
ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing
dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti
Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia
berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah
Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau
berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup
sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah
Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai
Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka,
Syekh
Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin
Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam.
Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra
Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan.
Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di
Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah
distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal
Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.
Syekh ‘Abdul Malik adalah
penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India.
Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada
Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi
mursyid thariqah Syathariyah di
Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh
Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke
Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka.
Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu
Syekh Datuk Ahamad dan
Syekh Datuk Shaleh.
Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal
Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di
Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun
1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada
Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama
Syekh Siti Jenar dgn sebutan
Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di
Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan
ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk
Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di
seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi,
putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun
awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela
serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg
sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh
lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur
Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan
sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh
seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu
menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu
‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai
bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak
bidang spiritual.
Wallahu a’lam.
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar
ahlul bait
(keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan
kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad
Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu
“ke-Esaan af’al Allah”,
yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di
alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada
hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui
dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam
dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut
paham Jabariyah.
Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar.
Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik
pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui
iradah dan quradah-NYA
yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia
juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki
nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni
Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar
Ahmad al-Tawalud.
Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga
al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi
kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud,
Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn
paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai
madzhab ahl al-Bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari
al-Thawasinnya
al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj
(w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi
(w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi
(1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali
(w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili
meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu
pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi
komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan
al-Hallaj dan terutama
al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam
syar’i madzhabi yg
ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg
kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar
tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya
menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam
catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;
Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab
Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil
(Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tentang sesuatu yg pertama dan
terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi
Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab
al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak
sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu
sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep
pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar
dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili,
disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung
pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara
filosofis mirip dgn
al-Jili dan
Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan
al-Jili
sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg
terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah
dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti,
sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata,
dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg
banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan
konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai Sama’ khana. Sama’ khana
adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan
membiarkan dirinya hanyut dalam
ekstase (wajd). Sama’ khana
mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185).
Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah
al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘
Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan
fawa’id
(memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya
telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya
manusia); dan
lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id),
tajaliyat melalui
Roh al-haqq dan
zawaid
(terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya
tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan
hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan
kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu
‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya
dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg
berbunyi aneh,
Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci
aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku,
sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya
membaca dzikir
Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah
dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil
man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah
“al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi
‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili.
Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian,
ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak
pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan
menemui akhir hayat secara biasa.
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
1.
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah:
“Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah
sukma
(roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran).
Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia
cermin yg disebut
mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai
fana’
cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala
perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani
juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep
idhep),
“aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai
kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
2.
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera.
Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg
empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis.
Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.
Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari
pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur.
Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan
orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan
kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga
menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru
orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal
tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu
bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan
gandhulan hanyalah
Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha
Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi
ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera
harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau
Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam
jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu
bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan
sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah.
Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang,
sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun
bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun
badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika
penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa
Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan
tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan baru, dalilnya
layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam
makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut
merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami
kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik,
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab
bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan
wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya
pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari
pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4.
“Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah.
Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari
Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik
dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami
dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya,
di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh
Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di
situlah berlaku dalil
“Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg
maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat.
Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu
disebut
al-tawallud.
Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu
adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku
dalil
“Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara
mubasyarah dan
al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil
la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda
“La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas
peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al
Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh
dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat,
kemana af’al itu dipancarkan.
5.
“Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah.
Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn
seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah
ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari
mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni
selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula
lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA
sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat
dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini
memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg
menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya
akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung
kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat
padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan
kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia
memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran
bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan
hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga
ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti
Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini
sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami
kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia
dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna.
(bandingkan dengan Zoetmulder; 364).
Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg
dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan
berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Semoga bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal
tapi dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus….
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini.
Wallahu a’lam bishowabulo
manunggaling Kawulo lan Gusti
Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat (Ajal) Syahdan
di tepi jalan perkampungan Negeri Demak, seorang lelaki paruh baya
berjalan dengan tenang. Wajahnya putih memancarkan cahaya, janggut serta
cambang berwarna kebiruan. Rambut dikepalanya tertutup blangkon
berwarna hitam garis pinggir merah menyala, begitu juga sorban, gamis
dan jubahnya dengan latar hitam bercorak merah. Lelaki paruh baya itu
bertubuh sedang, berjalan tenang, lengan kanannya menggenggam tasbih
seraya mulutnya komat-kamit mengumandangkan dzikir. Pada kelokan jalan
sunyi yang dihiasi semak belukar dan pepohonan kanan kirinya, tiba-tiba
muncul tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala,
bertubuh kekar seraya menghadang. “Berhenti kisanak!” Lelaki bertubuh
kekar dan berkumis tebal menyilangkan golok didepan dadanya. “Mengapa
saya harus berhenti? Bukankah jalan ini milik Allah? Siapapun punya hak
untuk menggunakannya.” ujar lelaki berjubah. “Saya tidak mengerti Allah!
Pokoknya kamu harus berhenti,” ujarnya lagi. “Saya sekarang sudah
berhenti. Apa yang akan kisanak lakukan pada saya? Apakah akan menebas
batang leher saya dengan golok itu?” tanya lelaki berjubah dengan
tenang. “Benar, saya akan menebas batang leher kisanak jika tidak
menyerahkan uang dan emas yang kisanak miliki.” ancam lelaki berkumis.
“Kenapa, kisanak mesti berbuat seperti itu jika hanya menginginkan uang
dan emas. Tidakkah uang dan emas itu hanya hiasan dunia yang tidak
memiliki arti hakiki bagi kisanak.” ujar lelaki berjubah. “Jangan banyak
bicara, kisanak! Ayo serahkan uang dan emas pada kami, jika leher
kisanak tidak mau kami penggal! Rupanya ki sanak belum mengenal saya Ki
Kebo Benowo, rampok hebat di dusun ini!” ucapnya. “Saya tidak mengenal,
kisanak. Bukankah kita baru hari ini bertemu? Lalu kisanak mengancam
saya untuk memenggal leher dan meminta uang dan emas. Maka untuk itu
saya persilahkan jika itu keinginan kisanak. Penggalah leher saya dan …”
ujar lelaki berjubah tetap tenang. “Keparat! Mampus kau!” Ki Kebo
Benowo bersama ketiga temannya menerjang lelaki berjubah seraya
membabatkan golok ke leher, pinggang, dan dada lawan. Lelaki berjubah
tidak bergeming melihat sambaran golok yang akan mencincang tubuhnya,
tetap berdiri pada tempatnya dengan dzikir dari mulutnya terdengar
pelan. Ketiga golok tidak pelak lagi menghantam sasaran. Namun tidak
meninggalkan bekas sedikit pun. Golok yang dihunjamkan ke tiga rampok
laksana membabat angin, tidak bisa melukai, bahkan menyentuh.
“Aneh…manusiakah?” Ki Kebo Benowo, menghentikan serangan. Seraya berdiri
tegak, matanya terbelalak heran, napasnya tersengal-sengal berat. Kedua
temannya melongo. “Di dunia ini tidak ada yang aneh kisanak. Bukakankah
Hyiang Widi itu telah menyatu dengan kita?” ujar lelaki berjubah.
“Hyiang Widi?” Ki Kebo Benowo paham. Sebab pernah mengenal agama Hindu
sebelumnya. “Lalu siapakah nama kisanak?” “Saya, Syekh Siti Jenar.
Kisanak, keinginan yang pertama telah saya penuhi, memenggal. Keinginan
kedua uang dan emas menengoklah ke sebrang jalan. Saya permisi.” Syekh
Siti Jenar membalikan tubuhnya dan meneruskan langkah. Ki Kebo Benowo
beserta ketiga temanya, lalu melirik ke sebrang jalan. Betapa
tercengangnya mereka, karena melihat pohon emas dan uang. “Emas dan
uang, ayo kita ambil!” ketiganya bersorak, lalu memburu sebrang jalan.
——————- Kebo Benowo dan kedua temannya sibuk memunguti daun emas.
Seluruhnya diambil dan dibungkus dengan kain. “Hahaha, kita pasti kaya
dalam waktu singkat.” tawa Kebo Benowo. “Ki, tidakkah kita aneh pada
kejadian ini?” tanya Loro Gempol. “Benar juga? Dia bisa menciptakan emas
dan uang juga memiliki kesaktian yang sangat hebat.” Kebo Benowo
membalikan tubuhnya, matanya mengintai ke tempat Syeh Siti Jenar
berdiri. “E,eh, kemana orang tadi?” “O, ya? Masa dia bisa menghilang?”
Loro Gempol mengerutkan dahi, tangannya garuk-garuk kepala. “Manusiakah
dia? Makhluk halus?” Kebo Benowo menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa
dia manusia sakti mandraguna. Sebaiknya kita berguru padanya agar
memiliki kesaktian.” “Benar, Ki. Jika kita sudah sakti bisa menundukan
semua rampok dan berada dalam perintah kita. Kalau kita sudah menguasai
para rampok tentu tidak akan capek tinggal menunggu setoran.” tambah
Loro Gempol. “Namun Syehk Siti Jenar menghilang? Kemana kita mesti
mencari?” Lego Benongo ikut bertanya. Sedari tadi dia hanya mematung
belum hilang rasa kagumnya terhadap Syeh Siti Jenar. “Kita telusuri saja
jalan ini. Kemungkinan dia menuju ke pusat Kerajaan Demak,” Kebo Benowo
menduga-duga. *** Syehk Siti Jenar, telah sampai ke pusat Kerajaan
Demak. Langkahnya yang tenang serta penuh wibawa tidak lolos dari
pandangan para prajurit penjaga keamanan. “Siapakah lelaki itu?” tanya
prajurit kerempeng pada temannya yang bertubuh tambun. “Wali,” jawab si
Tambun tenang. “Pakaiannya mirip wali songo, tapi saya baru kali ini
melihatnya. Kita perlu menanyai dan memeriksa orang yang tidak dikenal,
mungkin saja dia pemberontak yang lagi menyamar.” ucap si Kerempeng
penuh curiga. “Biarkan saja, siapa tahu dia sahabatnya para wali.
Buktinya dia berjalan menuju mesjid.” si Tambun tetap tenang. “Meskipun
demikian kita tetap harus menjalankan tugas. Ayo kita hadang dia dan
tanya maksud kedatangannya!” si Kerempeng bergegas menenteng tombak dan
tameng, mengejar langkah Syekh Siti Jenar. ——————- “Berhenti, Kisanak!”
teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang
tombak. “Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah
mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang. “Meskipun
demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si
Kerempeng. “Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat
dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh
Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk. “Saya tidak mengerti dengan
perkataan, Kisanak?” “Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu
diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan
kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar
terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa
yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh
Siti Jenar. “Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng
geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja.
Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah
mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya.
“Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…”
ujar Syehk Siti Jenar tersenyum. “Saya tidak mungkin mempercai kisanak,
kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah
mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng
garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi. “Apakah kisanak mesti
belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa
datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau
pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski
seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai
tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang
dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi
samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali,
maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki
kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng. “Jika
demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa
diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi
ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah,
yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran
yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya
semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar.
“Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada
perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak
yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun
yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah yang empat bisa saya
datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti
Jenar tersenyum tipis. “Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang
empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan
jengkel, giginya menggeretak. “Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat
prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya
sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan
kanannya ke atas. ——————- “Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng.
“Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar
tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar. “Akhhhh!
Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara
diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak.
“Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih
dahsyat.” Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang
sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di
atas semak. “Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh
hormat. “Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap
berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya
diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syekh Siti Jenar
seraya melirik ke arah si Tambun. “Terimakasih, kisanak telah memaafkan
teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya.
“Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan
af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar
tenang. “O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang
kurang dipahaminya. “Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu
sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak. “Kisanak
sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir
itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam.
Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit
Allah.” Syekh Siti Jenar menatap tajam ke arah si Kerempeng yang
menghunus pedang. “Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas
berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan
mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat,
ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar. “Jika
ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam
saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang
tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….” Syekh
Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak
sejengkal lagi menuju leher. “Pedang ini jangan kisanak remehkan!
Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali
tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng. “Tidak
mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah
benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming. “Keparat, lihat
saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang
tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak
menghindar sedikit pun. ——————- “Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya
terbelalak. “Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang
menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam,
mengenakan blangkon. “Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip.
Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat
mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya
berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil
mengayunkan pedang. “Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan
kepala seraya menarik nafas dalam-dalam. “Selamat datang saudaraku,
maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.”
Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak
memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan
pengetahuan.” “Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan
mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam
batin. Maka berbincanglah mereka melalui batin. Sejenak keduanya saling
tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling
peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan
Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid. Prajurit Tambun
mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa
berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja
bisa berbincang-bincang?” “Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita
berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang
melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju
masjid Demak. “Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini. “Ilmu apa
yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan
mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak. Lalu
tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa
menggerakan tubuhnya. “Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu
terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng
mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian
duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya
dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam. “Itu semua pengaruh ilmu
yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa
mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan
mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
Sangat hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup
memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan
Kalijaga. “Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi
patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu
disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh
mempelajari apalagi mengamlakan ilmu sihir, hukumnya musrik!” si
Kerempeng memijit-mijit keningnya. “Tentu saja, sihir itu musrik dan
tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh
Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi.
“Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya
melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja
tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala. “Sudahlah,
kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang kita miliki belum
cukup untuk memahami Syekh Siti Jenar.” terang si Tambun, seakan tidak
peduli. *** “Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami
berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya mendapingi Syekh
Siti Jenar memasuki masjid Demak. ——————- “Terimakasih,” Syehk Siti
Jenar berjalan berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan tengah
masjid, menghampiri wali delapan yang sedang berkumpul. “Selamat datang,
Syekh.” sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya menyalami.
“Silahkan,” “Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria. Syekh Siti Jenar
tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya,
seraya berbincang dengan batin. ‘Syekh, tidak seharusnya kisanak
berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah
kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga. ‘Saya
kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka
tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika
saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham
pada dirinya dan….’ ‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus
berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka.
Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah.
Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’ “Apa yang sedang saudara
bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali
pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir
disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.” “Baiklah Kanjeng
Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping
Sunan Kalijaga. “Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para
wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati. “Saya Syekh Siti
Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin
berbincang menggunakan batin. ‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’
itu jawaban batin Sunan Kalijaga. Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya
meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata.
Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan
Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu
Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ’saciduh metu saucaping
nyata’…” “Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati,
melirik ke arah Sunan Bonang. “Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi.
Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang.
“…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah
mendengar wirid ilmu tadi,lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah
menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah
Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya
pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara
mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai
tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali
seperti saudara-saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat
jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak
Bintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan. “Andika tidak dianggap sebagai
seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri. “Saya
bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat
sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah
manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak
menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia
jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak
memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak
sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar. “Andika
jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri
meninggi. ‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya
berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara
lahiryah yang terjadi sekarang ini…’ ‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar
memberi jawaban. “Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus
memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin
Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang
upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.” “Baiklah, Kanjeng Sunan
Bonang.” Sunan Giri menyetujui. “Bukannya saya tidak ingin lama-lama
berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih
ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk
menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti
Jenar bangkit dari duduknya. “Andika mesti ingat ketika menyebarkan
agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.”
ujar Sunan Giri. “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan
wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan
mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.”
Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang
terakhir Sunan Kalijaga. ‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada
akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin
Sunan Kalijaga. ‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah
tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’ Syekh Siti Jenar
melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar
dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri.
“Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti
Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga. “Tinggal menunggu waktu,
Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga. “Kanjeng Sunan
Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?”
tanya Sunan Giri. ——————- Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah
terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti
yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan
keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara
disimpanya dalam hati masing-masing. *** “Kanjeng Sunan Bonang, kayaknya
kita agak kesulitan untuk menyebarkan Islam disini.” Sunan Kalijaga
memandang kerumunan orang. “Kayaknya mereka lebih menyukai hura-hura dan
gamelan, Kanjeng Sunan Kalijaga.” tambah Sunan Bonang, matanya
memperhatikan orang yang berkerumun menju pasar seni. “Kita pun tidak
perlu kalah, Kanjeng Sunan Bonang. Jika hanya mendengar kita berceramah
kayaknya kurang tertarik, alangkah lebih baiknya kita pun harus
mengadakan pendekatan budaya.” Sunan Kalijaga tidak melepaskan
pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas
batang kayu yang lapuk. “Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan
dahinya. “Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua,
kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga
bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita
perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita
turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…” “Membuat
gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang
kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang. “Ya,
setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita
tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga. “Berdakwah,
orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena
tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya
gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu
tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.” “O, tidak seperti
itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita
menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa
dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang
Sunan Kalijaga. “Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan
sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi
pesan-pesan.” “Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah
wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan
sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang
kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga,
sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap
lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala
baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam
karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi
Muhammad dan para Sahabatnya.” “Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng
Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan
Bonang. “Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan
menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu
ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim.
Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik, hingga menjadi lima dengan
Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku
Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita
bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga.
——————- “Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara
panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan
sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya. *** Matahari mulai
menyelinap dibalik bukit, kirimkan sinar keemasan di langit sebelah
barat. Awan berubah menjadi jingga, mengitari puncak pegunungan. Masa
keemasan akan tiba seiring dengan perputaran roda kehidupan dan waktu.
Lagu Ilir-ilir bergema sebelum waktu Magrib tiba, nyanyian bermakna
mendalam ciptaan para wali. Rakyat menyanyikannya dengan gembira, ada
yang memahmi akan makna dan maksudnya, ada pula yang masih buta akan
isinya, ada pula yang hanya menikmati lirik dan syairnya saja. Bedug
Magrib tiba, mereka berbondong-bondong menuju masjid Demak Bintoro untuk
shalat berjamaah. Shalat Isya pun tidak mau mereka lewatkan, meski
ajaran Islam belum diterima secara merata. Dakwah yang dilakukan
sebagain Wali melalui media wayang kulit dan tabuhan gamelan sebagai
daya tarik. Cara seperti itu benar-benar efektif bisa mengikat banyak
orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sunan Kalijaga melepas
jubah kewalian, mengenakan pakaian serba hitam ala petani, rakyat
jelata. Hingga tidak ada antara dirinya dengan rakyat. Rakyat lebih
mudah didekati tanpa rasa curiga, karena Sunan Kalijaga berbaur
didalamnnya. *** “Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,”
ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?” “Tidak mungkin, saya
punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.”
potong Kebobenowo. “Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit
untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di
atas batu di tepi jalan. “Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan
keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang
masih panjang. Menarik napas dalam-dalam. “Sebaiknya kita duduk-duduk
disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang
dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati
jalan ini.” “Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja
merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon
jalan. Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik
bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria
menyambut datangnya malam. “Ki Benowo, hari sudah malam. Apakah kita mau
tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari
duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak
dihiasi gemintang. “Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap
jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro.
“Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?” “Syekh Siti Jenar?” timpal
Lego Benongo. “Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro
Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia
tidak membawa obor atau lampu.” “Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang
dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang
guru.” “Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?”
Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro
Gempol. “Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti
Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan. “Mana mungkin
kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diagkat jadi murid.
Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi
seperti dia.” “Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala.
“Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?” “Kita coba saja
dulu,” ujar Kebo Benowo. Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas
dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun
tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan
tenang. “Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?”
“Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti
Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik. “Karena saya
ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti
Jenar.” jawab Kebo Benowo. “Mengapa harus kepada saya? Ilmu apa pula
yang kisanak inginkan dari saya.” ucap Syekh Siti Jenar. “Padahal saya
manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu dan tidak memiliki
ilmu apa pun. Baik kisanak atau pun ilmu ada yang memilikinya.” “Saya
tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya.
“Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol. ——————-
“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat
bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar
menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya
kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.” “Apa
maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya
masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah ketika mendengar setiap
perkataan Syekh Siti Jenar. “Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan
pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya?
Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang
ucapannya. “Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak
tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna
ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah
manusia biasa seperti saya,” “Ya,” ”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang
hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo. ”Saya tidak
memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak bisa apa-apa, itu
merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak,
matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya. “Kenapa
tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela
Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh
Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah
pengakuan saya dianggap keliru,” “Memang benar kisanak sangat keliru.”
Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang
yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.” “Apakah ada yang
aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo. Belum
menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar,
pikirannya semakin ngejelimet. “Bukan ada yang aneh atau tidak.
Perhatikanlah bintang-bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa
kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang
menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok
tadi. “Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?”
“Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang
tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti Syekh?
Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?” “Dialah Allah. Allah itu
penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh
Siti Jenar. “Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah
tadi.” “O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai ada
titik terang di benaknya. “Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa
yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih membingungkan,
mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa-apa di
banding kisanak.” “Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu
saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh
Siti Jenar. “Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengagguk.
“Namun maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh
dibawah kehebatan ilmu Syekh.” “Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu
bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum
menemukan ilmu yang saya miliki.” “Itulah yang saya inginkan dari Syekh.
Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo. “Akan saya
tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar
membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang.
“Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan
diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar. *** Walisongo
terus menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sunan Kalijaga berbeda cara
dengan wali lainnya. Lebih menyukai berbaur dengan rakyat kebanyakan,
tanpa mengenakan pakaian serba putih seperti yang lainnya. “Kanjeng
Sunan Kalijaga, ternyata pendekatan budaya lebih bisa diterima ketimbang
hanya membawa pesan belaka.” ujar Sunan Bonang. ——————- “Karena antara
kita dengan mereka nyaris tidak ada jarak pemisah.” jawab Sunan
Kalijaga. “Ternyata hanya dengan cara berpakaian saja, mereka sudah
sulit didekati.” “Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun
dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali,
terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap
mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang. “Tidak mengapa
Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan
saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas,
seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang. “Saya
menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi
perbedaan paham seperti sekarang.” “Mungkin salah satunya itu.” Sunan
Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah
sampai, Kanjeng.” “Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga
memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih
dahulu masuk. “Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan
Bonang.” ujar Sunan Muria. “Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali
sudah menunggu.” Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu
sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu
beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir
Sunan Bonang. Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang,
saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin
mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali. “Pahamkah Kanjeng Sunan
Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka
pembicaraan. “Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika
Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang. “Tidakah
andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan.
“Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat
kebanyakan?” “Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap
Sunan Kalijaga. “Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan
pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya
seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian
kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri.
“Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika
seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta
jubah?” tanya Sunan Kalijaga. “Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau
keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah
pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya. “Karena andika tidak
mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin
dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri
para wali?” ujar Sunan Giri. ”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau
wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal
itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang
ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan
dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah
di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa
harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang
mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga. “Untuk keberhasilan dakwah
saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata.
Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu
hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?” Sunan Giri
sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan
Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan
perkataannya. “Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk
Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat
berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan
hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri
menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar
Sunan Kalijaga. “Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita
tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri
mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan
ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.” ——————-
“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah
saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri
saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng
Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan
pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing
bagi mereka.” Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak
terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di
tangan para wali. *** “Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti
Jenar. “Indah dan asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang
melihat keindahan Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk, keadaannya
tenang, pohon hijau berselang dengan tanaman hias memagari jalan
setapak yang sedikit menanjak menuju gerbang padepokan. “Tentu saja
harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya
sudah seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan
diri dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal
dan menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah
kisanak!” “Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti
kedua teamnnya. “Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu
saja kita akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk
menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan.
Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya. “Sungguh benar yang Syekh
katakan.” ucap Kebo Benowo datar. “Namun ruangan ini cukup luas,
banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya
mengitari seluruh ruangan. “Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini
jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke
arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!” “Banyak sekali orang yang
sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang,
melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan.
“Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.” “Itulah
sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang. “Jika demikian saya
tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?”
wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran. “Mengapa tidak, Kisanak?
Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap
istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan
kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar. “O,…” Kebo
Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam
hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak
orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih
dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang
lain. ——————- Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup
banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil
tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan,
pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub.
“Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh
Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan
pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang
muridnya satu persatu. “Tentu saja manusia berasal dari kedua orang
tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan.
Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri.
“Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu
memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar. “Lalu bagaimana
menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya.
“Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak
akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak
menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang
dengan khusu memperhatikannya. “Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak
sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk
mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh
punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya
mulai tumbuh kembali. Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti
Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!”
tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai. “Bukankah
saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi
duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak
bisa mengendalikan emosi.” “Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat
bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.”
“Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar.
Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar
yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi.
Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami
sebagian ilmu yang diajarkannya. “Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo
Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya.
“Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika
kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.”
“Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang
kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan,
kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo
merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh
Siti Jenar. ”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela
napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya
manusia?” “Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.”
ujar Kebo Benowo. “Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang
menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada
suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak. “Apakah
itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo. “Yaitu tempat hidup dan kehidupan.
Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia
tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia.
Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita
merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena
telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah
merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar. Para murid
Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang
bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud
uraian tadi. “Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan,
kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah
semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar.
Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan
menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut.
——————- “Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal
muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah
pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita
tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap
wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya. “Benar. Alam asal
muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada
didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani
sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang
tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar. Waktu terus merangkak
pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka
semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang
sebelumnya tidak diketahui. *** “Syekh, andika membawa ajaran Islam.
Padahal agama yang saya kenal sebelumnya adalah Hindu dan Budha.” ujar
Kebo Kenongo. “Namun stelah saya perhatikan ternyata inti dari ke tiga
agama tersebut memiliki kesaamaan.” “Benar, Ki Ageng Pengging.” ucap
Syekh Siti Jenar, matanya menatap tajam wajah lelaki yang masih
keturunan Majapahit. “Semua agama sebenarnya dari asal yang satu. Itulah
tadi yang saya uraikan.” “Saya paham dan tertarik untuk mengambil
kesamaan dari ke tiga ajaran tadi.” tambah Kebo Kenongo. “Hanya yang
membedakan agama-agama tadi adalah lelaku lahiryahnya saja.” “Benar, Ki
Ageng Pengging. Sebab hakikatnya sama, mencari yang namanya Sang
Pencipta, Sang Pemilik, Sang Maha Perkasa.” ujar Syekh Siti Jenar,
seraya jari jemari tangannya memberi gambaran simbol pada Kebo Kenongo.
“Kita hanya bisa merasakan nikmat saat bergumul dengan Dzat Yang Maha
Kuasa. Mungkin syariat dari ajaran Hindu dan Budha bersemadi, mungkin
orang Islam dengan tata cara berdzikir, berdoa, dan Shalat. Tapi semua
itu hanyalah bentuk pendekatan secara jasadiah saja, sedangkan batinnnya
tertuju pada Yang Maha Segalanya.” urai Syekh Siti Jenar. “Benar,
Syekh.” Kebo Kenongo sejenak memandang ke arah puncak gunung,
“Kenikmatan kita saat bersemadi ketika wujud kita telah menyatu
dengannya.” “Itulah Manunggaling Kawula Gusti.” terang Syekh Siti Jenar
pelan. Lalu bangkit dari duduknya, melangkah pelan menyusuri jalan
setapak di ikuti Kebo Kenongo menuju padepokan. “Mereka sedang
memperbincangkan apa di atas sana?” Loro Gempol melirik ke arah Kebo
Benowo yang sedang berdiri di halaman padepokan. “Kelihatannya sangat
serius.” “Apalagi yang mereka perbincangkan kalau bukan masyalah ilmu.”
jawab Kebo Benowo datar. “Mengapa mereka kelihatannya khusuk dan serius.
Mungkinkah karena Syekh Siti Jenar berbincang-bincang dengan keturunan
Majapahit? Sehingga dia memperlakukan Ki Ageng Pengging lebih istimewa
dibandingkan dengan kita, mantan rampok.” tatapan mata Loro Gempol
tertuju kembali pada Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenongo, mereka sedang
menuruni bukit menuju padepokan. “Andika jangan berprasangka buruk,
Gempol!” Kebo Benowo memberi apalagi mengistimewakan satu dengan
lainnya. Hanya Syekh Siti Jenar akan mudah diajak berbincang-bincang
jika kita memahami yang dibicarakannya. Kita belum bisa dianggap selevel
dengan Ki Ageng Pengging. Karena kita latar belakangnya rampok dan
tidak pernah mengenal ajaran agama apalagi filsafat, sedangkan Ki Ageng
Pengging sudah mengenal agama-agama sebelum datang ajaran Syekh Siti
Jenar, ditambah lagi dia orang cerdas.” urai Kebo Benowo. “Mungkin
ya…mungkin tidak?” Loro Gempol menghentikan pembicaraannya, karena
mereka sudah mendekat. “Andika berdua memperbincangkan saya?” Syekh Siti
Jenar menatap Kebo Benowo dan Loro Gempol. Keduanya hanya mengangguk
dan selanjutnya menundukan kepala. Karena mereka baru menyadari kalau
Syekh Siti Jenar memiliki ilmu batin yang sangat hebat. “Tidak mengapa,
jika memang pertemuan saya dengan Ki Ageng Pengging menjadi bahan
perbincangan andika berdua.” ujar Syekh Siti Jenar enteng. “Andika pun
hendaknya bisa mencapai tahapan yang sedang kami perbincangkan.”
melanjutkan langkahnya, di belakangnya Kebo Kenongo mengiringi. “Inti
dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti?” Kebo Kenongo memulai lagi
perbincangan, setelah beberapa langkah jauh dari Loro Gempol dan Kebo
Benowo. “Ya, ketika kita menyatu dengan Dzat Sang Pencipta, Allah.”
terang Syekh Siti Jenar. “Disitu terjadi penyatuan antara Gusti dan
abdinya. Setelah kita menyatu dengannya, apa masih perlu yang namanya
dzikir, shalat, ritual?” ——————- “Bukankah tujuan dari dzikir, shalat,
dan ritual itu untuk mendekatkan diri kita dengan Yang Maha Agung?”
timpal Kebo Kenongo. “Benar sekali Ki Ageng Pengging.” langkahnya
terhenti di tepi jalan, sejenak, lalu memandang awan yang berserak di
langit biru. “Jika kita sudah dekat apalagi menyatu dengannya masihkah
kita perlu melakukan upaya dan tata cara pendekatan?” “Tentu saja
jawabnya tidak.” Kebo Kenongo menatap keagungan sinar yang terpancar
dari wajah Syekh Siti Jenar. “Upaya pendekatan apalagi yang harus kita
lakukan, jika kita sudah melebihi dari dekat. Apa pun yang kita inginkan
bisa terwujud hanya dengan kalimatnya. Kun, jadi. Maka terjadilah!”
tambah Syekh Siti Jenar. “Namun ketika kita sudah berada pada tahapan
tadi, mana mungkin akan tertarik pula dengan urusan dunia dan seisinya.
Karena lebih nikmat didalam kemanunggalan tadi dibandingkan dengan dunia
dan segala isinya.” “Mungkin juga, Syekh.” Kebo Kenongo mengerutkan
dahinya, mencoba mencerna uraian Syekh Siti Jenar. “Untuk meyakinkan
segala hal yang saya katakan sebaiknya Ki Ageng Pengging mencobanya.”
saran Syekh Siti Jenar. “Saya sering melakukan semedi dan tapabrata,
Syekh. Namun yang dikatakan kemanunggalan kita dengan Sang Pencipta itu
di sisi mana?” tanya Kebo Kenongo. “Ketika wah’datul wujud.” Syekh Siti
Jenar menghela napas dalam- dalam. “Saya baru bisa menjelaskan lebih
mendalam jika Ki Ageng Pengging mencoba, lalu ada perbedaan dari
sebelumnya. Maka hal itu baru saya uraikan kembali menuju Manunggaling
Kawula Gusti. Sebab tidak mungkin saya mengurai sebuah persoalan jika
seandainya Ki Ageng tidak menjelaskan terlebih dahulu hal yang mesti
dibahas.” Saya paham maksud, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala.
*** “Saya mendapat kabar tentang pesatnya ajaran yang disampaikan oleh
Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Bonang, duduk bersila di hadapan Sunan
Kalijaga. “Saya juga demikian, Kanjeng.” Sunan Kalijaga mengamini.
“Kenapa dia bisa berhasil dengan pesat dalam penyebaran agama Islam di
tanah Jawa. Padahal dia bukanlah seorang wali?” Sunan Giri menyela.
”Benar, Kanjeng. Penyebaran ajaran dengan pesat di sini bukan berarti
mayoritas, sebab Kanjeng Sunan Kalijaga pun cukup berhasil dalam upaya
ini.” terang Sunan Bonang. “Tidak lupa pula para wali yang lain.”
”Bukankah kita pun sebagai para wali telah menyisir seluruh pulau Jawa
dalam upaya penyebaran ajaran Islam?” ujar Sunan Giri. Sunan Bonang
menatap Sunan Kalijaga, berbicara melalui batinnya. ’Bukankah maksud
kita bukan urusan pesatnya penyebaran yang akan dibicarakan. Tetapi
tentang isi ajaran yang disampaikannya.’ ‘Itulah yang membuat saya
khawatir, Kanjeng Sunan Bonang. Namun mudah-mudahan yang kita
khawatirkan itu tidak..’ “Kenapa andika berdua terdiam?” Sunan Giri
menatap Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Ada apa?” ”Tidak, Kanjeng
Sunan Giri. Kita hanya memaklumi saja kemampuan seorang rakyat jelata
seperti Syekh Siti Jenar mampu mengembangkan dan menyebar luaskan
ajarannya. Itu yang sedang kami renungkan.” terang Sunan Bonang. “Tetap
saja pesatnya ajaran yang dia bawa penyebarannya tidak akan seluas para
wali, termasuk pengaruh dan wibawanya. Mungkin hanya sekelompok kecil
saja yang kemungkinan terserak di pelosok Negeri Demak Bintoro.” ujar
Sunan Giri. “Namun itu bukan sebuah persoalan selama dia tidak
menyimpang dari aturan para wali.” ‘Apa boleh buat, justru itulah
nantinya akan menuai persoalan.’ batin Sunan Bonang. ——————- ‘Namun
biarlah waktu yang menjawab, Kanjeng. Sebab kita tidak mungkin bisa
merubah alur kehidupan yang akan terjadi. Bukankah kita hanya sebatas
mengetahui dengan keterbatasan ilmu kita, Kanjeng.’ urai Sunan Kalijaga
dengan bahasa batinnya. *** Prajurit Demak yang pernah berhadapan dengan
Syekh Siti Jenar, si Kerempeng dan si Tambun sedang berbincang-bincang
di bawah pohon beringin menunggu giliran berjaga di gerbang alun-alun
Demak Bintoro. “Syekh Siti Jenar ternyata temannya para wali.” ujar si
Tambun. “Namun apakah dia juga termasuk salah seorang wali di antara
wali songo?” matanya menatap si Kerempeng. “Tanyakan saja pada Kanjeng
Sunan Kalijaga. Jangan pada saya!” jawab si Kerempeng tinggi. “Tapi jika
melihat kesaktian dan kehebatan ilmunya saya yakin bahwa dia masih
termasuk wali.” si Tambun mengerutkan dahinya, coba menebak-nebak.
“Buktinya dengan Sunan Kalijaga sangat akrab, terkadang bicara melalui
tatapan matanya. Tentang pembicaraannya tidak kita pahami.” “Andika
sepertinya tertarik oleh Syekh Siti Jenar, Gendut?” si Kerempeng
berdiri. “Benar,” jawab si Tambun tenang. “Saya jadi ingin memiliki
ilmunya.” “Kenapa mesti berguru pada Syekh Siti Jenar yang tidak jelas
asal usulnya? Bukankah Kanjeng Sunan Kalijaga juga sangat sakti dan
beliau jelas asal usulnya.” terang si Kerempeng. “Ya, tetapi tidak mudah
untuk mendapatkan ilmu dari para wali tanpa melalui tahapan-tahapan
yang berat.” ujar si Tambun. “Apa bedanya dengan Syekh Siti Jenar?” si
Kerempeng menyandarkan punggung ke pohon beringin. “Jelas beda. Kalau
Syekh Siti Jenar sangat mudah memberikan ilmu,” tambah si Tambun. “Tahu
dari mana?” si Kerempeng penasaran. “Itu dugaan saya.” jawab si Tambun.
“Lha, baru menduga-duga. Saya kira sudah tahu dan yakin.” ucap si
Kerempeng. “Meskipun hanya berupa dugaan tapi saya yakin.” si Tambun
membetulkan penutup kepalanya. “Jika Syekh Siti Jenar sangat mudah
memberikan ilmu. Makanya ingin membuktikannya, kalau tahu tempat
tinggalnya atau padepokannya akan saya datangi.” jelas si Tambun seraya
mengangkat tombak, langkah kakinya pelan menuju gerbang alun-alun Demak
Bintoro untuk melaksanakan tugas mengganti yang lain. “Cari saja kalau
mau!” ujar si Kerempeng melangkah dibelakangnya. “Saya rasa mudah
mencari tempat tinggal orang sakti seperti Syekh Siti Jenar. Tentu
orang-orang Demak Bintoro pada kenal seperti halnya para wali.”
sama-sama menuju gerbang alun-alun. “Pasti.” si Tambun
mengangguk-anggukan kepala. “Karena dia salah seorang dari wali, hanya
saja tidak termasuk wali sembilan. Mungkin karena tidak tinggal di pusat
kota Demak Bintoro. Mungkin juga dia punya tugas lain di pedesaan dalam
penyebaran agama Islam?” langkahnnya terhenti tepat di depan gerbang
alun-alun Demak Bintoro. “Kenapa andika punya dugaan, bahwa Syekh Siti
Jenar seolah-olah ditugaskan menyebarkan ajaran Islam di Pedesaan?”
tanya Si Kerempeng. “Pertama karena dia jarang berkumpul di dalam masjid
Demak. Keduanya dia sangat terlihat akrab dengan Kanjeng Sunan Kalijaga
yang memilki kesaktian seimbang dengannya.” terang si Tambun. “Bisa
jadi?” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Namun meskipun Kanjeng Sunan
Kalijaga orang sakti tapi pembicaraannya tentang agama bisa dipahami
oleh kita, berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang kadang-kadang ucapannya
membingungkan kita?” ——————- “Itulah bedanya Kanjeng Sunan Kalijaga
dengan Syekh Siti Jenar.” ujar si Tambun, berdiri tegak sambil memegang
tombak. “Maksud andika?” “Kalau belajar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga
untuk sampai pada tahap atas harus bertahap, tidak bisa langsung.
Sedangkan Syekh Siti Jenar bisa loncat pada tingkatan yang kita
inginkan, buktinya dia berbicara yang tidak bisa kita pahami, berarti
sudah bisa loncat.” si Tambun mencoba menerangkan. “Cerdas juga andika,
Gendut.” ujar si Kerempeng. “Saya yakin Kanjeng Sunan Kalijaga
mengajarkan dengan bertahap karena beliau melihat kemampuan orang yang
menerima. Sedangkan Syekh Siti Jenar tidak, makanya pembicaraannya
kadang-kadang melantur.” “Melantur itu menurut kita, karena kita ilmunya
masih rendah. Coba saja jika kita sudah berada pada tahapan atas
mungkin sangat paham pada setiap ucapan Syekh Siti Jenar.” bela si
Tambun. “Tida mungkin,” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Masa dia
pernah bilang kalau Allah itu punya empat prajurit? Bukankah Allah itu
punya para Malaikat? Kenapa mesti ada lagi prajurit, aneh bukan?”
tambahnya. “Justru itulah, kisanak.” si Tambun tersenyum. “Saya
penasaran dengan yang disebut empat prajurit Allah oleh Syekh Siti
Jenar. Siapakah itu? Dan mengapa prajurit Allah bisa diperintah juga
oleh Syekh Siti Jenar. Kalau saya memiliki ilmu seperti itu dan
menguasai prajurit Allah seperti dia tentu pangkat akan naik. Tdak lagi
jadi prajurit tapi jadi Raja…hahaha.” “Mengkhayal,” si Kerempeng
mencibir. *** “Syekh, saya telah mencoba untuk menuju ‘manunggaling
kawula gusti’.” Kebo Kenongo menghampar serban di depannya. Lalu
berdiri. “Andika sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar duduk bersila
di sampingnya. “Bukankah andika telah mencoba menuju maunggaling kawula
gusti?” “Benar, namun saya belum sampai. Sekarang saya akan shalat.”
terang Kebo Kenongo. “Tujuan andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum.
“Bukankah shalat jalan kita untuk menuju manunggaling kawula gusti,
Syekh?” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya. “Bukan.” ujarnya pendek. Syekh
Siti Jenar memutar tasbih seraya mulutnya komat-kamit berdzikir.
“Apakah harus berdzikir menuju maunggaling kawula gusti, Syekh?”
tanyanya kemudian. “Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar pendek. “Lantas,
untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya. “Bukankah Syekh pernah
mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Allah?”
“Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar
sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo
Kenongo yang masih berdiri hendak shalat. “Bukankah mendekatkan diri
kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya
Kebo Kenongo selanjutnya. “Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Lantas?” “Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan
diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar. “Perbedaannya?” keningnya
semakin berkerut. “Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal.
Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar
berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah
dulu, berceritalah setelah selesai mendirikannya.” tambahnya. “Baiklah,
Syekh.” Keadaan di padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar.
Panas matahari tidak menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang
kian meninggi. ——————- Udara pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan
tumbuhan berdaun lebat menambah suasana asri. Padepokan yang ditata
sedemikian rupa menambah khusuk para pencari ilmu. “Syekh…” Kebo Kenongo
mendekat, “Shalat saya sudah selesai.” “Baiklah,” Syekh Siti Jenar
bangkit dari duduknya, “Apa yang andika rasakan saat shalat?” “Tidak
ada.” “Tidakah merasakan sejuknya udara pegunungan? Tidakkah andika
melihat kain serban yang terhampar di tempat sujud?” lanjut Syekh Siti
Jenar. “Tidak,” jawab Kebo Kenongo. “Tidakkah andika mendekati Allah?”
tanyanya kemudian. “Saya tidak merasakannya. Tidak pula menjumpainya.”
ujar Kebo Kenongo. “Mungkin shalat saya terlalu khusuk.” Syekh Siti
Jenar menengadah ke langit, lalu duduk bersila di atas rumput hijau yang
dihampari tikar pandan. Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo
Kenongo. “Lihatlah!” kedua tangannya ditumpuk di bawah dada. Tiba-tiba
tubuhnya mengangkat dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu
jengkal, dua jengkal, satu hasta, dua depa. “Apa yang terjadi, Syekh?”
Kebo Kenongo garuk-garuk kepala, keningnya berkerut-kerut. “Ini hanyalah
bagian terkecil akibat dari pendekatan dengan Allah…” dalam keadaan
melayang, matanya menatap tajam ke arah Kebo Kenongo. “Hasil pendekatan?
Jadi bukan manunggaling kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo
Kenongo bertanya. “Saya belum menerangkan tentang manunggaling kawula
gusti. Namun kita tadi berbicara tentang upaya pendekatan…” terang Syekh
Siti Jenar, perlahan menurukan kaki satu persatu hingga akhirnya
kembali menyentuh tanah. “Dengan jalan shalatkah?” tanya Kebo Kenongo.
“Bukankah saya tadi waktu shalat tidak menemukan apa pun, bahkan tidak
bisa melakukan seperti yang Syekh perlihatkan.” “Jangan salah ini bukan
shalat! Namun shalat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Shalat tadi merupakan syari’at bagi pemeluk Islam, juga
ibadah bagi hamba atau abdi Allah. Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti
Jenar, “Namun ketika orang belum lagi menemukan hakikat dari shalat,
itulah seperti yang Ki Ageng Pengging rasakan.” “Hampa.” desis Kebo
Kenongo, seraya menatap Syekh Siti Jenar dengan penuh kekaguman.
“Kebanyakan orang adalah seperti itu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti
Jenar melangkah pelan. “Jika demikian saya baru berada pada tahapan
syari’at. Bisakah saya menemukan hakikat yang dimaksud oleh Syekh Siti
Jenar?” Kebo Kenongo seakan-akan kehilangan gairah. “Hakikat menuju pada
pendekatan sebelum manunggaling kawula gusti, maka seperti yang pernah
saya jelaskan pada Ki Ageng. Kita meski berbeda agama namun bukanlah
andika harus memaksakan syari’at ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng
kerjakan. Karena kebiasaan andika adalah bersemadi. Bukankah dengan cara
itu andika merasakan hal yang berbeda, terutama dalam upaya
pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali mengurainya. ——————- “Benar,
Syekh.” sejenak Kebo Kenongo merenung. *** “Syekh, maafkan kami
menghadap.” ujar Kebo Benowo dan dua temannya. “Katakanlah!” Syekh Siti
Jenar menatap Kebo Benowo dan teman-temannya. “Kalau boleh, saya
menginginkan ilmu yang Syekh miliki. Namun hendaknya Syekh tidak marah
terhadap permintaan saya.” Kebo Benowo dengan nada pelan. “Jika
seandainya saya memiliki ilmu maka tidaklah keberatan untuk memberikan.
Sudah sepatutnya ilmu itu diamalkan.” jawab Syekh Siti Jenar. “Ilmu jika
semakin sering diamalkan dan diajarkan maka akan semakin bertambah.
Namun sebaliknya jika ilmu itu tidak pernah diamalkan (dibagikan)
apalagi kikir untuk mengajarkannya, secara perlahan akan hilang dari
diri kita. Hendaklah tidak ditukar dengan emas atau uang, apalagi dijual
belikan, kalau tidak ingin hilang hakikatnya.” urainya kemudian. “Ya,
Syekh. Jadi kalau begitu saya bisa memohon kepada Syekh untuk diajari
ilmu.” Kebo Benowo semeringah kegirangan. “Ternyata Syekh sangatlah
baik, berbeda dengan orang-orang yang memiliki ilmu tinggi lainnya.
Mereka selalu meminta imbalan, kalau tidak berupa tumbal.” “Apa yang
andika inginkan dari ketidaktahuan saya?” tanya Syekh Siti Jenar. “Syekh
selalu merendah. Saya menginginkan ilmu untuk bertarung, dan ilmu untuk
mengubah daun menjadi emas.” ujar Kebo Benowo. “Bukankah andika sudah
jago bertarung? Mengapa mesti saya yang mengajari?” Syekh Siti Jenar
membetulkan duduknya. “Untuk apa bisa mengubah daun menjadi emas?”
“Dalam urusan bertarung secara fisik saya bisa. Namun saya masih kalah
dengan ilmu Syekh waktu bertarung saat itu.” Kebo Benowo menelan ludah.
“Juga jika saya bisa mengubah daun menjadi emasmaka saya akan menjadi
orang kaya raya seantero negeri Demak Bintoro.” “Baiklah, pelajarilah
itu.” ujar Syekh Siti Jenar. “Bagaimana cara mempelajarinya?” tanya Kebo
Benowo mengerutkan keningnya. “Dekatkanlah diri andika pada Sang
Pencipta, niscaya apa pun yang andika inginkan akan terkabul. Karena
Sang Penciptalah yang memiliki segalanya.” terang Syekh Siti Jenar.
“Caranya itu yang susah, Syekh. Harus bagaimana?” ——————- “Banyak cara
untuk menuju Allah. Laksanakanlah itu, baru andika akan bisa. Mintalah
apa yang andika inginkan.” terang Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti
dan paham, Syekh.” Kebo Benowo garuk-garuk kepala. “Saya ingin langsung
bisa tanpa harus melalui tahapan rumit yang Syekh sebutkan. Mustahil
Syekh tidak bisa memberikannya.” “Tidak mustahil bagi Allah. Jika memang
Dia menghendaki. Jadi, maka jadilah.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya
sudah bisa?” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, lalu memetik selembar
daun basah dan diusapnya dengan kedua telapak tangan. “Wahhh…benar-benar
hebat ilmu yang Syekh berikan. Saya sudah bisa mengubah daun menjadi
emas. Terimakasih Syekh!” berjingkrak-jingkrak kegirangan. “Saya juga,
Syekh?” Loro Gempol bangkit dan mencabut golok dari sarungnya, “Lego
Benongo, babatlah tubuh saya dengan golok ini. Cepat!” menyodorkan golok
pada temannya. “Baik, bersiaplah!” tanpa ragu-ragu lagi Lego Benongo
membabatkan golok pada Loro Gempol yang berdiri tegak.
“Hiaaaaaaattttt….!!!” “Hebat, benar-benar hebat.” Loro Gempol ternyenyum
bahagia, ketika tubuhnya dibabat oleh Lego Benongo tidak merasakan apa
pun bahkan seperti membabat angin. “Sudah, Benongo. Cukup!” lalu duduk
bersila dihadapan Syekh Siti Jenar. “Itu yang kalian inginkan. Sudah
saya berikan.” Syekh Siti Jenar menggenggam tasbih dengan tangan
kirinya. “Terimakasih, Syekh. Syekh telah mengajarkan dan mengamalkan
ilmu kepada kami semua dengan satu kalimat, hingga keinginan kami
tercapai.” Kebo Benowo tampak senang, begitu juga temannya. “Kami tidak
akan pernah melupakan jasa baik Syekh, yang telah kami anggap sebagai
guru. Untuk itu izinkanlah kami pulang kampung.” “Kembalilah, karena
hanya itu yang kalian ingin raih.” Syekh Siti Jenar masih dalam keadaan
bersila, terdengar mulutnya komat-kamit membacakan dzikir, sambil
memutar tasbih. Perlahan-lahan tubuhnya samar dari pandangan Kebo Benowo
dan temannya. Hingga akhirnya tidak terlihat. “E..eh, menghilang!” Kebo
Benowo menggosok-gosok kedua matanya, begitu juga ke dua temannya.
“Aneh, kemana beliau?” “Ya, hebat.” Loro Gempol memutar matanya menatap
ke segala arah, menyisir keberadaan Syekh Siti Jenar, “Benar-benar
lenyap.” “Tidak jadi soal. Karena apa yang kita inginkan telah kita
peroleh. Disamping itu kita pun sudah meminta izin untuk kembali ke
kampung. Menghilangnya Syekh Siti Jenar berarti merestui kita semua.
Mari kita turun dari padepokan ini!” Kebo Benowo bangkit dari duduknya,
diikuti temannya. Mereka pun turun dari padepokan menuju kampungnya. ***
“Kalian orang-orang miskin! Sebaiknya tunduk dan takluk pada saya.”
Loro Gempol berkacak pinggang di hadapan orang-orang yang
berbondong-bondong menuju tempa sabung ayam. “Keparat! Apa maumu?” Joyo
Dento pemimpin kelompok sabung ayam “Masa andika tidak mendengar?
Bukankah saya menyuruh andika dan kawan-kawan agar tunduk!?” Loro Gempol
dengan sorot mata meremehkan. “Tunduk? Jangan harap, keparat!” Joyo
Dento mencabut keris dari sarungnya. “Memangnya andika seorang senapati?
Enak saja.” “Hahaha…ternyata andika punya keberanian Joyo Dento?” Loro
Gempol tidak bergeming melihat ketajaman ujung keris yang terhunus.
“Kawan-kawan, habisi dia!” perintah Joyo Dento pada temannya. “Majulah
kalian semua! Buktikan kehebatan kalian jika memang sanggup
membunuhku…hahaha!” Loro Gempol tertawa renyah. “Matilah andika
keparat!” Joyo dento menyodokan keris ke arah uluhati. Diikuti empat
orang temannya, menyodok perut, membabat leher, punggung, kepala, dan
kaki. “Hahahaha….hanya ini kemampuan kalian!” Loro Gempol menanatang.
“Ayo teruskan…hahaha!” sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya
berdiri. Membiarkan lawan melakukan serangan. “Gila?” Joyo Dento
menghentikan gerakan, tenaganya merasa terkuras. Begitu pula
teman-temannya. “Ilmu apa yang dimiliki si Loro Gempol? Rampok kampungan
ini mendadak punya kesaktian yang luar biasa. Seluruh senjata yang kita
gunakan untuk mecabik-cabik tubuhnya, laksana menghantam angin?”
mengerutkan keningnya. “Percaya kalian sekarang dengan kesaktian saya?”
Loro Gempol dengan tangan kiri berkacak pingging, tangan kanannya
memutar kumis. “Darimana andika punya ilmu sihir?” tanya Joyo Dento.
——————- “Hahaha…ini bukan ilmu sihir bodoh! Tapi ilmu miliknya orang
sakti yang berasal dari Sang Pencipta Alam Semesta.” ujar Loro Gempol.
“Percaya kalian sekarang pada saya? Jika percaya dan tidak punya lagi
keberanian sebaiknya jadi pengikut saya! Tunduk pada saya!” “Mana
mungkin saya harus tunduk pada andika? Sedangkan saya belum andika
kalahkan.” tantang Joyo Dento. “Jadi kalian mau saya musnahkan ketimbang
tunduk pada saya?” Loro Gempol menghunus goloknya. “Sebaiknya kita
ikuti saja keinginannya.” ujar teman Joyo Dento, meringis ketakutan.
“Benar, Kang. Sebaiknya kita jadi pengikutnya saja ketimbang dihabisi.”
bisik yang lainnya. “Benar juga. Ketimbang kita mati mengenaskan.” jawab
Joyo Dento, seraya kakinya mundur beberaba langkah. “Ayo pikirkan
sekali lagi! Saya masih memberi kesempatan pada kalian. Pilih mati atau
jadi pengikut saya?” ujar Loro Gempol sembari menyilangkan golok di
depana dadanya. “Kami menyerah saja, Ki.” ujar Joyo Dento serempak.
“Hahaha…bagus. Kenapa tidak dari tadi kalau mau menyerah, untung saja
golok ini belum bersarang pada leher kalian.” Loro Gempol kembali
menyarungkan goloknya. “Ikutlah kalian ke tempat saya.” *** “Syekh,
ternyata saya lebih bisa merasakan mendekati Sang Pencipta dengan cara
bersemadi.” Kebo Kenongo melangkah pelan di samping Syekh Siti Jenar.
“Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh
Siti Jenar pandangannya tertunduk ke ujung kaki. “Benar, seperti Syekh
sampaikan. Cara pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak mudah untuk
dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang berbeda ternyata
memiliki tujuan sama.” Kebo Kenongo menghela napas dalam-dalam. “Kenapa?
Ya, karena itulah yang disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti
Jenar, menghentikan langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung yang
berkabut. “Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual dalam
wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.”
tambah Kebo Kenongo. “Satu harapan untuk mendapatkannya. Mendekatkannya,
meraihnya, dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar. “Namun belum
manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul wujud.” “Lantas?”
“Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan manunggal, tetapi
untuk mengajukan berbagai macam permohonan dan keinginan. Karena mereka
lebih mencintai urusan lahiriyah yang cenderung duniawi ketimbang urusan
alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah Kebo Kenongo.
“Bukankah ada juga orang yang tidak terlalu tertarik pada urusan
lahiriyah saja? Namun mereka menginginkan kesempurnaan hidup dan masuk
dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya
mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang bercahaya. “Itulah yang
jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar
memberi isyarat dengan jari jemari tangannya. “Kecenderungan orang
melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan sesuatu, atau orang
tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa senang dan bahagia,
lupalah kepadanya.” “Mengapa, Syekh?” ——————- “Karena tujuan pendekatan
mereka untuk meraih dan memohon kebaikan lahiriyah saja.” terang Syekh
Siti Jenar. “Ketika merasa sudah terkabul keinginannya, kemudian
melupakan Allah.” “Bukankah tidak semua orang seperti itu, Syekh?” tanya
Kebo Kenongo. “Tidak, hanya hitungannya lebih banyak.” Syekh Siti Jenar
melipat jari jemarinya. “Sangat sedikit orang yang punya kecenderungan
untuk mengikat keakraban dengan Sang Pencipta. Padahal tahap terkabulnya
permohonan mereka bukan karena akrab, tapi dalam upaya mendekat dan
kemahamurahannya saja. Jika seandainya mereka sudah merasa akrab dan
berada dalam keakraban tidak mungkin melepas ikatannya semudah itu.”
urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak mungkin orang untuk menjauh.
Karena untuk mengakrabi perlu upaya mendekatan yang memerlukan waktu
tidak sebentar.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Ya, maka
tahap akrab dengan Allah itulah ketika orang dalam keadaan ma’rifat.
Ketika kita tidak memiliki lagi garis pemisah untuk saling bertemu.
Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi sekat-sekat dan ruang kosong
sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh Siti Jenar menghela napas
dalam-dalam. “Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo Kenongo berkali-kali
mengangguk-anggukan kepalanya. “Nah, pada tahap akrab itulah kita
meminta apa pun tidak mungkin tertolak. Mana ada keakraban tanpa adanya
keterikatan kasih sayang?” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah lagi.
“Tentu, Syekh. Saya sangat paham.” Kebo Kenongo terkagum-kagum dengan
uraian Syekh Siti Jenar. “Keakraban dengan Allah tidak mudah. Namun
ketika kita sudah berada dalam lingkarnya tidak mudah pula untuk
melepas.” Syekh Siti Jenar berdiri mematung di bawah pohon kenanga.
“Benar, meski saya pun dengan susah payah mendekat untuk meangkrabinya
belum juga sampai. Karena upaya saya bukan hanya untuk mendekat dan
mengajukan berbagai permohonan. Namun ingin mengakrabinya.” ujar Kebo
Kenongo. “Jika dalam keadaan sangat akrab bukankah tidak memohon pun
akan diberinya?” “Ya,” ujar Syekh Siti Jenar. “Berjuanglah dan
bergeraklah ke arah sana. Jika sudah tercapai, keinginan lahiryah pun
secara perlahan tidak lagi menjadi persoalan yang sangat istimewa. Itu
semua dirasakan hanyalah sebagai pelengkap lahiryah saja. Sebagai syarat
hidup.” ——————- “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali mengiringi langkah
Syekh Siti Jenar. “Padahal tidak hanya Raden Patah yang memiliki darah
biru dan sekarang menjadi Penguasa Demak Bintoro. Saya pun masih
keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikit pun untuk
menjadi penguasa. Tujuan saya bukan itu, tetapi seperti Syekh terangkan
tadi.” “Keinginan lahiryah itulah yang memenjarakan kita menuju
ma’rifat. Ruang kosong, antara, jarak, jeda, pemisah, yang merintangi
keakraban kita dengan Sang Pencipta.” terang Syekh Siti Jenar.
“Perintang tadi berupa semua keinginan lahiryah yang distimewakan oleh
nafsu keduniawian, karena ingin berkuasa, ingin kekayaan, dan banyak
keinginan. Itu semua yang dinomor satukan. Lahirnya keserakahan.” “Jika
itu yang masuk ke dalam jiwa dan pikiran, hati ini akan terasa gelap.”
ujar Kebo Kenongo. “Mana mungkin menuju akrab untuk mendekat pun kita
harus mencari cahaya jika tidak tentu membabi buta.” “Nah, itulah
penggoda manusia untuk meraih keakraban dengan Allah. Jernihkan hati,
tenangkan jiwa, damaikan gejolak nafsu, merupakan upaya untuk membuka
jalan keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat
sulit menyusuri jalan yang penuh dengan godaan tadi. Karena dalam
dirinya memiliki nafsu yang sangat sulit untuk dikendalikan. Itulah
upaya perjuangan menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang
manusia hanya sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya telah akrab tetapi
dalam kenyataannya tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah ma’rifat.
Sebenarnya ma’rifat bukan sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam
tahapan akrab. Terbelenggulah dengan ikatan kata-kata.” “Ya.” Kebo
Kenongo menghentikan langkahnya seiring dengan Syekh Siti Jenar. “Adakah
perbedaan antara ma’rifat dengan akrab? Atau memang sama ma’rifat
adalah akrab, sedangkan akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian.
“Orang yang sudah ma’rifat tentu akrab. Orang yang sudah akrab tentu
sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti Jenar, jubahnya yang berwarna hitam
berlapis kain merah tersibak angin pegunungan. “Ma’rifat itu sendiri?”
kerut Kebo Kenongo. “Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak. “Namun tidak
cukup itu, tentu saja harus diurai dengan maksud dan makna yang terarah.
Mengetahui tentang apa? Tahu tentang apa? Tentu saja tentang dirinya
dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan makna akrab. Sehingga ada istilah
kalau ingin mengenal Gustimu, Allahmu, maka harus mengenal dirimu
sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar. “Saya pernah mendengar, Syekh.” Kebo
Kenongo merenung. “Bukankah Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher
dan lehernya, bola mata putih dengan hitamnya?” “Tentu,” Syekh Siti
Jenar melirik ke samping. “Namun itu sifatnya umum. Tidak masuk ke dalam
makna akrab. Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.” “Bukankah untuk
menuju ma’rifat pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu
Syariat, hakikat, tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” ujar Kebo Kenongo.
——————- “Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar memutar lehernya seiring
dengan tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti
orang harus memahami tahapan tadi. Karena tanpa memahami tahapan tadi
pun orang bisa berada dalam tingkat ma’rifat, disadari atau diluar
kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tentang sebuah istilah,
yang penting adalah sebuah pencapaian, lantas bisa merasakannya.”
“Bukankah istilah tadi hanya ada dalam agama Islam yang dianut Syekh
sendiri.” tambah Kebo Kenongo. “Sedangkan dalam agama yang saya pahami
tentu saja punya nama yang berbeda.” “Benar,” timpal Syekh Siti Jenar.
“Namun tetap maksudnya sama. Hanya sebutannya saja yang berbeda.
Sehingga saya tadi mengurai seperti itu.” “Ya.” Kebo Kenongo
menganggukkan kepala. *** “Ki, saya sudah berhasil mengumpulkan
orang-orang untuk dijadikan pengikut kita.” ujar Loro Gempol menjatuhkan
patatnya di atas kursi rotan. “Saya juga sama, Ki.” timpal Lego
Benongo. “Mau kita apakan mereka, Ki?” “Menurut kalian?” Kebo Benowo
balik bertanya. “Ki, bukankah andika masih keturunan dari raja-raja yang
ada di tanah Jawa?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo. “Siapa
turunan raja? Raja rampok yang andika maksud?” Kebo Benowo tersenyum.
“Kenapa andika pun berbicara seperti itu, Gempol?” “Maksud saya, tidak
lain mengumpulkan banyak pengikut tidak untuk dijadikan rampok, tapi
mereka kita jadikan prajurit yang tangguh.” terang Loro Gempol. “Jadikan
prajurit? Memang andika mau mengadakan pemberontakan pada raja Demak
yang sah?” tatap Kebo Benowo. “Benar, rajanya andika, Ki.” Loro Gempol
menganggukan kepala. “Saya jadi patih, sedangkan Lego Benongo sebagai
Senapati. Joyo Dento kita angkat sebagai Panglima.” terangnya. “Andika
ini tidakkah sedang bermimpi disiang bolong, Gempol.” Kebo Benowo
terkekeh. “Mengapa bertanya seperti itu, Ki?” Loro Gempol mengerutkan
dahinya. “Bukankah andika layak menjadi seorang raja. Kita sudah banyak
pengikut. Kita punya kesaktian dan uang, yang belum kita miliki adalah
kekuasaan dan wilayah, karena saat ini sedang dikuasai Demak. Tidak ada
salahnya jika Raden Patah kita taklukan, berada dalam perintah kita.”
urainya. “Gempol, andika jangan berpikir terlampau jauh.” Kebo Benowo
bangkit dari duduknya. “Kenapa aki selalu berbicara seperti itu.
Tidakkah aki yakin pada kekuatan kita, bukankah banyak pengikut, bisa
menciptakan uang, dan ilmu yang tinggi.” Loro Gempol meninggi. “Bukan
demikian maksud saya, Gempol.” Kebo Benowo diam sejenak. “Meski kita
punya banyak pengikut, menciptakan uang dan emas, serta ilmu tinggi,
tentu saja semuanya tidak sebanding dengan kekuatan Penguasa Demak,
Raden Patah. Selain itu mereka memiliki para wali yang selalu
mendampingi dan memakmurkan masjid demak. Mereka semua memiliki ilmu
yang cukup tinggi, kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka.” urainya.
“Benar juga ya, Ki.” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Namun untuk
menghadapi para wali bukankah kita punya guru yang hebat, Syekh Siti
Jenar, beliau bisa menghadapi para wali.” “Andika jangan berpikir
seperti itu, Gempol.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya. “Karena Syekh
Siti Jenar bukan orang yang gila kekuasaan. Mana mungkin dia mau
melakukan pemberontakan dan meraih kekuasaan. Syekh Siti Jenar adalah
orang yang sangat bersahaja, tidak tertarik pada urusan duniawi apalagi
kedudukan dan kekuasaan. Beliau adalah ulama yang telah menyatu dengan
Sang Pencipta. Mustahil tertarik dengan hal-hal yang berbau lahiryah.
Karena menurut beliau kesenangan lahiryah hanyalah sekejap, yang paling
nikmat adalah ketika beliau berada dalam tahap manunggaling kawula
gusti. Bukan begitu? Tentu berbeda dengan kecenderungan kita.”
terangnya. “Baru terpikirkan, Ki.” Loro Gempol membetulkan duduknya.
“Namun aki sendiri apakah punya keinginan untuk meraih kekuasaan dan
menikmati kesenangan dunia?” ——————- “Tentu saja. Karena saya orang
biasa dan seperti halnya orang lain, punya ambisi. Sebab saya bukanlah
Syekh Siti Jenar.” ujar Kebo Benowo. “Namun seandainya kita memiliki
keinginan seperti andika jelaskan tadi tentunya harus dengan cara lain.”
“Cara lain?” Loro Gempol meletakan telunjuk di keningnya. “Ya, karena
jika ingin memberontak. Kita harus mengukur kekuatan pasukan kita, lalu
bandingkan dengan kekuatan Demak. Pikirkan pula tentang logistik kita
selama berperang, selain itu ilmu kadigjayaan kita sudah sejauhmana,
mungkinkah bisa mengalahkan para wali yang berilmu tinggi?” ujar Kebo
Benowo. “Benar juga, Ki.” Loro Gempol mengangguk-anggukan kepala.
“Itulah yang mesti kita pertimbangkan sebelum bertindak.” timpalnya.
“Kita haruslah berpikir matang jika tidak ingin mati sia-sia, seperti
halnya anai-anai menyambar api.” “Jika demikian harus bagaimana caranya,
Ki?” Loro Gempol menatap Kebo Benowo, seraya dahinya mengkerut. “Itulah
yang mesti kita pikirkan…” Kebo Benowo memijit dahinya. Keadaan hening
sejenak, pikiran mereka menerawang ke alam kejadian yang akan datang.
Berbagaimacam cara mereka olah dan cerna, demi tercapainya ambisi
kekuasaan. *** “Lantas ketika Syekh melayang apa yang terjadi?” tanya
Kebo Kenongo. “Saya bisa melayang karena bisa mengatur berat tubuh.”
Syekh Siti Jenar menatap langit, “Lihatlah di sana, Ki Ageng! Mengapa
burung itu bisa beterbangan, lalu saling kejar di ketinggian yang tidak
bisa kita jangkau karena keterbatasan.” “Tapi kenapa syekh sendiri bisa
meloncati keterbatasan tadi?” “Sebenarnya bukan saya bisa meloncati
keterbatasan, namun kita bisa mengatur batas, menjauh dan mendekatkan.”
terang Syekh Siti Jenar. ——————- “Maksud Syekh?” kerut Kebo Kenongo.
“Samakah dengan yang saya dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?”
“Ya, namun berbeda.” “Maksudnya?” “Jika Rasululah Isra Mi’raj dengan
kehendak dan kekuasaan Allah. Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti
Jenar. “Saya kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya. “Ya,
saya tidak bisa seperti Rasulullah. Sebab saya bukan beliau…” terang
Syekh Siti Jenar. “Namun saya bisa menyatu dengan kekuatannya dan
dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri Demak
dengan sekejap itu bukan persoalan yang mustahil.” tambahnya. “Benarkah
itu, Syekh?” Kebo Kenongo semakin mengkerutkan dahinya. “Jika Ki Ageng
Pengging ingin bukti, maka tataplah saya! Jangan pula Ki Ageng berkedip!
Karena kepergian saya ke pusat kota Demak Bintoro bagaikan kedip,
kembali pun dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota
Demak Bintoro akan membawa makanan segar.” usai berkata-kata, samarlah
wujud Syekh Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari pandangan Kebo
Kenongo. “Lha,” Kebo Kenongo menggosok-gosok kedua matanya. “Benarkah
yang sedang terjadi dan kuperhatikan ini?” “Inilah makan segar dari
pusat kota Demak Bintoro, Ki Ageng.” “Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo
terperanjat, ketika dihadapannya Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali
seraya menyodorkan makanan hangat dengan bungkus daun pisang. “Itulah
yang bisa saya lakukan, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk
bersila di atas hamparan tikar pandan, dihadapannya terhidang dua
bungkus makanan hangat yang beralaskan daun pisang. “Sekarang marilah
kita makan alakadarnya.” “Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan
anggukan. “Saya tidak sanggup untuk memikirkannya, Syekh? Kenapa andika
hanya dalam kedip pergi ke pusat kota Demak Bintroro untuk mendapatkan
hidangan makan pagi. Padahal jika kita bejalan dari padepokan ini ke
pusat kota Demak memakan waktu satu hari satu malam?” ——————- “Benar, Ki
Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Namun bukankah kita
tidak sedang berbicara tentang perjalanan jasad?” “Maksud, Syekh?”
“Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika saya pernah bercerita tentang Kanjeng
Nabi Sulaiman AS.?” ujar Syekh Siti Jenar. “Yang pernah Syekh baca dari
ayat suci Alquran itu? Saya agak lupa.” Kebo Kenongo menempelkan
telunjuk didahinya. “Ketika Kanjeng Nabi Sulaiman meminta kepada para
pengagung negaranya untuk memindahkan kursi Ratu Balqis ke istananya.
Siapakah yang bisa memindahkan singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang
sangat cepat, hingga jin Iprit menyanggupi.” “Ya, saya ingat, Syekh.”
Kebo Kenongo tersenyum. “Namun bukankah Jin Iprit itu terlalu lama
menurut Kanjeng Nabi Sulaiman, karena dia meminta waktu saat Baginda
Nabi bangkit dari tempat duduk maka singgasana akan pindah…” “Benar,
waktu seperti itu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman. Karena bangkit
dari duduk memerlukan waktu beberapa saat. Hingga berkatalah seorang
ulama serta mengungkapkan kesanggupannya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng
Nabi Sulaiman berkedip maka Singgasana Ratu Balqis pun akan berhasil dia
bawa. Hanya satu kedipan.” terang Syekh Siti Jenar. “…dan terbuktilah
kehebatan ulama tadi.” “Ya, benar, Syekh.” ujar Kebo Kenongo, “Itulah
ilmu Allah. Mana mungkin bisa dicerna dan dipahami dengan keterbatasan
berpikir manusia.” “Tidak semua manusia seperti itu, Ki Ageng.” terang
Syekh Siti Jenar. “Itulah manusia kebanyakan, terkadang perkataannya dan
pendalamannya dibidang ilmu dangkal. Namun meski pun memiliki
kedangkalan berpikir terkadang dalam dirinya mencuat pula rasa angkuh
dan sombongnya. Jika hal itu terjadi maka akan gelap untuk meraba dan
meraih yang saya maksud.” ——————- “Benar, Syekh. Hanya kejernihan
berpikir dan menerima yang bisa membukakan kebodohan dan kekurangan diri
kita…” timpal Kebo Kenongo. “Namun dalam uraian tadi apa yang
membedakan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?”
“Tentu saja sangat berbeda.” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya,
seraya menatap langit. “Jin itu makhluk gaib, tidak aneh bagi bangsa
mereka terbang, melayang-layang di angkasa, melesat secepat angin,
menembus lubang sekecil lubang jarum, bahkan merubah wujud berbentuk apa
pun yang dikehendakinya.” “Bisa pula tidak terlihat oleh manusia?”
“Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat ghaib itulah. Hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa menembus alam jin. Sebaliknya hanya jin
tertentulah yang bisa menampakan diri pada manusia.” terang Syekh Siti
Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya tidak bisa melebihi
manusia.” “Bukankah pada zaman ini banyak pula orang-orang yang memiliki
ilmu jin bahkan mengabdikan diri, karena ingin mendapat kesaktiannya.”
timpal Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya rasa tidak terlepas dari
kekuatan dan kesaktian atas bantuan bangsa jin yang dijadikan tuannya.”
“Itulah kedangkalan berpikir manusia, Ki Ageng. Mereka tidak melihat
asal usul, jika manusia itu makhluk yang paling mulia di banding yang
lainnya. Termasuk jin.” “Jika demikian, Syekh. Berarti kita harus
menaklukan jin agar bisa memerintah mereka dan memanpaatkan kekuatannya.
Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?” “Kenapa tidak mungkin.
Bukankah Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri prajuritnya terdiri dari bangsa
jin, selain binatang dan manusia?” “Tapi untuk menaklukan bangsa jin
tentu saja ilmu kita harus di atas mereka, Syekh?” “Tentu saja, Ki
Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Namun jika kita sudah memiliki ilmu dan
kesaktian sebetulnya menjadi tidak perlu memiliki dan menaklukan jin.
Karena kita bukan raja seperti Kanjeng Nabi Sulaiman, yang memerlukan
prajurit dan abdi setia. Untuk dijadikan balatentara dan membangun
negara, dengan arsitek-arsitek yang kokoh. Jin dijaman Nabi Sulaiman di
suruh menyelami laut untuk mengambil mutiara, di suruh membangun keraton
berlantaikan kaca yang membatasi kolam dibawahnya.” “Meski bukan raja
kita juga butuh prajurit pengawal, Syekh?” “Saya rasa tidak perlu bangsa
jin yang dijadikan prajurit pengawal. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad
juga tidak dikawal oleh bangsa jin, namun selalu disertai oleh Malaikat
Jibril kemana pun beliau pergi.” “Lalu haruskah Kanjeng Nabi menundukkan
Malaikat agar mengawalnya? Sakti mana dengan jinnya Kanjeng Nabi
Sulaiman?” “Tentu saja Malaikat itu lebih sakti dari bangsa jin. Karena
yang mencabut nyawa jin juga Malaikat seperti halnya nyawa manusia.
Kanjeng Nabi Muhammad pun tidak perlu menundukan Malaikat, karena dengan
sendirinya Malaikat akan di utus oleh Allah untuk menyertai orang-orang
shalih. Apalagi Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah yang
disampaikan kepada Kanjeng Nabi Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar. “Syekh
sendiri siapa yang mengawal?” “Karena saya manusia biasa, bukan nabi
dan juga keshalihannya tidak saya ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah
mengutus Malaikat untuk mengawal atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas
saya tidak dikawal oleh bangsa jin…” Syekh Siti Jenar kembali duduk
bersila. “Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?” ——————- “Ya, itu
sedikit ilmu yang saya pelajari dari keMaha Besaran Allah. Mungkin yang
mengawal saya kemana pun pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga
dengan ilmu itu saya pun bisa memanggil prajurit Allah yang empat.”
tambah Syekh Siti Jenar. “Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo. “Apakah
para Malaikat? Kalau di dalam agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata,
penguasa triloka.” ”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya tidak akan
berbicara tentang para Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan matanya
menyapu wajah Kebo Kenongo. “Namun yang akan saya bicarakan prajurit
Allah. Ingat bukan Malaikat,” “Kenapa bukan Malaikat? Bukankah Malaikat
bisa mencabut nyawa manusia dan bangsa jin yang goib?” tanya Kebo
Kenongo. “Meskipun demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda
dengan kita. Hanya yang membedakan kita dengan Malaikat, dia adalah
goib. Malaikat memiliki keimanan tetap dan tidak pernah berubah, berbeda
dengan bangsa manusia dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja
manusia makhluk yang paling mulia, tetapi sebaliknya derajat kemulian
yang diberikan Allah kepada manusia akan lenyap. Bahkan manusia akan
didapati sebagai makhluk yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.”
urai Syekh Siti Jenar. “Lalu prajurit yang dimaksud?” ”Yang dimaksud
prajurit tentu saja penyerang, penghancur, perusak, dengan segala tugas
yang diembannya.” “Mungkinkah mirip dengan Dewa Syiwa?” “Mungkin, Ki
Ageng.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Sedangkan prajurit Allah
yang empat disini pun fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan, merusak,
dengan tujuan manusia berbalik pada jalan lurus. Mengingatkan kekeliruan
yang pernah diperbuat oleh para khalifah bumi. Tujuannya tentu saja
menyadarkan, jika yang menedapatkan taufiq dan hidayah. Adzab dan siksa
bagi mereka yang tidak pernah mau bertobat dan kembali kepada jalan yang
lurus.” “Lalu siapa yang dimaksud dengan prajurit Allah yang empat
tadi, Syekh?” ——————- “Prajurit Allah yang empat itu diantaranya…” Syekh
Siti Jenar melangkahkan kakinya perlahan. “…pertama adalah angin.
Lihatlah angin yang lembut dan sepoi-sepoi, namun perhatikan pula jika
angin itu mulai dahsyat serta bisa memporak-porandakan bangunan sehebat
apa pun, menghancurkan pohon-pohon yang tertancap kokoh, menerbangkan
segala hal yang mesti diterbangkannya, bahkan menghancurkan sebuah kota
atau perkampungan. Lantas ketika angin mengamuk siapa yang bisa
membendung dan menghalang-halangi?” “Tidak ada, Syekh.” “Itulah
kehebatan prajurit Allah yang disebut manusia, angin pada syariatnya.
Padahal angin itu hakikatnnya membawa pesan pada manusia, pada para
khalifah bumi, agar menyadari kekeliruan yang pernah diperbuatnya.
Manusia yang melakukan keruksakan di muka bumi maka akan kembali pada
perbuatannya, akibatnya. Namun dalam hal ini manusia hanya memandang
sebelah mata pada hakikat angin. Mereka lebih banyak bercerita dan
memandang akan hal yang berbau logika dan penalaran semata, karena itu
semua akibat dari keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang manusia
miliki tidak mencakup berbagai hal, namun terbatas hanya pada bidangnya
saja. Sehingga manusia terkadang melupakan Allah yang memiliki lautan
ilmu.” urai Syekh Siti Jenar, seraya langkahnya terhenti. Sejenak
berdiri di tepi jalan, matanya menyapu tingginya puncak gunung yang
diselimuti awan putih yang berlapis-lapis. “Bukankah manusia akan selalu
merasa pintar jika seandainya berhasil menangani sedikit persoalan
saja, Syekh?” “Itulah manusia. Namun tidak semuanya seperti itu. Tetapi
itulah watak orang kebanyakan. Maka jika demikian tertutuplah pintu ilmu
berikutnya, terhalang oleh keangkuhan dan kecongkakan yang terselip
dalam batinnya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan
dengan manusia yang batinnya terang. Dia tidak akan pernah berbuat
congkak, apalagi sombong, yang bisa membutakan mata hatinya. Sehingga
orang seperti itu akan selamanya sanggup memahami segala hal dengan
jernih….” ——————- “…sangat sulit, Syekh.” Kebo Kenongo menarik napas
dalam-dalam. “…pantas saja diri Syekh bisa terangkat pada derajat
ma’rifat, karena telah sanggup membersihkan batin dari noda-noda tadi.
Mungkin saya sulit mencapai ma’rifat tadi karena batin ini masih
dijejali dan dikotori hal-hal yang membutakan, menghalangi, mengganggu
dan merintangi. Pada intinya masih berbau keangkuhan, kesombongan,
angkara, rasa iri dan dengki. Namun rasanya sulit untuk melepaskan
hal-hal tadi, Syekh. Mungkin karena kesulitan itu datang akibat kita
berada dalam hiruk pikuk kemewahan duniawi, yang selalu hadir di sisi
kiri, kanan, depan, dan belakang kita?” “…jangan salah, Ki Ageng.
Bukankah setiap manusia hidup memerlukan kebutuhan jasadiyah?” timpal
Syekh Siti Jenar. “Duniawi adalah kebutuhan lahiriyah, sedangkan menuju
ma’rifat adalah proses perjalanan batin menuju akrab.” “Benar, Syehk.
Namun jika gangguan duniawi sangat terlalu kuat, bisa menggelapkan mata
batin. Sehingga kita selalu memperjuangkan kepentingan jasadiyah tanpa
kendali dan melupakan kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan
itulah yang sangat sulit.” “Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu.
Namun itu terlalu berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat
tercapai. Sebab bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh
melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau
berada dalam genggaman.” terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak
tangannya dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah
yang Ki Ageng inginkan?” “Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca
keinginan batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan
tangan.” Kebo Kenongo menggeleng-gelengkan kepala, seraya memujinya. ***
“Sudahkah andika menemukan cara yang tepat untuk menguasai Demak?” Loro
Gempol menatap wajah Kebo Benowo. ——————- “Meski saya telah
berkali-kali memikirkannya belum juga menemukan cara yang tepat,
Gempol.” Kebo Benowo menempelkan telunjuk dikeningnya. Lalu bangkit dari
duduknya, menggendong kedua tangannya dibelakang, dahinya
berkerut-kerut, kakinya melangkah pelan. “….bagaimana…cara termudah?”
“Bolehkah saya berbicara?” Joyo Dento mengangkat kepalanya. “Apa yang
akan andika katakan, Dento? Bantulah saya berpikir!” tatap Kebo Benowo.
“Menurut hemat saya, negara Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan
tentram. Namun bukan berarti ketenangan ini tidak bisa diusik.” “Semua
orang tahu! Apa maksud andika!” timpal Loro Gempol meninggi. “Mohon
maaf, Ki Gempol. Bukankah saya belum selesai bicara?” “Lanjutkan,
Dento!” ujar Kebo Benowo mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap
Loro Ge,pol agar memberi kesempatan bicara pada Joyo Dento. “Negeri
Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi
kita untuk melakukan pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan. Namun
bukan berarti suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi
kacau balau dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya
merayap mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada
Kebo Benowo. “Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar. “Maksud saya,
untuk merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan
sebaliknya.” “Mengacau ketenangan masyarakat?” tatap Kebo Benowo. “Jika
itu dilakukan berarti tindakan kita untuk menggulingkan Raden Patah
tidak akan berhasil, bahkan akan mendapat kecaman dari rakyat. Karena
mereka tahu bahwa kita pengacau. Sedangkan yang kita harapkan dukungan
rakyat, yang membetulkan tindakan kudeta. Jadi pada intinya tindakan
kita harus mendapat simpati dari rakyat.” “Benar, maksud saya itu.” ujar
joyo Dento. “Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika
membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya
mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol. “Tentu, jika
kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun
sehari-hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya
untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah
mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang
politik dan ketatanegaraan. Namun orang-orang Majapahit kini tidak mau
lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak
Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi
berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih
hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.” Mendengar uraian Joyo
Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo,
Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan
itu terkagum-kagum. “Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo
menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar
pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat
saya dan yang lainnya.” ——————- “Terimakasih, Ki Benowo.” Joyo Dento
menghela napas, “Saya sebetulnya sejak dulu mencari teman dan orang yang
ingin melakukan pemberontakan, sekaligus penggulingan kekuasaan
terhadap Raden Patah. Namun kini saya baru menemukan orang yang
benar-benar punya niat dan tujuan yang sama dengan saya. Jadi tidak ada
salahnya jika saya pun mendukung gerakan ini.” “Kita tidak salah
bergabung, Dento.” ujar Kebo Benowo. “Hanya sayang, yang semestinnya Ki
Ageng Pengging yang harus maju dan bergabung dengan kita sama sekali
tidak tertarik. Ki Ageng Pengging sesungguhnya memiliki darah biru yang
sangat kuat, karena beliau keturunan raja Majapahit.” Joyo Dento
berhenti sejenak, “Namun meski pun demikian andikalah yang ternyata
berani maju, Ki Benowo. Tidak ada salahnya, saya akan mendukung. Hanya
dalam hal ini kita harus punya strategi yang tepat. Seperti yang saya
uraikan pertama kali.” ”Ya, tentang pembicaraan semula. Lanjutkan apa
rencana tadi?” pinta Kebo Benowo. “Baiklah,” ujar Joyo Dento. ***
”Dengarkan para pengemis!” teriak Kebo Benowo, matanya menyapu para
pengemis yang bersila di pinggir jalan menuju pasar. “Kenapa andika
semua mesti jadi pengemis? Tidak inginkah hidup mewah seperti para
penduduk kota Demak Bintoro? Tidak inginkah kalian menjadi orang kaya,
seperti para pejabat negara? Bukankah mereka itu manusia seperti kita?
Harus sadar pula bahwa kita pun memiliki hak yang sama seperti mereka.
Tidak sadarkah jika para pejabat Negeri Demak telah mendzalimi kalian
semua? Membiarkan kalian terlantar dipinggiran jalan. Sementara mereka
bersenang- senang di pusat kota Demak Bintoro. Tidak sadarkah bahwa
mereka telah melupakan kita selaku rakyat? Mereka telah menelantarkan
kita dalam lingkaran kemiskinan dan penderitaan. Kalian harus paham akan
semua itu. Sesungguhnya hak kalian telah dirampas oleh mereka.” “Jadi
kami mesti bagaimana, Ki? Sedangkan kami pun tidak ingin menjadi orang
miskin.” ujar seorang pengemis paruhbaya. “Ingatlah, bahwa kalian
memiliki hak yang sama seperti para penguasa negeri ini. Mintalah hak
kalian!” ujar Kebo Benowo. “Tidak mungkin? Mustahil keinginan kita
dikabulkan oleh para penguasa dzalim yang tidak peduli akan nasib
rakyatnya, yang miskin seperti kami.” ujar si pengemis paruhbaya. “Jika
tidak mungkin menurut kalian, tidak perlu menyesal dengan nasib yang
dialami. Karena kehidupan dunia ini hanyalah sekejap, setelah itu kita
akan mati. Untuk itu biarkanlah mereka itu menikmati hidupnya sebagai
penguasa, karena mereka hanyalah mayat-mayat hidup yang menunggu
kematian. Sedangkan kematian merupakan pertemuan kita dengan Sang
Pencipta, untuk menemui kenikmatan yang abadi.” urai Kebo Benowo.
“Benarkah kematian itu merupakan kenikmatan yang abadi dibandingkan
dengan para penguasa yang sekarang sedang menikmati kesenangan?” kerut
pengemis paruhbaya. “Benar, karena mereka pun akan mati. Setelah mati
maka ditangisi oleh keluarganya, lalu harta yang mereka agung-agungkan
ditinggalkan untuk diperebutkan oleh keturunannya. Jadi apa artinya
harta kekayaan juga kekuasaan. Toh, kita pun akan mati dan meninggalkan
semua kesenangan duniawi yang bersifat sekejap. Bayangkanlah kesenangan
setelah kematian. Bukankah nenek moyang kalian tidak pernah ingin
kembali ke dunia ini dari kuburnya? Mengapa demikian? Karena mereka
menikmati kematian yang teramat menyenangkan dan menentramkan.” Kebo
Benowo yang memahami secara dangkal ajaran Syekh Siti Jenar, mencoba
mengurai sesuka hatinya. “Benar juga yang andika katakan, Ki.” si
pengemis paruhbaya mengagguk-anggukan kepala, begitu juga yang lainnya.
“Memang kehidupan ini hanyalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan.
Sedangkan kematian merupakan nirwana, kesenangan yang teramat
membahagiakan. Karena bisa melepaskan kita dari berbagai penderitaan.”
”Itu benar, Kisanak.” Kebo Benowo mengacungkan jempolnya. “lihatlah
mereka yang tadinya hidup susah, lalu dalam keadaan sakit dan sekarat,
akhirnya mati tersenyum. Mereka mengakhiri segala penderitaan dengan
kematian. Untuk apa kita hidup di negeri mayat, jika itu bukan mayat
yang sesungguhnya. Mereka semua hanyalah mayat-mayat berjalan, tidak
memiliki rasa dan kepekaan. Meskipun punya jabatan dan kekayaan namun
tidak bisa mereka nikmati. Maka kematianlah sesungguhnya kenikmatan
setiap manusia, yang harus kita raih dan dapatkan.” ——————- “Saya
setuju, Ki.” pengemis paruhbaya bangkit. “Jika demikian marilah kita
songsong kematian…saya ingin mati!” teriaknya. Selanjutnya diikuti oleh
para pengemis lainnya. Para pengemis bangkit dari duduknnya seraya
berjalan-jalan keliling sambil berteriak-teriak menyongsong kematian.
Ada juga yang nekad membenturkan kepalanya ke atas batu hingga pecah dan
meninggal, ada juga yang terus berjalan menunggu ajal tanpa makan.
“Hahahaha…mungkin itulah yang dimaksud Joyo Dento.” Kebo Benowo
mengawasi para pengemis sambil tersenyum. *** “Hebat andika Joyo Dento.”
puji Kebo Benowo seraya menepuk-nepuk bahunya. “Sekarang keadaan negeri
Demak Bintoro akan dilanda oleh kekacauan, serta krisis kepercayaan.
Itu semua alhasil dari hasutan kita agar masyarakat miskin antipati
terhadap penguasa. Benar-benar cerdik daya pemikiran andika, Dento.”
“Itulah yang harus kita ciptakan. Strategi pertama untuk menggoncang
keaadaan negara. Setelah ini berhasil dan di dengar beritannya oleh para
penguasa negeri Demak Bintoro, maka pertama-tama mereka akan mencari
tahu penyebabnya.” ujar Joyo Dento. “Mungkinkah mereka akan menangkap
kita sebagai penghasut?” tanya Loro Gempol. “Sangat tidak mungkin, Ki.”
jawab Joyo Dento yakin. “Kenapa? Bukankah kita penghasutnya?” timpal
Kebo Benowo. “Karena kita bukan menghasut tapi berbicara berdasarkan
kenyataan. Mereka pun tidak mudah menuduh kita sebagi pengasut, dalam
menciptakan kekacauan di negeri Demak Bintoro tanpa adanya bukti yang
kuat.” terang Joyo Dento. “Benar juga, Dento.” Kebo Benowo menganggukan
kepala. “Jika keadaan negara sudah kacau balau, rakyat tidak percaya
lagi pada penguasa, maka mereka akan sibuk. Dalam keadaan seperti itulah
kita mengadakan tindakan.” Joyo Dento mengepalkan tangannya. “Melakukan
kudeta?” celetuk Loro Gempol. “Apa mungkin kita mampuh menggulingkan
kekuasaan Raden Patah?” kerut Kebo Benowo. “Karena kekacauan seperti ini
tidak seberaba, jika dibanding dengan kekuatan negara Demak Bintoro
yang sesungguhnya. Lalu kita juga harus berkaca, apa mungkin kekuatan
kita sudah cukup untuk melakukan penyerangan?” ——————- “Apa salahnya
jika kita mencoba? Siapa tahu menang.” tambah Loro Gempol seraya
menggenggam gagang goloknya. “Benar, kita mesti mencoba dan berusaha.
Untuk mengukur kekuatan kita, sudah semestinya begitu.” terang Joyo
Dento. “Namun dalam tindakan percobaan kita harus menciptakan strategi
penyerangan yang berbeda. Agar kita pada waktunya tidak konyol dan
membahayakan diri sendiri.” “Jika demikian ijinkan saya menyiapkan
pasukan untuk menyerbu Demak Bintoro, Ki Benowo.” Loro Gempol Bangkit
dari duduknya, langkahnya berat dan pasti. “Tunggu dulu, Gempol!” Kebo
Benowo berteriak. “Kenapa mesti menunggu lagi? Bukankah kita akan
mencoba kekuatan?” langkah Loro Gempol terhenti di depan pintu. “Benar,
Ki Gempol. Namun ingatlah yang saya katakan tadi. Meski dikalangan
rakyat miskin sedang terjadi kekacauan, namun itu belum seberapa.”
terang Joyo Dento. “Kekacauan tadi hanya bersifat lokal, sangat kurang
berpengaruh terhadap stabilitas keamanan negeri Demak Bintoro. Sebaiknya
sebelum melakukan penyerangan sebarkan dulu kekacauan tadi hingga
merebak seantero negeri Demak Bintoro.” urainya. “Benar, Gempol. Apa
yang dikatakan Joyo Dento sebaiknya diikuti, karena dia sudah saya
angkat sebagai penasihat.” ujar Kebo Benowo, seraya menepuk bahu Loro
Gempol. “Baiklah jika itu perintah Ki Benowo.” Loro Gempol menganggukan
kepalanya, seraya kembali ke tempat duduknya. ——————- “Baguslah jika
andika setuju.” Kebo Benowo tersenyum bahagia, lalu melirik ke arah Joyo
Dento, dalam benaknya menaruh berjuta harapan demi cita-citanya
menggenggam kekuasaan di negeri Demak Bintoro. “Apa rencana berikutnya,
Dento?” “Baiklah, kita menyusun strategi berikutnya.” Joyo Dento
menempelkan jari dikeningnya seakan-akan berpikir sangat keras. ***
“Syekh, rasanya sangat berat untuk menempuh jalan ma’rifat.” Kebo
Kenongo nampak tidak ceria. “Ya, tentu saja.” “Mungkinkah saya harus
bertahap? Menurut tahapan ilmu, Syekh?” “Tidak selalu, Ki Ageng
Pengging.” Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari duduknya. “Bukankah
saya menyarankan jika seandainya andika kesulitan mengikuti ilmu Islam,
hendaknya ikutilah ajaran agama yang andika anut. Bukankah andika
tinggal satu atau dua langkah lagi menuju ma’rifat, setelah itu akrab.
Orang yang akrab dengan Allah itulah seperti yang pernah saya uraikan
sebelumnya.” “Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu dibicarakan sangatlah
mudah, Syekh. Namun untuk melaksanakannya terasa berat, dan sulit untuk
membuka tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah terbuka tentulah
berikutnya akan lebih mudah.” “Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam sejenak,
matanya yang sejuk dan tajam beradu tatap dengan Kebo Kenongo. “Ya,
hanya Sunan Kalijaga yang bisa…” gumamnya. “Sunan Kalijaga?” “Tidak
perlu dipikirkan! Apalagi mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar kembali
ke tempat duduknya. *** “Kanjeng Sunan Giri, tahukah anda tentang Syekh
Siti Jenar?” tanya seorang jemaah paruhbaya, usai melaksanakan sholat
zuhur di masjid Demak. “Ya,” Sunan Giri menatapnya, “Memang kenapa
dengan Syekh Siti Jenar, Ki Demang?” “Dia telah meresahkan.” jawab Ki
Demang. “Meresahkan?” “Ya,” “Memang apa yang telah dia perbuat, Ki
Demang?” “Syekh Siti Jenar telah mengacaukan keadaan rakyat negeri Demak
Bintoro, Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri mengerutkan dahinya.
——————- “Namun sebelumnya saya ingin tahu dulu.” “Tentang apa?” “Apakah
Syekh Siti Jenar juga seorang wali seperti anda?” “Bukan! Dia hanyalah
sosok yang tidak jelas asal usulnya. Juga ilmu yang didalaminya entah
dari mana sumbernya.” “Tapi bukankah dia juga seorang ulama yang
memiliki ilmu tinggi?” “Mungkin saja, Ki Demang. Tetapi dia bukan wali
seperti saya dan yang lainnya. Selain asal usulnya tidak jelas, dia juga
mempelajari ajaran Islamnnya entah dari mana?” “Berkaitan dengan itulah
yang kini meresahkan dikalangan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.”
“Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri menatap tajam wajah Demang Bintoro,
dahinya dikerutkan. “Apakah Syekh Siti Jenar membuat ulah?” “Kemungkinan
besar itulah yang sedang terjadi, Kanjeng.” “Tolong jelaskan, Ki
Demang! Apa yang terjadi?” “Syekh Siti jenar telah menyebarkan ajaran
sesat, Kanjeng.” “Ajaran sesat?” Sunan Giri terperanjat. “Benar,”
“Maksud Ki Demang ajaran sesat seperti apa?” “Kehidupan ini adalah
kematian…kematian adalah keabadian….” “Lalu?” “Lantas mereka banyak yang
melakukan bunuh diri. Karena punya anggapan bahwa kehidupan ini adalah
penderitaan. Buktinya mereka banyak yang miskin dan menjadi gelandangan.
Sedangkan kematian itu adalah indah dan menyenangkan.” Demang Bintoro
menghela napas, “Mereka punya anggapan dengan jalan kematian bisa
terlepas dari semua penderitaan dan kesengsaraan…” “Celaka!” Sunan Giri
menepuk keningnya. “Sehingga banyak yang berteriak-teriak seperti orang
gila mencari kematian dan keindahan abadi yang diharapkannya. Lalu bunuh
diri…” tambah Demang Bintoro. “Saya pun datang ke mesjid Demak dari
kademangan tidak lain hanya ingin menyampaikan kabar ini kepada para
wali.” “Ini merupakan hal yang sangat serius yang bisa mengancam
ketentraman dan keamanan negeri Demak Bintoro.” Sunan Giri bangkit dari
duduknya, lalu matanya menatap para wali lain yang sedang melakukan
wirid. Dipanggilnnya mereka untuk berundingsejenak. “Jangan dulu pulang
Ki Demang, andika harus menyampaikan kejadian ini pada para wali.”
——————- “Baiklah, Kanjeng.” Demang Bintoro menganggukan kepala, seraya
menatap para wali yang mulai duduk berkeliling di tengah masjid sesuai
permintaan Sunan Giri. *** ‘Bagaimana pun juga aku harus menghadap Ki
Ageng Pengging. Meskipun dia tidak berambisi untuk menjadi penguasa
negeri Demak Bintoro. Namun aku tidak rela jika bekas para abdi
Majapahit berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.’ ujar hati
Joyo Dento, seraya tangannya menggenggam tali kendali kuda yang
ditungganginya, berjalan pelan mendekati padepokan Syekh Siti Jenar.
‘Siapa tahu Ki Ageng berubah pikiran mendukung perjuangan ini, apalagi
jika Syekh Siti Jenar turun tangan untuk membantu. Aku yakin
pemberontakan ini tidak akan terlalu berat, karena mereka orang-orang
sakti dan cerdas. Jauh berbeda dibanding dengan Kebo Benowo mantan
rampok bego, hanya punya ambisi semata dan kekuatan yang belum tentu
bisa menandingi para wali.’ Joyo Dento menghentikan langkah kuda, lalu
dikatnya pada sebuah pohon di tepi jalan. ‘Tunggu saja kamu disini kuda.
Karena tidak mungkin sanggup menaiki jalan yang menyerupai tangga. Biar
aku berjalan kaki saja untuk menemui mereka. Joyo Dento meluruskan
pandangannya ke depan, usai mengikat kuda tunggangannya. Lalu melangkah
pelan, menaiki jalan yang dipapas menyerupai tangga. ‘Banyak juga jumlah
anak tangga ini,’ tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi
keningnya. ‘…tapi akhirnya aku sampai juga dipuncak…eh…ternyata masih
ada jalan lurus membentang menuju padepokan.’ Joyo Dento berhenti
sejenak menikmati sejuknya udara pegunungan dan hijau ranumnnya
dedaunan, serta pemandangan puncak gunung yang tersaput mega putih.
“Indah!” gumamnya. “Tempat ini di tata sangat bagus, membuat orang
kerasan. Kanan kiri jalan dihiasi oleh pepohonan hijau, rerumputan…Syekh
Siti Jenar menyukai keindahan dan keasrian alam.” Joyo Dento
menghentikan langkahnya di depan pintu pagar padepokan, “Sampurasun!”
“Masuklah Joyo Dento!” terdengar suara yang menyebut namanya, sedangkan
wujudnnya entah dimana. “Syekh Siti Jenarkah yang memanggil saya?” Joyo
Dento memutar pandanganya, suara itu seakan-akan datang dari segala
arah. “Bukankah aku ini sedang berada di depan pintu pagar padepokan?”
gumamnnya. “Benar,” “Baiklah.” Joyo Dento membuka pintu pagar, seraya
berdiri di depan pintu padepokan dan mendorongnya pelan. “Kenapa didalam
tidak ada orang? Lantas Syekh Siti Jenar memanggil saya dari mana?”
“Bukalah mata hati andika, Dento!” “Ki Agengkah itu?” Joyo Dento
membelalakan matanya, menelisik ruang kosong, di depannya hanya terdapat
hamparan tikar. “Benar, ini saya.” “Namun Ki Ageng tidak saya temukan,
begitu juga Syekh Siti Jenar? Padahal suaranya seperti berada didepan
saya.” Joyo Dento memijit-mijit dahinya. “Tataplah dengan mata terbuka,
jangan dengan mata tertutup.” “Tapi saya sudah menatapnnya dengan mata
terbuka, Ki Ageng Pengging. Namun saya tidak bisa menemukan keberadaan
andika selain suara. Dan ruangan ini kosong, hampa, tidak ada orang?”
Joyo Dento semakin kebingungan. Namun matanya merayap dan tertuju pada
dua hamparan tikar yang berada dihadapannya. ——————- “Bukankah saya ada
dihadapan andika, Dento?” ujar Kebo Kenongo, seiring dengan bergeraknya
hamparan terusik angin sepoi tikar. Pelan-pelan wujud keduanya yang
sedang duduk bersila mulai tampak. “Ki Ageng, terimalah sembah hormat
hamba!” Joyo Dento langsung saja menekuk lututnya seraya mengacungkan
kedua tangannya menyembah. “Begitu juga pada Syekh Siti Jenar, seorang
wali yang memiliki kesaktian tinggi. Ijinkanlah hamba pada saat ini
menghadap!” “Saya ijinkan, Dento.” Kebo Kenongo tersenyum. “Terimakasih,
Ki Ageng.” lalu melirik ke arah Syekh Siti Jenar, wajahnya tampak
memancarkan cahaya yang menyilaukan matanya, hingga tidak sanggup
menatapnya. Joyo Dento pun menunduk. “Saya mohon maaf Syekh Siti Jenar
karena telah lancang datang ke padepokan yang indah dan asri ini. Karena
hamba punya maksud dan tujuan….” “Saya memaklumi, dan tahu akan tujuan
dari kehadiran andika ke padepokan ini. Bukankah untuk meminta restu
serta bantuan kami berdua atas upaya ambisi menggulingkan kekuasaan
Raden Patah.” terang Syekh Siti Jenar. “Duh, mohon maaf Syekh. Ternyata
andika memiliki ilmu sangat tinggi. Pantas saja Kebo Benowo dan
kawan-kawannya sakti.” Joyo Dento semakin merunduk dan tercengang, atas
kehebatan Syekh Siti Jenar yang tahu akan maksud kedatangannya. “Namun
tidakah Syekh….” “Tidak, karena saya mengajarkan ilmu pada siapa saja
yang mengingkannya. Kebo Benowo dan kawan-kawan mantan rampok yang
memiliki ambisi untuk menggulingkan kekuasaan Raden Patah serta
bermimipi ingin menjadi penguasa negeri Demak Bintoro adalah sebuah
taqdir.” Syekh Siti Jenar seakan-akan sudah mengetahui setiap rencana,
bahkan yang belum terujar masih tersimpan di dalam hati pun bisa
diketahuinya. Lebih dari itu dia pun seakan-akan tahu masa depan yang
akan terjadi. “Baik saya atau pun Ki Ageng Pengging tidak akan melarang
tindakan andika, merestui pun tidak. Merestui atau pun tidak saya dan Ki
Ageng Pengging adalah bagian dari taqdir andika semua.” “Lantas?” Joyo
Dento bergumam, sudah kehabisan kata-kata. Sebab semua yang akan
diucapkannya sudah mereka ketahui. “Jika saya sudah tahu seperti ini
mungkin tidak akan berkunjung ke padepokan ini. Cukup dari kejauhan saya
minta restu.” “Andika tidak perlu menyesal datang ke padepokan ini.
Karena ini adalah perjalanan lahiriyah andika selaku manusia.” Syekh
Siti Jenar menatap. “Sedangkan keinginan andika untuk membangkitkan
kembali kekuatan Majapahit yang telah runtuh itu pun hak andika. Ki
Ageng Pengging junjungan andika tidak mau terlibat bahkan memilih
sebagai petani dan hidup di pedesaan itu pun bagian dari taqdir. Ki
Ageng dan saya berbuat seperti ini karena sudah tahu apa yang akan
terjadi dan teralami berikutnya.” “Saya tidak paham, Syekh.” Joyo Dento
Semakin menunduk. “Namun meski pun kurang paham akan semuanya. Saya
tidak akan surut untuk terus berjuang bersama yang lainnya demi
kembalinya kekuasaan Majapahit. Tetapi bolehkah saya mengetahui apa yang
akan terjadi pada saya dan lainnya?” “Tidak hanya andika yang terbunuh.
Saya dan Ki Ageng Pengging pun akan mengalami hukuman mati.” jelas
Syekh Siti Jenar dengan wajah tenang. “Kenapa? Benarkah itu? Tapi tidak
mungkin saya menghentikan rencana ini, Syekh?” Joyo Dento garuk-garuk
kepala, dalam benaknya muncul pemikiran antara percaya dan tidak
terhadap ujaran Syekh Siti Jenar. “Bukankah Syekh ini orang sakti? Tidak
bisakah menghentikan taqdir itu?” ——————- “Sudahlah! Andika tidak perlu
bertanya lagi tentang taqdir. Jalani saja ambisi dan rencana semula.
Jika ingin berhenti silahkan!” “Tapi tidak mungkin saya menghentikan
rencana ini. Sebab kesempatan dan peluang baik seperti sekarang hanya
datang satukali, mengingat dukungan penuh Kebo Benowo juga para pejuang
Majapahit yang tidak menyukai bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.”
“Sudah terjawab bukan? Apa yang saya maksudkan tadi?” “Terjawab?” Joyo
Dento semakin mengkerutkan dahinya. “Dento,” ujar Kebo Kenongo lirih.
“Ya, Ki Ageng.” tatapan Joyo Dento penuh pertanyaan ke arah Kebo
Kenongo. “Saya mohon diri, juga Syekh Siti Jenar. Niat dan rencana saya
sudah bulat untuk meruntuhkan kekuasaan Raden Patah demi kembalinya
kekuatan Majapahit.” lalu perlahan bangkit dari duduknya. Joyo Dento
sudah meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar, langkahnya pelan mulai
menginjak tangga paling atas, lalu ujung kakinya yang tidak lepas dari
tatapannya menurun, menginjak yang berikutnya. Hingga akhirnya habis dan
kembali ke sebuah pohon yang dijadikan tempat menambat kudanya. Sejalan
dengan itu benaknya terus berpikir, mencerna setiap perkataan Syekh
Siti Jenar begitu pula Kebo Kenongo. “Mereka berdua seakan-akan sudah
tidak peduli pada urusan duniawi dan kekuasaan. Padahal mereka memiliki
kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi. Benar benar tidak habis pikir.
Masih hidup malah berpikir dihukum mati. Kenapa bisa bilang akan kena
hukuman mati? Bukankah itu ucapan seorang pengecut? Belum bertindak
sudah takut pada hukuman mati yang dicap sebagai pemberontak dan
mengganggu kesetabilan pemerintahan. Dia juga menyebut bahwa aku akan
bertemu dengan kematian artinya kegagalan. Tidak mungkin? Bukankah aku
suda memiliki strategi yang cukup hebat. Demak Bintoro sebentar lagi
akan kacau dan goncang….” Joyo Dento telah berada di atas punggung kuda,
lalu tangannya memegang tali kekang. Kuda pun dicambuk hingga berlari
kencang meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar. Seiring dengan
terbukanya sayap malam, yang diawali senja teramat singkat, ditandai
warna langit yang memerah laksana darah peperangan. Taubah angkara yang
mengundang banjir darah, hingga menciprat di atas lapisan awan putih.
*** “Para wali yang saya hormati, itulah alasannya kenapa pada hari ini
ada persidangan.” ujar Sunan Giri. “Haruskah kita melaporkan hal ini
pada Sinuhun agar langsung mengirim prajurit ke Kademangan Bintoro untuk
menangkap mereka.” timpal Sunan Muria. “Menurut hemat saya, sebaiknya
kita selidiki dulu.” Sunan Kalijaga memutar pandanganya, lalu beradu
tatap dengan Sunan Bonang. ‘Kanjeng, terjadi juga hal yang akan
menyulitkan Syekh Siti Jenar. Rasanya perjalan waktu terlalu cepat untuk
hal ini.’ batinnya. ‘Benar, Kanjeng.’ Sunan Bonang membalas tatapan
Sunan Kalijaga, seraya bercakap dengan batin. ‘Cepat atau lambat itulah
taqdir Syekh Siti Jenar. Namun bukan hari ini…masih ada beberapa saat..’
“Ada apa Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan
Giri. “Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya pun sependapat dengan Kanjeng
Sunan Kalijaga, alangkah lebih baiknya sebelum bertindak dan melakukan
penangkapan diadakan penyelidikan terlebih dahulu.” ujar Sunan Bonang.
“Saya setuju, Kanjeng.” timpal Sunan Kudus. Ucapan itu diikuti oleh para
wali yang sedang bersidang. “Ki Demang,” Sunan Giri memutar pandanganya
ke arah Demang Bintoro. “Itulah keputusan kami selaku para wali. Semoga
Ki Demang memaklumi.” “Terimakasih, Kanjeng.” Demang Bintoro mengagukan
kepala, seraya menunduk hormat. “Laporan saya telah ditanggapi dan
langsung dibawa ke mahkamah persidangan para wali. Serta kami sangat
memaklumi sekali atas segala putusan yang telah para wali ambil.
Sehingga saya pun akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam,
mengenai ajaran Syekh Siti Jenar yang tersebar di Kademangan. Namun
dalam hal ini kami bukanlah seorang ulama dan tidak terlalu paham akan
ajaran Islam. Semoga bersedia kiranya para wali mengutus seorang ulama
atau siapa saja yang paham betul akan ajaran Islam, sehingga dalam
mengukur kesesatan ajaran yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar tahu
batasannya.” ——————- “Baiklah, Ki Demang.” ujar Sunan Giri, seraya
memutar pandangannya pada para wali dan ulama yang berkumpul dalam
persidangan di dalam masjid Demak. “Mungkin tidak wali yang pergi ke
kademangan. Siapakah di antara ulama yang siap melakukan tugas ini,
menyertai Ki Demang?” Keadaan hening sejenak, para wali dan ulama saling
tatap satu sama lain. Etah apa yang terbersit dalam benak dan pikiran
mereka masing-masing, seraya mengelus dada dan menarik napas
dalam-dalam. Sepertinya dalam hati mereka ada sesuatu yang mengganjal,
seandainya Syekh Siti Jenar dan pengikutnya benar-benar menyebarkan
ajaran sesat dan menyesatkan, tentu saja akan mendapat hukuman yang
sangat berat. Lantas yang mereka pikirkan, tegakah berbuat seperti itu?
Meski disisi lain mungkin harus juga kebenaran itu ditegakan. Lalu
barometer kesalahan dan kebenaran yang berlandaskan pada apa? “Adakah
yang sanggup?” suara Sunan Giri memecah keheningan. “Saya kira para
ulama merasa berat hati untuk menyampaikannya, Kanjeng.” Sunan Kalijaga
menatap Sunan Giri. “Bagaimana jika saya saja?” “Jangan dulu, Kanjeng!”
potong Sunan Giri. “Mengapa persoalan kecil ini mesti seorang yang
berpangkat wali turun tangan? Jika yang lain tidak ada yang mampu saya
kira barulah wali turun tangan. Masa diantara para ulama yang hadir
disini tidak ada yang sanggup?” “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri.” ujar
Demang Bintoro. “Mungkin saya telah merepotkan yang hadir disini.
Biarlah saya saja dan ahli agama yang ada di Kademangan melakukan
penyelidikan ini. Semoga ilmu dia bisa saya andalkan, sehingga kami
tidak keliru memberikan laporan. Selanjutnya saya mohon diri.” tanpa
menunggu perkataan lebih lanjut dari Sunan Giri Demang Bintoro bangkit
dari duduknya, setelah mengucapkan salam menghilanglah dibalik pintu
masjid Demak Bintoro. ‘Bukankah tidak hari ini, Kanjeng?’ batin Sunan
Bonang, matanya beradu dengan tatapan Sunan Kalijaga. ‘Ya, itulah sebuah
kenyataan. Itu juga ada rentang waktu dan perjalanan bagi semuanya…..’
balas batin Sunan Kalijaga. ‘Bukankah Syekh Siti Jenar juga….’ ‘Ya, saya
sangat paham akan dia…’ “Baiklah, para wali yang saya hormati. Mungkin
untuk tindakan selanjutnya kita menunggu penyelidikan Ki Demang
Bintoro.” Sunan Giri menutup persidangan. *** “Ki Benowo,” Joyo Dento
duduk di atas kursi yang berada di samping Loro Gempol, tatapan matanya
menyapu wajah Kebo Benowo. “Seperti yang saya duga, ternyata benar.”
“Heran?” Kebo Benowo memijit keningnya. “Mengapa Syekh Siti Jenar dan Ki
Ageng Pengging tidak tertarik pada kekuasaan. Padahal kalau seandainnya
kita berhasil meruntuhkan kekuasaan Raden Patah, sudah barang tentu
mereka berdua akan mendapat kedudukan yang pantas. Disamping dukungan
mereka yang sangat kita butuhkan dalam lingkaran perjuangan ini.”
“Jangankan andika, Ki Benowo. Saya sendiri sangat kaget akan prilaku
junjungan saya sendiri Ki Ageng Pengging.” ujar Joyo Dento. “Dia
seakan-akan tidak peduli lagi pada tanah leluhurnya yang telah dikuasai
Raden Patah, meski hampir ada keterkaitan darah. Namun Ki Ageng sendiri
punya wewenang untuk menjadi penguasa, mengapa beliau rela berada
dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah, yang seharusnnya
kebalikannya.” “Mungkinkah Junjunganmu itu terpengaruh oleh ilmu Syekh
Siti Jenar, sehingga dia tunduk dan setia sebagai pengikutnya?” timpal
Loro Gempol. ——————- “Janganlah andika berkata demikian, Gempol!” tatap
Kebo Benowo. “Bukankah Syekh Siti Jenar juga guru kita dan telah
mengajarkan ilmu yang kita pinta, sehingga memiliki kesaktian tak
terbatas.” “Namun menurut hemat saya, mereka itu telah benar-benar
mempelajari ilmu yang di anut Syekh Siti Jenar?” kerut Joyo Dento.
“Bukankah kita juga mempelajari ilmu beliau?” tukas Loro Gempol, “Tapi
kita tidak berlaku seperti mereka?” “Karena jiwa kita belum sempurna,
Gempol.” “Maksud, Ki Benowo?” “Yang kita pelajari dari Syekh Siti Jenar
bukanlah ilmu kebhatinan menuju jalan ma’rifat. Tetapi yang kita
pelajari dari beliau adalah ilmu kesaktian dan keduniawian, bagaimana
kita menjadi perkasa dan penguasa.” terang Kebo Benowo. “Ya, benar itu,
Ki Benowo.” Joyo Dento menganggukan kepala. “Meskipun saya hanya
sebentar berada di padepokan Syekh Siti Jenar, sudah paham betul keadaan
di sana. Mereka tidak memiliki ambisi untuk menjadi apa pun di dunia
ini. Saya yakin mereka punya anggapan bahwa dunia ini tidak berarti
apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa yang sedang mereka
rasakan pada saat ini.” “Tidak masuk akal!” Loro Gempol garuk-garuk
kepal. “Bukankah orang menjadi sakti dan menuntut ilmu itu demi
kekuasan, harta berlimpah, dan mendapatkan perempuan-perempuan cantik?”
“Sudahlah, Gempol! Kita tidak perlu ambil pusing dengan mereka. Karena
kita bukan mereka, mereka bukan kita. Tujuannya pun berbeda, mereka
mendapatkan ilmu demi tercapainnya ma’rifat dan kemanunggalan dengan
Gusti. Sedangkan bagi kita itu semua tidak mendapatkan tempat dihati,
yang harus kita dapat adalah kekuasaan negeri Demak Bintoro.” tandas
Kebo Benowo. “Benar, sangat jernih pemikiran andika, Ki Benowo.” Joyo
Dento mengacungkan jempolnya. *** Matahari senja di langit sebelah barat
tampak menyipratkan warna merah, mengubah putihnya awan menjadi jingga.
Seakan-akan cipratan darah di atas serpihan kain putih. Ki Bisono, Ki
Donoboyo, Ki Chantulo, Ki Pringgoboyo, Ki Ageng Tingkir dan para murid
lainnya menyaksikan peristiwa itu dari ketinggian tangga yang menuju
padepokan Syekh Siti Jenar. “Seperti suatu pertanda, Ki Bisono?” tatap
Ki Donoboyo pada rekannya. “Namun pertanda apakah gerangan jika memang
itu sebuah pertanda?” Ki Bisono mengerutkan dahinya. “Saya kira itu hal
biasa, Ki.” Ki Pringgoboyo seakan tidak tertarik dengan fenomena alam
tersebut. “Benar,” Ki Ageng Tingkir menimpali, namun sejenak dahinya
mengkerut. “Meskipun ini sebuah kejadian biasa, bahwa setiap senja
matahari akan menyipratkan warna jingga? Tetapi ada hal yang aneh….”
“Maksud, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono menatap. “Seperti sebuah
pertanda.” “Pertanda?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya,
jiwa dan pikirannya terhanyut oleh perkataan Ki Ageng Tingkir.
“Tafsirkanlah dengan batin, sahabatku.” Ki Ageng Tingkir kembali menatap
langit jingga. Sejenak tidak lagi ada yang berbicara, lalu semuanya
mengangkat kepala mendongak ke langit. Mata dan batinnya mulai terusik
untuk menoba mentafsirkan fenomena alam yang sedang terjadi. Raga mereka
seakan-akan tidak merasakan hembusan angin senja itu, semuanya berdiri
laksana patung. Jasad mereka sama sekali tidak bergeming dari tempatnnya
berdiri, namun jiwa dan rasa menyatu bersama batin, seraya berusaha
keras membuka tabir dan membaca alam. Mereka memiliki satu tujuan
mencoba menafsirkan dan menterjemah ilmu hamamayu hayuning bawana,
setelah berupaya memakmurkan bumi, maka jiwa menyatu dengan bumi. Sukma
meresap dengan alam, batin menembus setiap serpih dan gerak, yang ada di
alam raya. Pertautan antara alam raya dan ruh. “Ya, rasanya ini benar,
Ki Ageng Tingkir.” Ki Bisono memecah keheningan. “Begitu juga yang saya
rasakan, Ki Bisono.” Ki Ageng Tingkir menarik napas dalam-dalam,
jasadnya mulai merasakan lagi semilir angin pegunungan. Pertautan jiwa
dengan alam telah kembali pada raganya masing-masing. ——————- “Meskipun
kita bisa merasakan belumlah bisa mentafsirkan tentang pesan yang alam
sampaikan.” tambah Ki Ageng Tingkir. “Benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki
Chantulo menarik napas dalam-dalam. “Meski sukma kita sanggup
berkomunikasi dengan alam, bertaut, dan bergumul. Rasanya sulit untuk
meterjemah dan menafsirkan sabda alam?” “Padahal kita tahu maksud alam
dengan kabaran dan berita yang dibawanya?” tambah Ki Donoboyo, “…itu
sebuah pertanda buruk. Namun dalam hal ini kita sangat kesulitan untuk
mengurai pesan tadi.” “Meski kita tidak bisa mengurai pesan yang
disampaikan alam, yang penting kita paham pada pesan yang
disampaikannya.” tukas Ki Bisono, “Disamping kita pun sudah sanggup
mengamalkan ilmu hamamayuning bawana yang diajarkan Syekh Siti Jenar.
Kekurangan kita kembali pada diri kita sendiri, karena tahapan kita
belumlah bisa menyamai guru kita Syekh Siti Jenar.” “Ya, walau pun
beliau sangat murah hati untuk memberikan ilmu apa saja yang kita
pinta.” tambah Ki Ageng Tingkir, mulai melangkahkan kaki pelan,
disampingnya Ki Bisono dan Ki Chantulo, yang lainnya mengikuti
dibelakang. “Hanya kita yang menerimanya ternyata berat untuk
mengamalkan dan menguasainya, meski pun kita secara bertahap dan
berangsur-angsur sanggup menggenggamnya.” “Tidak ada salah, Ki Ageng
Tingkir. Jika sekalian dalam pertemuan hari ini di aula padepokan
fenomena alam yang kita lihat tadi, juga pesannya kita kemukakan kepada
Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Donoboyo. “Saya setuju, Ki.” Ki Chantulo
mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya. “Saya juga.” begitu pun Ki
Pringgoboyo dan yang lainnya menyetujui, seiring dengan langkah kakinya
yang dipercepat menuju aula padepokan. Matahari semakin merendah,
perlahan menyelinap di balik punggung gunung dengan warnanya yang
semakin memerah. Para murid Syekh Siti Jenar satu persatu mulai memasuki
aula padepokan, dan mengambil tempat duduk masing-masing bersila di
atas tikar pandan yang terhampar. “Sebentar lagi senja berganti malam.”
ujar Syekh Siti Jenar, matanya menyapu setiap wajah yang duduk bersila
memenuhi aula padepokan. “…warna jingga, merah darah yang menciprat di
antara serpihan awan pun akan hilang…semuanya ditelan gelap malam. Tanpa
cahaya, tanpa ada redup, tanpa ada remang, sama sekali dalam gelap
tidak akan pernah ada yang terlihat setitik bentuk pun. Kecuali hanya
warna pekat yang disebut gelap gulita.” “Sungguh hebat beliau, Ki Ageng
Tingkir?” Ki Bisono berbisik pada Ki Ageng Tingkir yang duduk
disampingnya. ——————- “Benar, Ki Bisono. Baru saja kita akan bertanya
tentang sabda alam dan pesannya, beliau sudah mengawali kalimat dengan
yang akan kita tanyakan.” bisik Ki Ageng Tingkir, “Syekh Siti Jenar
benar-benar waspada permana tinggal.” berdecak kagum. “Hamamayu hayuning
bawana, yang telah andika amalkan belumlah cukup. Sehingga alam pun
tidak utuh memberikan sabdanya, namun meskipun demikian andika telah
sanggup menyatu dengan alam meski belum sempurna.” Syekh Siti Jenar
memutar tasbih dengan tangan kirinya sambil duduk bersila, sorot matanya
yang penuh wibawa seakan-akan sanggup menembus relung hati para
muridnya. Bibirnya selalu meluncurkan dzikir, istigfar, dan takbir pada
setiap sela-sela perhentian bicara. “Namun tidaklah terlalu jauh, hanya
tinggal satu tingkat lagi. Akhirnya andika pun akan sampai pada tingkat
penyatuan dengan alam. Ketika ingin menyatu dengan setiap heningnya
malam, tetesnya embun, semilirnya angin, jingganya matahari, bukan soal
yang berat. Andika semua akan bisa mencapai tahapan tadi, hanya tinggal
selangkah.” “Benar, Syekh.” Ki Bisono menganggukan kepala. “Namun
sesungguhnya kami telah berada pada tahap rahmatan lil alaminkah atau
belum, Syekh?” “Andika sebetulnya tidak harus mendapat penilaian
dariku.” tatapan Syekh Siti Jenar menyapu wajah Ki Bisono yang langsung
menunduk, tidak sanggup beradu tatap. “Biarlah Allah SWT. yang
memberikan penilaian. Namun dalam hal ini saya hanya memberikan
barometer bagi andika tentang rahmatan lil alamin atau hamamayu hayuning
bawana.” “Saya pun berpikir, Syekh. Sudahkah saya ini menjadi manusia
yang telah memberikan rahmat bagi alam.” Ki Bisono mengerutkan dahinya,
“…atau mungkin sebaliknya hanya menjadi laknatan lil alamin. Padahal
banyak orang bilang jika dirinya sedang menebarkan rahmatan lil alamin,
tetapi dalam kenyataannya mereka malah menciptakan sebuah keruksakan dan
kehancuran.” “Benar, Syekh. Seperti yang dikatakan Ki Bisono,
kebanyakan orang seperti itu, antara ucapan dan perbuatannya
kontroversi.” tambah Ki Chantulo. “Andika tidak harus membicarakan orang
lain.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam-dalam, “Biarlah mereka
seperti itu, karena mereka berbuat demikian maka hasilnya pun akan
mereka tuai pula. Namun sebaliknya, meski pun kita berusaha mengamalkan
hamamayu hayuning bawana, tidaklah selalu menuai hasil baik….” “Maksud,
Syekh?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya dan terkejut.
——————- “Tidakkah andika melihat sabda alam tadi?” Syekh Siti Jenar
membelokkan tatapannya melalui jendela padepokan ke arah mentari yang
hampir menghilang di balik punggung gunung. “Alam memberikan pesan
berdarah?” “Saya belum paham?” Ki Chantulo garuk-garuk kepala. “Artinya
berujung pada kematian. Namun andika jangan takut akan kematian, sebab
cepat atau pun lambat pasti akan datang.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah
murid-muridnya dengan tatapan mata tenang dan penuh wibawa, “Makanya
saya ajarkan hamamayu hayuning bawana, agar memudahkan jiwa ini menyatu
dengan alam dan kembali padanya. Orang takut akan kematian karena mereka
menduga bahwa mati itu sangat sakit dan mengerikan. Padahal itu semua
tidak benar, mereka yang merasakan sakit akan mati karena sebuah
ketakutan dan ketidaksiapan. Padahal kapan pun dan dimana pun kita bisa
menemuinya. Tidak harus sakit atau menyakiti. Hal mati itu sangatlah
nikmat dan menyenangkan. Karena kematian itu sesungguhnya menyatunya
kembali jiwa kita pada dzat sebelumnya. Bukankah ketika kita belum lahir
ke dunia ini, apalagi belum beranjak menjadi manusia dewasa yang
mengerti baik dan buruk, ilmu dan akal, miskin dan kaya, senang dan
duka, bukankah hal itu tidak pernah kita rasakan sebelumnya? Itulah
karena kita berada dalam dzatnya, yang teramat tentram dan tidak terusik
oleh sesuatu dan apa pun.” urainya. “Bukankah kematian itu banyak orang
yang tidak mengharapkannya?” ujar Ki Pringgoboyo. “Ya,” Syekh Siti
Jenar berhenti sejenak, “Karena mereka tidak paham dan mengerti akan
kematian.” “Mungkin mereka takut mati karena terlalu sayang pada istri,
anak-anak, dan jabatannya?” Ki Bisono angkat bicara, “Sehingga dirinya
diliputi rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya,
serta harta benda dan kedudukannya. Akhirnya mati itu dibuatnya menjadi
sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan, Syekh.” “Andika tidak salah, Ki
Bisono.” Syekh Siti Jenar menyapa wajah Ki Bisono dengan sorot matanya
yang teduh dan tenang. “Terlalu mencintai kehidupan duniawi, yang
bersifat fana dan sejenak. Lalu mereka lupa pada kehidupan hakiki,
kehidupan yang sesungguhnya, setelah melewati pintu mati. Padahal
kematian itu hanyalah sebuah pintu menuju keabadian yang didalamnya bisa
berbalut dengan kenikmatan, penderitaan, kesedihan, tawa, duka,
nestapa, itu semua tergantung kita menanamnya pada kehidupan sebelumnya,
yaitu di dunia ini. Hasil pekerjaan apa pun yang pernah kita perbuat di
dunia fana ini akan kembali kita tuai dan nikmati di alam sana. Bisa
bermacam-macam. Namun bagi kita yang mempelajari hamamayu hayuning
bawana tidaklah seperti itu. Apalagi kematian itu bukanlah suatu hal
yang menakutkan apalagi menyakitkan, tetapi kematian itu sesuatu yang
teramat indah dan menyenangkan. Jika mereka tidak bisa menemui ajal
kapan pun dan dimana pun, tetapi kita sebaliknya.” “Bisakah kita
menentukan ajal sendiri? Setidaknya mengetahui datangnya ajal?” tanya Ki
Bisono. “Tentu saja. Karena kita berbeda dengan orang kebanyakan yang
tidak mengetahui sama sekali akan ilmu hamamayu hayuning bawana.” Syekh
Siti Jenar menghela napas sejenak, “Bukankah telah saya katakan bahwa
ketika kita berada pada tahapan ma’rifat semuanya menjadi tampak. Lalu
kita berada dalam akrab. Setelah itu barulah manunggaling kawula gusti.”
“Ya, saya telah merasakannya pada tahapan ma’rifat. Semuanya jadi
tampak, tetapi saya kesulitan menuju tahapan akrab dan manunggaling
kawula gusti.” Kebo Kenongo berucap, “Meski pun demikian saya sedang
berupaya menuju ke tahap yang ingin saya capai.” ——————- “Itu pasti akan
tercapai, Ki Ageng Pengging. Selama kita tidak berhenti berusaha.”
terang Syekh Siti Jenar. “Syekh, saya ingin kembali menanyakan tentang
sabda alam tadi.” “Silahkan, Ki Chantulo!” “Maksud dari berita kematian
itu seperti apa? Bukankah kita semua pasti akan mati?””Benar, Ki
Chantulo. Namun maksudnya disini ada keterkaitan dengan Kerajaan Demak.
Kematian yang dimaksud disini terkait dengan para penguasa negeri Demak
Bintoro.” Syekh Siti Jenar menghentikan bicaranya, seraya jari-jemari
tangannya memainkan untaian mata tasbih, dari mulutnya meluncur dzikir,
istigfar, tahmid, tahlil dan tasbih. “Terkait pula dengan persoalan
keyakinan, terkait pula dengan kekacauan yang mengancam keamanan dan
ketentraman negara, terkait pula dengan banyak persoalan.” “Kenapa mesti
beritanya sampai kepada kita? Seakan-akan itu semua akan kita alami?”
“Ya,” “Jadi?” “Tidak perlu takut, bukankah saya sudah membekali andika
semua dengan ilmu sehingga tidak menjadikannya aneh dan menakutkan.
Sebaliknya kenikmatanlah yang akan kita sambut.” “Mengapa hal itu mesti
harus menimpa kita, Syekh? Bukankah kita tidak melakukan kesalahan?”
“Lupakah andika pada uraian saya tadi. Disini tidak lagi berbicara siapa
yang benar dan salah? Karena ini semua sudah menjadi kehendak alam,
sunatullah. Karena kehendak alam, makanya ilmu hamamayu hayuning bawana
sebagai penyempurnanya.” “Saya kurang paham?” Ki Biosono memijit
keningnya yang dikerutkan, lalu menatap tikar pandan yang didudukinya.
——————- “Rasanya, tidak perlu dipahami untuk saat ini. Pemahaman tentang
hal tadi akan andika genggam menjelang peristiwa itu mendekat.” terang
Syekh Siti Jenar tenang. “Meski andika tahu akan hal tadi, amalkanlah
hamamayu hayuning bawana. Bertebaranlah seperti sebelumnya andika di
atas tanah jawa dwipa ini untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam.”
“Baiklah, Syekh. Saya tetap akan menebar rahmat bagi sekalian alam.
Rahmatan lil alamin, hamamayu hayuning bawana.” ujar Ki Bisono. “Karena
apa pun yang saya lakukan dalam penyebaran agama Islam ini bukan untuk
mencari popularitas, bayaran, apalagi jabatan atau kekuasaan, serta
pengaruh, namun itu semua saya dasari dengan keikhlasan dan
keridlaannya. Semoga pula Allah SWT. meridloinya.” “Amin.” *** “Malam
ini cuaca cerah. Lihatlah bintang-gemintang berkedap-kedip di langit!”
Joyo Dento mengangkat kepalanya mendongak ke langit, ” Persiapkanlah
diri kalian, senjata, kuda, dan akal.” lalu menatap pasukan berpakaian
serba hitam yang berbaris rapih. Mereka sejumlah pasukan pemberontak
yang telah mendapat gemblengan olah kanuragan dari para pendekar
berlatar rampok, Kebo Benowo dan kawan-kawan. Disamping ilmu
keprajuritan dari Joyo Dento. “Bagaimana kesiapan andika semua?” Kebo
Benowo keluar dari sebuah pendopo yang dijadikan markas. Tempat yang
mereka diami terpencil dari penduduk, karena berada tepat di pinggiran
hutan. “Saya kira mereka suda siap, Ki Benowo.” ujar Joyo Dento
mendekat. “Baguslah jika telah siap.” Kebo Benowo mengangguk-angukan
kepala. “Sasaran pertama?” “Tentu saja sesuai dengan rencana.” Joyo
Dento setengah berbisik, “Malam ini kita harus bisa melumpuhkan
Kademangan Bintoro. Jika sudah berhasil, langsung kita duduki dan
kuasai. Disanalah selanjutnya pusatkan sebagian kekuatan kita, lalu
perlebar sayap.” “Hahaha….andika memang cerdas, Dento.” raut wajah Kebo
Benowo berseri, “Namun sudah memungkinkankah kita menggempur Kademangan
Bintoro?” “Saya kira mungkin, Ki Benowo. Sebab kekuatan Kademangan
Bintoro sudah melemah. Daya pikir rakyatnya sudah terpengaruh dengan
ajaran hidup untuk mati. Yang andika ajarkan dari Syekh Siti Jenar itu,
sehingga mereka banyak yang bunuh diri dan tidak semangat hidup.” terang
Joyo Dento, “Apalagi membela negerinya dari serangan kita, memikirkan
diri sendiri pun sudah tidak tenang.” “Benar, Dento.” seringai Kebo
Benowo, “Hebat juga pengaruh ilmu Syekh Siti Jenar jika
demikian…terutama untuk membuat kekacauan.” “Kapan kita akan berangkat?”
Loro Gempol menyilangkan golok di dadanya, “Rasanya saya sudah tidak
sabar ingin memenggal leher penguasa Kademangan Bintoro!” ——————- “Kita
akan melakukan penyerangan jelang tengah malam.” jawab Joyo Dento.
“Ketika mereka lengah dan baru saja menuju tempat tidur untuk
bercengkrama dengan mimpi-mimpinya.” “Ya, saya setuju!” ujar Loro Gempol
diiringi tawanya yang berderai. “Hai, para pasukan gelap sewu! Andika
dalam penyerangan nanti jangan ragu-ragu untuk membunuh. Tidak perlu
kalian mengasihani musuh sebelum mereka bertekuk lutut!” “Siap!” jawab
pasukan gelap sewu serempak. “Hahaha…bagus jika andika semua sudah siap!
Kita akan bergerak dan bertindak sesuai rencana yang telah disusun Joyo
Dento.” terang Loro Gempol. Mereka percaya sepenuhnya pada setiap
nasehat Joyo Dento. Malam semakin larut, udara terasa semakin dingin,
mengusik pori-pori kulit meski berpakaian tebal tetap terasa. Meski
berada dalam ruangan tetap angin malam menyelinap melalui lubang-lubang
angin yang membentengi pendopo Kademangan Bintoro. Di ruang pendopo
Kademangan Bintoro tampak Ki Demang, Ki Sakawarki, ulama yang dianggap
berilmu paling tinggi di Kademangan, juga beberapa santrinya, dan
ditambah beberapa prajurit senior. “Itulah hasil perundingan saya dengan
para wali dan ulama di masjid Demak, Ki Sakawarki.” ujar Ki Demang
Bintoro. “Jika memang demikian keputusan sidang para wali, insya Allah
saya mulai besok akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang
ajaran Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Sakawarki. “Mohon maaf, Guru.” ujar
Santri penuh hormat, “Menurut yang saya ketahui, sesungguhnya bukan
hanya rumor. Namun benar bahwa ajaran Syekh Siti Jenar yang menyesatkan
telah tersebar di Kademangan Bintoro.” “Benarkah?” “Benar, Guru. Kemarin
saya melewati pasar, di sana banyak orang miskin yang berbicara
ngelantur. Serta dari mulutnya komat-kamit menyebut nama syekh Siti
Jenar.” “Apa yang dibicarakannya?” Ki Sakarwaki menyapu wajah santri
dengan tatapan matanya, “Ngelanturnya seperti apa sehingga andika
menyimpulkan sesat?” “Mereka berbicara bahwa hidup itu lebih indah dari
pada mati. Tidak ada artinya kita hidup jika hak kita dirampas oleh
penguasa Demak. Hidup untuk mati, mati itu indah, hidup Syekh Siti
Jenar!” ki santri berhenti sejenak, “Itulah yang saya dengar dan lihat,
Guru.” “Mati itu indah? Celaka!” Ki Sakawarki terperanjat. “Yang paling
celaka, mereka telah berani mengatakan bahwa hak hidup mereka dirampas
oleh penguasa Demak.” Ki Demang tersentak, mukanya berubah angker,
“Beraninya Syekh Siti Jenar mengajari rakyat Kademangan Bintoro untuk
berkata lancang! Jelas selain menyesatkan juga punya tujuan makar
terhadap pemerintahan yang syah.” “Benar pendapat, Ki Demang!” Ki
Sakawarki menganggukkan kepala, tangannya terkepal giginya gemeretak.
“Sudah sepantasnya kita mengadakan tindakan dengan segera!” “Ya, Ki
Sakawarki. Saya kira alasan seperti itu sudah cukup untuk melakukan
penangkapan terhadap Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.” Ki Demang
Bintoro bangkit dari duduknya, tangannya dikepalkan sekuat tenaga.
“Karena mereka telah melakukan dua kesalahan. Pertama menyampaikan
ajaran sesat, kedua telah berani mempengaruhi rakyat untuk berbuat
makar.” “Apakah kita akan langsung menangkap Syekh Siti Jenar? Atau
segera melaporkan hal ini pada Para Wali dan Raden Patah?” “Sebelum
melaporkan ke kerajan Demak dan para Wali sebaiknya kita melakukan
penangkapan terlebih dahulu pada pengikutnya. Agar pelaporan kita
disertai oleh bukti yang meyakinkan.” ujar Ki Demang. “Besok pagi saya
akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk melakukan penangkapan!
Saya minta agar Ki Sakawarki beserta para santri menyertainya!”
“Baiklah, Ki Demang. Besok pagi akan saya kerahkan para santri menyertai
para prajurit kademangan untuk melakukan penangkapan.” ——————- “Bagus.”
“Serbuuuuuuu!!!!” tiba-tiba terdengar teriakan di halaman kademangan,
dibarengi suara benturan senjata. “Ada apa diluar sana?” Ki Demang
Bintora tersentak kaget, belum juga mulutnya terkatup sudah diusik oleh
suara yang menganggetkan. “Sepertinya ada peretempuran, Ki Demang?” Ki
Sakawarki bangkitdari duduknya seraya menghunus keris, begitu juga para
santrinya. “Ke….” belum juga Ki Demang melanjutkan perkataannya, dengan
tergesa masuklah seorang prajurit penjaga. Langsung merunduk di hadapan
Ki Demang seraya menghaturkan sembah. “Mohon ampun, Ki Demang.” “Apa
yang terjadi diluar sana?” “Celaka, Ki Demang. Kademangn kita telah
diserbu para murid Syekh Siti Jenar….” “Murid Siti Jenar?” Ki Sakawarki
tercengang. “Itulah yang mereka sebut-sebut ketika melakukan penyerangan
di luar sana.” terang prajurit. “Berarti itu bukan hanya dugaan, Ki
Sakawarki. Tetapi benar yang kita simpulkan tadi. Mau tidak mau sekarang
juga harus bertindak dan mengadakan perlawanan.” Ki Demang segera
memasuki kamarnya, seraya kembali menghunus pedang dan mengenakan
pakaian perang. “Seluruh prajurit harus berperang dan menumpas
antek-antek Syekh Siti Jenar. Jangan segan-segan untuk bertindak tegas!”
selanjutnya keluar dari ruangan, diikuti Ki Sakawarki beserta para
santrinya dan pasukan prajurit. ——————- Dalam keremangan malam yang
diterangi kerlap-kerlipnya bintang di langit. Bulan belum lagi menjadi
purnama, di pelataran kademangan Bintoro tampak berkelebatannya bayangan
prajurit dan pasukan Gelap Sewu yang sedang bertarung. “Hahaha…..jangan
sisakan yang tidak mau menyerah. Ilmu Syekh Siti Jenar menyertai kita!”
teriak Loro Gempol yang berada di atas punggung kuda, menerobos pasukan
lawan sambil membabatkan goloknya. “Tobaattttt….!” teriak seorang
prajurit yang terkena sabetan golok Loro Gempol, terhuyung dan roboh
dengan luka parah di lambungnya. “Hahaha….perlihatkanlah kehebatan
kalian para prajurit dan petinggi negeri Demak! Saya yakin ilmu para
wali tidak akan bisa mengalahkan ilmu guru kita, Syekh Siti Jenar yang
agung.” Loro Gempol terus mengamuk, menerjang gelombang pasukan prajurit
Kademangan Bintoro yang berlapis-lapis. “Ki Demang, dengarlah teriakan
lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha menerobos lapisan prajurit
kita!” bisik Ki Sakawarki. “Benar, ternyata dia murid Syekh Siti Jenar.”
Ki Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Betapa angkuhnya dengan
kesaktian yang dimilikinya, Ki Sakawarki?” “Mengagunggkan Syekh Siti
Jenar dan merendahkan para wali terhormat, Ki Demang.” “Sanggupkah
kiranya kita mengalahkan mereka?” “Tidak perlu ragu, Ki Demang. Saya
punya keyakinan Allah SWT. akan melindungi kita. Lihatlah jumlah pasukan
kita lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pasukan musuh yang
berpakaian serba hitam.” “Saya kira pasukan mereka harus ditutup ruang
geraknya. Lalu robohkan pimpinannya yang sedang mencoba menembus lapisan
pertahanan para prajurit. Jika pimpinannya roboh mereka akan mundur.”
ujar Ki Demang Bintoro. “Biar saya yang akan loncat dan merobohkannya!”
ujar Ki Sakawarki seraya bersiap-siap untuk loncat. “Kelihatannya dia
bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Karena tebasan senjata para
prajurit seakan-akan tidak bisa melukai tubuhnya.” “Ki Demang, saya kira
di dunia ini tidak ada orang yang hebat kecuali Allah. Tidak ada
salahnya jika saya mencoba menghadapinya demi mempertahankan tanah
tercinta dari kedzaliman. Maka jihadlah jalan keluarnya.” Ki Sakawarki
tanpa menunggu ucapan Ki Demang berikutnya, seraya dirinya menghunus
keris dan melesat ke angkasa melewati barisan prajurit yang
berlapis-lapis. “Hiaaaaattttt…….!!!!” “Pasukan pemanah bersiaplah kalian
di belakangku! Jika pasukan terdesak, bertindaklah kalian!” “Siap, Ki
Demang!” pasukan pemanah bersiap, untuk melepas anak panah. Busurnya
sudah dipegang dengan kuat, talinya ditarik, anak panahnya dipasangkan,
tinggal melepas sesuai perintah. Tubuh Ki Sakawarki yang melayang di
angkasa terlihat sangat enteng dan ringan, bagaikan burung elang dengan
sorot matanya yang tajam. Lalu menukik ke bawah, berbarengan dengan
tendangan kaki kanannya yang menghantam dada Loro Gempol. ——————-
“Aduhhhh….!!!” betapa terperanjatnya Loro Gempol, ketika ada lelaki
berjubah putih yang turun dari langit dan mengirimkan tendangan keras ke
arah dadanya, hingga dirinya terpental dan jatuh dari punggung kuda.
“Makhluk apakah yang menendang dadaku hingga terasa sesak dan
panas….membakar sekujur tubuhku….” “Bukankah andika murid Syekh Siti
Jenar yang sakti?” Ki Sakawarki melayang dan berdiri dihadapan Loro
Gempol yang terhuyung, seraya tangan kirinya memegang dada. “Siapa
andika? Mengapa bisa terbang seperti Syekh Siti Jenar guru saya?” “Saya
Sakawarki, muridnya Sunan Kalijaga. Andika mengaku muridnya Syekh Siti
Jenar dan menganggap remeh para wali. Ternyata ilmu yang andika pelajari
dari Syekh Siti Jenar tidak seberapa?” Ki Sakawarki mendekat, “Andika
harus ditangkap karena telah berani melakukan pemberontakan dan……”
Hiatttt….belum juga Ki Sakawarki selesai berbicara, Kebo Benowo dengan
cepat menyambar tubuh Loro Gempol yang terhunyung-huyung. Dinaikan ke
atas kuda dan melarikan diri dari pertempuran. “Mundurrrrrrr!!!!” teriak
Kebo Benowo, seraya memacu kudanya dengan cepat. “Jangan lari keparat!”
Ki Sakawarki bersiap untuk mengejar, namun Lego Benongo menghadangnya.
“Kematian itu indah, kehidupan ini adalah penderitaan. Karena kematian
lebih baik dari hidup miskin dan terjajah, hamamayu hayuning bawana.”
ujar Lego Benongo, seraya menyilangkan golok di dadanya. “Tidak salah
yang andika ucapkan, Ki Sanak?” Ki Sakawarki mengurungkan gerakan
silatnya, sejenak berdiri dan mencerna ucapan Lego Benongo. “Mungkin
inikah yang dinamakan sesat?” “Siapa yang sesat? Andikalah dan para
wali, juga penguasa negeri Demak Bintoro yang sesat?” lalu Lego Benongo
menyelinap di antara lautan prajurit yang merangsek, setelah itu
melarikan diri. “Aku jadi kehilangan kejaran.” Ki Sakawarki mengincar
salah seorang pasukan gelap sewu untuk ditangkap. Mereka terlihat
berlarian dari medan tempur setelah pimpinannya menghilang ditelan
gelapnya malam. “Sulit juga menangkapnya. Mereka pintar menyelinap!”
“Kademangan Bintoro telah terbebas dari pemberontak!” teriak para
prajurit. Sebagian berjaga-jaga, yang lainnya menolong yang terluka,
serta mengangkut korban tewas. “Ki Sakawarki, benar bukan mereka
muridnya Syekh Siti Jenar?” Ki Demang Bintoro berdiri di samping Ki
Sakawarki. “Ya, namun mungkinkah beliau mengajarkan ajaran seperti ini?”
“Mengapa tidak mungkin?” ujar Ki Demang, “Bukankah kita sudah berhasil
menangkap hidup-hidup salah seorang muridnya yang mengaku anggota
pasukan gelap sewu. Orang ini kita bawa ke pusat kota Demak untuk
memasuki persidangan para wali sebagai saksi dan bukti.” “Dimana dia?”
“Dia berada dalam penjagaan para prajurit.” Ki Demang menunjuk ke utara,
seraya kakinya melangkah pelan. “Mari kita tanyai!” ——————- “Baiklah,
mudah-mudahan bisa memperkuat dugaan kita dalam persidangan di majelis
para wali.” Ki Sakawarki melangkah pelan disamping Ki Demang Bintoro.
Ketika langkah keduanya hampir mendekat, para prajurit penjaga
berteriak. Menyampaikan kabar bahwa, murid Syekh Siti Jenar bunuh diri
dengan membenturkan kepalanya ke dinding hingga kepalanya pecah.
Mendengar kabar demikian, Ki Sakawarki dan Ki Demang terkejut. Keduanya
saling tatap seraya mengurut dada dan menarik napas dalam-dalam. “Sangat
kuat pengaruh ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Sakawarki.” Ki Demang Bintoro
menggeleng-gelengkan kepala saat melihat jasad anggota pasukan Gelap
Sewu yang terbujur kaku dengan kepala pecah, berlumuran darah. “Ajaran
hidup mati, mati hidup.” “Ki Demang, kita sudah bisa mengambil
kesimpulan bahwa benar ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat dan
menyesatkan.” Ki Sakawarki berjongkok disamping jasad. “Cukup bukti kita
untuk kembali melaporkan hal ini ke hadapan para wali, Ki Sakawarki.”
“Benar, kita harus segera melapor ke pusat kota Demak!” Demang Bintoro
menganggukan kepala. “Sebagai bukti tidak ada salahnya jika jasad ini
dibawa.” “Menurut hemat saya sebaiknya jasad ini kuburkan saja di sini
selayaknya. Kasihan jika harus dibawa ke Demak, sebab perjalanan kita
memakan waktu hampir seharian. Setelah itu baru keesokan harinya kita
bisa menguburkan setelah diperiksa para wali.” terang Ki Sakawarki.
“Tidak ada salahnya jika jasad ini dikuburkan berbarengan dengan korban
lainnya.” “Tapi dia beraliran sesat, Guru?” ujar seorang santri yang
berjongkok disampingnya. “Ajarannya yang kita anggap sesat. Bukankah
jasadnya tetap perlu kita hormati dengan penguburan yang selayaknnya.”
terang Ki Sakawarki. “Saya setuju,” Demang Bintoro menganggukan kepala,
“Prajurit kuburkanlah mereka dengan layak, begitu juga para korban tewas
lainnya.” lalu memerintah. *** Padepokan Syekh Siti Jenar yang berada
di kaki bukit Desa Khendarsawa, tampak hening. Matahari pagi mulai
meninggi, kirimkan sinar terang dan kehangatannya. Cahayanya menerobos
setiap celah dan ruang yang berada di atas bumi, tidak ada kecuali,
tidak pula membeda-bedakan, seluruhnya terbagi sesuai dengan ketinggian
matahari berada. Nun jauh di atas jalan yang terbentang panjang dan
penuh kelokan, dua orang penunggang kuda bergerak cepat. Jalan yang
membelah Desa Khendarsawa akan melintas ke arah padepokan Syekh Siti
Jenar. ——————- Penunggang kuda yang berada disampingkanannya tampak
tegap dan kuat, tangan kirinya menuntun kuda disebelahnya, tampak
terhuyung. Meringis kesakitan, tangannya berkali-kali memijit dadanya.
“Aduhhhhh…..sakit…sesak….” keluhnya. “Tenang, Gempol. Padepokan Syekh
Siti Jenar telah dekat.” ujar Kebo Benowo, mempercepat langkah kuda yang
ditungganginya. “Saya sudah tidak kuat lagi, Ki Benowo.” keluh Loro
Gempol, “Punya ajian apa sesungguhnya Kiai Kademangan Demak itu?” “Saya
juga tidak tahu, Gempol.” terang Kebo Benowo, “Kita tanyakan semua ini
pada guru kita di padepokan nanti. Hussss…hiahhh!” Kuda yang ditunggangi
Kebo Benowo dan Loro Gempol, berhenti di kaki bukit, persis di depan
jalan menanjak. Tanah bukit yang dipapas menyerupai anak tangga
bertingkat itu tepat berada di bawah padepokan Syekh Siti Jenar. Kebo
Benowo loncat dari atas kuda, perlahan menurunkan Loro gempol yang
terhuyung. Keduanya menaiki tangga dengan berat, setelah mengikat kedua
kuda tunggangannya di bawah pohon rindang. “Keparat!” geram Loro Gempol,
“Keterlaluan Syekh Siti Jenar ini, tinggal di dataran tinggi…..”
keningnya meneteskan keringat dingin, tangannya memijat dada, langkahpun
tidak seimbang. “Tidak perlu bicara seperti itu, Gempol.” bisik Kebo
Benowo. “Adikan masih tidak menyadari juga kalau guru kita ini memiliki
kesaktian tinggi? Apa pun yang kita bicarakan meskipun jauh beliau bisa
mendengarnya.” “Omong kosong! Jika memang demikian tentu dia tahu ketika
kita berada dalam kesulitan….” gerutu Loro Gempol. “Sssssssttttttt…”
Kebo Benowo meletakan telunjuk dimulutnya. “Andika belum paham juga
dengan ajaran hamamayu hayuning bawana.” terdengar suara Syekh Siti
Jenar tepat ditelinga keduanya, “….bukankah kalian tidak boleh menebar
kerusakan dimuka bumi ini, justru harus sebaliknya.” “Syekh?” Kebo
Benowo terperanjat, begitu juga Loro Gempol. “Tuh, benar yang saya
katakan, Gempol?” “Ya,…..” wajah Loro Gempol mendadak pucat dan cemas.
“Maafkan saya, Syekh. Tidak ada maksud untuk menjelekan…” lalu memutar
kepalanya, mencari wujud yang memiliki suara. ——————- “Andika tidak akan
bisa melihat saya di sana. Karena wujud saya tidak di sana.” suara
Syekh Siti Jenar semakin menempel di dalam gendang telinga keduanya.
“Dimanakah, Syekh?” teriak Kebo Benowo, tidak menghentikan langkahnya.
Hingga keduanya telah berada di atas tangga terakhir, dalam jarak
beberapa depa dari gerbang padepokan. “Itu beliau, sedang
berbincang-bincang dengan Ki Ageng Pengging.” matanya terbelalak. “Lalu
suara tadi?” Loro Gempol menggeleng-gelengkan kepala. “Bukankah yang
berada di halaman padepokan itu Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng pengging?
Sedang bercakap-cakap. Mengapa suaranya…..” “Syekh, ketika saya sudah
berada dalam tahapan ma’rifat, sangatlah sulit untuk mengungkapkannya
dengan kalimat.” Kebo Kenongo berdiri dihadapan Syekh Siti Jenar.
“Tadinya saya ragu, tidak bisa mencapainya.” “Ya, itulah ma’rifat.”
Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Terasa lebih nikmat dibanding
berada pada tahapan thariqat.” “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan
kepala, “Kenikmatan dalam ma’rifat sepertinya sangat indah. Dunia ini
terasa sangatlah kecil dan tidak berarti….” “Ma’rifat itu berada dalam
alam jiwa, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengibaskan jubah hitam
yang berlapis kain merah di dalamnya. “Sedangkan kita sekarang berada
dalam alam jiwa dan jasad. Jasad tetap harus terbungkus pakaian dan
jubah, meski bukan kepuasan, tetapi hanyalah syarat yang dinamakan
kehidupan bagi orang kebanyakan. Satukanlah jiwa dan jasad itu, maka
disitulah ma’rifat seutuhnya akan terwujud.” “Jadi ma’rifat yang saya
alami belum utuh, Syekh?” “Tentu.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala.
“Kita sebelum mengenal Gusti dan menuju akrab, hendaklah mengenali dulu
diri sendiri. Ki Ageng Pengging, saat ini sudah masuk pada tahapan yang
saya maksud.” “Jadi saya baru mengenal diri?” “Setelah itu kenalilah
Gustimu, barulah akrab. Sebelum akrab ma’rifatlah seutuhnya.” terang
Syekh Siti Jenar, “Satukanlah yang tercabik, genapkanlah yang ganjil,
dekatkanlah yang jauh, rapatkanlah yang renggang. Hingga manunggaling
kawula wujud.” “Manunggaling kawula wujud?” “Maunggaling kawula wujud,
ma’rifat seutuhnya. Tahapan orang yang mengenal dirinya, hingga
berikutnya manunggaling kawula gusti. Wujud adalah jiwa, jiwa adalah
jasad, jasad maujud jiwa, jiwa maujud jasad.” Syekh Siti Jenar berhenti
sejenak, perlahan tubuhnya menembus pohon, lalu mengeluarkan sebelah
tanganya dari dalam. “Saya berada dalam pohon, setelah itu kembali.”
“Ya, Allah.” Kebo Kenongo terkagum-kagum, matanya seakan-akan tidak bisa
berkedip, menyaksikan Syekh Siti Jenar yang telah keluar dari dalam
batang pohon. “Betapa hebatnya ilmu yang Syekh miliki.” “Ilmu itu milik
Allah. Saya adalah manusia biasa, itu hanya menjelaskan manunggaling
kawula wujud. Hingga wujud ini bisa menjadi halus seperti jiwa, jiwa pun
bisa keras seperti wujud.” lalu Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas
rumput hijau, tidak bergerak. Perlahan keluar satu sosok Syekh Siti
Jenar lain, lalu melangkah mengitari yang sedang bersila. “Inilah jiwa,
inilah jasad, maka menyatu, manunggaling kawula wujud.” ——————-
“Subhanallah…..” Kebo Kenongo terbelalak untuk kesekian kalinya, kedipun
seakan-akan hilang dari kelopak matanya. “Itulah manunggaling kawula
wujud. Dalam tahapan ma’rifat seutuhnya manusia bisa memisahkan jiwa
dengan jasad, menyatukannya kembali. Namun itu bukanlah mati, sebab
jasad yang saya lepas dalam keadaan hangat. Hanya gerak dan geriknya
berada di luar.” “Lantas orang yang bisa meringankan tubuh dan
mengeluarkan tenaga dalam, membuat musuh terpental, berada pada tahapan
apa?” “Dalam tahapan syariat.” Syekh Siti Jenar lalu memukul batu padas
seukuran kelapa, diremasnya hingga bertebaran laksana debu. Jasadiah
yang dilatih akan menghasilkan kanuragan, dipadukan dengan batin keluar
tenaga dalam.” lalu membuka telapak tangan dan dihentakan pada batang
pohon. Krak, patah, dan jatuh di samping Kebo Kenongo. Kebo Benowo dan
Loro Gempol sama sekali tertahan menyaksikan Syekh Siti Jenar dengan
ilmunya yang tinggi sangat sulit mencari bandingannya. “Harus selalukah
mengeluarkan tenaga dalam dengan batin?” “Maksud batin disini bukanlah
ada pada tingkatan ma’rifat, tetapi pikiran dan hati yang terfokuskan.
Konsentrasi.” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk mencapai ilmu kanuragan
dan sebangsanya yang meliputi kekuatan jasadyah, tidak perlu mencapai
ma’rifat.” “Termasuk hakikat dan thariqatnya?” “Benar, karena kanuragan
masih berada dalam lingkar jasadyah, keangkuhan, kesombongan, emosional,
semangat untuk mencari lawan, memukul, dan amarah.” “Saya paham,
Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya, “Meskipun sangat
hebat dan sakti orang yang berada dalam tahapan ma’rifat tidak akan
sewenang-wenang mempertontonkan kesaktiannya, karena segala hal dalam
dirinya telah terkendali termasuk nafsunya.” “Ki Ageng Pengging, jangan
melupakan kebutuhan jasad! Meski kita berasa pada tahap ma’rifat
seutuhnya.” ujar Syekh Siti Jenar, “Kebutuhan jasad adalah syarat hidup,
meski sebetulnya tidak makan pun tidak akan merasa lapar. Namun kita
makluk yang memiliki jasad, janganlah menyiksa dan memenjarakan
kebutuhannya.” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk. “Ma’rifat
itu seakan kita berada di atas ketinggian dan bisa mencapai ke segala
arah, menyentuhnya, merubahnya, menikmatinya, merasakannya….”
“Lanjutkanlah, sempurnakanlah ma’rifat itu…..” Syekh Siti Jenar
melangkah pelan. “Syekh,” rintih Loro Gempol, baru berani mendekat.
“Sembuhkanlah dada saya yang terasa sakit dan sesak.” “Andika mendapat
tendangan petir geni dari Ki Sakawarki. Tentu saja akan terasa sesak dan
panas….” Syekh Siti Jenar hanya dengan tatapan matanya, mengobati rasa
sakit yang di derita Loro Gempol. “Terimakasih, Syekh.” Loro Gempol
dengan penuh hormat mencium kaki Syekh Siti Jenar. “Saya sudah kembali
pulih. Syekh, benar-benar sakti. Bisakah semua ilmu yang Syekh miliki
diturunkan pada saya?” “Jika andika mau,” Syekh Siti Jenar mengangkat
bahu Loro Gempol agar tidak lagi mencium kakinya. “….dan sanggup
menjalaninya.” “Tidak bisakah jika ilmu kesaktian Syekh langsung
diturunkan pada saya?” “Ilmu kanuragan sangat mudah diturunkan! Namun
untuk mencapai tahapan ma’rifat perdalamlah sendiri, saya hanya memberi
petunjuk.” “Baiklah, kalau ilmu ma’rifat lain kali saja. Sekarang
turunkanlah ilmu menendang yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.”
“Pulanglah! Ilmu itu sudah andika miliki.” “Benarkah itu, Syekh?”
“Tendanglah batu padas itu!” Syekh Siti Jenar mengarahkan telunjuknya
pada batu padas yang seukuran tubuh kerbau. Terletak di halaman
padepokan. ——————- “Hiattttt!” Loro Gempol loncat, tendangannya
menghantam batu. Tidak pelak lagi, hancurlah berkeping-keping.
“Terimaksih, Syekh. Akhirnya saya bisa mebalas Ki Sakawarki. Sekarang
juga saya mohon pamit.” “Gempol….Gempol…” Kebo Kenongo hanya
menggelengkan kepala menyaksikan Loro Gempol dan Kebo Benowo, yang sudah
turun dari padepokan Syekh Siti Jenar. Hingga lenyap ditelan
ketinggian. “Masih ada orang seperti dia? Kenapa pula Syekh memberikan
ilmu dengan mudah kepada mereka?” “Tidak sepantasnya kita sebagai
makhluk Allah menyembunyikan ilmu.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo
Kenongo dengan tatapan matanya. “Jika itu dilakukan maka kita
bertentangan dengan sipat Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan
Maha Penyayang. Kikir itu adalah sipat Syetan, menyembunyikan pun
demikian. Bergerak luruslah dengan sipat-sipat Allah, menyatulah
didalamnya. Karena sipat-sipat Allah itu bukan untuk dibicarakan dan
dibahas secara panjang lebar, tetapi harus diamalkan.” “Mengamalkan
itulah yang berat, Syekh.” ujar Kebo Kenongo. “Kebanyakan manusia
terkadang sangat keberatan jika orang lain menginginkan ilmu yang
dimilikinya?” “Tentu saja. Karena masih menyatu dengan kebalikan
sipat-sipat Allah, yang saya ungkap tadi.” Syekh Siti Jenar berhenti
sejenak, “Terkadang manusia berpikir, betapa susah untuk meraih ilmu,
betapa berat untuk mendapatkannya, betapa harus berkorban tenaga dan
harta untuk meraihnya, maka jika demikian haruskah diberikandengan
cuma-cuma?” “Syekh sendiri?” “Itulah saya seperti Ki Ageng Pengging
lihat. Mengapa lagi harus menentang sipat-sipat Allah jika kita sudah
berada dalam lingkarnya, bukankah kita berada dalam manunggalnya.”ujar
Syekh Siti Jenar. “Apalagi yang saya inginkan?” “Meski saya kurang
begitu paham maksudnya, sedikit-demi sedikit akan berusaha
mencernanya.”Kebo Kenongo menempelkan telunjuk dikeningnya. “Pantas saja
sangat jarang orang pemurah semacam, Syekh. Karena mereka masih berada
dalam tahap syariat, kebutuhan jasadyahlah yang paling utama. Hingga
saya berpendapat apalagi yang tidak bisa Syekh dapatkan? Semuanya berada
dalam genggaman.” “Nafsu duniawi itu akan sirna, seperti saya uraikan
sebelumnya.” “Kenapa Sunan Kalijaga dan para wali yang setarap ilmunya
dengan Syekh lebih menyukai berada dalam lingkar kekuasaan?” “Itu bukan
tujuan mereka untuk meraih kekuasaan. Terutama Sunan Kalijaga, jika dia
ingin berkuasa tentu sudah menjadi raja. Karena dia seperti halnya Ki
Ageng Pengging keturuan darah biru.” terang Syekh Siti Jenar, “Sunan
Kalijaga setelah memperdalam ajaran Islam, melepas kekuasaan dan
keduniawian, terutama sekali setelah berada dalam tahapan seperti saya.
Dia berada dalam lingkar kekuasaan Demak, semata untuk menyebarluaskan
syariat Islam. Bukan berarti gila kekuasaan atau membuntuti penguasa
untuk mendapatkan keuntungan. Dia lebih cenderung untuk menterjemahkan,
menyampaikan, mengamalkan, ajaran tadi dalam tahapan syariat, juga ilmu
politik, sosial, dan budaya.” “Apakah dia mengajarkan pula ilmu
ma’rifat?” “Tentu saja.” terang Syekh Siti Jenar, “Namun Sunan Kalijaga
tidak seperti saya cara mengajarkannya. Lihatlah tentang gamelan dan
wayangnya, lihatlah tentang shalat yang lima waktu…..” “Saya paham,
Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Dia tidak mudah
memberikan ilmu yang lebih tinggi tahapannya….” “Lihatlah tangga yang
menuju padepokan saya, Ki Ageng Pengging!” ——————- “Bertahap?” gumam
Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang
tanpa melalui tahapan?” “Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak
jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih,
dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.” “Hhhhhmmmmmm….” Kebo
Kenongo menarik napas dalam-dalam, pikirannya mencoba mencerna segala
uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang
dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha
sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula
Gusti menurut Syekh?” “Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar
lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama
manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.” “Maksudnya?” “Manunggaling
sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu
melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng
Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?” “Tentu saja gula
manis, dan garam asin.” “Berikan pula gula dan garam ini pada seratus
orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Ageng
Pengging.” “Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski
dikasihkan pada seribu orang.” “Itulah yang dikatakan manunggaling
sifat.” “O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya. *** “Selamat
datang di Masjid Demak, Pangeran Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu duduk
bersila di samping Sunan Kudus, Sunan Muria, tidak ketinggalan Sunan
Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya kembali kedatangan Ki Sakawarki dan Ki
Demang Bintoro.” tatapan matanya menyapu wajah kedua orang yang
disebutnya, duduk berhadapan. “Terimakasih, saya mendengar kabar burung
tentang ajaran sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran
Bayat menatap Demang Bintoro, “Ajaran sesat macam apa?” “Sampaikanlah
kabar terbaru tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki
Demang!” ujar Sunan Giri. ——————- “Gusti Pangeran, juga Kanjeng Sunan
yang saya hormati, ajaran itu benar-benar menyesatkan. Hidup itu untuk
mati, mati itu untuk hidup, akhirnya banyak rakyat Kademangan Bintoro
yang bunuh diri.” Ki Demang berhenti sejenak, “Saya selanjutnya
melakukan penyelidikan bersama Ki Sakawarki. Ternyata bukan hanya isapan
jempol belaka tentang kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar itu.” “Saya
semula tidak percaya tentang ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” tambah Ki
Sakawarki, “Tapi ketika mendengar langsung dan menyaksikan barulah
percaya.” “Adakah penyimpangan lain dari ajaran Islam yang berkaitan
dengan aqidah?” tanya Sunan Giri. “Tentu saja, Kanjeng.” Ki Sakawarki
menganggukan kepala, “Mereka tidak mesyariatkan shalat lima waktu,
begitu pula kewajiban lainnya.” “Menyimpang dan sesat secara aqidah!”
Sunan Giri geram. “Benarkah mereka juga melakukan tindakan makar? Selain
menyebarluaskan ajaran sesatnya?” tanya Pangeran Bayat. “Itulah yang
kami saksikan.” jawab Demang Bintoro. “Dengan bukti melakukan
penyerangan terhadap Kademangan.” “Keparat!” muka Pangeran Bayat merah
padam, “Saya kira dibelakang semua ini Ki Ageng Pengging juga punya
kepentingan?” “Mungkin? Karena merasa masih keturunan Majapahit, Gusti?”
tambah Demang Bintoro. “Yang paling mencolok mereka menyebut nama
pimpinan pemberontak Kebo Ben….” “Jika itu Kebo Kenongo, maka dugaan
saya benar.” potong Pangeran Bayat. “Karena Kebo Kenongo nama lain dari
Ki Ageng Pengging….” “Disini telah berbaur antara aqidah islam dan
politik…..” “Benar, Kanjeng Sunan Kalijaga!” potong Pangeran Bayat,
“Untuk itu kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Sebab jika
dibiarkan akan mengancam keutuhan negeri Demak Bintoro.” ‘Padahal maksud
saya tidak seperti itu, Kanjeng?’ Sunan Kalijaga beradu tatap dengan
Sunan Bonang, memulai percakapan dengan batinnya. ‘Saya kira tidak perlu
mencampuri persoalan ini terlalu jauh, Kanjeng.’ tatap Sunan Bonang.
‘Jika itu dilakukan sangatlah berlebihan, seakan-akan kitalah yang
memiliki ilmu terlalu tinggi. Sehingga tanpa beranjak dari tempat duduk
mengetahui yang sesungguhnya telah terjadi.’ ‘Betapa sombong dan
angkuhnya kita, Kanjeng.’ Sunan Kalijaga mengaggukan kepala. ‘Namun
tidak ada salahnya jika kita dimintai pendapat…’ “Politik macam apa yang
terjadi dibalik tersebarnya ajaran sesat ini?” tanya Demang Bintoro.
“Mereka akan menciptakan dulu keresahan dikalangan umat beragama, Ki
Demang. Dalam keadaan umat resah dan bingung, politik untuk melakukan
makar pun berjalan.” terang Pangeran Bayat. ——————- “Itulah yang terjadi
di Kademangan Bintoro, Gusti Pangeran.” Demang Bintoro menganggukan
kepala, “Pantas mereka mempengaruhi rakyat kademangan dengan ajaran yang
menyesatkan, hingga pada suatu malam terjadi penyerbuan. Namun yang
paling aneh, ketika salah satu diantara mereka tertangkap, membenturkan
kepalanya pada batu hingga tewas.” “Itulah yang mereka anggap jihad!”
ujar Pangeran Bayat, “Tentu saja mereka akan memilih mati ketimbang
tertangkap, karena mati telah memenuhi panggilan jihad.” berusaha
menyimpulkan. “Pantas saja?” Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala.
“Jika demikian kesimpulannya sudahlah jelas persoalan ini, Gusti
Pangeran.” Ki Sakawarki penuh hormat, “Syekh Siti Jenar beserta
pengikutnya harus ditangkap. Mereka telah berani merusak ajaran Islam
yang sesungguhnya. Selain telah berani-berani mencampurbaurkan
kepentingan politik dengan agama. Sehingga agama dijadikan alat politik
dan kekuasaan.” “Itulah yang terjadi Ki Sakawarki, jika boleh saya
berksimpulan.” Pangeran Bayat mengaggukan kepala. “Namun sebelum
bertindak saya akan meminta dulu pendapat para wali agung tentang
batasan sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar. Bagaimana menurut
pendapat, Kanjeng Sunan?” tatapan mata Pangeran Bayat menyapu wajah para
wali, berhenti pada Sunan Giri, selaku ketua Dewan Wali. ——————-
“Pengertian sesat?” Sunan Giri memutar tatapannya, “Saya menyimpulkan,
jika Syekh Siti Jenar sudah menganggap shalat lima waktu tidak wajib,
puasa bulan ramadan tidak wajib. Hidup untuk mati, mati untuk hidup.
Jelas sesat! Sudah keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.” “Tidakah
kita menelisiknya terlebih dahulu, Kanjeng Sunan Giri?” Sunan Kalijaga
beradu tatap. “Apa lagi yang mesti kita selidiki, Kanjeng Sunan
Kalijaga?” ujar Sunan Giri, “Penyebaran ajaran sesat harus segera
dihentikan. Jika tidak maka umat akan resah, kesetabilan negeri Demak
Bintoro akan terancam.” “Tidakkah kita ingin memastikan sekali lagi
tentang sesatnya ajaran Syekh Siti Jenar dengan mengutus seorang wali?”
tatap Sunan Kalijaga. “Bukankha Ki Sakawarki saja sudah cukup sebagai
seorang Kiai membuktikan kesesatan tadi?” “Apakah Ki Sakawarki sudah
secara langsung mendengar dan melihat jika ajaran Syekh Siti Jenat itu
sesat?” “Maafkan Kanjeng Sunan Kalijaga, saya belum bertemu dengan Syekh
Siti Jenar. Namun saya hanya melihat dan mendengar dari para muridnya,
ketika beberapa malam lalu melakukan pemberontakan.” “Bisakah itu
dijadikan sebagai bukti?” Sunan Kalijaga memutar tatapannya ke arah
Pangeran Bayat dan Sunan Giri. “Dari Segi politik, yakin tujuan utamanya
ingin makar. Bukan semata menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” Pangeran
Bayat mengerutkan dahinya, “Yang memperkuat tuduhan saya dengan adanya
nama Kebo Kenongo. Jelas-jelas dia masih keturunan Majapahit dan
memiliki pengaruh sama dengan Gusti Raden Patah. Hanya dia tidak
seberuntung junjungan kita.” “Pangeran, bagaimana jika kita pisahkan
dulu masalah politik dan agama?” “Maaf, Kanjeng. Saya rasa persoalan
politik dan agama dalam hal ini sudah menyatu.” tukas Pangeran Bayat.
“Saya menduga jika kepentingan politik yang ditebarkan Kebo Kenongo
dibungkus rapih dengan agama. Dengan tujuan orang terfokus pada
persoalan agama, padahal politis.” “Makanya saya tadi berpendapat, untuk
menjernihkan persoalan ini dan menangkap makna yang sesungguhnya, kita
pisahkan dulu…” “Kanjeng Sunan Kalijaga, sebaiknya perdebatan ini
dihentikan. Saya takut di antara para wali terjadi perbedaan paham yang
runcing, begitu pula dengan kalangan pemerintah.” potong Sunan Giri.
“Selanjutnya kita renungkan sejenak sebelum mengambil keputusan.
Bagaimana jika kita memperbincangkannya dengan Raden Patah, semoga dari
hasil persidangan nanti ada keputusan. Jika Syekh Siti Jenar perlu
ditangkap, kita tangkap!” ——————- “Saya setuju!” ujar Pangeran Bayat.
“Apa pun yang terjadi jika itu keputusan raja, sudah semestinya kita
taati.” “Baiklah.” Sunan Kalijaga menganggukan kepala, tatapan matanya
tertuju pada Sunan Bonang, mata hatinya mulai bersentuhan dan
bercakap-cakap. ‘Kanjeng Sunan Bonang, saya secara syariat tidak bisa
melawan kehendak Allah.’ ‘Ya, karena itu sudah menjadi sebuah taqdir dan
ketentuan yang mesti dijalani. Kita lihat dan ikuti saja…meski secara
lahiryah tetap harus berikhtiar. Saya kira Syekh Siti Jenar juga paham
perjalanan hidupnya…’ batin Sunan Bonang, tatapan matanya menerbar sinar
kemerah-merahan beradu dengan sorot mata pancaran jingga Sunan
Kalijaga. “Ada apa?” Sunan Drajat tersentak dari duduknya, “Mengapa ada
pancaran sinar dari…” “Disini tidak ada yang aneh, Kanjeng Sunan
Drajat.” tegur Sunan Giri, “Kenapa Kanjeng tersentak?” tatapan matanya
mengikuti sudut pandang Sunan Drajat, tetapi tidak menemukan hal yang
perlu dikejutkan. “Tidakkah Kanjeng me…” “Benar, Kanjeng Sunan Drajat.”
tatap Sunan Bonang. Seakan-akan menembus batin hingga tidak berdaya.
——————- “Kanjeng Sunan Bonang?” Sunan Drajat mengangukan kepala, meski
tidak mengerti. Hatinya seakan-akan disusupi nasihat yang sebelumnya
tidak pernah diketahui. “Saya harus menafsirkannya…” “Apa yang telah
terjadi? Kenapa saling memberi isyarah?” Pangeran Bayat kebingungan.
“Kanjeng Sunan Giri?” “Saya juga tidak terlalu paham, Pangeran.”
bisiknya, lalu menatap Sunan Bonang. “Kanjeng Sunan Bonang?” “Tidak ada
hal yang perlu dikhawatirkan, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Sunan Bonang,
“Putusan terbaik dalam menyikapi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, kita
mesti menunggu keputusan Raden Patah, sesuai dengan pendapat Kanjeng.
Kami berisyarah setuju pada perkataan Kanjeng Sunan Giri tadi.” “Baiklah
jika demikian. Kita bersidang dengan pihak pemerintahan demi mengambil
keputusan.” Sunan Giri mengaggukan kepala, lalu perlahan bangkit dari
duduknya. “Kanjeng, jika demikian saya mohon pamit.” ujar Demang
Bintoro. “Karena tugas saya sudah selesai, sedangkan persidangan
merupakan wewenang para wali dan pemerintah.” “Baiklah, Ki Demang.”
Sunan Giri menerima kedua telapak tangan Demang Bintoro yang mengajak
bersalaman. “Semoga kalian selamat diperjalanan. Persoalan tadi akan
kami tindaklanjuti, agar tidak terlanjur dan terlunta-lunta hingga
mengakibatkan kesesatan bagi umat.” *** Matahari mulai merayap, perlahan
meredup seakan-akan terlihat lelah dan ngantuk. Seharian memelototi
bumi beserta isinya, menatap setiap tingkah dan laku manusia yang
beragam. Matahari sudah waktunya kembali dan beristirahat di
peraduannya, seiring dengan datangnya gelap malam. Namun penghuni jagat
raya seakan tidak peduli meski matahari tidak lagi memelototi dan
menerangi, biar kerlip gemintang sebagai pengganti, saksi mereka
bertingkahlaku. Malam hanya perpindahan dari terang pada gelap, dari
benderang pada kremangan. Hingga tidak pernah menghalangi dan
menyurutkan niat dan langkah manusia dengan segenap tekad dan
keinginannya untuk berbuat. Pinggir hutan di halaman pendopo milik Kebo
Benowo dan pengikutnya, berkelebatan bayangan tubuh yang sedang berlatih
silat. Joyo Dento dan Kebo Benongo bergantian mengajarkan setiap jurus
dan strategi perang. ——————- Tidak lama berselang terdengar suara kuda
yang bergerak ke arah mereka. Dua ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo
dan Loro Gembol telah berada di tengah-tengah pengikutnya. “Ki Gempol,”
ujar Joyo Dento mendekat, “Terlihat segar malam ini….” “Benar, Dento.”
Loro Gempol turun dari punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar-benar
hebat. Hanya dengan tatapan mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat
tendangan Ki Sakawarki.” “Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala.
“Artinya Ki Gempol sudah siap memimpin kembali pemberontakan?” “Tentu
saja, Dento.” Loro Gempol menepuk-nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah
mulai bertambah meski dalam waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki
tendangan yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya
mengikuti sudut pandangnya yang tertuju pada sebongkah batu. “Seperti
apa tendangan itu, Ki?” tanya Kebo Benongo. “Lihatlah! Saya akan
menghancurkan batu sebesar perut kerbau itu hanya dengan satu kali
tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil ancang-ancang, seraya loncat dan
mengarahkan tendangannya pada batu. Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol
menghantam sasaran, tidak pelak lagi hancur lebur berkeping-keping.
Prilakunya disambut dengan tepukan pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento
dan Kebo Benongo. “Bisa seperti itu Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu
kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento mengerutkan keningnya. “Bukankah dia
orang sakti, Dento?” Loro Gempol tersenyum. “Sayang, Ki Gempol?”
“Kenapa, Dento?” “Seandainya beliau bersedia mendukung perjuangan kita
dengan kesaktiannya, sudah barang tentu sangat mudahlah menghancurkan
Kademangan Bintoro.” ujar Joyo Dento, seraya duduk di atas bangku yang
terbuat dari kayu. “Sungguh sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging,
sangatlah sulit untuk diajak serta.” “Jangankan Kademangan, Demak pun
jika beliau mau tentu bisa dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol.
“Sangat aneh?” Joyo Dento menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya,
semakin digjaya kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada
kekuasaan?” lalu menghela napas dalam-dalam. “Itulah keanehan mereka,
Dento.” Kebo Benowo ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu
lagi memikirkan mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk
berkuasa.” “Ya, lupakan saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari
duduknya, “Sebaiknya kita tidak terpengaruh….” ——————- “Bagus,” ujar
Loro Gempol, “Sekarang kesaktian saya telah bertambah. Mengapa tidak
digunakan untuk kembali mengadakan penyerangan terhadap Kademangan
Bintoro?” “Haruskah malam ini?” tanya Kebo Benongo. “Tidakah merasa
lelah sepulang dari padepokan?” “Tidak!” “Gempol, bukannya saya tidak
percaya pada tendangan maut yang baru saja andika miliki.” Kebo Benowo
mendekat, “Cukupkah jumlah prajurit kita untuk menggempur Kademangan
Bintoro?” “Benar!” Joyo Dento meletakan kedua tangannya di belakang,
“Meski pun Ki Gempol bisa mengalahkan Ki Sakawarki, tidak ada salahnya
kmemperhitungkan jumlah kekuatan yang kita miliki. Sebenarnya ada taktik
perang gelap…” “Maksud andika?” Loro Gempol menatap tajam. “Harus
menghindari perang terbuka. Mengingat jumlah pasukan kita lebih sedikit
di banding musuh.” dahinya dikerutkan, “Serangan kita harus bersifat
memecah konsentrasi musuh, lantas menyerang, lalu menghilang.” terang
Joyo Dento. “Berhasilkah dengan cara demikian?” tanya Kebo Benowo,
“Tidak lebih baikah jika kita menambah jumlah pasukan?” “Bisa saja,
menambah pasukan. Artinya untuk sementara kita menghentikan
penyerangan….” “Jadi saya tidak bisa mencoba ilmu baru dalam waktu
dekat?” Loro Gempol garuk-garuk kepala. *** Dewan wali yang di pimpin
Sunan Giri mulai memasuki istana kerajaan Demak Bintoro. Mereka
menginjakan kakinya di atas karpet berwarna hijau, kiriman dari Bagdad.
Di setiap sudut istana berdiri para prajurit dengan tombak dan tameng di
tangannya. Raden Patah sudah berada di atas singgasananya, perlahan
bangkit menyambut kedatangan para wali. Pangeran Bayat, serta para abdi
kerajaan lainnya berdiri, menyalami. Hari itu tampaknya ada pertemuan
penting antara Raden Patah dan Walisongo. “Selamat datang di keraton,
Kanjeng Sunan.” Raden Patah menyalami dan memeluk Sunan Giri, lalu yang
lainnya. “Silahkan…” ——————- “Terimakasih atas sambutannya, Raden.”
Sunan Giri lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Diikuti para
wali lain menempati kursi yang telah disediakan. “Rasanya sangat bahagia
hati ini, batin pun terasa tentram jika sudah bertemu dengan para wali
yang terhormat.” Raden Patah perlahan duduk kembali di atas singgasana
kerajaannya, para abdi pun mengikuti. “Sudah sekian lama Kanjeng Sunan
tidak menyempatkan diri memasuki istana yang megah ini.” “Tidaklah harus
terlena dengan kemegahan istana, Raden.” ujar Sunan Giri tersenyum
tipis, “Singgasana berlapis emas, serta empuk, terkadang menyebabkan
kita untuk bermalas-malas. Saking nikmatnya kita dalam sehat dan
istirahat, terkadang lupa pada tugas yang sesungguhnya. Bukankah kita
mendapatkan kepercayaan dari rakyat demi kesejahteraannya, demi
ketentramannya, demi ketenangannya, demi melayaninya?” “Alhamdulillah,
Kanjeng.” Raden Patah sekilas menyapu wajah Sunan Giri dengan tatapan
matanya, “Saya sudah berupaya menjalankannya sesuai dengan amanah dan
ajaran Islam. Namun saya sebagai manusia terkadang terlena dibuatnya…..”
“Jika Raden terlena dengan kekuasaan dan kemegahan, hendaklah
istigfar.” Sunan Giri mengacungkan telunjuknya, “Karena singgasana ini
tidak abadi, kekuasaan akan berakhir dengan ketidakuasaan, kenikmatan
dan kemewahan hanya bisa dikecap dalam sekejap. Semua itu diingatkan
ketika diri kita tidak sempat untuk istirahat dan menikmati, bahkan saat
sakit mengusik kita. Disitu tidak ada nikmat yang bisa dirasakan meski
sekejap. Itu semua mengingatkan pada diri kita, semua yang kita miliki
akan ditinggalkan, semua yang kita kuasai pada suatu saat akan menjauh.
Bukankah kehidupan di dunia ini telah ditentukan batasnya? Seindah apa
pun dunia tetaplah fana, semegah apa pun dunia akan berkesudahan. Tidak
ada bedanya saat kita merasakan lapar bergegas mencari makanan, setelah
rasa lapar tergantikan dengan kekenyaang nikmat pun tidak ada lagi.”
“Jika perut sudah terlalu kenyang tidak mungkin meneruskan makan, meski
masih terhidang beraneka kelezatan di atas meja.” Raden Patah
mengangguk-anggukan kepala, “Hanya sekejap….dan ada akhirnya…bukankah
datangnya rasa nikmat ketika kita merasakan lapar?” “Andai lapar itu
berada pada tahapan Raden. Tentu akan terobati, tinggal memanggil
pelayan kerajaan. Tetapi jika rasa lapar menimpa rakyat miskin, bisakah
terobati dalam sekejap?” tatap Sunan Giri. “Ya, saya paham, Kanjeng.”
Raden Patah menundukan kepalanya, “Dimas Bayat, masihkah di negeri ini
ada rakyat yang kelaparan?” lalu tatapan matanya tertuju pada Pangeran
Bayat. “Menurut hamba negeri ini sangatlah makmur, Gusti.” Pangeran
Bayat mengacungkan sembahnya, “Sangat tidak mungkin di negeri semakmur
Demak Bintoro ada rakyat yang kelaparan?” “Benarkah, Dimas?” “Hamba
yakin, Gusti.” “Baguslah jika tidak ada yang kelaparan,” Raden Patah
menundukan kepala dihadapan Sunan Giri. “Seandainya masih ada rakyat
yang miskin dan kelaparan? Sementara kita serba berkecukupan? Tidakah di
akhirat nanti akan menuai kecaman dari Allah SWT.? Mungkin rakyat
negeri Demak Bintoro, meski pun lapar tidak akan banyak berbuat selain
mengganjal perutnya dengan kesedihan, bisa juga menangis?” desak Sunan
Giri. ——————- “Maafkan saya, Kanjeng.” Raden Patah perlahan mengangkat
kepalanya, “Jika itu terjadi dan menimpa rakyat negeri Demak Bintoro,
mungkin saya sebagai pemimpin akan menerima hukumannya di akhirat.
Mudah-mudahan yang dilaporkan Dimas Bayat benar. Hal itu tidak terjadi
di negeri ini….” “Yakinkah, Raden?” “Saya percaya pada Dimas Bayat,
Kanjeng Sunan.” “Hamba melaporkan dengan sesungguhnya. Berdasarkan
pendengaran dan penglihatan hamba.” ujar Pangeran Bayat. “Baguslah jika
yakin sebatas laporan, Raden.” Sunan Giri perlahan bangkit dari
duduknya, lalu mengitari singgasana Raden Patah. “Tahukah Raden tujuan
utama kedatangan kami, dewan wali ke istana ini?” “Tentu saja, Kanjeng.”
Raden Patah perlahan memicingkan sudut matanya, menatap langkah kaki
Sunan Giri. “Bukankah di negeri ini telah muncul persoalan yang terkait
dengan Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Kanjeng?” “Benar,” Sunan Giri
menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kursinya. “Ada kabar
jika Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat. Pengikutnya terutama
rakyat miskin dan kelaparan banyak yang mengakhiri hidupnya.” “Mereka
bunuh diri, Kanjeng?” ujar Raden Patah, “Mereka mengaggap bahwa mati
lebih nikmat dari pada hidup dalam kemiskinan. Syekh Siti Jenar pada
pengikutnya menghembuskan ajaran hidup untuk mati, mati untuk hidup.”
“Pisahkan dulu persoalan mati untuk hidup, hidup untuk mati, tentang
ajaran Syekh Siti Jenar!” “Kenapa, Kanjeng?” “Lihat dan perhatikan, jika
yang bunuh diri itu si miskin dan menderita…” “Mengapa harus dipisahkan
persoalan ini? Rakyat Demak Bintoro yang miskin tentu saja mudah
dihasut akhirnya nekat bunuh diri. Apalagi mendengar ajaran yang
menyesatkan ini.” “Persoalannya karena miskin, Raden. Bukankah tadi
dikatakan, jika di negeri makmur ini sudah tidak ada lagi yang miskin
dan kelaparan?” “Astagfirullah!” Raden Patah lalu mengusapkan kedua
telapak tangannya pada wajah, “Ya, Allah maafkan hambamu ini. Hamba
telah berbuat hilap….” dari sela-sela jemarinya menetes buliran air
mata, semakin lama semakin banyak. ——————- Suasana istana yang hening
terusik dengan isak tangisnya Raden Patah, seakan-akan mengubah dan
memecah suasana. Pangeran Bayat semakin menundukan kepalanya, dagunya
seakan-akan menyentuh lutut, hatinya mulai ketar-ketir, jika seandainya
Raden Patah marah. Sunan Giri hanya berbagi tatap dengan para wali,
termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Mereka memahami setiap maksud perkataan
Sunan Giri, namun tidak ada yang mengusik isak tangis Raden Patah meski
hanya sepatah kata penghibur. “Mereka mudah dihasut karena miskin…” isak
Raden Patah, “…bukankah menurut laporan yang saya dengar tidak ada lagi
rakyat miskin dan menderita…seandainya itu masih ada artinya…telah
berdosa dan menyia-nyiakan amanah…” *** Matahari mulai menyelinap di
balik bukit Desa Kendharsawa, awan tipis berlapis-lapis laksana serpihan
sutra merah. Angin senja bertiup sepoi-sepoi mengusik setiap daun dan
ranting kering, selanjutnya jatuh di atas tanah, tanpa daya. Sorot mata
Ki Chantulo tidak beranjak dari jatuhnya daun dan ranting kering di
hadapannya. Lalu duduk dan memungutnya. “Ranting dan daun kering,
rupanya usiamu telah berakhir senja ini.” perlahan bangkit, seraya
mengangkat kepalanya, tatapan mata menyapu awan jingga berlapis dan
berarak laksana kereta kencana. “Betapa indah, taqdir kepergianmu
diiringi warna keemasan….” “Ya, sangat indah kematian daun dan ranting
kering ini…” bisik Ki Donoboyo yang berdiri disampingnya. Tatapan
matanya tidak beranjak dari tingkah laku teman seperguruannya. “Mungkin
itulah yang dikatakan menyatunya kembali dengan dzat yang maha kuasa?”
“Mungkin?” tatap Ki Chantulo. Lalu melangkah pelan menuju padepokan
Syekh Siti Jenar, Ki Donoboyo mengiringi. Di halaman padepokan Syekh
Siti Jenar sedang bercakap-cakap dengan Kebo Kenongo. Kebo Kenongo
seakan-akan larut pada setiap perkataan dan nasehat gurunya, terkadang
berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya. “Syekh, manunggaling sifat
Allah ternyata bisa dibuktikan. Hingga saya mengerti dan memahami…” ujar
Kebo Kenongo, “…bahkan ma’rifat pun kini mulai bisa saya capai.
Ternyata dalam pencapaian ini tidak harus melalui tahapan yang dulu
pernah Syekh ungkapkan.” “Bukankah saya pernah mengatakan, menuju
ma’rifat tidak perlu melalui tahapan syariat, hakikat, thariqat, lantas
ma’rifat. Jika demikian berarti hanya orang yang beragama Islam saja
yang bisa. Mungkin dalam agama hindu atau budha yang sebelumnya Ki Ageng
Pengging ketahui tidak akan menemukan tahapan itu. Bisa saja namanya
berbeda, tetapi tujuannya sama.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo
Kenongo dengan tatapan matanya. “Saya kira semua agama memiliki tujuan
yang sama, yaitu untuk mencapai dan menggapai dzat Yang Maha Kuasa. Yang
membedakan semuanya hanyalah tata caranya, jalan, dan nama-nama proses
pencapainya.” ——————- “Ya,” Kebo Kenongo tersenyum, “Pencapaian itulah
yang memerlukan proses yang cukup lama dan panjang. Hingga terkadang
orang merasa putus asa…” “Putus asa, penyebab petaka. Itu tidak perlu
terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk menghindari keputusasaan dalam
hal pencapaian diperlukannya guru yang selalu membimbing dan
mengarahkan.” “Benar, supaya tidak kesasar dan gila?” “Ya, mungkin kata
lain sesat. Orang akan menyatakan sesat atau kesasar pada orang lain,
karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia milki bahwa jalan menuju
Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa Ki Ageng Pengging lalui
beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya ada banyak jalan menuju
Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara, bisa berbelok dulu ke
Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai Syekh Siti Jenar,
“Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke Utara atau ke
Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak pernah mengambil
jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?” “Saya kira tidak,”
“Mengapa?” “Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa Kendharsawa.
Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat, lambat, dan
alon-alon.” “Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar Syekh Siti
Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan jalan
itulah. Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan
pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap
orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski
sebenarnya punya tujuan sama.” “Maksudnya?” “Bukan tidak tahu jalan
umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya
maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena
ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka
semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?” “Sampai?” “Mengapa harus
bertengkar dan saling menyalahkan?” “Karena jalannya tidak diketahui
umum,” “Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan
bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?” “Tidak,” “Mengapa?” “Karena pasti
sampai.” “Kenapa pula dipertengkarkan?” “Bertengkar karena tidak saling
memahami akan persoalan yang sesungguhnya.” ——————- “Nah, itulah Ki
Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan, “Makanya Islam
mengajarkan jika di antara kita terjadi perbedaan paham sebaiknya
dikembalikan pada alquran dan assunnah. Semua perbedaan pendapat dan
pemahaman bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Tidak semestinya
melakukan tindakan yang tidak diridhoi Allah, apalagi menciptakan
laknat. Bukankah Islam mengajarkan bahwa kita harus selalu menebar
rakhmat, hamamayu hayuning bawanna? Seandainya orang tadi belum mengenal
Desa Kendharsawa, maka bisa dikatakan tersesat. Salah jalan. Jika salah
jalan karena ketidaktahuan itulah yang sesat.” urainya. “Ya, karena
tidak akan mungkin sampai pada tujuan.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan
kepala, “Jadi makna “sesat” disini bisa diartikan berbeda?” “Tentu,”
Syekh Siti Jenar mengiyakan, “Bisa saja kita yang salah karena
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Bisa juga orang yang kita anggap
sesat benar-benar sesat. Atau bahkan sebaliknya.” “Syekh,” Ki Chantulo
mendekat, dibelakangnya berdiri Ki Donoboyo. “Kita telah jauh
memperdalam ilmu hamamayu hayuning bawanna, ma’rifat mungkin hampir saya
capai. Namun saya khawatir ada akibat….lihatlah daun dan ranting kering
ini, sangat mudah terlepas dari batang pohon meski hanya tertiup angin
sepoi-sepoi.” “Jika kita sebagai manusia tentu saja harus punya rasa
khawatir.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, tatapan matanya menyapu
wajah Ki Chantulo. “Kekhawatiran muncul karena keterbatasan ilmu dan
ketidaktahuan perjalanan hidup. Ketidaktahuan akan ketidakjelasan
kabar.” “Maksudnya?” “Saat orang bilang, awas jangan lewat jalan
Kendharsawa karena ada rampok kejam, apa yang akan andika lakukan?”
“Saya akan menertawakan orang tadi, karena setahu saya jalan menuju Desa
Kendharsawa aman.” “Karena andika tahu betul.” ujar Syekh Siti Jenar,
“Tapi sebaliknya bagi orang yang belum mengenal Kendharsawa tentu akan
merasa khawatir. Mengenai kabar yang tidak jelas tadi, bahkan akan
menimbulkan rasa was-was.” “Ya,” Ki Chantulo mengangguk, “Mungkin karena
keterbatasan ilmu saya yang menyebabkan khawatir dan takut.”
“Sebenarnya apa yang menjadi kekhawatiran andika, Ki Chantulo?” tanya
Kebo Kenongo. “Saya mendengar kabar ditangkapinya orang-orang yang
menganut ajaran Syekh Siti Jenar. Jika tidak salah dewan wali menganggap
ajaran kita sesat.” Ki Chantulo menundukan kepala. “Syekh?” Kebo
Kenongo menatap Syekh Siti Jenar, belum juga kering mulutnya ketika
berbincang tentang sesat. ——————- “Tidak perlu khawatir, Ki Angeng
Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memutar tatapan matanya, “Lihatlah,
daun kering dan ranting yang Ki Chantulo genggam. Jasad manusia tak
ubahnya ranting dan daun kering, jika sampai pada waktunya akan jatuh di
atas tanah. Penyebabnya bisa karena tertiup angin sepoi-sepoi, mungkin
saja ditebas pemilik kebun, bisa juga dimakan ulat atau binatang ternak
lainnya. Itulah sebuah taqdir. Kekhawatiran akan muncul, karena tadi
itu.” sejenak menghentikan perbincangannya. Senja hening di padepokan
Syekh Siti Jenar, para muridnya seakan-akan tenggelam dan hanyut dalam
keadaan. Angin semilir mengusik dedaunan dan jubah yang dikenakan Syekh
Siti Jenar, berkelebat. “Saya ingat sabda alam yang pernah Syekh
sampaikan.” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya, “Mungkinkah pesan yang
disampaikannya berlaku pada kita…..” “Jika ya? Meskikah kita mengambil
tindakan?” tatap Ki Chantulo. “Tentu saja, Ki Chantulo.” Ki Donoboyo
mendekat, “Bukankah kita harus berusaha membela diri. Mungkin caranya
berbeda dengan orang kebanyakan. Bukankah kita tidak mungkin menyerahkan
diri pada hukuman sebelum melakukan pembelaan?” “Begitukah, Syekh?” Ki
Chantulo menyapu wajah Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Saya
tidak mengharuskan melawan taqdir.” ujar Syekh Siti Jenar, “Berlakulah
andika sebagai manusia dengan keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan.”
“Maksudnya?” Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Kebo Kenongo mengerutkan
dahinya. “Sejauhmana andika paham pada kejadian yang akan datang?
Sebatas mana rasa khawatir yang muncul dalam jiwa? Berlakulah dalam
keterbatasan dan yang membatasi semuanya.” sejenak berhenti, “Bukankah
tidak semua manusia memahami perjalanan hidupnya? Apa yang akan terjadi
hari ini? Lantas hal apa besok hari yang akan menimpa kita? Akan
bersedihkah? Bahagiakah? Manusia tidak bisa mempercepat, memperlambat,
bahkan mundur dari kehendakNya. Hanya orang tertentu saja yang memahami
akan perjalanan hidup, mengenai hal yang sebelumnya atau akan didapati.”
urai Syekh Siti Jenar. “Saya belum terlalu paham maksudnya?” Ki
Donoboyo memijit-mijit keningnya. *** “Saya menyadari akan keteledoran
dan ketidaktahuan, Kanjeng.” Raden Patah menyeka air mata, “Sehingga
timbul penyesalan yang teramat dalam….” “Tidak cukup dengan sebuah kata
dan kalimat penyesalan, Raden.” ujar Sunan Giri, “Seandainya itu berdosa
kepada Allah, maka bisa ditebus dengan taubatan nashuha. Setelah itu
memperbaiki diri dan tidak berbuat kembali. Tetapi bersalah pada rakyat,
meminta maaf pun harus pada mereka…” “Bukankah rakyat negri Demak
Bintoro ini sangat banyak, Kanjeng?” “Meminta maaf pada rakyat tidak
cukup dengan perkataan dan ucapan, berkeliling menemui penduduk negeri.”
Sunan Giri berhenti sejenak, “…rubahlah keadaan negara hingga tidak ada
lagi rakyat kelaparan. Meski miskin itu ada, karena sunnatullah.
Berupayalah Raden sebagai seorang pemimpin mengubah keadaan negara.
Seorang pemimpin tidak saja bertanggungjawab di dunia, tetapi di akhirat
juga. Di dunia bisa jumawa, di dunia bisa sewenang-wenang, di dunia
bisa teledor, khilaf. Sudah menjadi kewajiban kami para wali
mengingatkan umara agar tidak terjerumus di dunia dan akhirat.” “Saya
sangat menyadari semuanya, Kanjeng.” Raden Patah semakin menunduk,
“Haruskah saya mundur untuk menebus semua kesalahan ini?” “Mana mungkin
bisa merubah keadaan jika mundur? Balikan telapak tangan, berbuatlah
yang terbaik untuk rakyat.” terang Sunan Giri, “Berbuat untuk rakyat,
berati berbuat untuk diri sendiri, negara, agama, dan keluarga.” ——————-
“Baiklah, Kanjeng. Saya akan berupaya sekuat tenaga seperti yang
Kanjeng Sunan Giri sarankan. Meski saya harus jatuh miskin, itu hanyalah
ukuran dunia dan bentuk tanggungjawab pada rakyat.” Raden Patah menatap
Pangeran Bayat, “Dimas bantulah mereka yang kelaparan. Berbuatlah untuk
mensejahterakan rakyat, tebuslah kesalahan kita. Kakang tidak ingin
mendengar kabar ada rakyat yang masih kelaparan, bunuh diri karena
miskin. Berbuatlah! Kakang pun akan berbuat dengan tangan ini yang telah
berlumur dosa karena bodoh dan khilaf.” *** “Raden,” Sunan Giri
perlahan duduk di atas kursi. “Ada persoalan yang lebih penting
ketimbang rasa lapar dan kemiskinan.” “Persoalan apa, Kanjeng?” tatap
Raden Patah, “Bukankah miskin dan lapar yang bisa memicu orang berbuat
nekad? Merampas hak orang lain? Merampok? Mungkin juga bunuh diri?”
“Benar Raden, seakan-akan persoalan perutlah yang terpenting dalam
kehidupan ini.” Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali orang melakukan
penyelidikan lebih mendalam.” “Maksud, Kanjeng?” “Mengapa orang miskin
bunuh diri, mengapa yang kelaparan nekad?” Sunan Giri berhenti sejenak,
tatapan matanya menyapu wajah Raden Patah, terkadang Pangeran Bayat.
“Karena hanya jalan itulah yang dianggap penyelesaian, Kanjeng.” ujar
Pangeran Bayat, “Bayangkan seandainya mereka kenyang dan serba
berkecukupan. Tidak akan mungkin berbuat demikian.” “Orang miskin
merampok hanya butuh makan untuk satu hari, Pangeran. Sedangkan yang
kaya disebabkan sifat serakah.” tukas Sunan Drajat, “Bukankah hartanya
sudah melimpah ruah, tetapi masih saja ingin menumpuk kekayaan.
Menghalalkan segala cara.” “Ya, saya mengerti, Kanjeng.” Raden Patah
tersenyum, “Terlepas dari urusan miskin dan kaya, yang jelas
penyelesaian dari sebuah perbuatan buruk tadi. Mereka hanya menyantap
makanan jasmani, sedangkan rohaninya kosong.” “Terkait dengan hal itulah
kami para wali ingin berbincang.” ujar Sunan Giri, “Bukankah para
sahabat nabi juga menafkahkan seluruh hartanya demi agama. Lihatlah
khalifah Umar bin Khatab, jubah dan pakaiannya penuh dengan tambalan.
Meski secara lahiryah terlihat miskin namun hatinya sangat kaya, jiwanya
tersisi penuh. Tidak pernah berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.”
“Benar, Kanjeng.” “Kemiskinan dan kelaparan yang melanda negeri Demak
Bintoro dimanfaatkan pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang
dari agama. Sehingga memicu persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas,
“Banyak rakyat miskin dan kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat
kalangkabut dan kacau balau. Selain aqidah mereka masih lemah, pengaruh
ajaran sesat dan menyesatkan semakin kuat. Sehingga mereka dengan
ajarannya telah mencoba menodai perjuangan para wali.” “Gusti, menurut
hemat hamba. Tersebarnya ajaran sesat Syekh Siti Jenar terkait pula
dengan persoalan politik.” timpal Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng
Pengging selain murid, juga sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar,
disamping masih keturunan Majapahit. Mungkin dia punya anggapan memiliki
hak yang sama untuk meraih tahta.” “Tidakkah sebaiknya persoalan
politik dipisahkan dulu…” “Maaf Kanjeng Sunan Kalijaga, rasanya ini
telah sulit untuk dipilah. Ditebarnya kekacauan dengan isu agama, sangat
sarat dengan muatan politik.” “Dimas Bayat, untuk menjernihkan
persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.” tatap
Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak pernah terjadi
pemberontakan di Kademangan Bintoro?” “Bukankah dugaan saya telah
terjadi, Gusti?” “Dalam hal ini tetap harus ada keputusan, Raden,
terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri,
“Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran
sesat ini semakin meluas….” “Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala,
pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup. “Haruskah saya seret
Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran
Bayat. “Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga,
“Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan
Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?” ——————- “Untuk apa, Kanjeng?”
tanya Sunan Giri. “Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.”
jawab Sunan Kalijaga. “Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar
mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” “Maaf,
Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.”
Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya
utus untuk menemui Syekh Siti Jenar. Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng.
Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang
wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup
menilai sesat atau tidaknya ajaran Syekh Siti Jenar.” “Baiklah, Raden.
Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali
yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus,
Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.”
“Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?”
tanya Pangeran Bayat. “Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah
Sunan Giri. “Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran
sesat. Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri.
“Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya. “Hamba kira hukuman mati
sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat. “Hukuman apa pun layak diberikan
pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan
Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan
memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta
pembuktian.” “Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah
dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita
menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke
Desa Khendarsawa. *** Sore itu matahari tertutup mega hitam,
berlapis-lapis. Seakan-akan tatapan matanya yang bersinar sengaja
dihalangi untuk menatap padepokan Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat
kencang, mega pekat membumbung dan berputar-putar, semakin cepat.
“Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo yang berada di halaman padepokan
bangkit dari duduknya, kepalanya mendongak ke atas. “Apa yang akan
terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan keningnya, “Angin puting
beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh Siti Jenar yang berdiri
di samping Kebo Kenongo. “Pernahkah kita merusak alam? Menebang pohon
sembarangan, membabad batu padas seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar.
“Tidak,” “Bahkan sebaliknya kita memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki
Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran hamamayu hayuning bawanna…” ——————-
“Jika demikian kita tidak perlu takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar
tersenyum, “Puting beliung biasanya menghancurleburkan rumah, dan
bangunan. Mungkin saja padepokan yang kita diami….” “Saya kurang paham?”
tanya Ki Chantulo, “Apa kaitannya dengan memakmurkan bumi?” “Bukankah
beberapa waktu lalu saya pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?”
“Yang kita bicarakan pada waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.”
kerut Ki Chantulo, “Sabda alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin
saja puting beliung bisa menghancurkan padepokan kita? Mengapa?”
“Mungkin disini, bukan berarti akan terjadi, atau tidak sama sekali,
bahkan bisa saja terjadi.” ujar Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini
saya tegaskan, kemarahan alam sedahsyat apa pun tidak akan pernah
menyentuh padepokan kita.” “Termasuk puting beliung?” tanya Ki Chantulo.
“Meskipun rumah penduduk disekitar Desa Khendarsawa porak-poranda?”
“Benar, justru akan saya usahakan agar enyah dari Desa Khendarsawa.”
“Mengapa, Syekh?” “Bukankah saya sedang menjelaskan hal yang terkait
dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….” “….” Ki Chantulo dan yang
lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya saya belum paham…”
“Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya kira bencana akan
datang jika bumi dirusak. Penduduk Desa Khendarsawa akan kekeringan dan
kekurangan air pada musim panas, seandainya pohon-pohon besar yang
berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin saja akan terjadi
longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap gurunya. “Ya, itu sebuah
contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar, “Seandainya kita telah mengamalkan
ilmu hamamayu hayuning bawanna, memakmurkan bumi. Tidak akan pernah
kita dimurkai alam atau hidup dalam kesusahan.” “Maksudnya?” Ki Donoboyo
mengerutkan dahinya. “Alam sebenarnya akan memberikan imbalan pada
kita. Seandainya kita ikut memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti
Jenar perlahan melangkah, “Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki
Chantulo itu. Bukankah Ki Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil,
menanamnya, merawatnya, hingga menghasilkan buah?” “Ya, saya baru
mengerti, Syekh.” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala, “Benar, sekali
dengan perawatan dan pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan
imbalan pada saya berupa makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan
memakannya, saya baru ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya,
mengerti.” “Itu salah satu contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka
alam akan memberi imbalan. Lihatlah para petani dengan jerihpayah
menamam padi, lihat pula para petani membuat pematang sawah, menciptakan
saluran air dengan teratur, dan memeliharanya. Sebaliknya rusaklah
pohon jambu tadi, tebas dan biarkan merana, biarkan pula padi disawah
tidak harus dirawat dan diberi pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi
sampah. Apa yang akan terjadi? Memeliharakah pada kita? Murkakah
mereka?” “Tentu saja murka, Syekh. Saya paham,” Ki Chantulo
mengagguk-anggukan kepala. “Namun selain itu, tadi Syekh bisa
mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari Khendarswa?” “Bukankah
andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa membelah lautan. Lantas
menjinakkan air laut, sehingga dengan sebilah tongkat kayunya bisa
menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng Nabi Sulaiman
menundukan angin kencang?” “Bukankah itu mukjijat, Syekh?” tatap Ki
Chantulo. “Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak
mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan
mukjijat.” “Tentu saja,” ——————- “Bersandarlah kita pada ke Maha
Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar
hal itu bisa terjadi.” “Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?”
“Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah
rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk
dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan
Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang
menyebutnya Kharamah?” “Mengapa bisa muncul Kharamah?” “Ya, karena kita
telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.” “Jika tidak
sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?” “Tentu, asalkan hati
kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak
sepintar Ki Chantulo. Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar,
tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang
tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat
tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar. “Maksudnya?” tanya Ki
Donoboyo. “Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah
catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati
timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah
dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika Islam itu
hanya tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya……..” “Keberkahannya
yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran
Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang.
Kadangkala Alquran dan agama hanya dijadikan alat…” “Ya, dijadikan alat
untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para
penguasa negeri Demak Bintoro…” “Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak
mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas. Jika
demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa
benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya
seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal
kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang
bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.” “O…” Ki Donoboyo
mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa
saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya
jelek. Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan
agama yang saya anut.” “Menurunkan penilaian jelek pada orang lain,
karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar
Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu
menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca,
memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri
manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah.
Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa
introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut
banyak orang.” “Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya,
“Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?” “Benar, sehingga
hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri. Kita akan
dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain
meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan
menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya
dibelakang, jadi bahan obrolan.” “Itulah para pejabat negeri Demak
Bintoro….” “Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar
menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai
ma’rifat?” “Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit
menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan
benci akan penyimpangan, terutama dari…..” “Sudahlah, bukankah tadi saya
telah mengurainya?” “Jika andika berupaya, insya Allah akan sampai pada
tujuan.” terang Syekh Siti Jenar. “Sampurasun…” terdengar suara dari
kaki bukit, menggema. “Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki
tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo. ——————- “Tahukah andika siapa
yang datang?” tanya Syekh Siti Jenar. “Belum terlihat, sama sekali tidak
tahu.” jawab Ki Donoboyo, meninggikan kakinya, matanya tertuju ke arah
jalan yang akan dilewati tamu. “Tidaklah perlu meninggikan kaki, apalagi
menajamkan penglihatan…” “Siapakah dia, Syekh?” tanya Ki Donoboyo,
begitu juga yang lainnya. “Mereka utusan dari negeri Demak Bintoro.”
“Artinya mereka akan menangkapi kita?” Ki Chantulo menepi. Belum juga Ki
Chantulo meneruskan perkataannya, utusan Demak Bintoro telah terlihat
menaiki anak tangga padepokan Syekh Siti Jenar. Paling Depan Pangeran
Bayat berdampingan dengan Sunan Kudus, diikuti Pangeran Modang, Sunan
Muria dan yang lainnya. “Selamat datang para petinggi Demak Bintoro dan
para Wali Agung di padepokan saya, Desa Khendarsawa.” Syekh Siti Jenar
dengan senyum ramah menyambut para tamunya, “Maafkan seandainya andika
dipaksa harus turun dari punggung kuda dan berjalan menaiki anak tangga
padepokan yang tidak sedikit. Mungkin langkah andika tersita dan
melelahkan?” “Alhamdulillah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Meski pun kami
dipaksa harus berjalan kaki bukanlah soal. Karena sesulit apa pun menuju
padepokan ini akan kami lakukan, yang jelas bisa menemui andika.”
“Bukankah setelah kesulitan ada kemudahan? Mungkin saja bagi andika
semua belumlah bisa bertemu kemudahan dengan segera. Bisa jadi kesulitan
yang berikutnya….” “Apa maksud andika, Syekh?” Pangeran Modang geram,
lalu mendekat dengan sorot mata beringas, “Hargailah, kami ini utusan
Agung dari Kasultanan Demak Bintoro!” ——————- “Apakah sikap saya tidak
ramah? Bukankah dari tadi sudah mempersilahkan? Butakah Pangeran pada
tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya
yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu
tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang
memancarkan cahaya. “Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang
semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris. “Pangeran,
tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan
Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang
geram. “Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya.
“Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana
menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya. “Dimas
Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat. “Baiklah, Kakang.” lalu
menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan
sorot mata tajam. Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam
beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung
telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis
mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin
menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani
matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan
kejadian penting di Desa Khendarsawa. Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah
setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran
Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki
Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan
menebar senyum. Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada
dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu
dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan
memahaminya pun akan beragam. “Syekh, saya mendengar kabar jika andika
dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap
Sunan Kudus. “Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu
wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika
seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari
ajaran Islam yang sesungguhnya.” “Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus,
“Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus.
Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan.
Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….” “Tapi meskipun andika
telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus
dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk
bertobat…” “Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar.
“E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja
membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan
hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat. “Kenapa
andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat
tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah
saya mendiamkannya?” “Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang
menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak
menghindar meski sejengkal tanah. “Diamlah andika!” ujar Syekh Siti
Jenar. Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan
keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu
kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk
bergerak. “Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang
dilakukannya terhadap Dimas Modang?” “Jangan khawatir, Pangeran.” lirik
Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan
tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”
——————- “Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala.
“Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar. “Ya, Syekh.”
“Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?” “Hari inilah saya datang
ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.” “Bahwa saya telah
mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh
Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap
Sunan Kudus. “Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan
Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari
ajaran Islam yang sesungguhnya….” “Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum,
“Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya
saya telah murtad, kafir, mungkin juga musyrik. Tetapi benarkah tuduhan
itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya
sebarkan. Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya
memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak
bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap
benar dan harus disebarluaskan?” “Memang itu tidak salah! Sudah
seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan
kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati-hati, “Tetapi
andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.” “Mengapa saya dianggap
melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika?
Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?” “Tidak,” “Lantas?”
“Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan
ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi
Islam yang sesungguhnya.” “Andika dari tadi menuduh saya telah
menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan
Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang
saya sebarkan?” ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu
mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam
pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?” “Syariat
Islam?” “Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan
Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…” “Tidak,” “Mengapa? Bukankah
itu hukumnya wajib?” “Tentu saja.” “Disitulah salah satu kesesatan yang
andika ajarkan, Syekh!” “Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah
satu kesesatan yang saya ajarkan?” “Dimana ukuran sesatnya?” “Ya, itu
tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan
Ramadhan!” “Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada
bulan Ramadhan, tidakkah salah?” “Justru andika telah salah dan sesat,
Syekh!” “Maaf, andika keliru, Kanjeng. Bukankah saya sebagai manusia
biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan,
apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak
seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima
waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan
Allah dalam Alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?” “Andika ini
melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?” “Saya tidak sedang melantur,
Kanjeng. Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya
sebagai manusia biasa tidak bisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika
demikian artinya telah melebihi Allah….” “Bagamaina andika ini, Syekh?
Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata,
memutar-mutar kalimat!” “Bukankah manusia dalam kehidupannya hanya
memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi.
Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat
dan menyesatkan umat….” “Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran
Bayat mengerutkan keningnya. “Islam itu agama syariat!” ujar Sunan
Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat
yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu
melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.” “Tidak
bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?”
——————- “Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu
ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika
mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!” “Bukankah saya
sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan
lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang
sebuah perintah terkait syariat…” “Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela
napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat. Islam
ini agama yang berdasarkan dalil dalam Alquran, bukan berdasarkan
pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…”
“Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.”
Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah
selesai…” “Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika
tidak bisa menghindar dari hukum…” “Hukum?” “Ya, hukum negara Demak
Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang
pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain
wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan
manunggaling kawula gusti.” “Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti,
Kanjeng?” “Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti
Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah
SWT….” “O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya
menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…” “Apa?” “Kanjeng,
tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya.
Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya
berdiri. “Menghilanglah kalian….” “E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang,
“Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap. Kemana mereka?” “Tangkap dan
bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar
perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi
berhamburan. “Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak,
“E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala,
dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga
tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup
angin.” “Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat,
Kanjeng Sunan Kudus?” “Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan
tubuh. “Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang.
“Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di
sini.” “Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran
Bayat. “Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya
setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.” “Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu
dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya. Sunan Kudus, Pangeran
Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar. Tidak
ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya
seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa
Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis
beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka. “Mereka
kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak
kemana-mana…” “Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan
mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. ——————-
“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakkah mereka
memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?” “Jika andika bertanya
tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar
menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia
dengan tingkatan. Semua manusia dihadapan Allah sama. Yang membedakan
hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.” “Maksudnya?”
“Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….” “Masih bingung,
Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala. “Sang Pencipta telah menciptakan
tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo
Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…”
“Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti
Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata batin, tentu bisa memandang
keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah,
atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.”
“Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo. “Sebetulnya mereka
pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya
melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan
mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.” “O, Syekh tahapan
lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa
mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo,
“Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat,
berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…” “Hahahaha….” Ki
Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi
karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.” “Tidaklah perlu
terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti
sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…” “Siapakah
yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo. “Rasanya
saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu
saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya
mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari
padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita!
Meski jasad kita telah terkubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati.
Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….” Tiba-tiba kilat
membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang
telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan
kesaksian dari langit. “Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo
ternganga. *** “Gusti, maafkan kami tidak berhasil membawa serta Syekh
Siti Jenar.” Pangeran Bayat merunduk di depan Raden Patah. Sunan Giri,
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kudus,
Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Pangeran
Modang dan para adipati telah lama berada di atas tempat duduknya. Dalam
batinnya masing-masing memikirkan dan mencerna, sesuai dengan kadar
ilmu yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan memboyong Syekh Siti
Jenar. “Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya, Gusti.” Pangeran
Modang mengacungkan sembah. “Haram! Islam tidak boleh menguasai ilmu
sihir apalagi mengamalkannya….” “Maaf, Kanjeng Sunan Giri.” Sunan Kudus
angkat bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak memiliki ilmu sihir…”
“Tapi, Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya sendiri dibuatnya
mematung bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang. “Itu bukanlah ilmu
sihir setahu saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah, “Merupakan salah
satu ilmu yang diajarkan pada murid-muridnya, terkadang kita
menganggapnya sesat. Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam syariat
Islam. Umat Islam tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…” “Benar,”
Sunan Kudus melirik, “…mungkin itulah ajaran thariqatnya.” “Disitulah
letak kesalahannya, Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit, “Islam itu
seakan-akan ilmu yang terkait dengan hal-hal mistis. Sehingga ajaran
yang disebarluaskannya bisa menodai perjuangan kita. Padahal selama ini
kita berusaha membasmi ajaran-ajaran yang berbau bid’ah, kharafat,
tahayul, dan musrik. Toh…dia malah mengajarkan hal-hal aneh. Tidaklah
sebaiknya mengajarkan bagaimana…cara shalat yang benar…” “Ya, padahal
keimanan rakyat Demak Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar Raden
Patah, “Belum juga memahami bag-bagan fikih…malah loncat ke hal-hal yang
berbau mistis.” “Bagi orang awam sudah barang tentu, akan mengulang
perbuatan menyimpang dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga berhenti
sejenak, “Ya, mungkin inilah warna kehidupan. Saya kira sepenuhnya
kebijakan milik negara dan dewan wali…”“Untuk itu tetap, Syekh Siti
Jenar harus ditangkap!” ujar Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya Sunan
Kalijaga saja yang berangkat?” “Saya setuju,” ujar Raden Patah, “Namun
tidaklah sendiri…” “Seandainya ini tugas negara dan perintah dari ketua
Dewan Wali…insya allah.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Bonang, mata
hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng, meski bagaimanapun juga tetap hal
ini akan terjadi.’ ‘Saya kira guratan taqdir berkata demikian. Terpaksa
atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan Kalijaga harus melakukannya.’ tatap
Sunan Bonang. “Ada apa Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga?”
tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting terkait dengan persoalan ini perlu
diperbincangkan?” “Rasanya tidak ada, Kanjeng.” ujar Sunan Bonang,
“Mungkin saya akan turut serta bersama Kanjeng Sunan Kalijaga…dan
beberapa wali lainnya.” “Baiklah,” Sunan Giri Menganggukan kepala. “Saya
akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang, dan beberapa prajurit
tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar Raden Patah. “Saya
rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.” ujar Sunan Bonang,
“Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan musuh. Tetapi kita
hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat dan
memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia tidak bisa
dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan Kalijaga…”
——————- “Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera
menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya
semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan
kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.” “Mudah-mudahan,” ujar Sunan
Bonang. “Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal
dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua
saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging
alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik
melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika hal ini
dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak
Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan,
dan membelanya.” “Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran
Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan
utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak
Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan
perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.”
“Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya
lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan
politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.” “Maaf, Kanjeng. Justru
agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat
Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya
berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar
belakang Ki Ageng Pengging?” “Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah
Raden Patah dengan tatapan matanya. “Jika itu terbukti, artinya Syekh
Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran
sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden
Patah. “Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan
menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak
larut dalam bayang-bayang dugaan…” *** Langit mendung, awan hitam
bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan,
diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup
sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan.
Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon,
terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman
padepok Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya
bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon
yang berubah jadi abu dalam sekejap. “Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki
Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang.
“Kematian…” “Maksud, Syekh?” ——————- “Lihat saja nanti.” melangkah pelan
keluar dari ruang padepokan, seakan-akan menyambut tamu yang akan
datang. Para muridnya yang berada di dalam ruangan belum juga keluar,
mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan tatapan mata penuh
pertanyaan. Matahari semakin ketakutan, menyelinap di antara gelapnya
mega yang bergulung-gulung. Angin semakin kencang dibarengi petir dan
kilat, seakan menjadi-jadi. Utusan Negeri Demak Bintoro telah berada di
gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga berdampingan dengan Pangeran
Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di belakangnya Pangeran Modang,
Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Geseng.
“Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk langit, “Sihir Syekh Siti
Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan petir, angin kencang, dan
guntur. Padahal sebelum memasuki Desa Khendarsawa tidak ada.”
“Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan kita, Kanjeng?” lirik
Pangeran Bayat. “Ya,” jawab Sunan Kalijaga, matanya tertuju ke depan.
“Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan untuk menyambut kedatangan
kita?” “Tidak, Pangeran.” “Tapi…bukankah…” “Pertanda alam ini lahir
dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat langkah kudanya,
“Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna yang
dimilikinya?” “Ya, namun saya kurang paham?” “Inilah bukti kemanunggalan
Syekh Siti Jenar dengan alam…” “Maksudnya?” Pangeran Modang ikut
bertanya, keningnya berkerut-kerut. “Jika kaki Pangeran terantuk batu,
yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau mulut?” “Tentu saja
mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak kesakitan.” Pangeran
Modang memijit-mijit kening, “Apa hubungannya ilmu sihir yang ditebarkan
Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga?” “Rayi
Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat. “Ah…bingung saya kakang…”
Pangeran Modang garuk-garuk kepala. “Kita telah sampai di wilayah Desa
Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit
yang tiba-tiba terang benderang. Tidak ada angin kencang, petir, bahkan
guntur. “Aneh?” Pangeran Modang memijit-mijit keningnya, “Lihatlah Syekh
Siti Jenar sudah tidak lagi menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!”
Matahari kembali bisa menunaikan sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa,
tanpa terhalang mega tebal yang menggumpal. Hanya lapisan, serta
lembaran awan putih tipis menyertainya. Laksana lembaran kertas yang
akan ikut serta mencatat sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah
tatapan matahari. ——————- Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di
bawah pohon rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang
lainnya, matanya menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam.
Anak tangga berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar
siapa saja yang hendak menemui penghuninya. “Kanjeng, itulah tangga
susun menuju padepokannya.” lirik Pangeran Bayat. “Sangat banyak anak
tangganya!” gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung
jumlahnya…saking banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes
dikeningnya. “Ya, itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti
Jenar menggema. “Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan
matanya, “Mulai lagi menggunakan ilmu sihir…” “Saya kira Syekh Siti
Jenar sudah tahu kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat,
“Padahal keberadaan kita masih jauh dari padepokannya…” “Bukan Syekh
Siti Jenar jika gelap mata hatinya, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum.
“Kanjeng Sunan bisa saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang
di padepokan saya saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan
Bonang dan lainnya.” “Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap
dengan Sunan Kalijaga. “Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha
mencari jejak Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng,
dimanakah dia?” tatapnya pada Sunan Bonang. “Tentu saja di padepokannya,
Pangeran.” “Aneh….?” tangannya memijit-mijit kening, “Padahal masih
harus melewati beberapa tangga dan bentangan jalan. Mengapa suaranya
sangat dekat, seakan-akan berada dihadapan kita? Tidakah sedang
menghilang menggunakan ilmu sihirnya?” “Tidak,” “Heran?” tatap Pangeran
Modang pada Sunan Bonang, “Sangat tinggi ilmu sihirnya…” Setahap demi
setahap Sunan Kalijaga dan rombongan menginjak tangga yang terbuat dari
pahatan batu padas. Berkali-kali Pangeran Modang menghela napas, seraya
menyeka keringat. Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga tidak tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya
seakan-akan tidak memiliki bobot. “Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki
tangga? Tidak sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema
suara Syekh Siti Jenar. “Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.”
Sunan Kalijaga melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat
tidak menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan
tangga, jika kaki saya tidak menyentuhnya….” “Kanjeng, apa maksud ucapan
Syekh Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua
tidak tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah
Kanjeng juga punya ilmu sihir?” “Mengapa pangeran bertanya demikian?”
tatap Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran
menyentuh tangga. Saya tidak merasa berat dan mungkin sering latihan….”
“O…pantas…” Pangeran Modang geleng-gelengkan kepala. “Memang saya malas
berolah raga…apalagi memanjat gunung…” Matahari semakin nampak, panasnya
terik menguliti tubuh. Seakan-akan ingin puas menyinari para penghuni
bumi. Itu semua terseka dengan tiupan angin sepoi-sepoi, mengusir sengat
dan keringat panas. “Inilah padepokan saya, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar
menyambut Sunan Kalijaga beserta rombongan dari Negeri Demak Bintoro.
Dibelakangnya berdiri beberapa muridnya, dengan sorot mata tenang.
“Syekh, saya telah kembali!” Pangeran Modang geram, “Kali ini andika
tidak akan bisa lolos…” ——————- “Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus
meletakan jari telunjuk dibibirnya. “Saya akan berujar secara lahiryah…”
tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri
Demak Bintoro.” “Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti
Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri
Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai
utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.” “Ya, saya
kira demikian.” “Baiklah,” “Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan
rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak
Bintoro. Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua
Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun
alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan
ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?” “Mengapa tuduhan
seperti itu selalu datang bertubi-tubi memojokan saya dan para pengikut?
Padahal saya tidak merasa sedang berada dalam kesesatan.” “Tentu saja,
sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam
hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah
berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan
Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang
telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya.
Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan
gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan
gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu,
namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga
lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang
mengajarkannya.” “Seperti itukah lelaku saya saat ini?” “Ya, dari sudut
pandang umum.” “Tidakkah disadari meski gendang pun bisa dipukul
menggunakan batang kecil yang seukuran. Lihatlah bedug, bukankah itu pun
gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?”
“Benar,” “Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?”
“Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.”
“Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan
esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.” “Mungkin menurut pandangan
khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya
hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap
sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar.
“Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam
Pangeran Modang. ‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan
kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam
jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta
manunggaling kawula gusti.’ ‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap
sama setiap orang. Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh
pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk
melukar syariat….’ “Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?”
Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang. “Mereka
berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau
kebatinan.” “Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat.
“Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan
mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar.
‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan
belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu
berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada
tangga yang lebih atas…’ “Lha, sekarang ketiga-tiganya jadi saling
tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk-garuk kepala,
“Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng-menengan…” “Kanjeng
Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat. ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus
menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika
pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.” “Hehhhhmmmm…”
Sunan Bonang menarik napas dalam-dalam, seraya mencerna permintaan Sunan
Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh,
lahirkanlah pembicaraan andika berdua!” Keduanya masih belum melahirkan
setiap ucapannya, seakan-akan sedang berdebat dengan tatapan matanya
masing-masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat-kamit mulut yang
meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar
hanyalah suara jubah mereka masing-masing yang berkelebatan tertiup
angin pegunungan. “Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya
tertuju pada Sunan Kalijaga. “Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga
tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak
setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan
secara merata. Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat
dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih-pilih, untuk siapa itu?
Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan
melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus
dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’ “Mengapa mereka
masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan. “Baiklah,
Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang
adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih
tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap
pemikiran saya?” “Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak,
“…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak
nyambung…” lalu menghela napas dalam-dalam. “Andika berkata demikian,
Syekh. Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya
mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.”
“Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami.
Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga-duga, serta merta memojokan
dan menyudutkan semisal saya dan para murid.” “Apa yang andika
bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan
terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan
ajaran sesat dan menyesatkan?” “Perlukah saya bicara panjang lebar
dengan andika, Pangeran?” “Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa
lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya,
kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan
andika akan lebih melantur kemana-mana. Memutar balikan fakta, serta
membolak-balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah
mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar
terlepas dari hal yang dituduhkan.” “Baiklah, saya terima tantangan
itu.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Meski saya seribu kali membuat
penjelasan dan pembelaan rasanya bukan itu yang andika semua tuju.
Karena tujuan para utusan agung dari negeri Demak Bintoro ingin
menangkap saya dan menjatuhkan hukuman. Untuk itu tangkaplah saya!”
“Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh
Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa
mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang
segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya
menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan.
“Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya
mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan
Pangeran Bayat. *** Awan berlayar rendah di atas bahu puncak Gunung
Lawu. Matahari berbinar kemerah-merahan, mungkin marah atau terusik
dengan suara bising di tepi hutan. Teriak lantang, dentingan senjata
begitu nyaring. Nun jauh dari keramaian rakyat negeri Demak Bintoro,
berdiri pendopo megah terbuat dari kayu jati tidak berukir. Halamnnya
yang luas dipagari pepohonan sebesar tubuh kerbau, daun rimbunnya
menutup langit, pagar hidup dan tumbuh. Loro Gempol berdiri di depan
para lelaki telanjang dada, tubuh kekar serta berotot. Setiap tangan
menggenggam pedang, lalu berpasangan saling serang. Di sudut lain Kebo
Benowo berdampingan dengan Joyo Dento, dihadapannya berdiri pasukan
berbaju serba hitam. Tangannya menghunus keris, menggenggam tombak
pasukan sebelahnya, paling samping dengan busur di tangan dan anak
panah. “Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo Benowo. “Hanya saja kita
kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento mengkerut. “Maksud andika?”
“Kita perlu pasukan berkuda.” “Kenapa tidak?” “Persoalannya kita harus
mengeluarkan modal yang lebih besar? Selain membeli kuda juga merekrut
lagi warga Demak yang siap berjuang bersama kita.” “Bukankah itu soal
mudah, Dento?” “Maksud aki?” “Taklukan lagi para rampok dan paksa
orang-orang kampung, terutama para pemudanya agar mengikuti kita. Perlu
kuda kita melakukan perampasan…” “Saya kurang setuju dengan cara
demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya. “Meski dulu pernah
melakukan cara itu. Namun itu hanya berlaku bagi para perampok. Bagi
penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.” “Takutkah andika,
Dento?” “Sama sekali tidak, Ki.” “Lantas?” “Tidakkah aki pikirkan
seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang tidak akan
pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah kita,”
“Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup modal
untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas cipataan?”
“Tidak,” ——————- “Lantas?” Kebo Benowo menggeleng. “Ide apa kali ini
yang bersemayam di benak andika, Dento?” “Doktrin!” “Maksudnya?” dahi
Kebo Benowo mengkerut. “Bukankah siasat ini berhasil?” sungging Joyo
Dento. ”Keadaan rakyat Demak Bintoro terpengaruh dan kacau…” “Ajaran
hidup untuk mati itukah?” “Itulah!” “Bukankah mereka sudah menganggap
mati itu indah? Mana mungkin mereka menginkan kedudukan dan memiliki
niat bergabung dengan kita?” “Hahahaha…Ki Benowo! Jangan khawatir,
bukankah orang-orang yang akan kita pengaruhi tidak lain hanyalah
masyarakat miskin dan bodoh?” “Benar,” “Mudah.” *** “Syekh Siti Jenar
yang memiliki ilmu sihir itu ternyata teramat mudah untuk saya seret ke
hadapan Gusti Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang mengurai gemerisiknya
dedaunan tertiup angin. “Dimas, Modang!” kerut Pangeran Bayat. “Tidak
mungkin ini terjadi teramat mudah?” matanya tidak beranjak dari wujud
Syekh Siti Jenar yang terikat dan disered-sered Pangeran Modang. “Tentu
saja, Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang gara-gara berhadapan
dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu tinggi.” “Bukankah
tempo hari juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?” “Entahlah…bukankah
ketika berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih sempat menghilang
dengan sihirnya ketika akan ditangkap?” “Benar juga?” “Kenapa andika
malah berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan andika berdua
menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah diperdebatkan. Bawalah
saya dan hadapkanlah pada Gustimu!” “Andika menantang!” geram Pangeran
Modang. ——————- “Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan
andika?” “Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta
mendapatkan hukuman yang setimpal.” “Saya kira tidak melalui pengadilan
dulu?” “Bicara apa?” “Masa kisanak tidak dengar?” “Itu penghinaan,
Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali-kali andika bicara
ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan
kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun
akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!” “Apa artinya hukum
manusia?” “Tidak takutkah andika, Syekh?” “Mengapa mesti takut,
Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.”
desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk
senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba.
Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya
malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di
dunia ini.” Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan
Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada
salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak
boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh
Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan
hukuman. “Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan
sejenak. “Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang
kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring
ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!” “Pangeran?” sela Sunan
Geseng pelan. ——————- “O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah
menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal
dilakukan demi menghilangkan nyawa orang?” ”Jangan salah arti, Syekh!”
ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan
nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!”
“Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang
kisanak anggap sebagai musuh Negara?” “…tidak…” “Mengapa tidak? Bukankah
setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah
pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya
kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?” ”Apa
bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembelihan?
Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?”
“Kisanakkah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?”
“Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari
dahinya. “…hingga derajat andika dianggap setingkat dengan binatang
sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…” “Pangeran,” desis
Sunan Geseng. ”Tidakkah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah
pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan
Gusti Sinuhun?” ”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah
sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit
penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa-dosanya.
Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…” “Hahahaha….” Syekh Siti
Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…” “Diam,
Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti
Jenar hingga terhuyung. ——————- ”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga
keseimbangan. “Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran
Bayat. “Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti
nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan
Pejabat.” “Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran,
Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakkah antara si miskin dan si
kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?” “Siapa
bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan
Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat
andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat
Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?” “Benar…benar kisanak
telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.”
sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal
sendiri, apalagi hakikat hidup. Lantas tidakkah ingat bahwa Allah
menilai manusia bukan karena parasnya yang cantik, bukan karena
jabatannya, bukan karena miskinnya, tetapi orang yang paling mulia
dihadapanNya hanyalah nilai ketakwaannya? Dunia, jabatan, kekuasaan,
serta segala yang kisanak miliki tidak akan pernah menolong dan membantu
ketika kita ber…” “Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya
andika menggurui saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar
marah. Kepalan tangannya menghantam lambung. “Akhhh…” jerit lirih Syek
Siti Jenar, merunduk. “Rupanya andika harus mendapat pelajaran!”
ketusnya. ——————- “Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan
Pangeran Modang berikutnya. “Kenapa, Kakang?” “Sadarlah, Dimas? Tidak
semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah
dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?” “Tapi,”
“Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin
keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat
berantakan sistem hukum di negara ini.” “Diam, andika, pesakitan!”
bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal
mulut andika…” “Pangeran, tindakan kisanak tidak mencerminkan sebagai
seorang terpelajar dan sosok pejabat…” “Mulai lagi andika! Bukannya diam
dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang
terpelajar, juga pejabat negara. Beraninya bersikap tidak diam, malah
membantah terus…” “Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat
negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan
prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?” “Keparat!”
Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan
tangannya ke perut. “Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung. “Mau lagi?”
memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini
orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak
kesakitan?” “Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya
merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati
kesombongan dan keadigungan adiguna….” “Brengsek! Menantang rupanya
andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya
ke arah perut. Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya
menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak
bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut. ——————- ”Eeh…sihir apalagi
yang andika gunakan, Syekh?” ”Pangeran, tidak semestinya seorang
terpelajar dan memiliki jabatan menduga-duga dan menuduh. Padahal
tuduhan tadi menunjukan ketidakpercayaan diri kisanak.” “Andika yang
menduga-duga?” ”Katakanlah dengan nurani, Pangeran. Tidak sepantasnya
memutarbalikan kata andai itu hanya untuk melipur lara karna takut.”
berdiri tegak, tatapan matanya yang tajam seakan-akan menembus kelopak
mata Pangeran Modang dengan seringainya menahan sakit. ‘Keparat,
benarkah dia itu bisa membaca isi hati saya? Ah…mana mungkin manusia
sanggup menyelami hati orang lain?’ sejenak termangu, telapak tanganya
mengelus punggung tangan yang terasa sakit. ‘Jika tidak, mengapa dia
tahu saya merasa ciut…’ “Benarkan apa yang saya katakan, Pangeran?”
”Diam!” geramnya, jari-jemarinya dengan kasar menjabak leher baju Syekh
Siti Jenar. “Mana mungkin orang sekasar kisanak bisa mendalami agama
dengan baik. Apalagi mendakwahkannya pada orang lain. Prilaku saja sudah
tidak sanggup menarik simpati. Tidak salahkah para wali memungut
kisanak sebagai abdi negara? Bukankah rakyat semacam saya ini perlu
diayomi…” “Tidak, karna andika bukanlah rakyat Demak Kebanyakan. Andika
tiada lain pesakitan yang sudah semestinya mendapat perlakuan seperti
ini.” ”Bukankah kesalahan saya ini belum terbukti, Pangeran?” “Nanti
akan kita buktikan dalam persidangan…” ”Haruskah yang belum jelas
kesalahannya diperlakukan sebagai pesakitan?” “Andika ini memang
pesakitan!” bentaknya dengan muka memerah. “Tidakkah kisanak dalam
keadaan gusar? Setiap ujaran berbenturan dengan lainnya.” ”Diam!”
Pangeran Modang merenung sejenak. Disisi lain rasa gengsi sangat kuat
untuk memperlakukan Syekh Siti Jenar dengan cara yang kurang hormat,
dipihak lain membenarkan ucapan musuhnya. “Sudah!” lalu menyeret lagi.
“Sebaiknya Pangeran istirahat dulu…” “Diam!” lalu membalikan tubuh ke
belakang ternyata Pangeran Bayat menjauhi dirinya seakan berlari kembali
ke Padepokan menghampiri para Sunan yang tidak mengikuti langkahnya.
“Ada apa ini?” dahinya dikerutkan. ——————- “Kenapa Kakang Bayat
meninggalkan saya? Juga para Sunan tiada satu pun mengikuti, padahal
tadi dibelakang.” “Jika demikian kita hanya berdua Pangeran?” terdengar
lembut dan menakutkan. “Diam!.” kembali berbalik, “Eeh…kemana Syekh Siti
Jenar? Mengapa ikut lenyap, lalu…” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya, tangannya masih menggenggam kuat tambang pengikat
pesakitannya. Yang diikatnya kini bukanlah Syekh Siti Jenar tetapi
sebongkah gedebog pisang. ”Keparat! Saya telah kembali ditipu dengan
sihirnya…” giginya gemeretak, tinjunya dikepalkan, mukanya merah padam.
“Aneh, bukankah sedari tadi saya bicara dengan mereka…apa sebenarnya
yang telah terjadi pada diriku?” Berkali-kali telapak tangnya menepuk
dahi, terasa dirinya betapa dungu dalam menghadapi kejadian tersebut.
“Lalu, benarkah tadi yang saya ajak bicara Kakang Bayat? Juga Para
Sunan? Jika benar tentu mereka tidak akan meninggalkan saya begitu
saja?” ”Haha…dasar bodoh! Andai mata hati kisanak tidak buta tentu tak
seharusnya berbuat sebodoh itu….” “Keparat! Siapa andika?”
berputar-putar mencari pemilik suara, terdengar seakan-akan menusuk
gendang telinganya. “Buanglah yang menyebabkan hati kisanak menjadi
buta. Belalakkanlah mata hati kisanak!” “Brengsek! Andika jangan
mempermainkan saya! Ayo tampakan wujud Andika pengecut…” “Bukankah tadi
saya sudah menasihati kisanak?” “Saya tidak perlu nasihat orang
pengecut…” “Kisanak masih belum paham juga…”
No comments:
Post a Comment
AkvvfKEyCzFtfheJCWaEteNVKP0