Wednesday, April 24, 2013

DUNIA ITU GELAP ( ADDUNYA DZULMATUN )

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله



حدثني محمد بن إدريس ، نا عبدة بن سليمان ، عن ابن المبارك ، عن جعفر بن سليمان ، قال: «هم الدنيا ظلمة في القلب، وهم الآخرة نور في القلب»
 اسم الكتاب: الزهد لأبن أبي الدنيا

Telah mengabarkan Muhammad bin idris dari abduh bin sulaiman dari Ibn Mubarok dari Jafar bin sulamaiman berkata : semua [insan] yang bertujuan mencari kesenangan dunia maka akan buta dan gelap hatinya.. Sedangkan negeri akhirat bagi orang/insan pilihan itu adalah cahaya bagi hatinya [ dengan amal shaleh ].

يقول الفقير: أراد أن الدنيا ظلمة؛ لأنها مظهر جلالـه تعالى والآخرة نور؛ لأنها مجلى جمالـه تعالى.
 اسم الكتاب: روح البيان
رقم الجزء: 8
رقم الصفحة: 2

Alfaqir berkata : Allah menghendaki bahwa dunia itu gelap, karena sungguh dunia itu mendzohirkan / menjelaskan keagungan-Nya ta'aalaa, dan menghendaki akhirat itu cahaya, karena akhirat itu menerangi (membuka tabir) keindahan-Nya ta'aalaa..

Enhanced by Zemanta

Pembagian nyawa & Arti Sukma

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Pembagian nyawa


والروح ثلاثة اضرب اولها سلطانية و الثانى روحانية والثالث جسمانية فموضع السلطانية الفؤادى
يعنى القلب وموضع الروحانية الكبد يعنى الصدر وموضع الجسمانية بين اللحم والدم وبين العظم والعروق
فإن قيل إذا نام العبد خرج روحه ام لا؟
فإن قال قائل خرج فقد اخطأ وان قال لم يخرج فقد اخطأ . والجواب اذا نام العبد خرج روحه الجسمانى مع العقل ومشى بين السماء والارض فإن كان العقل معه رأى ما رأى فى المنام وإن لم يكن العقل معه رأى ما رأى ولكن لم يفهم
Nyawa dibagi menjadi 3
1= sultoniyyah
2=ruhaniyyah
3= jismaniyyah
sultoniyyah bermuara dihati,ruhaniyyah bermuara didada sedangkan jismaniyyh muaranya diantara daging dan darah dan diantara tulang dan otot-otot
jika ditanya,ketika seorang hamba tidur,apakah nyawanya keluar apa tidak?
jika ada yg menjawab keluar,maka salah,dan jika ada yg menjawab tidak keluar maka juga salah
jawaban yg tepat adalah,ketika seorang hamba tidur maka ruh jismaniyyahnya keluar bersama akal dan berkeliling antara langit dan bumi,jika akal bersama ruh jismani maka seorang hamba tersebut tau/mengerti apa yg ia lihat dalam mimpi,dan jika akal tidak bersamanya maka seorang hamba tersebut tetap bisa melihat mimpi akan tetapi tidak faham
--------
sukma
فإن قيل ماالفرق بين الروح والروان؟
قلنا الروح لايذهب ولا يجئ والروان يذهب ويجئ وإذا زال الروان نام العبد وإذا زال الروح مات العبد
Jika ditanya apa bedanya nyawa dan sukma?
Maka kami jawab,nyawa itu tidak bisa keluar masuk sedangkan sukma bisa keluar masuk
Jika sukma keluar maka seorang hamba tertidur/tak sadarkan diri dan jika nyawa keluar maka seorang hamba tadi jadi meninggal
Durrotun nasihin hal 177 cetakan darul fikr di bab bayanu alamil mauti

Enhanced by Zemanta

Kebebasan Berakidah

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Mengapa dalam agama Islam, orang murtad harus dihukum mati? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan kebebasan berakidah?


Guna pembahasan ini menjadi jelas, kiranya beberapa poin berikut ini perlu mendapat perhatian:
Pertama: Siapakah yang disebut murtad?
Murtad adalah seseorang yang keluar dari Islam dan ia memilih kekafiran.[1] Keluar dari Islam itu terjadi karena mengingkari asas agama atau salah satu dari asas agama (tauhid, kenabian dan hari kebangkitan). Kemurtadan juga bisa terjadi karena mengingkari salah satu perkara yang telah gambelang dalam Islam (dharuriyyatu ad-din) dan seluruh kaum muslimin sepakat meyakini bahwa hal itu merupakan bagian dari Islam, sehingga mengingkarinya sama dengan mengingkari risalah dan kenabian.[2]
Kemurtadan terdiri atas dua bagian:
1. Murtad fitri, yaitu seseorang yang ayah atau ibunya ketika melepaskan nuthfahnya (sperma) beragama Islam. Dan orang itu sendiri sebelum mencapai baligh menampakkan keislamannya, kemudian setelah itu ia keluar dari agama Islam.[3]
2. Murtad milli, yaitu seseorang yang ayah dan ibunya itu kafir ketika melepaskan spermanya, dan orang itu sendiri sebelum mencapai usia baligh telah menjadi kafir kemudian masuk Islam, lantas menjadi kafir kembali.[4]


Kedua: Hukum murtad dalam berbagai agama dan Islam.
Dalam fikih Syi’ah, murtad memiliki hubungan dengan sebagian hukum-hukum sipil dalam bab warisan (irts) dan pernikahan (nikah). Dan masalah ini tidak termasuk dalam pembahasan.
Sanksi hukum yang akan dijatuhkan terhadap seorang murtad fitri ialah -apabila orang itu laki-laki- dihukum mati, dan taubatnya tidak akan diterima di hadapan hakim. Adapun seorang murtad milli laki-laki adalah, pertama kali ia dianjurkan untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, maka ia akan dibebaskan. Tetapi jika ia menolak untuk bertaubat, maka ia akan dihukum mati.
Sementara jika yang murtad itu adalah wanita, baik ia kafir fitri ataupun milli, ia tidak akan dikenakan hukuman mati. Melainkan ia disuruh bertaubat.Abila ia bertaubat, maka ia akan dibebaskan. Tetapi jika tidak, maka ia akan dipenjara.[5]
Di dalam fikih Ahlusunnah, menurut pandangan yang masyhur, orang murtad –apapun bentuknya- pertama kali ia dianjurkan untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, maka ia akan dibebaskan. Jika tidak, maka ia akan dihukum mati dan tidak ada perbedaan antara murtad fitri dan murtad milli, baik laki-laki maupun wanita.[6]
Murtad dalam agama-agama Ilahi selain Islam merupakan dosa dan kesalahan besar, hukumannya adalah mati.[7]
Karenanya, dapat dikatakan bahwa kemurtadan dalam pandangan seluruh agama dan kepercayaan, merupakan sebuah kesalahan dan dosa besar, dan hukumannya (dengan perbedaan dalam kondisi masing-masing) adalah mati.[8]


Tiga: Falsafah sanksi orang murtad
Agar masalah falsafah hukuman dan sanksi bagi orang murtad ini menjadi lebih jelas, hendaknya poin-poin berikut ini diperhatikan;
  1. Hukum Islam dibagi kepada dua bagian, individu dan sosial. Hukum sosial ditetapkan atas dasar kemaslahatan soaial. Dan terkadang, demi menjamin keberlangsungan kemaslahatan ini, sebagian kekebasan individu menjadi terbatas. Ini adalah poin yang tidak bisa ditolak di dalam hampir semua komunitas.
  2. Seorang murtad bila ia menggunakan seluruh kemampuannya untuk mengenal kebenaran, maka kemurtadannya tersebut akan diampuni oleh Allah Swt. Dan dalam lingkup hukum individualnya, ia tidak dihukumi berbuat kejahatan.[9] Tetapi jika ia lalai dalam mencari kebenaran, maka ia dianggap telah berbuat kejahatan, dalam lingkup hukum individualnya sekalipun.


Ketika seseorang menonjolkan kemurtadannya di tengah-tengah masyarakat, maka sikap dan kelakuannya itu dicatat dalam dimensi hukum sosial, sebagai kejahatan, Sebagai konsekuensinya adalah ia akan mendapatkan sanksi hukum sosial. Sebabnya adalah:


Pertama: ia dianggap telah menginjak-injak hak orang lain. Karena ia telah memunculkan keraguan dan syubhat dalam pikiran umum. Sudah jelas, hal itu akan melemahkan spirit beragama dan keimanan masyarakat. Mengingat bahwa hanya orang-orang yang mendalam agamanya (ulama) yang mampu menghadang berkembangnya syubhat tersebut, sementara masyarakat umum tidak memiliki kemampuan untuk itu, maka mereka bertanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan kondisi sehat masyarakat.
Kedua: Sesungguhnya di antara hak masyarakat adalah terjaganya spirit beragama dan keimanan mereka. Dan Islam memandang hal itu sebagai kemaslahatan sosial dan syi’ar dalam Islam. Karenanya mereka sangat mengagungkan dan menekankannya[10] dan mencegah lemahnya syi’ar tersebut.[11]
Kesimpulannya adalah, boleh jadi kemurtadan dalam pandangan individu tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan. Tetapi dalam pandangan hukum sosial merupakan sebuah kejahatan.
Ketiga: Dengan memperhatikan bahwa kemurtadan merupakan sebuah kejahatan, maka falsafah hukuman dan sanksi atasnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Kelayakan mendapat hukuman
Hukuman bagi orang murtad adalah karena ia telah melakukan kerusakan akahlak di tengah-tengah masyarakat. Sanksi tersebut disesuaikan dengan kadar kejahatannya. Semakin besar kadar kerusakannya, maka akan semakin berat pula sanksinya. Sangat jelas bahwa sebuah masyarakat yang lemah spirit beragama dan keimanannya, akan jauh dari kebahagiaan hakiki, meskipun mereka itu maju dari segi teknologi. Oleh karena itu, selain kemurtadan, setiap perbuatan yang melemahkan iman dan keyakinan umum, akan dihukum secara keras, misalnya seperti mencemarkan nama baik Rasulullah Saw dan para Imam maksum As. Sebab ketika kesucian hal ini telah rusak di masyarakat, maka jalan penyelewengan dan kehancuran agama akan terbuka.
  1. Mencegah meluasnya pemurtadan oleh oknum yang bersangkutan
Seseorang yang murtad selama tidak menampakkan kemurtadannya, ia tidak dianggap melanggar hukum sosial. Hukuman berat yang ditetapkan oleh agama Islam terhadap kemurtadan, akan dapat menutup jalan-jalan propaganda.
  1. Menampakkan pentingannya agama di masyarakat.
Setiap hukum perdata dan pidana yang telah ditetapkan, dengan jelas menunjukkan pentingnya agama. Misalnya hukuman berat yang ditetapkan atas kemurtadan, menunjukkan pentingnya menjaga spirit dan keimanan masyarakat.
  1. Mendorong agar lebih mendalami agama sebelum meyakininya.
Hukuman terhadap orang murtad, akan mendorong orang-orang non muslim agar menerima Islam setelah menelaahnya secara lebih mendalam. Hal inipun akan mencegah kelemahan iman.


Keempat: Meringankan hukuman akhirat.
Dalam pandangan agama, hukuman di dunia ini akan dapat meringankan hukuman akhirat. Allah Swt sangat penyayang untuk menghukum hamba-Nya sebanyak dua kali karena sebuah dosa. Riwayat-riwayat pun mendukung masalah tersebut, yaitu bahwa hukuman di dunia ini akan menyucikan pendosa di akhirat kelak. Bahkan akan memotivasi pelaku kejahatan yang akan dijatuhkan sanksi untuk mengakui kesalahannya.
Catatan:
Walaupun hukuman dunia itu –paling tidak- akan dapat meringankan hukuman akhirat, tetapi Allah Swt juga memberikan jalan lain untuk menyucikan diri seorang pendosa di akhirat. Jalan itu adalah taubat secara ikhlas. Apabila pelaku dosa itu bertaubat secara ikhlas, maka meskipun ia tidak dijatuhkan sanksi syar’i di dunia ini, dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Swt.


Kelima: Berhati-hati dalam menetapkan undang-undang.
Barangkali falsafah diberlakukannya hukuman terhadap orang yang murtad sebagaimana dijelaskan di atas, demikian juga mengenai tipu daya Ahli Kitab sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran,[12] tidak semuanya tepat untuk diterapkan kepada orang murtad. Yakni, bisa jadi seorang murtad itu tidak bermaksud melakukan tipu daya dan kejahatan terhadap keimanan masyarakat umum. Atau bias jadi, kemurtadannya itu tidak memberikan efek negatif terhadap keimanan masyarakat. Walaupun demikian, Islam tetap tidak akan memberikan keringanan sanksi terhadapnya. Apa penyebab hal tersebut? Dengan kata lain, boleh jadi falsafah hukuman bagi si murtad tidak berlaku dalam satu hal. Tetapi, kenapa Islam tetap memberlakukan hukuman terhadapnya?
Jawabannya adalah: Setiap penetapan hukum, memiliki wilayah yang lebih luas dari falsafah hukum itu sendiri. Ini disebut dengan ihtiyâth (hati-hati) dalam menetapkan hukum. Sebabnya banyak. Tetapi dalam hal ini cukup kami sebutkan dua poin terpenting sebagai berikut:
a.       Terkadang aturan-aturan yang betul-betul secara teliti dibuat untuk menentukan sebuah objek hukum, tidak mungkin dapat diberikan kepada manusia untuk menentukan objek hukum tersebut. Misalnya mengenai falsafah pelarangan parkir di suatu jalan adalah untuk menjaga kelancaran laju lalu lintas. Dan falsafah aturan ini tidak berlaku pada saat-saat jalan itu sunyi, Tetapi polisi lalu lintas secara paten tetap melarang parkir di tempat tersebut. Sebab penentuan masa-masa kemacetan lalu lintas tidak bisa diserahkan kepada masyarakat umum.
b.       Terkadang sebuah hukum itu begitu pentingnya, sehingga penetap hukum –karena kehati-hatian- lebih meluaskan wilayah objek hukum tersebut, agar ia yakin bahwa  masyarakat pasti akan melaksanakan hukum tersebut. Misalnya, sebuah batasan yang ditetapkan guna mengantisipasi terjadinya tenggelam. Zona ini harus jauh dari jangkauan masyarakat, yakni sejauh lima kilometer dan diletakkan secara rahasia. Tetapi pihak militer menambahkan jaraknya dari batas yang normal, agar lebih yakin bahwa tujuan yang diharapkan akan tercapai.
Berdasarkan dua poin di atas, dalam penentuan hukum dalam Islam pun demikian pula, Allah Swt memperluas wilayah hukum dari objek falsafah hukum itu sendiri, hingga tujuan dari falsafah tersebut bisa terwujud.
Untuk meneliti lebih jauh permasalah falsafah hukum Islam, silahkan merujuk kepada buku Falsafe-e Huquq, Qudratullah Khusrushahi hal. 201-222 dan Adl-e Ilahi, Syahid Muthahari, Tafsir ayat la ikraha fiddin, Tafsir al-Mizân 2/278, Tafsir Nemuneh 2/360.


[1]. Tahrir al-Wasilah, Imam Khomeini, 2:366 – al-Mughni, Ibn Qadamah, 10:74
[2]. Ibid. hal. 118
[3]. Ibid. 2/336. sebagian berpendapat, Islamnya salah seorang dari orang tua ketika dilahirkan menjadi syarat. (Allamah Khui, Mabâni Taklimah al-Manhaj 2/451) dan sebagian lain mensyaratkan penampakan keislaman setelah baligh (Shahid Tsani, Masâlik al-Afham, 2/451).
[4]. Tahrir al-Wasilah, Imam Khomeini, 2/336
[5] . Ibid. 2/494
[6] . al-Fiqh Ala Mazahib Arbaah.
[7] . Perjanjian Lama, Pasal 13
[8] . Sebenarnya sebagian hukuman mati bagi kemurtadan adalah hukum ta’zir bukan had. Dan hukum ta’zir secara total berada di tangan hakim, Islam tidak menetapkannya secara khusus. Jadi tidak bisa kita katakan bahwa hukuman murtad dalam Islam adalah mati. Lih. Dirâsat fi Wil^ayah al-Faqih wa ad-Daulah al-Islâmiyah 3/387
[9] . Firman Allah SWT: Allah tidak akan membebani manusia dengan beban kecuali ia mampu menanggungnya. Baqarah: 286
[10]. Qs. Haj (22):32
[11]. Qs. Maidah (5):3
[12]. Qs. Ali Imran (3): 72
Enhanced by Zemanta

Kenapa Iblis (setan) diciptakan dari api?

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله


Allah Swt, Maha Bijaksana atas segala sesuatu dan segala perbuatan-Nya didasarkan pada hikmah yang sempurna. Oleh karena itu, seluruh eksistensi pun diciptakan-Nya berdasarkan kebijakan dan hikmah Ilahi yang sempurna, dengan memberikan bentuk dan kondisi terbaik yang sesuai dan layak bagi hakikat mereka.[1] Penciptaan setan dari api pun berdasarkan pada hikmah dan kebijakan Ilahi ini. Setan merupakan salah satu jenis jin, tercipta dari api dan memiliki material yang lembut dan halus.
Dalam sebuah klasifikasi global materi atau jism terbagi menjadi dua:
Jism atau materi yang rendah seperti materi dari eksistensi semacam hewan dan manusia yang tercipta dari tanah, dan materi yang halus seperti eksistensi dari kelompok jin yang tercipta dari api. Kedua bentuk materi ini memiliki volume dan ukuran, akan tetapi pada masing-masingnya terdapat perbedaan yang hakiki. Salah satu dari perbedaan tersebut adalah setan tidak bisa dilihat oleh manusia, bahkan dengan kelembutan yang dimilikinya, terdapat kemungkinan mereka bisa melakukan penjelmaan yang berubah-ubah dalam berbagai bentuk dan bisa ke tempat mana pun yang mereka kehendaki. Namun kebalikan dari itu, manusia terlihat oleh setan dan tidak memiliki kemungkinan untuk melakukan perubahan dalam diri dan tempat yang ditinggalinya dalam waktu cepat, melainkan dengan gerakan yang bertahap.
Hikmah yang tersembunyi dari penciptaan setan ini bisa disebutkan dalam poin-poin berikut:
Pertama: Ujian dan cobaan bagi setan, setan diciptakan dari api sedangkan manusia dari lempung. Setan yang menganggap bahwa api lebih tinggi dari lempung memandang dirinya lebih tinggi dari manusia dan dengan alasan ini pula lah sehingga dia tidak mentaati perintah Allah Swt untuk bersujud kepada Nabi Adam As. Oleh karena itu, hikmah yang paling utama dari penciptaan setan dari api ini adalah untuk menguji setan itu sendiri, apakah dia akan merasa bangga dengan lahiriahnya yang tercipta dari api, ataukah akan senantiasa taat dengan perintah-perintah-Nya? Tetapi yang terlihat adalah bahwa alasan yang dikemukakan oleh setan atas ketidakbersediaannya untuk bersujud kepada Nabi Adam As dan menolak perintah-Nya adalah karena, "Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api, sedang Engkau menciptakannya dari tanah." (Qs. Al-A'raf [7]: 12)
Kedua: Ujian dan cobaan bagi umat manusia, setan adalah musuh utama manusia, sebuah makhluk yang senantiasa menimbulkan perasaan was-was dan ragu dalam diri manusia, menjerumuskan manusia dalam keyakinan-keyakinan yang salah dan senantiasa mengajak manusia untuk melakukan amal dan perbuatan yang fasik dan melalaikan. Setan adalah sumber dari segala waswas, makar, kelicikan, dan tipu muslihat, sedemikian sehingga kebatilan yang tidak memiliki hakikat sedikitpun, akan mereka tampakkan sebagai sebuah kebenaran. Metodologi yang mereka terapkan adalah kelicikan dan tipudaya. Mereka akan menyesatkan manusia dari batinnya dengan cara-cara yang tidak disaksikan oleh manusia.
Karena materialnya yang sangat lembut, setan bisa memasuki batin manusia. Tentu saja hal ini terjadi dengan kehendak manusia itu sendiri, yaitu manusia itu sendirilah yang memberikan peluang kepada setan untuk memasuki relung-relung kalbunya dan jika tidak karena hal itu, dan manusia tidak menghendaki kehadirannya, maka sama sekali tidak akan ada jalan bagi mereka untuk memasuki batin manusia.
Meskipun manusia tidak melihat setan dan ia tersembunyi dari pandangan lahiriah manusia, akan tetapi manusia harus waspada dan senantiasa menjauhkankan diri dari musuh yang nyata seperti ini, sebagaimana yang tersirat dalam salah satu firman-Nya, "Hai anak cucu Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihatmu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka." (Qs. Al-A'raf [7]: 27).
Dan inilah ujian dan cobaan bagi manusia bagaimana dia diperhadapkan dengan musuh semacam ini. []


[1]. Meskipun kita tidak bisa memahami hikmah dari keberadaan mereka. Dan karena keterbatasan ilmu kita jugalah sehingga kita tidak mampu mengetahui hikmah dari begitu banyak persoalan-persoalan yang ada.
Enhanced by Zemanta

Mengapa kita harus menerima Islam?

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Redaksi kata “i-s-lâ-m” derivatnya dari bab if’âl dan berasal dari kata dasar sa-lâ-m yang bermakna sehat, afiat, bersih dari segala aib, cela dan cacat. Ketika kata dasar sa-lâ-m ini dibawa ke dalam bab if’âl maka ia memiliki makna-makna seperti, inqiyâd (patuh), ithâ’at (taat), imtitsâl (menunaikan) perintah dan (menjauhi) larangan tanpa adanya protes.
Agama Islam merupakan agama paling inklusif dan komprehensif di antara agama-agama Ilahi. Agama ini diturunkan oleh Allah Swt sebagai petunjuk kepada manusia supaya manusia mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan abadi.
Apa yang membuat mengapa kita harus menerima Islam disebabkan oleh beberapa dalil sebagaimana berikut ini:
Pertama: Keharusan mengikuti dan memilih agama hak
Disebutkan bahwa senantiasa hanya terdapat satu agama hak pada setiap masa dan setiap orang harus mengenal agama hak tersebut dengan baik kemudian mengikutinya
Dari sudut pandang al-Qur’an agama yang valid adalah agama Islam dan setiap manusia harus memilih agama tersebut. Al-Qur’an menyatakan, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imran [3]:85)
Ustad Muthahhari, sembari menegaskan masalah ini, menulis demikian, “...bahwa senantiasa hanya terdapat satu agama hak pada setiap masa dan setiap orang harus mengenal agama hak tersebut dengan baik kemudian mengikutinya. Pemikiran  yang berkembang belakangan ini di kalangan cendikiawan yang menyatakan, seluruh agama samawi dari sudut pandang standar adalah sama (sejajar kebenarannya) pada setiap masa merupakan pemikiran yang tidak benar. Namun ketika dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan dan perdebatan di antara para nabi Allah maka perkataan ini merupakan perkataan benar.  Hanya saja perkataan ini tidak bermakna bahwa pada setiap masa terdapat beberapa agama hak dan tentu saja manusia boleh menerima dan memilih agama apa pun pada setiap masa. Sebaliknya, makna yang benar dari pernyataan ini adalah bahwa manusia harus menerima seluruh nabi dan mengetahui bahwa para nabi sebelumnya (sâbiq) adalah pemberi berita gembira bagi para nabi setelahnya (lâhiq) khususnya nabi pamungkas dan paling utama serta nabi-nabi setelahnya adalah pembenar bagi nabi-nabi sebelumnya.
Oleh itu, keniscayaan iman kepada seluruh nabi adalah bahwa pada setiap masa kita harus menerima dan memilh syariat nabi pada masa tersebut. Dan tentu saja pada masa akhir, kita harus melaksanakan instruksi-instruksi terakhir dari sisi Allah Swt yang diturunkan melalui nabi pamungkas dan demikianlah keniscayaan islam yaitu pasrah kepada Allah Swt dan menerima risalah-risalah para rasulnya.
Benar bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, “la ikraha fiddin” Namun hal ini tidak bermakna bahwa terdapat beberapa dan sejumlah agama Allah Swt pada setiap masa dan kita memiliki hak untuk memilih salah satu darinya. Tidak demikian. Pada setiap masa (hanya) terdapat satu agama hak, titik.
Setiap masa terdapat seorang nabi pemilik syariat datang dari sisi Allah Swt dan masyarakat memiliki kewajiban untuk memanfaatkan petunjuk-petunjuk dan panduan-panduan darinya. Mereka harus mempelajari aturan-aturan dan hukum-hukumnya baik pada ibadah atau selain ibadah dari nabi tersebut hingga tiba gilirannya Nabi Muhammad Saw sebagai nabi pamungkas Ilahi.
Pada masa ini apabila seseorang ingin menemukan jalan menuju Allah Swt maka ia harus mencari bimbingan terkait dengan instruksi-instruksi agamanya. Al-Qur’an menyatakan, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imran [3]:85)
Sekiranya orang-orang berkata bahwa yang dimaksud dengan Islam tidaklah terkhusus pada agama kita, melainkan tunduk pasrah kepada Allah Swt maka jawabannya adalah bahwa tentu saja  makna islâm adalah taslim (tunduk) dan agama Islam adalah agama yang tunduk (taslim) namun hakikat taslim memiliki bentuk pada setiap masa dan pada masa ini bentuknya adalah agama mulia yang dibawa oleh Nabi Pamungkas Muhammad Saw.  Tentu saja kata islam dapat diselarasan dengan agama yang dibawa oleh Kanjeng Rasulullah Saw, titik.
Dengan kata lain, keniscayaan tunduk (taslim) di hadapan Allah Swt adalah menerima segala instruksi-Nya dan jelas bahwa manusia harus mengamalkan instruksi terakhir dan instruksi terakhir Allah Swt adalah apa yang dibawa oleh rasul pamungkas-Nya.”
Kedua: Tidak Mencukupinya Agama-agama di Dunia selain Islam
Dalil-dalil Ketidakcukupan Agama-agama Lain Yang Terdapat di dunia hari ini:
Sebelum mengetengahkan dalil tentang ketidakbenaran agama-agama lain di dunia kami merasa perlu menyebutkan dua poin sebagai berikut:
Poin pertama, yang kami maksud bukanlah bahwa seluruh yang terdapat pada agama-agama yang ada itu adalah batil dan tidak secuil pun kebenaran yang dapat dijumpai pada agama-agama tersebut. Tidak demikian. Yang kami maksud adalah bahwa seluruh agama yang ada di dunia dewasa ini memiliki persoalan-persoalan yang tidak dapat diterima dan agama seperti ini tidak dapat menjadi penjelas wajah sempurna hakikat.
Poin kedua, dalam kajian ringkas ini kita akan menyinggung sebagian ketidakbenaran dua agama penting di dunia hari ini yaitu agama Kristen dan Yahudi. Nilai dan konsideran agama-agama lainnya yang nota-bene berada setingkat di bawah dari dua agama ini dari sisi penerimaan dan konsiderannya juga akan menjadi jelas.
Dalil-dalil yang menetapkan bahwa agama Kristen tidak dapat menampilkan wajah sempurna hakikat adalah sebagai berikut:
  1. Riwayat Injil bukanlah riwayat mutawatir dan tidak memiliki sandaran  definitif
Nabi Isa As berasal dari Bani Israel dan bahasa ibunya adalah bahasa Ibrani. Ia mengklaim dirinya sebagai nabi di Baitul Muqaddas dan masyarakatnya adalah masyarakat Yahudi yang berbahasa Ibrani dan tidak beriman kepadanya. Kecuali beberapa gelintir yang kita tidak tahu tentangnya.
Adapun sebagian warga Baitul Muqaddas yang mampu berbahasa Yunani dan tersebar di kota-kota Asia Minor menyeru masyarakat untuk memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Isa As. Mereka menulis banyak kitab dalam bahasa Yunani. Dalam kitab tersebut terdapat beberapa hal yang ditujukan kepada masyarakat Yunani dan Romawi:
Isa berkata demikian dan berbuat demikian. Mereka yang melihat Nabi Isa dan menjadi saksi atas segala ucapan dan perbuatannya serta memahami bahasanya adalah mereka yang menetap di Palestina. Mereka adalah orang-orang yang tidak menerima kenabian Nabi Isa dan memandang bahwa kisah-kisah yang ditulis dalam bahasa Yunani tersebut adalah rekaan. Adapun mereka yang menerima kitab (Injil) dan kisah-kisah di dalamnya adalah orang-orang yang jauh yang tidak melihat kota Baitul Muqaddas. Mereka tidak melihat Nabi Isa juga tidak mendengar sabda-sabdanya. Apabila kisah-kisah yang ditulis dalam Injil, sekiranya itu adalah dusta, tiada yang menghalangi penulisnya untuk menuliskan pelbagai dusta di dalamnya, dan pendengar juga tidak dapat mendustainya (lantaran ketidaktahuan mereka).
Misalnya dalam Injil Matius, tatkala Nabi Isa lahir, datang beberapa orang Majusi dari Timur dan bertanya bahwa dimana gerangan pangeran Yahudi yang baru lahir itu? Orang Majusi tersebut mengatakan bahwa kami melihat bintangnya di belahan Timur. Mereka tidak menunjukkannya, tiba-tiba mereka menyaksikan bintang bergerak di langit hingga di atas kediaman Nabi Isa As dan berhenti di atas rumah tersebut. Akhirnya orang-orang Majusi itu tahu bahwa Nabi Isa di rumah itu. Kisah seperti ini tentu saja kisah buatan yang ditulis dalam Injil dan sama sekali tidak mengandung kebenaran, lantaran tidak ditulis dalam bahasa Ibrani bagi orang-orang yang tinggal di Baitul Muqaddas, melainkan ditulis oleh orang-orang asing. Dan tentu saja orang-orang asing dapat menulis apa pun yang mereka hendaki.
Kita meyakini bahwa tiada seorang astronom pun yang berpandangan bahwa apabila ada seorang lahir maka akan terlihat sebuah bintang yang bergerak di atasnya. Hal ini tidak saja tidak diyakini oleh orang Majusi saja tapi juga selain Majusi.
Kita mengatakan bahwa orang-orang terdahulu Kristen berbeda pendapat terkait masalah terbunuhnya Nabi Isa As. Pada sebagian Injil disebutkan bahwa Nabi Isa tidak terbunuh, lantaran apabila ada seseorang terbunuh di sebuah kota maka seluruh warga kota akan mengetahuinya. Khususnya apabila ia disalib. Namun lantaran penulis Injil ditulis untuk orang asing,  ditulis dengan bahasa asing dan orang-orang asing ini tidak berada di Baitul Muqaddas sehingga mereka dapat mengetahui hakikat terbunuhnya atau tidak terbunuhnya Nabi Isa.
Para penulis Injil dengan kebebasan sepenuhnya menulis apa yang menurut mereka pantas dan dalam hal ini mereka tidak takut sama siapa pun. Tiga ratus tahun setelah wafatnya Isa, sebuah pertemuan diadakan dan para pendeta bermusyawarah tentang bagaimana segala perbedaan dalam hal ini diselesaikan. Mereka berpendapat bahwa di antara beberapa Injil yang ada dipilih empat Injil dan memandang hal-hal yang terkandung di dalamnya sebagai benar dan selebihnya, yang tidak terbilang, dipandang salah dan terbunuhnya Nabi Isa dipandang tertolak dalam injil-injil yang lain dan tidak resmi.
  1. Banyaknya kontradiksi dan distorsi dalam Alkitab pada agama Kristen dewasa ini
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada kitab "Rah-e Sa'adat" karya Allamah Sya'rani dan "Izhar al-Haq," karya Fadhil Hindi, serta "Qur'an wa Kitab-haye Asamani Digar," karya Syahid Hasyimi Nejad.
Ketiga: Tidak harmoninya ajaran-ajaran Kristen dengan dasar-dasar logika dan rasionalitas
Misalnya iman Kristian terhadap tuhan anak yang memanifestasi dalam bentuk manusia, mengambil seluruh dosa anak manusia dan menebus seluruh dosa dengan menahan derita salib. Dalam Injil Yohanes disebutkan bahwa: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah menganuriakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia."[5]
Terkait dengan agama Yahudi juga berhadapan dengan masalah yang sama. Lantaran, pertama, Taurat memiliki tiga naskah:
  1. Naskah pertama adalah naskah Ibrani yang diterima oleh penganut Yahudi dan pendeta-pendeta Protestan.
  2. Naskah Samiri yang diterima oleh penganut Samiri (suku lainnya dari Bani Israel).
  3. Naskah Yunani yang diterima oleh pendeta-pendeta Kristen non-Protestan.
Naskah Taurat yang diterima oleh penganut Samiri terdiri dari lima kitab Musa,  kitab Yosua dan Hakim-hakim, kitab lainnya dari Perjanjian Lama tidak diterima.[6]
Durasi waktu dan jarak antara penciptaan Adam hingga topan Nabi Nuh pada naskah pertama adalah 1656 tahun lamanya. Dan pada naskah kedua 1307 sementara pada naskah ketiga 1362 tahun. Karena itu dari tiga naskah ini tidak dapat dipandang benar seluruhnya, melainkan salah satunya yang harus diterima dan tidak diketahui naskah yang mana.[7]
Kedua, dalam Taurat juga terdapat hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia. Misalnya dalam Taurat, Tuhan diperkenalkan dalam bentuk manusia yang berjalan, berkidung, pendusta dan penipu. Karena Tuhan berkata kepada Adam bahwa apabila ia memakan pohon kebaikan dan keburukan maka ia akan mati. Akan tetapi Adam dan Hawa memakan buah pohon tersebut dan tidak hanya mati melainkan keduanya juga mengenal kebaikan dan keburukan.[8] Atau kisah bergulatnya Tuhan dengan Nabi Ya'qub sebagaimana yang disebutkan dalam Taurat.[9]
Keempat: Dalil-dalil kebenaran dan keunggulan Islam
  1. Hidup dan abadinya mukjizat agama Islam; lantaran mukjizat utama agama ini adalah "Al-Qur'an" yang berbentuk kitab, logika dan pengetahuan – berbeda dengan mukjizat nabi-nabi sebelumnya yang berbentuk empirik  dan dapat dilihat – atas alasan ini mukjizat agama Islam senantiasa hidup dan bersandar pada dirinya sendiri serta tidak bergantung kepada hadirnya dan hidupnya Nabi Saw. Atas dasar inilah mukjizat agama Islam senantiasa abadi dan lestari. Di samping itu, al-Qur'an dengan melontarkan tantangan kepada seluruh manusia menyampaikan pesan kehidupan dan keabadiannya: "Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar. " (Qs. Al-Baqarah [2]:23)
  2. Tidak terdistorsinya al-Qur'an: Artinya tiada perubahan dan pergantian yang terjadi di dalam al-Qur'an.
Karena di samping janji Ilahi bahwa Dia yang akan menjaga al-Qur'an, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Qs. Al-Hijr [15]:9), pribadi Rasulullah Saw memiliki perhatian khusus untuk memelihara secara seksama al-Qur'an. Pertama: Rasulullah Saw memerintahkan kepada sebagian orang yang dikenal sebagai penulis wahyu untuk menulis ayat-ayat dan surah-surah al-Qur'an. Kedua, memotivasi banyak sahabat untuk menghafal al-Qur'an. Karena itu, banyak orang yang dikenal sebagai penghafal al-Qur'an pada masa Rasulullah Saw. Ketiga, memotivasi orang-orang untuk membaca al-Qur'an: Artinya apa yang harus dibaca secara tepat khususnya lafaz dan tajwidnya, bukan sekedar menelaah dan memahaminya saja.[10] Faktor-faktor ini telah menjadi sebab sehingga al-Qur'an terjaga dari penyimpangan dan distorsi.
  1. Jalan ketiga untuk menetapkan kebenaran Islam adalah perhatian terhadap masalah kepamungkasan (khatamiyat) Nabi Saw. Lantaran nash (ayat dan riwayat) dalam Islam menegaskan bahwa Muhammad Saw merupakan nabi terakhir dan tiada lagi nabi yang akan diutus kepada manusia selepasnya.
Pada seluruh masyarakat manusia aturan praktis terakhir seorang manager dan komandan yang akan menjadi standar dan teraju. Aturan ini bersifat mesti dan harus dikerjakan. Dengan adanya aturan praktis terkini (yang datang belakangan) maka aturan-aturan praktis sebelumnya secara otomatis akan berakhir masa pakainya.
Pada teks-teks agama-agama sebelumnya tidak disebutkan bahwa nabi-nabi mereka merupakan nabi terakhir, melainkan memberikan berita gembira kepada para pengikutnya tentang kemunculan nabi Islam;[11] artinya teks-teks tersebut menjelaskan ihwal temporalnya ajaran mereka.
  1. Poin keempat yang harus menjadi fokus perhatian adalah masalah universalitas dan inklusivisme Islam dimana Islam memiliki ajaran-ajaran pada seluruh dimensi beragam kehidupan, mental, sosial dan personal, material dan spiritual kehidupan manusia. Untuk mengenal lebih baik inklusivisme dan keunggulan ajaran-ajaran agama Islam maka perbandingan dan komparasi harus dilakukan antara kandungan teks agama Islam dan kandungan teks agama-agama lainnya. Dengan demikian, keunggulan dan inklusivisme ajaran-ajaran Islam pada masalah-masalah keyakinan, tauhid dan sifat Allah Swt, etika personal dan sosial, hukum, perekonomian, politik dan pemerintahan akan menjadi jelas.
  2. Poin kelima, di antara agama yang ada di dunia sekarang, satu-satunya agama yang memiliki sejarah hidup dan standar adalah agama Islam dimana para sejarawan bahkan sejarah Islam merekam dengan baik dan rinci hal-hal yang terkait dengan masa kecil Nabi Saw. Sementara agama-agama lainnya tidak memiliki bukti sejarah yang standar. Atas dasar ini, sebagian pemikir Barat meragukan bahkan sosok pribadi Nabi Isa As sedemikian sehingga apabila al-Qur'an kaum Muslimin tidak menyebutkan nama Nabi Isa dan nabi-nabi lainnya, maka boleh jadi agama Kristen dan Yahudi tidak akan dikenal luas dan resmi oleh manusia dewasa ini.[12]
 

[1]. Al-Nukat wa al-‘Uyun (Tafsir Mawardi), jil. 1, hal. 379-380.  
[2]. Majmu’e Âtsâr, jil. 1, hal. 277.  
[3]. Abul Hasan Sya'rani, Râh-e Sa'âdat, hal. 187-188, 197-221.
[4]. Ibid.
[5].  Injil Yohanes 3:16-17
[6]. Râh-e Sa'adat, 206-207.
[7]. Taurat, Kejadian, bab 2 dan 3.
[8]. Ibid.
[9]. Râh-e Sa'âdat, hal. 22, 24, 25, 215.
[10]. Shahih BUkhari, jil. 4, hal. 250.
[11]. Râh-e Sa'âdat, hal. 226-241; Injil Yohanes 21:14.
[12]. Majmu'e Atsar, jil. 16, hal. 44.

Enhanced by Zemanta

Tuesday, April 23, 2013

maksud dengan orang-orang Majusi

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله


Sebelum kedatangan Zoroaster yaitu sebelum masa kekuasaan Media, orang-orang pribumi non-Aria Iran, memiliki agama yang bernama ajaran Mage. Frase Magh (Magusy) dalam bahasa kuno Iran bermakna pelayan.[1]
Dalam bahasa Arab “majusi” yang disebut dalam bahasa Arab adalah orang-orang Zoroaster. Namun sejatinya, Majus” tidak dapat disebut sebagai pengikut Zoroaster. Dewasa ini telah ditetapkan bahwa Majus disebut untuk para pengikut Media yang hidup sebelum masa Zoroaster.  
Dalam Avesta, frase “Majus” digunakan untuk orang-orang yang menentang Zoroaster. Namun karena pada wilayah-wilayah Arab dan negeri Syam (Suriah), para pengikut ajaran Media lebih dikenal sebagai “Magusy” kemudian melekatlah pengikut Zoroaster sebagai Majus.”[2]
Frase “Majus” tidak hanya disebutkan dalam al-Quran[3] dan dengan memperhatikan bahwa mereka berhadap-hadapan dengan orang-orang Musyrik dan berada dalam barisan agam-agama samawi, dapat disimpulkan bahwa  mereka memiliki agama, kitab dan nabi. Sebagian riwayat kita juga menyokong masalah ini.
Suatu hari Asy’ats bin Qais bertanya kepada Imam Ali As, “Bagaimana Anda dapat mengambil pajak dari orang-orang Majusi (sementara mengambil jizyah hanya diperbolehkan dari Ahlulkitab) dan orang-orang Majusi tidak memiliki kitab samawi?” Imam Ali As menjawab, “Tidaklah demikian seperti yang engkau sangka! Mereka memiliki kitab samawi dan Tuhan mengutus seorang rasul kepada mereka…”[4]
Tidak diragukan lagi bahwa dewasa ini, Majus disebut sebagai para pengikut Zoroaster[5] atau paling tidak yang membentuk bagian terpenting dari pengikut agama Zoroaster. Namun sejarah Zoroaster sendiri tidak begitu jelas. Para pengikut Zoroster disebut dengan beberapa nama seperti Majusi, Parthia, Gheber.[6]
Berdasarkan pendapat yang populer, Zarasustra (nabi ajaran Zoroaster) lahir pada tahun 660 SM dan diangkat sebagai nabi pada tahun 630 SM (pada usia 30 tahun). Disebutkan bahwa Zarasustra pada tahun 583 SM, ketika ia berusia 77 tahun dibunuh oleh orang-orang dari Turan;  sebuah tempat pemujaan api di daerah Balkh (Afganistan).
Agama Zoroaster adalah agama orang-orang Majusi dan memiliki hubungan dengan Alkitab (Taurat dan Injil). Meski dalam Alkitab tidak disebutkan nama agama ini, namun disebutkan tentang kisra-kisra Iran sebanyak delapan halaman dari halaman-halaman kitab Taurat.
Dalam Kitab Pertama Injil (Injil Matius) kita membaca, “Orang yang pertama datang tatkala Isa baru lahir adalah beberapa orang bijak dari Timur yang disebut sebagai, “Magus.”[7]
“Beginilah firman TUHAN: "Inilah firman-Ku kepada orang yang Kuurapi, kepada Koresh yang tangan kanannya Kupegang supaya Aku menundukkan bangsa-bangsa di depannya dan melucuti raja-raja, supaya Aku membuka pintu-pintu di depannya dan supaya pintu-pintu gerbang tidak tinggal tertutup.” (Yesaya 45:1)[8]
Sepanjang beberapa ratus tahun yang lalu, para penganut ajaran Zoroaster menjaga agama di antara agama-agama yang ada di dunia lebih banyak yang sifatnya warisan. Pada hakikatnya dewasa ini pengikut agama Zoroaster sangat sedikit jumlahnya dan merupakan komunitas agama yang paling kecil di antara agama-agama hidup di dunia.[9] Pada masa kini, di antara mereka terdapat serataus lima puluh ribu dari mereka yang tinggal di India dan kurang lebih sebanyak lima puluh ribu orang yang bermukim di Yazd, Kerman dan Teheran.[10]
Kitab Pengikut Zoroaster
Avesta adalah kitab para pengikut agama Zoroaster yang bermakna asas, fondasi dan teks. Kitab ini ditulis dengan huruf dan bahasa Avesta yang mengacu pada masa Iran kuno dan memiliki akar persamaan dengan bahasa-bahasa Pahlevi dan Sanskerta. Pengikut agama Zoroaster di samping Avesta, juga memiliki sebuah kitab tafsir yang bernama Zand-i Avesta dan kitab suci lainnya dalam bahasa Pahlevi.
 

[1]. Husain Taufiqi, Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 56, Nasyr Samt, Teheran, 1386.  
[2]. Syaikh Mufid, Tashih al-I’tiqâdât, hal. 134, Catatan Kaki.  
[3]. “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shâbi’în (para penyembah bintang), orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Qs. Al-Hajj [22]:17)
[4].  Abduali bin Jum’ah ‘Arusi Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 3, hal. 457, Ismaliyyan, Qum, 1415 H.
[5]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 44, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.  
[6].  Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 62.
[7]. Robert Hume, Adyân Zendeh Jahân (The World’s Living Religions), terjemahan Persia oleh Abdurrahim Gawahi, hal. 268, Daftar Nasyr Farhang Islami, 1369 S.
[8]. Sesuai dengan nukilan dari buku Adyân-e Zendeh Jahân.  
[9]. Adyân-e Zendeh Jahân, hal. 269.   
[10]. Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 62.  
[11]. Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 58 dan 59.
Enhanced by Zemanta

Pertanyaan "kiamat yang akan terjadi adalah kiamat jasmani atau ruhani"?

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله


Apa yang pasti dan niscaya adalah bahwa hari kebangkitan dan kiamat sebagaimana masalah ketuhanan merupakan keyakinan bersama para pemeluk agama dan mazhab.[1] Karena itu orang-orang yang meyakini adanya Mabda (Sosok Yang Menciptakan) yang bijak – meski tidak mengikut mazhab tertentu – melalui nurani batin dan fitrahnya mengakui keyakinan umum tentang adanya hari kebangkitan. Perbedaan mereka terletak pada bagaimana proses terjadinya hari kebangkitan (ma’âd) tersebut.
Apakah yang akan terjadi kelak itu adalah kebangkitan (ma’âd) ruhani? Apabila yang kelak akan terjadi adalah kebangkitan jasmani apakah badan ukhrawi manusia persis sama dengan badan natural yang digunakan ketika manusia hidup di dunia? Atau menggunakan badan yang lebih subtil yang disebut sebagai badan imaginal atau barzakhi?
Berangkat dari beberapa pertanyaan di atas, kami akan jelaskan secara ringkas pendapat  ulama kemudian mengemukakan pendapat masyhur dalam masalah ini:[2]
  1. Sekelompok teolog berpandangan bahwa kebangkitan yang akan terjadi adalah kebangkitan jasmani. Mereka tidak meyakini adanya ruh selain jasmani dan mekanisme badan.
  2. Sebagian filosof khususnya penganut paham Peripatetik hanya meyakini adanya kebangkitan ruhani. Mereka berkata bahwa setelah kematian hubungan ruh dan badan akan terputus namun mengingat bahwa ruh merupakan entitas yang hampa materi maka tidak ada jalan baginya untuk tiada dan binasa. Setelah terputusnya hubungan dari badan, ruh akan tetap abadi dan lestari. Pendapat ini muncul karena kelompok filosof ini tidak mampu memecahkan pelbagai kritikan dan objeksi kebangkitan jasmani sehingga pada akhirnya mereka meyakini ma’âd ruhani dan mengingkari ma’âd jasmani.
  3. Kebanyakan filosof, para arif, teolog dan ulama Syiah seperti Syaikh Mufid, Syaikh Thusi, Khaja Nashiruddin dan lain sebagainya meyakini keduanya (ma’âd jasmani dan ma’âd ruhani). Mereka berkata bahwa pada hari kebangkitan ruh akan kembali ke badan dan sebagai hasilnya kebangkitan yang kelak dialami manusia adalah kebangkitan jasmani namun bukan jasmani tanpa ruh, melainkan jasmani yang memiliki ruh. Mereka yang meyakini pendapat ini juga terbagi menjadi dua bagian:
  1. Sebagian dari mereka meyakini ruh pada hari Kiamat akan kembali ke badan natural dan unsuri yang memiliki aksi dan reaksi natural dan kemikal.
  2. Sebagian lainnya juga meyakini bahwa ruh mengikut badan imaginal dan barzakhi yang subtil serta tidak memiliki materi dan bercirikan benda, meski memiliki ukuran dan bentuk. Badan subtil ini sedemikian mirip dengan badan duniawi sehingga siapa pun yang melihatnya akan berkata bahwa badan tersebut adalah badan manusia yang hidup di dunia, namun karena tidak memiliki materi dan benda, ia tidak memiliki kapasitas aksi dan reaksi kemikal dan fisikal karena itu badan imaginal tersebut berbeda dengan badan material duniawi; seperti benda yang dilihat manusia dalam mimpi dan tidurnya.
 
Meski terdapat selaksa dalil akal yang menunjukkan tentang kemestian terjadinya hari kebangkitan dan adanya dunia lain selain kehidupan dunia ini, namun bagaimana dan proses terjadinya hari kebangkitan, apakah yang akan terjadi kelak itu adalah kebangkitan (ma’âd) ruhani atau ruhani dan jasmani? Apakah dengan menerima kebangkitan jasmani, apakah jasmani yang dimaksud adalah jasmani material dan bendawi ataukah jasmani imaginal dan barzakhi? Tidak termasuk wilayah akal untuk menjawabnya. Masalah ini bukanlah masalah yang dapat didemonstrasikan dan ditetapkan melalui argume-argumen rasional; karena itu filosof besar seperti Ibnu Sina berkata, “Harap diketahui bahwa sebagian hari kebangkitan dinukil dari riwayat-riwayat dan syariat menerima hal tersebut serta jalan untuk menetapkannya hanya melalui syariat dan membenarkan nabi. Hal itu berkaitan dengan hidupnya badan,  sehingga kita harus menerima proses kebangkitan jasmani dan hal-hal detil yang berkaitan dengannya dengan dalil syariat dan laporan-laporan wahyu; karena kriteria yang disebutkan lebih meyakinkan dan lebih sempurna yang dapat digunakan manusia untuk memperoleh hakikat-hakikat yang lebih meyakinkan.[3]
Karena itu mesti kiranya kita merujuk pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat terkait dengan bagaimana proses terjadinya hari kebangkitan.
 
Al-Quran dan Ma’âd Jasmani
Ayat-ayat al-Quran dengan baik menunjukkan bahwa hari kebangkitan manusia di hari Kiamat tidak hanya ruhani melainkan mencakup keduanya; ma’âd ruhani dan ma’âd jasmani. Demikian juga jasmani yang terkandung ruh di dalamnya adalah jasmani yang memiliki elemen dan unsur duniawi.
Terdapat banyak ayat yang menunjukkan hal ini dalam al-Quran dan untuk menghemat waktu kami hanya akan menyebutkan beberapa contoh sebagai berikut:
  1. Sebagian ayat dalam menjawab anggapan orang-orang yang memandang hidupnya kembali tulang-tulang sebagai sesuatu yang mustahil, “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah, “Tulang belulang itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk;” [4] “Apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali garis-garis) jari jemarinya dengan sempurna.”[5]
  2. Terdapat sejumlah ayat yang menunjukkan bahwa manusia pada hari kiamat akan bangkit dari kubur dan dihitung amal perbuatannya. Al-Quran menyatakan, “Maka apakah dia tidak mengetahui apabila seluruh makhluk yang ada di dalam kubur dibangkitkan;”[6] Dan ditiuplah sangkakala (yang kedua). Maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kubur (menuju) kepada Tuhan mereka.”[7]
  3. Terkadang al-Quran menjelaskan kemungkinan ma’âd jasmani melalui terjadinya hal tersebut di dunia; seperti kisah menarik Uzair As[8] dan kisah Nabi Ibrahim terkait dengan pertanyaan tentang bagiamana terjadinya ma’âd jasmani.[9] Mengingat bahwa al-Quran terkadang melalui penyandaran pada kehidupan pertama dan terkadang dengan menunjukkan contoh-contoh hidupnya orang-orang mati; seperti kisah Uzair atau cerita Ashab Kahfi dan lain sebagianya. Dari sini dapat disimpulkan  bahwa kehidupan baru akan dijalani manusia dengan badan materinya.
Dari ucapan Imam Ali As dalam Nahj al-Balâghah juga dapat dipahami bahwa ma’âd yang akan dijalani manusia adalah ma’âd dengan badan naturalnya. Imam Ali As dalam hal ini bersabda, “Ketahuilah tahu bahwa kulit ini tak mampu menanggung api (neraka). Maka kasihanilah diri Anda karena Anda telah mencobanya dalam hukuman di dunia ini.”[10] Atau pada tempat lain, beliau bersabda, “Mereka saling berlomba dan maju berkelompok-kelompok ke tujuan dan tempat pertemuan akhir kematian, ketika urusan tertutup, dunia mati dan kebangkitan (kiamat) mendekat. Allah akan mengambil mereka dari sudut-sudut kubur, sarang-sarang burung, liang-liang binatang dan pusat-pusat kematian. Mereka bergegas memenuhi perintah-Nya dan bergegas ke tempat yang telah ditetapkan untuk tempat kembalinya yang terakhir, kelompok demi kelompok, diam, berdiri, dan berbaris-baris. Mereka berada dalam pandangan Allah Yang Maha Melihat dan akan mendengar yang memanggilnya.”[11] Imam Ali As pada tempat lain bersabda, “la akan mengeluarkan setiap orang yang ada di dalamnya. la akan menyegarkan mereka setelah mereka keletihan, dan mengumpulkan mereka setelah mereka terpisah. Kemudian la akan memisahkan mereka untuk ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang tersembunyi dan tindakan-tindakan rahasia. Lalu la akan membagi mereka menjadi dua kelompok, mengganjari yang satu dan menghukum yang lain.”[12]
  1. Pelbagai nikmat yang melimpah yang dijanjikan untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, seperti memakan buah-buahan berwarna-warni,[13] dan daging burung-burung,[14] menikah dengan bidadari,[15] dan lain sbagainya merupakan hal-hal yang tidak dapat digambarkan kecuali dengan menggambarkan adanya ma’âd jasmani.
Kesimpulan:  Pendapat masyhur di kalangan para teolog, filosof dan ulama buah dari eksplorasi ayat-ayat dan riwayat-riwayat adalah bahwa ma’âd yang akan dijalani manusia di hari kiamat adalah ma’âd jasmani.
 

[1]. Untuk telaah lebih jauh dalam hal ini Anda dapat menelaah jawaban No. 1916 (Site: 1917) Indeks: Ma’âd Jasmani menurut Perspektif Ahlukitab).  
[2]. Mulla Sadra, Mabdâ wa Ma’âd, Ahmad bin Muhammad al-Husaini Ardekani, Abdullah Nurani, hal. 433-436, Markaz Nasyr Danesygahi, Teheran, 1362; Ja’far Subhani, Ilahiyyât wa Ma’ârif Islâmi, hal. 290-297, Intisyarat Syafaq, Qum, Cetakan Kedua, 1379 S.
[3]. Abu Ali Sina, Ilahiyyât Syifâ, Hasan Hasan Zadeh Amuli, Maqalah 9, hal. 460, Intisyarat Daftar Tablighat Islami Qum, Cetakan Pertama, 1376 S.  
[4] . (Qs. Yasin [36]:79)
"قُلْ يُحْييهَا الَّذي أَنْشَأَها أَوَّلَ مَرَّةٍ وَ هُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَليم"‏.
[5].   (Qs. Al-Qiyamah [79]:3-4)
"أَ يَحْسَبُ الْإِنْسانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظامَهُ * بَلى‏ قادِرينَ عَلى‏ أَنْ نُسَوِّيَ بَنانَه‏".
[6].  (Qs. Al-Adiyat [100]:9)
"أَفَلا يَعْلَمُ إِذا بُعْثِرَ ما فِي الْقُبُور".
[7]. (Qs. Yasin [36]:51)
"وَ نُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذا هُمْ مِنَ الْأَجْداثِ إِلى‏ رَبِّهِمْ يَنْسِلُون‏".
[8]. Ataukah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Ia berkata, “Bagaimana mungkin Allah akan menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah (dengan berlalunya masa itu). Dan lihatlah keledaimu (yang telah hancur menjadi tulang-belulang). Kami akan menjadikanmu sebagai tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu bagimana Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.” Maka, tatkala telah nyata baginya (bagaimana Allah menghidupkan segala yang telah mati), ia pun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[9]. “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum yakinkah engkau?” Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakininya, akan tetapi supaya hatiku tetap mantap.” Allah berfirman, “Ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah. Kemudian, letakkanlah di atas setiap bukit satu bagian dari bagian-bagian daging burung itu, lalu panggillah mereka, niscaya burung-burung itu akan datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Qs. Al-Baqarah [2]:260)  
[10]. Abdul Majid Ma’adikha, Khursyid Bi Ghurûb Nahj al-Balâghah, Khutbah 182, hal. 218, Nasyr Dzarrah, Cetakan Pertama, 1373 S.  
[11]. Ibid, Khutbah 82, hal. 80.
[12]. Ibid, Khutbah 108, hal.. 125.  
[13]. “Dan (memperoleh) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini.” (Qs. Al-Mursalat [77]:42); “Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari buah-buahan itu kamu makan.” (Qs. Al-Mukminun [23]:19); “Di dalam surga-surga yang penuh nikmat.” (Qs. Al-Shaffat [37]:43); “Di dalamnya mereka dapat meminta segala macam buah-buahan nan hidup dengan aman (dari segala kekhawatiran).” (Qs. Al-Dukhan [44]:55) dan lain sebagianya.  
[14]. Dan daging burung dari jenis yang mereka inginkan.” (Qs. Al-Waqiat [56]:21); Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini.” (Qs. Al-Thur [52]:22) dan lain sebagainya.
[15].  “Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam kamar-kamar surga.” (Qs. Al-Rahman [55]:72); “Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli.” (Qs. Al-Waqiat [56]:22)
Enhanced by Zemanta