أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
TUJUH TINGKATAN ZIKIR
Imam ash-Shadiq as berkata, “Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’), Zikir
Jiwa (Dzikr al-Nafs) itu kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras
(al-‘ana’), Zikir Ruh itu takut (al-khauf) dan harap (al-raja’), Zikir
Kalbu itu pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’), Zikir
Akal itu pengagungan (at-ta’zhim) dan malu (al-haya’), Zikir Ma’rifat
itu penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’), Zikir Sirr (Dzikr
al-Sirr) itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’)” 1]
TINGKATAN PERTAMA : ZIKIR LISAN Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’). Pertama-tama
yang mesti dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan latihan
zikir, adalah membiasakan lidahnya untuk selalu berzikir.
Ia harus
senantiasa berzikir tanpa henti di mana pun ia berada dan kapan pun
keadaannya. Pada tingkatan ini, zikir diwujudkan oleh lisan dalam bentuk
pujaan dan pujian yang ditujukan hanya kepada Allah SwT.
Kata “al-Hamd
– segala puji-” yang diucapkan lidahnya muncul dari persaksian atas
Karunia Allah kepada sang hamba. Sang hamba mesti bersaksi dan mulai
benar-benar menyadari bahwa Dia-lah yang telah melimpahkan semua karunia
yang diterimanya. 2] Oleh karena itu, sang hamba mesti selalu mentaati-Nya di mana pun dan kapan pun ia berada.
TINGKATAN KEDUA : ZIKIR JIWA (DZIKR AL-NAFS) Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Zikir Jiwa itu adalah mewujudkan kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras (al-‘ana)”.
Pada tingkatan Dzikr al-Nafs
ini, sang pezikir mesti mulai melatih untuk menguatkan jiwanya dengan
kesungguhan dan kemauan yang keras agar selalu terjaga dari alpa dan
kelalaian. Nafs sang hamba mesti senatiasa terjaga dalam
kondisi zikir dan mengingat-Nya. Dengan kesungguhan dan kemauan yang
kuat, sang hamba harus menundukkan nafs (diri) –nya untuk tetap berzikir
(baca : ta’at) kepada Tuhannya.
Seseorang yang berpikir bahwa
dirinya akan dapat menyingkap rahasia-rahasia dan mencapai Hakikat-Nya
tanpa bermujahadah (kesungguhan) maka dia hanyalah berangan-angan.
Karena awal perjalanan ruhani itu adalah mujahadah.
Barangsiapa yang tidak memiliki kesungguhan (mujahadah) di jalan-Nya niscaya tidak akan memperoleh Cahaya dari-Nya. 3]
Kehendak
dan kesungguhan adalah esensi kemanusiaan dan kriteria kebebasan
manusia. Perbedaan derajat manusia adalah sesuai dengan perbedaan
tingkat kehendak dan kesungguhan masing-masing manusia. 4]
Dengan kata lain tingkat kemanusiaan (insaniyyah)
seseorang dapat diukur dari kuat lemah kesungguhan dan kemauan diri
(nafs)-nya untuk tidak lalai dan senantiasa mengingat-Nya di dalam
mencapai peringkat-peringkat ruhani di jalan-Nya.
“Dan
orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Kami niscaya
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik
(ihsan)” (QS 29 : 69)
TINGKATAN KETIGA : ZIKIR RUH Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Ruh itu takut (al-khauf) dan harap (al-raja’)”.
Tingkatan Zikir Ruh
adalah Tingkatan ketika Ruh berzikir kepada-Allah sampai muncul hasil
dari zikirnya itu rasa takut kepada Allah Swt yang sedemikian rupa
sehingga seorang hamba merasa jika ia datang kepada-Nya dengan kebajikan
(birr) dari 2 dunia (jin dan manusia), dia merasa akan tetap
dihukum oleh-Nya dan pada saat yang bersamaan muncul pula rasa harap
yang sedemikian rupa sehingga jika ia datang ke hadapan-Nya dengan dosa 2
dunia, maka Dia akan tetap mengasihinya (dengan ampunan-Nya) 5]
Sesungguhnya
tingkatan (maqam) “khauf dan raja’” ini merupakan tingkatan ruhani
yang cukup tinggi. Karena tidak akan muncul rasa takut di dalam hati
seseorang melainkan karena kesempurnaan pengetahuannya tentang Tuhan.
Al-Qur’an Yang Mulia mengatakan, ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu” (QS 35 : 28).
Hanya mereka yang memiliki ilmu yang bermanfaatlah yang memperoleh rasa takut kepada Tuhannya Yang Maha Perkasa.
Namun
rasa takut tidaklah hanya terungkap di dalam kata-kata atau munajat,
tetapi juga mewujud di dalam setiap amal perbuatan dan ibadah-ibadahnya.
Imam Ali as berkata, ”Aku
heran dengan orang yang (mengaku) takut pada siksa (Neraka) tetapi ia
tidak menahan diri (dari dosa). Dan aku heran dengan orang yang
mengharapkan ganjaran pahala (tsawaab) namun ia tidak bertaubat dan
melakukan amal shalih.” 6]
Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kedudukkan Tuhannya dan menahan dirinya
dari hawa nafsu maka Surga-lah tempat tinggalnya (QS 79 : 40-41)
TINGKATAN KEEMPAT : ZIKIR KALBU (DZIKR AL-QALB) Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Kalbu itu pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’)”. Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww bersabda, ”Janganlah
kamu melihat shalat-shalat mereka, puasa-puasa mereka dan banyaknya
hajji dan kebaikan mereka, bahkan ibadah malam mereka. Tetapi hendaklah
kamu lihat (sejauh mana) kebenaran kata-kata dan penunaian amanat
(mereka).” 7]
Jangan sampai kita tertipu karena kita hanya mengandalkan amalan lahiriyah kita (fiqih) namun melupakan amalan batiniyah (akhlaq).
Banyak kita lihat orang-orang yang rajin melakukan shalat, berpuasa
bahkan pergi hajji berkali-kali ke Baitullah namun ternyata mereka
adalah para pendusta, penipu, koruptor dan para pengkhianat bangsa dan
agama. (Kita berlindung dari amalan yang seperti itu).
Syahadat
yang kita ucapkan di dalam shalat kita, sudah semestinya tidak hanya
diucapkan dengan lidah saja, syahadat juga mesti diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Imam Ali as mengatakan di dalam khutbahnya, ”Pokok
pangkal agama itu adalah mengenal Allah, dan kesempurnaan dari ma’rifat
kepada-Nya adalah pembenaran atas-Nya, dan kesempurnaan dari pembenaran
atas-Nya adalah meng-Esakan-Nya dan kesempurnaan peng-Esa-an-Nya adalah
mengikhlashkan (pengabdian) kepada-Nya, dan kesempurnaan dari
pengikhlashan kepada-Nya adalah menafikan semua sifat yang dinisbatkan
kepada-Nya.” 8]
Zikir Kalbu ini adalah pembenaran atas ke-Esa-an-Nya, yaitu ketika sang pezikir sudah mencapai maqam musyahadah
(penyaksian). Sang pezikir menyaksikan dengan mata batinnya akan
Wujud-Nya Yang Tunggal sehingga ia pun membenarkan Sang Realitas seraya
membersihkan hatinya dari penisbatas sifat-sifat yang tidak layak
bagi-Nya.
“Maha Suci Tuhanmu Yang Memiliki Keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan (kepada-Nya)” (QS Al-Shâffât 37 : 180)
TINGKATAN KELIMA : ZIKIR AKAL (DZIKR AL-AQL) Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Akal itu pengagungan (at-ta’zhim) dan malu (al-haya’)”.
Agaknya maksud akal di dalam hadits ini bukanlah sekadar akal rasional,
namun akal ke’arifan. Di dalam sebuah hadits lainnya, Imam Ali as
berkata, ”Perumpamaan akal di dalam hati (al-qalb) adalah seperti lampu di tengah-tengah sebuah rumah.” 9]
Akal yang berada dalam hati ini hanya bisa bercahaya dan menyinari alam syuhud dan alam ma’nawi jika ‘digosok’ dan ‘dipoles’ dengan tadzakkur dan tafakkur.
Cahaya
akal ini akan menyingkap tabir-tabir kegelapan yang menutupi diri sang
pejalan ruhani dari Al-Haqq sehingga ia dapat menyaksikan Keagungan (al-Jalal)-Nya dan Keindahan(Al-Jamal)-Nya dan terpancarlah rasa pengagungan (ta’zhim) kepada-Nya.
Sebiji mata yang melihat lebih baik ketimbang ratusan tongkat orang buta. Mata dapat membedakan permata dari kerikil (Rumi, Matsnawi VI : 3785)
TINGKATAN KEENAM : ZIKIR MA’RIFAT Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Zikir Ma’rifat itu penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’)”.
Zikir ini lebih tinggi dari Zikir Akal. Setelah tadzakkur dan tafakkur
muncullah ma’rifat. Ma’rifat kepada-Nya inilah yang membuatnya terdorong
untuk berserah diri secara total (taslim) dan rela atas segala tindakan dan keputusan-Nya atas dirinya.
Imam al-Shadiq as berkata, ”Sesungguhnya manusia yang paling mengenal Allah adalah mereka yang ridha akan Qadha (ketentuan) Allah ‘Azza wa Jalla.” 10]
Di dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Musa as : “Sesungguhnya
engkau sekali-kali tidak akan mampu mendekati-Ku dengan sesuatu yang
lebih Aku cintai ketimbang sikap ridha dengan Ketentuan (Qadla’)–Ku” 11]
Dan
melalui penyingkapan–diri-Nya di dalam pancaran cahaya, Dia menunjukkan
keterbatasan kemampuan (penglihatan) mata serta kekuatan rasional,
menjadikannya melampaui kekuatan (penglihatan) mata Jadi, segala sesuatu
memiliki keterbatasan, hanya Tuhan yang memiliki Kesempurnaan Esensi (Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah II : 632.29)
TINGKATAN KETUJUH : ZIKIR SIRR Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Sirr itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’)”.
Inilah tingkatan zikir yang paling tinggi! Tapi apakah sebenarnya Sirr itu? Sebagian kaum ‘urafa menyebut Sirr (Rahasia) sebagai Habb, yang secara harfiah berarti biji. Sirr atau Habb ini merupakan inti dari Lubb. Dan Lubb ini adalah inti dari Qalb (hati) 12]
Jadi, Sirr adalah bagian yang terdalam dan terhalus dari hati. 13]. Habb atau Sirr inilah tempat bersemayamnya Cinta yang bersifat ruhani. (Hubb)
Adapun
Zikir Sirr adalah Zikir yang muncul setelah tahapan Zikir Ma’rifat
terlampaui. Jika seorang pezikir telah sepenuhnya berserah diri dan
ridha kepada semua Qadla-Nya maka sampailah ia pada tahapan memandang
Yang Terkasih setelah berjumpa (liqa’)dengan-Nya, yang kemudian Cinta (Mahabbah) pun bersemi.
Imam Ali al-Murtadha as bermunajat: Ya Allah, Tuhanku… Engkaulah yang
paling terpaut pada pencinta-Mu Dan yang paling bersedia menolong
orang-orang yang bertawakkal kepada-Mu. Engkau melihat, Engkau menguji
rahasia-rahasia (saraa-i-rihim) mereka, dan mengetahui
apa yang bersemayam dalam kesadaran mereka, dan menyadari sampai ke
tingkat penglihatan batin mereka. Akibatnya rahasia-rahasia mereka
terbuka bagi-Mu, dan kalbu-kalbu mereka memuji-Mu dalam kerawanan yang
sungguh-sungguh. Dalam kesunyian, teman dan pelipur lara mereka adalah
dengan berzikir kepada-Mu dan penderitaan, bantuan-Mu adalah pelindung
mereka. 14]
No comments:
Post a Comment